Memaparkan catatan dengan label Sosiobudaya Bugis. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label Sosiobudaya Bugis. Papar semua catatan

Silat Sendeng (Malay Muay Thai)


The same as grandmaster of Silat Seni Gayong, Dato' Meor Abdul Rahman,  grandmaster of Silat Sendeng, Long Mamat also the descendants Bugis. Originally from Sulawesi, the wanderlust of the Bugis ensured that they were well-travelled throughout Nusantara and beyond, bringing with them their knowledge, their culture, and their combat arts. In Malaysia, among the more popular and recognizable of these is Seni Silat Sendeng.

Silat Sendeng founded by Allahyarham Long Mamat and expanded by Allahyarham Haji Hamid bin Haji Hamzah, named this silat by Seni Silat Sendeng Muar. First center under Allahyarham Haji Hamid is born at Sungai Mati, Muar, Johor Darul Takzim. After Allahyarham Haji Hamid past away on 19 May 1990, his younger brother, Allahyarham Haji Ismail bin Haji Hamzah was choosen to lead Seni Silat Sendeng and replaced as ‘Guru Utama’ (Grandmaster). On 11 July 1992, Seni Silat Sendeng Muar was register by the name ‘Pertubuhan Seni Silat Sendeng Malaysia’ with combining 7 branch of country like Johor, Melaka, Pahang, Perak, Kuala Lumpur, Selangor and Negeri Sembilan. Now, Pertubuhan Seni Silat Sendeng

The Pride To Be The Bugis

Bugis People - Makassar, South Sulawesi

The Bugis
Bugis people is one of Indonesian ethnic which are the inhabitant of South Sulawesi. This tribe is the biggest three after Javanese and Sundanese. Beside the indigenous who live in South Sulawesi, the immigrant of Minangkabau who wander from Sumatra to Sulawesi and the Malay people are being called as Bugis people. 

At present time, The Bugis is spread to all over Indonesia like Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan even to going abroad. Bugis people are the the most group who insist to spread the Islamic religion. 

The word Bugis is referred to the word To Ugi, means Bugis People. Formerly, it referred to the first King of Chinese Kingdom in Pammana who is La Sattumpugi, which now is the regency of Wajo. The people named themselves To Ugi or the people of La Sattumpugi.

On the following era, this people are divided and growth in some kingdoms. Then, east group developing their own culture, language, literacy and their own governmental. It is mention that the classic Bugis people are coming from Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng and Rappang. Those classic group are divided from the ancient kingdom that form during the development of Bugis people. The history mention that the kingdoms which growth during the early time and affected the Bugis was the era of Bone Kingdom, Makassar Kingdom, Soppeng Kingdom and Wajo Kingdom. Moreover, the era of the conflict among the royal emperor, the entrance of Islamic religion, Dutch colonialism and independence revolution. 

Bugis Religion


Doctrines
The Bugis or Buginese are one of the three major cultures of South Sulawesi (Sulawesi is also called Celebes). The others are the Makassarese and the Torajan. Bugis call themselves Ugi' or ToUgi' and speak a Western Austronesian language. The Bugis are considered one of the most devout Muslim groups in Indonesia, though they maintain many pre-Islamic elements in their religion.

The sacred epic La galigo gives an incomplete picture of pre-Islamic Bugis religion. A small group of non-Muslim Bugis still believe La galigo to be sacred. La galigo is an account of creation, a collection of princely rituals, and a manual of princely conduct. The princely rituals are performed by bissu, transvestite priests in charge of the royal regalia. Other rituals of daily life are carried out by sanro, popular practitioners, for new houses and boats, rites of passage, first-use rites, anniversaries, phases of the rice cycle, and at times of war, epidemic, and crop failure.

Allah is called Puang Allataala or Dewata Seuwae. Besides Allah, Bugis believe there are many other spiritual beings it is necessary to pay homage to if you wish them to intercede between humans and the remote supreme being. One of these spititual beings is Sawerigading, who is the Bugis national hero described in La galigo. However, there seems to have been a cult of Sawerigading that was more important to the bissu than the laity. Another cult of the bissu was for Dewata Mattanru' Kati, "the god with golden horns", also from La galigo.

