Ketika ditemubual akhbar The Straits Times kelmarin, beliau berkata penduduk Jakarta menerima timbalan gabenor daripada etnik China, apabila melantik gabenor baru, Joko Widodo dan timbalannya, Basuki Tjahaja Purnama, tahun lalu.
Rakyat Sedia Terima Presiden Bukan Jawa
Ketika ditemubual akhbar The Straits Times kelmarin, beliau berkata penduduk Jakarta menerima timbalan gabenor daripada etnik China, apabila melantik gabenor baru, Joko Widodo dan timbalannya, Basuki Tjahaja Purnama, tahun lalu.
Laksamana Raja Di Laut Keturunan Bugis Wajo
Sementara itu, asal mula nama Bengkalis diambil dari kata “Mengkal” yang berarti sedih atau sebak serta “Kalis” yang berarti tabah, sabar dan tahan ujian.
Sejarah Bengkalis bermula ketika Tuan Bujang alias Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah mendarat di Bengkalis pada tahun 1722. Sultan yang juga menguasai wilayah Siak disambut oleh batin (kepala suku) Senggoro dan beberapa Batin lainnya.
Para Batin meminta Sultan agar membangun kerajaan di Bengkalis, sebagai wujud rasa hormat mereka. Melalui musyawarah dengan sejumlah Datuk di wilayah pesisir Riau pada tahun 1723, disepakati pusat kerajaan didirikan di dekat Sabak Aur yakni di sungai Buantan salah satu anak Sungai Siak.
Bengkalis pernah menjadi basis awal kerajaan Siak. Sejarah juga mencatat, semasa Belanda berkuasa, di Bengkalis pernah diduduki residen pesisir timur pulau Sumatera. Saat itu, Bengkalis sudah menunjukkan peran penting dalam arus lalu lintas niaga di selat Melaka, terutama sebagai persinggahan saudagar yang keluar masuk sungai Siak.
Strategisnya posisi Bengkalis sebagai lalu lintas niaga menyebabkan Pemkab setempat meletakkan pembangunan pelabuhan penumpang bertaraf internasional di Selat Baru sebagai salah satu prioritas pembangunan di era otonomi. Kehadiran pelabuhan tersebut diharapkan memperlancar transportasi ke dan dari Malaysia.
“Jarak tempuh ke Malaysia dari Bengkalis hanya 45 menit. Padahal selama ini jika ditempuh dari Kota Dumai bisa mencapai dua jam,” ujar Bupati Bengkalis.
Pembangunan pelabuhan ini juga dilakukan sebagai salah satu upaya mempercepat
Bangsawan Gowa Dikenang sebagai Pejuang Srilanka
Nama tersebut bisa jadi terasa asing di Indonesia, termasuk di tanah asalnya, Gowa. Namun tidak bagi masyarakat Colombo atau Sri Lanka.
Demikian salah satu bagian diskusi Rumah Nusantara yang digelar di kantor Tribun, Senin (12/7). Diskusi menghadirkan sejumlah akademisi seperti antroplog Dr Halilintar Latief MPd, Ishak Ngeljaratan, KH Dahlan Yusuf, dan dosen/peneliti dari Leiden Institute for Area Studies/ School of Asian Studies, Suryadi.
Sejumlah tokoh lintas etnis dan budaya juga hadir dalam diskusi yang berlangsung hangat namun tetap diselingi dengan canda tawa dari peserta diskusi.
Karaeng Sangunglo disebutkan sebagai putra Raja Gowa Ke-26 (1753), Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa, yang memilih pindah ke tanah kelahiran ibunya di Bima karena kuatnya intimidasi Belanda di Gowa kala itu.
Pada 1767, tanpa alasan yang jelas, Sultan Fakhruddin ditangkap dan dibuang ke Ceylon. Di sanalah putranya Karaeng Sangunglo menjadi pahlawan Melayu dan menjadi legenda di Ceylon.
Awalnya, Karaeng Sangunglo adalah anggota dari Resimen Melayu Ceylon (semacam pasukan khusus bentukan Belanda) yang kemudian dilikuidasi oleh Inggris tahun 1796 hingga berubah nama menjadi The Ceylon Rifle Regiment.
