Oleh Daeng Gassing
Hari pertama masuk kantor selepas libur Idul Fitri. Seperti biasa, semua orang saling bersalam-salaman, memohon maaf dan saling memaafkan. Tak lupa bertukar cerita seputar perayaan Idul Fitri. Seorang teman yang baru saja mudik dari kampung halaman menyodorkan beberapa biji tape ketan hitam, kontan air liur saya terasa membasahi rongga mulut. Tape ketan hitam adalah salah satu panganan favorit saya yang biasanya banyak beredar di seputaran Idul Fitri.
Orang Bugis-Makassar menyebutnya tape saja, sementara orang Jawa biasa menyebutnya tape ketan hitam karena di beberapa tempat di Jawa, tape berarti singkong yang diragi. Di Makassar, singkong yang diragi itu disebut poteng. Tape ketan hitam- atau yang selanjutnya disebut tape saja – adalah salah satu makanan khas lebaran bagi orang-orang Bugis. Sebenarnya makanan yang rasanya kecut plus manis ini tak hanya ada di hari raya, tapi sepertinya hari raya kadang rasanya tak lengkap tanpa tape.
Di Sulawesi Selatan tape juga lebih identik dengan suku Bugis meski di beberapa tempat di basis warga suku Makassar kadang ada juga yang menyajikan tape di hari lebaran. Beberapa kabupaten yang dihuni warga bersuku Bugis seperti Barru, Pare-Pare, Pinrang, Sidrap, Soppeng, Sengkang dan Bone dikenal sebagai produsen tape terbaik di Sulawesi Selatan. Tak heran jika banyak pemudik yang baru saja kembali dari daerah-daerah itu selalu membawa serta tape sebagai oleh-oleh untuk para tetangga atau teman di kota Makassar.
Membuat tape ini gampang-gampang susah. Tidak sembarang orang yang bisa membuat tape dengan kualitas