Bugis In New York City

Their legend grew due to the horrifying tales of early European sailors. As the fiercest pirates in the archipelago, Bugis men used to prey upon European trading ships entering the Straits of Malacca. The sailors who made it back alive told tale after tale of battles on the sea, of ransacked ships and stolen goods and, above all, of the fierce pirates whose mere image struck fear into every European sailor… “the Bugimen.” Imagine the rugged sailor in the European marketplace with a defiant child alongside him. He turns to the boy with a sinister gleam and eerily warns, “You better behave my boy… or the „Boogeyman‟ will get you.” In modern-day Indonesia around Lake Tempe and Lake Sidenreng in South Sulawesi, Bugis carry on the tradition of sailing and fishing, even if they have lost the mystique once harbored by European sailors. For centuries, they were primarily rice farmers. However, many are now successful merchants and traders in their respective fields. Like the days of old, they still have a reputation for being fierce, war-like and industrious.

When Did They Come to New York?
As governmental persecution spread throughout Indonesia in the late 1990s, many Bugis began immigrating to New York. They came due to the lure of freedom and, of course, due to the overwhelming economic and educational opportunities. It is estimated that there are approximately 70 Bugis now living in the New York City Metro area. At least a small percentage of these do not have proper documentation to be in the country.

Where Do They Live?
Nestled into the growing Indonesian enclave, Bugis have settled in the Elmhurst, Corona and Woodside areas of Queens.

Laksamana Raja Di Laut Keturunan Bugis Wajo


Makna Bengkalis
Sementara itu, asal mula nama Bengkalis diambil dari kata “Mengkal” yang berarti sedih atau sebak serta “Kalis” yang berarti tabah, sabar dan tahan ujian.

Sejarah Bengkalis bermula ketika Tuan Bujang alias Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah mendarat di Bengkalis pada tahun 1722. Sultan yang juga menguasai wilayah Siak disambut oleh batin (kepala suku) Senggoro dan beberapa Batin lainnya.

Para Batin meminta Sultan agar membangun kerajaan di Bengkalis, sebagai wujud rasa hormat mereka. Melalui musyawarah dengan sejumlah Datuk di wilayah pesisir Riau pada tahun 1723, disepakati pusat kerajaan didirikan di dekat Sabak Aur yakni di sungai Buantan salah satu anak Sungai Siak.

Bengkalis pernah menjadi basis awal kerajaan Siak. Sejarah juga mencatat, semasa Belanda berkuasa, di Bengkalis pernah diduduki residen pesisir timur pulau Sumatera. Saat itu, Bengkalis sudah menunjukkan peran penting dalam arus lalu lintas niaga di selat Melaka, terutama sebagai persinggahan saudagar yang keluar masuk sungai Siak.

Strategisnya posisi Bengkalis sebagai lalu lintas niaga menyebabkan Pemkab setempat meletakkan pembangunan pelabuhan penumpang bertaraf internasional di Selat Baru sebagai salah satu prioritas pembangunan di era otonomi. Kehadiran pelabuhan tersebut diharapkan memperlancar transportasi ke dan dari Malaysia.

“Jarak tempuh ke Malaysia dari Bengkalis hanya 45 menit. Padahal selama ini jika ditempuh dari Kota Dumai bisa mencapai dua jam,” ujar Bupati Bengkalis.

Pembangunan pelabuhan ini juga dilakukan sebagai salah satu upaya mempercepat

Dakwah Syekh Abdul Wahab Bugis di Tanah Banjar


Pengantar
Selama ini, publikasi terhadap tulisan sejarah dan kehidupan tokoh-tokoh lokal begitu terbatas dan agak susah diakses. Wajar jika, tulisan saya yang berjudul “Ketokohan Syekh Abdul Wahab Bugis di Tanah Banjar” (Opini, Jum’at 2 Juli 2004) mendapat sambutan yang positif. Apresiasi terhadap tulisan tersebut memotivasi saya untuk lebih mengenalkan secara dekat tokoh-tokoh besar yang telah mengharumkan banua dalam perjuangan dan syiar dakwah serta dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Sehingga dengan adanya publikasi secara tertulis terhadap sedikit dari biografi dan pemikiran mereka yang bisa diramu, diharapkan generasi sekarang akan lebih tahu tentang sejarah hidup, sumbangan pikiran, dan perjuangan yang telah mereka curahkan untuk kejayaan Islam dan kesejahteraan hidup umat. Sehingga bermuara dari sini diharapkan tumbuh pula semangat yang sama untuk membangun dan memberikan yang terbaik bagi perkembangan banua, hari ini, besok, lusa dan masa yang akan datang. Untuk itu kita juga salut dengan SKH Kalimantan Post yang tetap concern menerbitkan tulisan-tulisan berkenaan dengan khazanah intelektual lokal.