Membelot
Saat VOC melakukan agresi besar-besaran di wilayah Kandy, Ceylon pada 1761, Karaeng
Sitti Hapipa The Real Kartini
Jakarta- Sepucuk surat dalam naskah kuno beraksara Jawi mengungkapkan sejarah penting dinasti Kerajaan Goa. Ahli filologi dan peneliti dari Leiden University, Belanda, Suryadi, menemukan bagian penting yang selama ini belum terungkap dalam buku-buku sejarah di Indonesia. Sejarah penting itu dalam sepucuk surat Sitti Hapipa yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, yang ketika itu dijabat Albertus Henricus Wiese (1805-1808).
Surat penting Sitti Hapipa dari pengasingannya di Colombo, Ceylon (sekarang Sri Lanka), itu selama ini telah menjadi koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden. Suryadi memaparkan temuannya itu dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara 12 di Universitas Padjadjaran Bandung.
”Meskipun sudah banyak kajian yang dibuat mengenai (per)surat(an) Melayu lama, surat-surat dari tanah pembuangan belum banyak dibicarakan, bahkan terkesan sedikit terlupakan. Padahal, surat-surat tersebut mengandung berbagai informasi yang berharga mengenai kehidupan orang-orang yang dibuang Belanda di negeri asing tempat mereka menjalani sisa hidupnya, bahkan tak jarang berkubur di sana,” kata Suryadi ketika berbincang-bincang dengan Kompas, Minggu (10/8) di Jakarta.
Mengingat kandungan data historis yang dimiliki surat tersebut, transliterasinya yang akan diterbitkan sebuah jurnal di Indonesia dapat dimanfaatkan oleh peneliti di luar bidang ilmu filologi dan sastra Melayu lama.
Kehidupan sultan
Menurut Suryadi, isi surat Sitti Hapipa memberikan sejumlah informasi akurat mengenai kehidupan Sultan Fakhruddin beserta keluarga besarnya (dengan 12 anak dan cucu-cucu) di
Karaeng Sangunglo dan Heroisme Bugis di Sri Lanka
Siapakah Karaeng Sangunglo? Inilah hikayat tentang dirinya, dirangkai dari serpihan data sejarah yang terserak dalam laporan orang Eropa, surat kabar, majalah dan buku-buku tua, naskah-naskah bertulisan Jawi, dan juga beberapa sumber kedua.
Pulau Sumbawa suatu hari di tahun 1767. Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa sedang berada di ibukota Kerajaan Bima, penghasil kayu sepang sekeras paku yang digemari Belanda, madu, sarang burung, dan….budak. Baginda adalah Sultan Gowa ke-26 (naik tahta 1753). Ayahnya, Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742-1753) mempersunting ibunya, Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731-1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga (1711-1713).
Sultan Fakhruddin sedang gundah karena intimidasi politik Belanda di Gowa, juga karena intrik dalam keluarganya sendiri. Hatinya risau dan pikirannya kacau. Ia tinggalkan Istana Gowa dan pergi ke Bima, tanah kelahiran Ibundanya, untuk menenangkan jiwa. Para bangsawan Gowa
Petualangan Orang Makassar di Negeri Siam (Muangthai)
Bumi Langit Karaeng Pattingalloang

Hari itu, I Mangngadaccinna Daeng I Ba’le’ Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang (KP), tengah berdiri menyambut angin semilir dan gemerisik ombak Makassar. Saya bayangkan, di sisi Perdana Menteri Kesultanan Gowa itu, di bawah matahari Februari 1651, berdiri menantunya: I Mallombassi yang kelak menjadi Sultan Hasanuddin. Putera KP, Karaeng Karungrung, tampak mencermati buku di tangannya. Sejumlah tubarani (satria) dari istana Tallo dan benteng Sombaopu terlihat juga di sana. Sebagian di antaranya berbaur dengan wajah-wajah Makassar, Bugis, Malaka, Jawa, Campa, Johor, Minang, Patani, India, Cina, Portugis, Spanyol, Denmark, Perancis dan Inggeris.
Di pertengahan abad 17 itu, Makassar adalah bandar paling ramai dan paling kosmopolit di Negeri-negeri Bawah Angin belahan Timur. Dikitari sejumlah benteng yang dibangun dan diperluas sejak seratusan tahun yang silam, di bawah Raja Gowa IX Karaeng Tumapa’risi’ Kallona, pusat kerajaan Gowa – Sombaopu – menjadi kota antarbangsa dengan keragaman penduduk tertinggi dalam 600 tahun sejarahnya.