Pada tulisan terdahulu dijelaskan bahwa dalam catatan sejarah, Syekh Abdul Wahab bertemu dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Madinah, dalam majelis ilmu gurunya (yang kemudian juga menjadi guru Syekh Muhammad Arsyad), Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. Jika Syekh Muhammad Arsyad (dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani) lebih banyak menggunakan waktu mereka untuk menuntut ilmu di kota Mekkah (selama 30 tahun) dan Madinah (selama 5 tahun), maka Abdul Wahab (bersama dengan Syekh Abdurrahman Misri) lebih banyak memanfaatkan waktu mereka untuk menuntut ilmu di Mesir.
 
Pigur Syekh Abdul Wahab Bugis
Berdasarkan pendapat dari Karel S. Steenbrink sebenarnya riwayat hidup seorang tokoh dapat

Terlalu Bugis-Sentris, Kurang 'Perancis'

Oleh: George Junus Aditjondro

KETIKA James Brooke singgah di Sulawesi Selatan di tahun 1840, orang-orang Bugis tampak menaruh perhatian terhadap isu-isu politik luar negeri, seperti terungkap dari berbagai pertanyaan yang diajukan kepada petualang dari Inggris itu. Mereka antara lain menanyakan nasib Napoleon Bonaparte. Begitu tulis Christian Pelras, peneliti Perancis yang selalu merayakan ulang tahunnya di hari ulang tahun Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus, di halaman 345 buku yang sedang kita bahas sekarang. Sayang sekali Pelras tidak menjelaskan, mengapa orang Bugis menanyakan nasib bekas kaisar Perancis itu. Menurut informan kunci saya di Tana Ugi’, orang Bugis percaya Napoleon Bonaparte sebenarnya seorang passompe’ (perantau) Bugis. Paling tidak, dia orang Makassar. Atau orang Pangkajene, yang berbudaya campuran Bugis-Makassar. Sebab nama Napoleon Bonaparte sebenarnya adalah “Nappo daeng Leong, battu ri Bonerate” (Nappo Daeng Leong, yang berasal dari Bonerate).

Itu hanya joke, untuk menyanggah pendapat kawan saya, Dias Pradadimara, dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Kata Dias dalam bedah buku ini bersama saya di acara KAMASUKA (Keluarga Mahasiswa Sunan Kalijaga) Sulsel di Yogyakarta, hari Sabtu, 25 Februari lalu, “orang Bugis terlalu serius, kurang tahu humor”. Terbukti anda tertawa, mendengar joke dari Tana Ugi’ ini. Jadi baik produsen maupun konsumen joke itu, adalah orang Bugis dan Makassar, mengerti humor. Cuma orang Bugis memang orang-orang serius, yang sangat disiplin bekerja, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan mereka. Itulah bagian dari filsafat hidup mereka yang menjunjung tinggi tiga kebebasan: kebebasan berpendapat, kebebasan berusaha, dan kebebasan bermukim. Kalau satu, dua, atau bahkan ketiga kebebasan itu dirongrong oleh penguasa, mereka lebih baik hijrah, ketimbang hidup di bawah penindasan.

Untuk bacaan selanjutnya dalam format pdf, sila download di sini.

Muslims in Australia


A long and vibrant history
Muslims in Australia have a long and varied history that is thought to pre-date European settlement. Some of Australia’s earliest visitors were Muslim, from the east Indonesian archipelago. They made contact with mainland Australia as early as the 16th and 17th centuries.

Early Muslim visitors—the Macassar traders
Fishermen and traders from what is today the Macassar region of Indonesia arrived on the northern coasts of Western Australia, the Northern Territory and Queensland. The Macassarese traded with local Indigenous people and fished for ‘trepang’ (commonly known as sea cucumber), which they sold as a delicacy on the lucrative Chinese market.

Evidence of these early visitors can be found in the similarity of certain words that occur in the languages of the Macassarese and of the coastal Indigenous Australians. Aboriginal cave paintings depict the traditional Macassar vessels or ‘prau’ and a number of Macassan artefacts have been found in Aboriginal settlements on the west and north coasts of Australia. Marriages between Indigenous people and Macassarese are believed to have taken place, and Macassan grave sites have been found along the coastline.

Tenun Pagatan dari Kalimantan Selatan

Hasil sulapan desainer Sofie pada Tenun Pagatan.

Warna-warni cerah yang melabur kain tenun justru terasa dingin di kulit. Membuat nyaman.
Bagi Anda yang sedang mencari kain untuk busana Lebaran atau pesta yang nyaman, jalan-jalanlah ke Desa Manurung Pagatan di Kusan Hilir, Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Desa eksotis yang berada di pesisir laut Kalimantan yang berbatasan dengan Laut Makassar dan Laut Jawa ini penghasil tenun Pagatan, yang halus dan terasa dingin di kulit. 

Desa yang kaya akan hasil tambang batu bara dan biji besi ini didiami oleh suku Bugis dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan. Tapi orang Bugis sejak dulu memiliki kegemaran menenun di sela-sela waktu luang. 

Ketika Tempo berkunjung ke Desa Manurung Pagatan, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu, awal September lalu, terlihat puluhan remaja perempuan dan para ibu menenun kain di rumah masing-masing mulai sore sampai malam hari. 

Kenapa mesti malam hari? Sebabnya, pada pagi harinya mereka harus pergi ke kantor, ladang, sekolah, atau bahkan ke laut. Kegiatan menenun dilakukan setelah aktivitas pagi hari selesai. "Menenun adalah pekerjaan sampingan warga," kata Salmah, salah seorang perajin tenun Pagatan. Wanita berusia 40 tahun ini memproduksi tenun ini sejak masih remaja dan mengenal tenun dari orang tuanya, yang memiliki usaha tenun Pagatan. 

Setelah berumah tangga, Salmah meneruskan usaha orang tuanya. Kini dengan 10 orang karyawan, dia memproduksi tenun khas Pagatan di rumahnya di Jalan H.M. Amin, RT 3, Desa Pagatan. Jenis tenun yang diproduksinya adalah songket, tenun ikat lusi, dan aneka pernak-

Permainan Marraga (Sulawesi Selatan)

Asal Usul
Marraga berasal dari kata Bugis, sedangkan orang
Makassar, sering menyebut permainan ini dengan akraga (olah raga). Marraga termasuk jenis permainan yang memadukan unsur olah raga dan seni. Permainan ini memerlukan kecekatan, ketangkasan dan kelincahan. Permainan yang berasal dari Malaka ini, konon hanya dilakukan oleh para bangsawan Bugis saat diadakannya upacara-upacara resmi kerajaan seperti, pelantikan raja dan perkawinan anggota kerajaan. Versi yang lain menyebutkan bahwa permainan ini berasal dari Pulau Nias (Sumatera Utara). Dewasa ini marraga bukan hanya dimainkan oleh para bangsawan, tetapi juga oleh orang kebanyakan.

Pemain
Marraga umumnya dimainkan oleh pria, baik remaja maupun dewasa. Dalam satu permainan jumlah pemainnya 5--15 orang. 

Tempat dan Peralatan Permainan
Permainan ini dilakukan pada sebidang tanah datar yang permukaannya dibuat lingkaran dengan garis tengah minimal 6 meter. Peralatan yang digunakan adalah raga, yaitu sejenis bola yang terbuat dari rotan yang dibelah-belah, diraut halus kemudian dianyam. Alat ini umumnya berdiameter 15 cm. Adakalanya gendang dipergunakan untuk mengiringi jalannya permainan.

Aturan dan Proses Permainan
Peraturan permainan marraga dapat dikatakan sederhana, yaitu pemain (jika menerima raga dari pemain lain) harus melambungkan raga tersebut agar jangan sampai terjatuh sebelum dioperkan pada pemain lainnya. Cara melambungkan raga adalah dengan menggunakan kaki, tangan, bahu, dada, dan anggota tubuh lainnya, tetapi tidak boleh di pegang. Tinggi dan

Taklukan Daerah Baru dengan Falsafah Tiga Ujung

Di masa lalu, orang Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut ulung. Malah, ada sebuah ungkapan yang mungkin terasa hiperbola; Di mana ada dermaga, di situ pasti ada orang Bugis-Makassar.