Ketika Malaka jatuh di bawah hantamam meriam Portugis pada 1511, sejumlah satria Melayu yang menampik kekalahan tersebut, pindah beramai-ramai ke Siang (Pangkajene Kepulauan). Mereka kemudian hijrah ke Sombaopu setelah mendapat jaminan perlindungan tertulis dari Raja Gowa X Karaeng Tunipalangga. Jaminan yang memberi kesempatan kepada segala jenis manusia yang melintas di Nusantara hak menegakkan semacam hukum ektrateritorial itu,
Masuknya Etnis Bugis di Kalimantan Barat
Atas permintaan Sultan Zainuddin untuk mengatasi perang saudara di kerajaannya, kemudian datang pula Upu Daeng Manambon asal Luwuk bersama saudara-saudaranya, Upu Daeng Merewah, Upu Daeng Perani, Upu Daeng Celak dan Upu Daeng Kemasi. Mereka berhasil memenangi perang tersebut. Upu Daeng Manambon kemudian digelari Pangeran Emas Surya Negara dan menikahi Puteri Kesumba, anak Sultan Zainuddin dengan Utin Indrawati dari Kerajaan Mempawah. Daeng Menambon kemudian menggantikan Panembahan Senggauk sebagai raja di Mempawah. Untuk mengenang kedatangan Daeng Menambon ke Mempawah, hingga kini masyarakat Mempawah mengadakan upacara robo'-robo'.
Dalam perkembangannya, orang Bugis kini tersebar di seluruh wilayah Kalimantan Barat dan membaur dengan etnis lain yang ada, terutama Melayu. Di Ketapang mereka menetap di
Kemampuan Menyesuaikan Diri Manusia Bugis
Jika pada tahun 1996 ”karya besar” Lombard yang diterjemahkan dengan judul Nusa Jawa: Silang Budaya diterbitkan oleh Gramedia, pada tahun yang sama sarjana ahli berkebangsaan Perancis yang lain, Christian Pelras, juga telah membuahkan hasil yang tak kurang raksasanya, The Bugis, diterbitkan oleh Blackwell di London.
Karya Pelras itu, yang oleh Nirwan Ahmad Arzuka, salah seorang penyunting terjemahan dan memberi pengantar pada terbitan terjemahan bahasa Indonesia, disebut sebagai karya yang bagaikan ”intan”, kini diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Nalar yang didukung oleh Forum Jakarta-Paris. Dengan penerbitan karya besar itu, tidak hanya lingkungan terbatas masyarakat ilmu pengetahuan dan orang Bugis saja yang mendapat peluang untuk lebih memahami salah satu suku bangsa yang memiliki dinamika untuk bertahan hidup, tetapi juga kesempatan untuk lebih memahami orang, manusia Bugis itu terbuka kepada bangsa Indonesia pada umumnya.
Dari segi perspektif situasi bangsa-negara Indonesia yang majemuk-multikultur, karya Pelras yang diterjemahkan dengan Manusia Bugis itu mempunyai arti yang tidak kecil, karena ternyata walau kita sudah membangun keadaan dan menciptakan diri sebagai bangsa yang satu
Perjuangan Opu Daeng Risaju di Sulawesi Selatan (1930-1950)
Konflik dan kekerasan merupakan suatu fenomena historis yang bisa terjadi dalam hubungan antara negara (kekuasaan) dengan individu. Konflik biasa muncul manakala cita-cita individu bertentangan dengan kemauan negara. Individu biasanya akan terus memperjuangkan cita-citanya baik dalam bentuk gagasan maupun aksi. Sedangkan negara akan terus berusaha untuk menekan aktivitas individu, agar jangan sampai aktivitas individu dapat membahayakan stabilitas negara. Upaya negara untuk menekan individu dapat sampai pada tingkat bentuk tindak kekerasan.
Fenomena tersebut di atas biasa terjadi dalam sebuah kekuasaan negara yang otoriter. Dalam kekuasaan ini kebebasan individu dikekang. Negara memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap diri individu. Individu harus tunduk pada peraturan-peraturan yang dibuat negara. Peraturan-peraturan yang dibuat biasanya dalam model kekuasaan yang seperti ini adalah peraturan yang dapat melanggengkan kekuasaan.