Keberadaan orang Bugis-Makassar yang ada di mana-mana menandakan mereka dapat diterima dengan baik oleh bangsa mana pun. Demikian dikemukakan Sosiolog yang juga Ketua Program Studi Pendidikan IPS Program Pascasarjana UNM,

Dr Andi Agustang, menanggapi film dokumenter berjudul Diaspora Bugis-Makassar dan Kebangkitan Nasional yang diputar di Ruang Rapat Pimpinan PT Media Fajar, Lt IV gedung Graha Pena Makassar, Rabu 27 Mei.


Menurut Agustang, dalam bersosialisasi dengan masyarakat di daerah asing, orang Bugis-Makassar paling tidak mengandalkan tiga hal, yakni tutur kata, keberanian dan pernikahan. Falsafah itu dikenal dengan tiga ujung, yakni ujung lidah (tutur kata), ujung (maaf) kemaluan atau pernikahan, serta ujung badik yang menegaskan keberanian orang Bugis Makassar, ungkap Agustang.


Tiga hal inilah yang digunakan orang Bugis-Makassar untuk membaur dengan masyarakat di sebuah daerah yang didatanginya. Maka dalam pandangan Agustang, Karaeng Galesong dalam film dokumenter tersebut sudah memperlihatkan ketiga-tiganya.


Dalam bertutur kata, Karaeng Galesong dikenal sebagai pribadi yang santun, sekaligus tegas jika menghadapi situasi yang keras. Keberanian pun tak diragukan lagi. Begitu juga pernikahan, dibuktikan Karaeng Galesong dengan menikahi Suratna, puteri Trunajaya.


Tiga falsafah pergaulan orang Bugis-Makasar ini juga ditunjukkan Karaeng Daeng Naba dalam film itu. Karaeng Daeng Naba juga dikenal sebagai komandan divisi tempur VOC yang memimpin sekitar 2500 prajurit Bugis-Makassar. Dia juga menikahi puteri bangsawan Mataram, yang kelak keturunannya akan menjadi pelopor gerakan kebangkitan nasional, Dr Wahidin Sudirohusodo.


Falsafah pernikahan antar etnis ini juga diakui sejarawan Sulselbar, Suriadi Mappangara. Hanya saja, di mata Suriadi, orang Bugis-Makassar di daerah perantauan lebih cenderung mengikat pernikahan dengan kalangan bangsawan. Jarang sekali menikahi rakyat jelata.

 
Kelemahan orang Bugis-Makassar di daerah asing seperti itu. Mereka hanya mengikat kalangan elite, bangsawan sehingga lemah di kalangan jelata, jelas Suriadi yang menjabat kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar.

Beppa Ogi - Kuih Tradisional Orang Bugis

Baje canggoreng, kue tradisonal ini bahan utamanya dari kacang tanah dan gula merah, rasanya gurih dan manis. Panganan ini dapat bertahan sampai 1 (satu) bulan dalam kemasan.

Kue ini merupakan makanan tradisional yang dikenal dengan nama Barongko yang bahan utamanya dari pisang yang dihaluskan dan dicampur dengan bahan kue lainnya. Uniknya kue ini dibungkus dengan daun pisang yang memiliki bentuk tersendiri. Kue ini menjadi kue favorit di acara-acara pernikahan Masyarakat Bugis-Makassar khususnya di Kota Parepare.

Kue ini merupakan makanan tradisional yang memilki rasa manis yang khas dimana rasa golla cella (gula merah; baca : Indonesia) mendominasi kue ini. Kue ini dikenal dengan nama Beppa golla cella karena dominasi bahan adonanya adalah

Seks Jawa Vs Seks Bugis (2)

SETIAP kali melihat tarian Jawa, saya selalu terkesiap menyaksikan kelembutan dan kesantunan gerak tari. Saya selalu mengagumi pakaian penari berupa kemben dengan bahu terbuka. Bagi saya, pakaian itu lahir dari dialog-dialog kebudayaan antara tradisi Jawa dan Islam. Saya juga mengagumi gerakan tari yang gemulai itu. Amat lembut, namun sesekali menghentak. Saat beberapa waktu lalu menyaksikan tari Bedhaya Ketawang di Surakarta, saya selalu menikmati saat-saat ketika sang penari melirik ke arah penonton.

Pada mulanya, saya memperhatikan gadis yang berkulit putih bersih dan menawan. Namun ketika seorang penari –yang justru tidak begitu cantik—melirik ke arahku, saya langsung berdebar-debar. Sungguh, saya sangat menikmati lirikan-lirikan tersebut. Saya jadi fokus memperhatikannya. Ketika mata saya bertemu dengan mata penari itu, ia tiba-tiba menunduk. Duh…. Saya seolah tersengat listrik. Saya langsung jatuh cinta.

Saya lalu ke balik panggung dan menemui penari itu. Ia menatap saya dengan malu-malu. Suaranya pelan. Kultur Sulawesi saya seakan berontak. Saya ingin berbicara tergesa-gesa. Kalau perlu langsung menyatakan cinta dan ngajak pacaran. Namun menyaksikan wajah yang manis, sorot mata yang lembut namun tajam, tutur kata yang terjaga, serta senyum tertahan,

Seks Jawa Vs Seks Bugis (1)

PERNAH sekali saya menyaksikan tarian sakral Bedhaya Ketawang di Surakarta, beberapa tahun yang lalu. Sembilan orang penari perempuan berwajah rupawan dibalut kain, rambutnya disanggul, dan tubuh bagian atas terbuka. Kulitnya kuning berkilau karena lulur. Mereka menari dengan gerakan yang pelan, namun sarat makna. Kata seorang kawan, para penari haruslah perawan dan tidak sedang menstruasi.

Mengapa harus perawan? Kata kawan itu, tarian ini punya makna yang sacral. Tarian ini hanya dipentaskan sekali sebagai perlambang cinta Nyi Roro Kidul kepada Raja Jawa. Konon, saat tarian ini dipentaskan, Nyi Roro Kidul selalu ikut menari. Ia hendak menyampaikan rasa cinta yang dahsyat kepada Raja Jawa. Ia meminta agar sang raja tetap menemaninya di dasar laut dan tidak usah kembali ke daratan. Menurut satu sumber, tari ini menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati (Sinuhun Paku Buwono X).

Segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi. Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon

Sutra Bugis Melambai di Rusia

ST.PETERSBURG-- Diplomasi budaya melalui adibusana tidak pernah mencapai titik jenuh. Eksplorasi dan promosi kekayaan aneka produk bahan nusantara di luar negeri malah terkesan kurang galak. Tidak heran bila tiba-tiba sutra bugis dan tenun ikat mendapatkan apresiasi demikian tinggi di St. Petersburg, Rusia dalam siaran pers yang diterima redaksi Republika Online, Jumat (28/8)

Rangkaian fashion show Indonesia yang diprakarsai Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Moskow di panggung Petrogradky rayon, Selasa (25/8) tersebut memang cukup langka. Sebanyak 40 gaun wanita dan pria dipentaskan cukup elegan oleh peragawan dan peragawati Rusia yang semampai. Dan ternyata, gaun berbahan asli Indonesia itu terlihat enak dan pas dikenakan oleh menekin Rusia yang bekulit putih sehingga setiap kali tampil maka 500 penonton memberikan apresiasi tepukan yang meriah.

Bumi Langit Karaeng Pattingalloang

Oleh Nirwan Ahmad Arsuka

H
ari itu, I Mangngadaccinna Daeng I Ba’le’ Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang (KP), tengah berdiri menyambut angin semilir dan gemerisik ombak Makassar. Saya bayangkan, di sisi Perdana Menteri Kesultanan Gowa itu, di bawah matahari Februari 1651, berdiri menantunya: I Mallombassi yang kelak menjadi Sultan Hasanuddin. Putera KP, Karaeng Karungrung, tampak mencermati buku di tangannya. Sejumlah tubarani (satria) dari istana Tallo dan benteng Sombaopu terlihat juga di sana. Sebagian di antaranya berbaur dengan wajah-wajah Makassar, Bugis, Malaka, Jawa, Campa, Johor, Minang, Patani, India, Cina, Portugis, Spanyol, Denmark, Perancis dan Inggeris.