Sejarah Orang Bugis

Orang bugis juga memiliki kesastraan baik itu lisan maupun tulisan. Berbagai sastra tulis berkembang seiring dengan tradisi sastra lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan disalin ulang. Perpaduan antara tradisi sastra lisan dan tulis itu kemudian menghasilkan salah satu Epos Sastra Terbesar didunia Yakni La Galigo yang naskahnya lebih panjang dari Epos Mahabharata.

Bagi orang bugis menjadikan islam sebagai Integral dan esensial dari adat istiadat budaya mereka. Meskipun demikian pada saat yang sama berbagai kepercayaan peninggalan pra-islam tetap mereka pertahankan sampai abad ke 20 salah satu peninggalan dari jaman pra islam itu yang mungkin paling menarik adalah Tradisi Para Bissu (Pendeta Waria).
Diaspora Bugis Makassar di Negeri Rantau
Banyak alasan yang membuat masyarakat BM melakukan perantauan. Jika ditengok ke belakang, pelayaran dan penjelajahan ke negeri seberang sudah menjadi tradisi kuno, bahkan
Hubungan Aceh Dengan Bugis Dalam Catatan Sejarah
I. Pendahuluan
Berbicara tentang hubungan antara Aceh dengan Bugis tidak lepas dari membicarakan jalur perdagangan di Nusantara pada awal abad 15. Sejak zaman kuno pelayaran dan perdagangan dari Barat dan negeri Cina memerlukan pelabuhan tempat persinggahan untuk tempat mengambil bekal dan menumpuk barang. Selama beberapa abad fungsi emporium tersebut dijalankan oleh kerajaan Sriwijaya. Merosotnya kerajaan Sriwijaya pada akhir abad XIII menyebabkan fungsi itu terpencar ke beberapa daerah di Nusantara antara lain di Pidie dan Samudera Pasai.[1] Namun, pada abad 15 Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan yang paling ramai hingga Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Hal ini berdampak kemunduran sedikit demi sedikit pada pusat perdagangan. Kemunduran Malaka memunculkan Aceh sebagai pusat perdagangan yang disinggahi oleh para pedagang muslim yang tidak mau berhubungan dengan Portugis.
Penyelenggaraan perkapalan dan perdagangan di kota-kota pelabuhan menimbulkan jalur komunikasi terbuka, sehingga terjadi mobilitas sosial baik horizontal maupun vertikal, serta perubahan gaya hidup dan nilai-nilai. Penyebaran agama Islam yang dibawa oleh kaum pedagang, perkawinan antar suku tidak terlepas dari adanya jalur perdagangan internasional pada masa lalu.
Gusti Jamiril tokoh ulama, raja dan pahlawan
DALAM Halaman Agama, Utusan Malaysia, Isnin, 12 Jun 2006, telah diceritakan kisah Raja Haji, Pahlawan Teragung Nusantara, iaitu saudara sepupu Gusti Jamiril. Gusti Jamiril ialah putera Upu Daeng Menambon. Raja Haji pula ialah putera Upu Daeng Celak.
Upu Daeng Menambon dan Upu Daeng Celak ialah adik-beradik. Kajian awal saya tentang riwayat mereka adalah bersumberkan Salasilah Melayu dan Bugis, Tuhfat an-Nafis. Kedua-duanya ialah kitab karangan Raja Ali Haji.
Selain kedua-dua karya tersebut, beberapa versi tulisan tangan naskhah Mempawah dan Pontianak juga menjadi sumber saya. Selain yang terakam berupa tulisan, cerita lisan juga saya dengar di Mempawah dan Riau.
Perlu juga saya sebutkan di sini bahawa Gusti Jamiril sebenarnya ada peranan yang tersendiri dalam kedua-dua karya Raja Ali Haji yang dinyatakan itu kerana sejarah asalnya berdasarkan tulisan Upu Daeng Menambon dengan tulisan dan bahasa Bugis. Yang menterjemahkannya daripada bahasa Bugis ke bahasa Melayu ialah Gusti Jamiril.
Terjemahan Gusti Jamiril itulah yang diproses oleh Raja Haji Ahmad, iaitu putera Raja Haji, tetapi tidak sempat diselesaikan lalu disambung oleh putera beliau, Raja Ali Haji. Gusti Jamiril digelar juga dengan gelaran Penembahan Adiwijaya Kesuma Jaya. Beliau mangkat pada waktu Zuhur, hari Ahad, bulan Zulkaedah 1204 H/Julai 1790.
Pada judul artikel ini saya nyatakan bahawa Gusti Jamiril ialah ulama, raja dan pahlawan. Ketiga-tiganya dapat dibuktikan.