Di pertengahan abad 17 itu, Makassar adalah bandar paling ramai dan paling kosmopolit di Negeri-negeri Bawah Angin belahan Timur. Dikitari sejumlah benteng yang dibangun dan diperluas sejak seratusan tahun yang silam, di bawah Raja Gowa IX Karaeng Tumapa’risi’ Kallona, pusat kerajaan Gowa – Sombaopu – menjadi kota antarbangsa dengan keragaman penduduk tertinggi dalam 600 tahun sejarahnya.

Ketika Malaka jatuh di bawah hantamam meriam Portugis pada 1511, sejumlah satria Melayu yang menampik kekalahan tersebut, pindah beramai-ramai ke Siang (Pangkajene Kepulauan). Mereka kemudian hijrah ke Sombaopu setelah mendapat jaminan perlindungan tertulis dari Raja Gowa X Karaeng Tunipalangga. Jaminan yang memberi kesempatan kepada segala jenis manusia yang melintas di Nusantara hak menegakkan semacam hukum ektrateritorial itu,

Kisah Passompe' dari SempangngE

Dari Pa'balu' Lipa' Sabbe ke Pangempang Muara, dari SempangngE ke Mangkupalas
 
Potret Transformasi geografis dan sosiologis lelaki bugis
Oleh: Wijanna LaNori

Orang sekitar akrab memanggilnya La Caba’, lelaki 35 tahun asal SempangngE, Wajo. Nama lengkapnya Baharuddin Ompeng, beristrikan Nurdiana, wanita Bugis kelahiran Samarinda dan memiliki anak angkat/keponakan bernama Wahyu, 6tahun. Di usianya yang tergolong muda itu, orang awam akan menaksir usianya 10tahun lebih tua. Perawakannya kecil agak membungkuk, rambut gondrong jauh dari kesan rapi, berkulit gelap mengkilap seakan terbakar, buah dari hasil mangempangnya di Muara Badak selama lebih kurang 5 tahun. La Caba’ tergolong gesit dan tangkas, murah senyum dan senang bercanda dengan orang lain. Dulunya dia adalah seorang pabbalu lipa’ yang merantau dari kampung ke kampung di luar pulau Sulawesi. Sempat menginjak tanah Sumatera, Kalimantan bahkan Kupang untuk berjualan lipa sabbe hasil tenunan Sengkang, tepatnya daerah SempangngE, tempatnya dilahirkan. Namun kini, dia adalah petani petambak, atau dalam bahasa lokalnya, pangempang. Dari hasil mangempangnya yang seluas 7 hektar itu, dia dapat membeli sebidang tanah rawa di Mangkupalas, Samarinda Seberang dan membangun sendiri, sebuah rumah kayu panggung diatasnya.

Di penghujung tahun 1980an, selepas SMA di SempangngE, La Caba’ turut beserta pemuda-pemuda sekampungnya massompe (merantau) ke luar Sulawesi, dengan menjadi pabbalu lipa’ sabbe, pedagang sarung Sutera (lipa sabbe’) berkeliling Indonesia. Umumnya, daerah yang dituju

Masih ada passompe' pabbalu lipa'

Beberapa malam yang lalu saya kedatangan tamu, La Nuhong, paman saya yang tinggal di Ujung Baru, Sempangnge, Wajo, bersama 3 orang rekan nya dari Sempangng. Mereka adalah pabbalu lipa’ yang sedang berjualan di sekitar Balikpapan. Awalnya saya kaget mereka datang, dengan mengendarai 2 sepeda motor ber-plat DD (plat nomor Sulawesi Selatan), mengunjungi rumah saya di Balikpapan. Kekagetan saya dikarenakan kenyataan bahwa masih ada pabablu lipa’ di zaman serba praktis ini. Sepengetahuan saya, Sarung sutra asal Sengkang sudah banyak dijual di mall-mall di seluruh Indonesia, bahkan saya pernah menemukan seorang Batak berjualan Sarung Sutra asal Sengkang di atas jembatan penyeberangan UKI, Jakarta Timur. Jadi kita hanya perlu ke pasar/mall untuk mencari sarung sengkang, tak perlu menunggu kiriman saudara di kampung, apalagi menunggu pabbalu lipa’ datang berkunjung ke rumah.

Sewaktu masih kanak-kanak di Pannampu, rumah saya sering menjadi tempat persinggahan (transit) para pabbalu lipa’ ini, karena kebetulan Makassar merupakan juga pelabuhan penyebeerangan ke pulau-pulau lainnya di seluruh Indonesia. Tujuan utama mereka Kalimantan, Papua, atau Sumatera. Setiap mereka datang, aroma khas lipa’ sabbe (sarung sutera) dan lipa’ cello (sarung berbenang non sutra) selalu menjadi kenangan tersendiri, selain tentu saja kelakar para pabbalu lipa’ yang terkenal pandai bercerita sambil berguyon. Lipa’-lipa’ tak ber merk (no brand) ini dibungkus dalam kain sarung besar, pernah sewaktu kanak-kanak itu saya mencoba mengangkat gulungan yang mungkin mencapai 400 sarung, namun tak pernah berhasil.

Kemampuan Menyesuaikan Diri Manusia Bugis

Oleh:Anhar Gonggong

Jika pada tahun 1996 ”karya besar” Lombard yang diterjemahkan dengan judul Nusa Jawa: Silang Budaya diterbitkan oleh Gramedia, pada tahun yang sama sarjana ahli berkebangsaan Perancis yang lain, Christian Pelras, juga telah membuahkan hasil yang tak kurang raksasanya, The Bugis, diterbitkan oleh Blackwell di London.

Karya Pelras itu, yang oleh Nirwan Ahmad Arzuka, salah seorang penyunting terjemahan dan memberi pengantar pada terbitan terjemahan bahasa Indonesia, disebut sebagai karya yang bagaikan ”intan”, kini diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Nalar yang didukung oleh Forum Jakarta-Paris. Dengan penerbitan karya besar itu, tidak hanya lingkungan terbatas masyarakat ilmu pengetahuan dan orang Bugis saja yang mendapat peluang untuk lebih memahami salah satu suku bangsa yang memiliki dinamika untuk bertahan hidup, tetapi juga kesempatan untuk lebih memahami orang, manusia Bugis itu terbuka kepada bangsa Indonesia pada umumnya.

Dari segi perspektif situasi bangsa-negara Indonesia yang majemuk-multikultur, karya Pelras yang diterjemahkan dengan Manusia Bugis itu mempunyai arti yang tidak kecil, karena ternyata walau kita sudah membangun keadaan dan menciptakan diri sebagai bangsa yang satu

Rupama Cerita Rakyat Makassar

Rupama atau ceritera rakyat Makassar yang berkembang secara lisan di tengah masyarakat pendukungnya telah diabadikan dan disusun menjadi sebuah buku oleh Zainuddin Hakim. Kumpulan ceritera itu hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah ceritera yang tersebar secara lisan di Makassar. Dalam kumpulan ini penyusun mengelompokkan ceritera rakyat itu menjadi dua jenis, yakni ceritera kepercayaan dan ceritera binatang. Berikut ini akan dikemukakan judul ceritera tersebut.

Kumpulan ceritera kepercayaan terdiri atas: (1) Ceritera Pung Tedong (Kerbau) Bersama Tiga Orang Putra Raja; (2) Sebab Musabah Ikan Hiu Tidak Dimakan (Dalam Satu Keluarga); (3) I Kukang; (4) Kisah Percintaan; (5) Ceritera Musang Berjanggut; (6) Kisah Orang yang Tujuh Anaknya; (7) Dua Orang Bersahabat; (8) Orang yang Durhaka kepada Orang Tuanya; (9) Kisah Tinuluk; (10) Dua Orang Bersaudara. Kumpulan ceritera bintang terdiri atas: (1) Ceritera Pelanduk dan Buaya; (2) Ceritera Buaya dengan Kerbau; (3) Monyet dengan Kura-kura; (4) Kisah Rusa dengan Kura-Kura; dan (5) Kisah Pelanduk dengan Macan.

Rupama atau ceritera rakyat tersebut berfungsi sebagai hiburan dan sebagai sarana