Persyaratan seorang ulama bermula dengan pengetahuan alat Arabiyah, seperti ilmu nahu, ilmu sharaf, dan lain-lain, serta pelbagai bidang ilmu Islam yang lain. Gusti Jamiril sempat belajar segala persyaratan itu dengan Saiyid Husein al-Qadri (Mufti Mempawah yang pertama) dan Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani (Mufti Mempawah yang ke-2).
Walau bagaimanapun, sistem mendidik kedua-dua ulama itu adalah berbeza. Saiyid Husein al-Qadri yang berasal dari negeri Arab, mengutamakan lughah Arabiyah. Sedangkan Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani, yang berasal dari Patani, memperkenalkan sistem pendidikan pondok seperti di Patani. Sistem Pondok Patani lebih mengutamakan kecermatan dalam membaca setiap kitab bahasa Arab. Dalam hal ini penting seseorang ulama menguasai ilmu nahu, ilmu sharaf, dan semua ilmu alat Arabiyah.
Bukti Gusti Jamiril menguasai ilmu-ilmu Islam disebut oleh Raja Ali Haji dalam Salasilah Melayu dan Bugis. Sewaktu Gusti Jamiril ke Pinang Sekayuk, antara pertanyaan Pangeran Dipati adalah: “Apakah cundaku tahu mengaji Quran?” Jawab Gusti Jamiril: “Tahu!” Maka baginda menyuruhnya membaca al-Quran. Maka membacalah Gusti Jamiril. Dalam dua maqra' beliau berhenti.
“Apakah cundaku sudah mengaji nahu dan sharaf?” Maka dijawab Gusti Jamiril: “Tahu!” Maka disuruhnya ertikan ayat al-Quran yang dibaca itu.
Maka diertikan lafaz maknanya. Selain sebagai seorang yang menguasai ilmu yang banyak, Gusti Jamiril juga sangat kuat berwirid. Amalan yang tiada ditinggalkannya ialah tilawah al-Quran, selawat atas Nabi Muhammad s.a.w., zikir dan lain-lain. Selawat yang diamalkannya ialah ‘Shalawat Dalail al-Khairat’. Amalan selawat tersebut juga tidak pernah ditinggalkan oleh Raja Haji asy-Syahid fi Sabilillah Yang Dipertuan Muda Riau Ke-IV, saudara sepupu Gusti Jamiril.
KERAJAAN MEMPAWAH
Upu Daeng Menambon, Raja Mempawah yang pertama, mangkat pada 26 Safar 1174 H/7 Oktober 1760 M (riwayat lain baginda mangkat tahun 1166 H/1752 M). Baginda diganti oleh puteranya yang bernama Gusti Jamiril, diberi gelar ‘Penembahan Adiwijaya Kesuma Jaya’, atau selanjutnya disingkat kepada Adiwijaya saja. Pada zamannya pusat pemerintahan Mempawah dipindahkan dari Sebukit Raya ke Pulau Pedalaman, Mempawah Hilir. Namun setelah terjadi perselisihan dengan Belanda, Penembahan Adiwijaya terpaksa memindahkan pusat pemerintahan dari Pulau Pedalaman, Mempawah ke Hulu Mempawah iaitu satu lokasi yang sangat jauh yang dinamakan Karangan.
Penembahan Adiwijaya ialah seorang ulama dan raja yang tidak mahu ditakluk penjajah Belanda. Baginda lebih sedia dan setia mengikut jejak langkah perjuangan saudara sepupunya, Raja Haji (Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga Ke-IV) yang gugur sebagai syahid fi sabilillah di Melaka. Ia merupakan langkah yang sama seperti anak saudara sepupunya, Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga Ke-V, yang ketika itu terpaksa berhijrah menyusun strategi di Sukadana.
Pihak Belanda menuduh Adiwijaya bersekongkol dengan pahlawan yang berasal dari Riau itu. Oleh sebab Belanda tidak dapat mengesan apatah lagi menangkap Raja Ali, maka tekanan yang sangat keras dikenakan ke atas Adiwijaya kerana hanya baginda sendiri mampu menyembunyikan Raja Ali.
Padahal ketika itu Raja Ali yang sangat faham keadaan maritim bukan setakat berada di Sukadana tetapi kadang-kadang berada di Kepulauan Tambelan. Kadang-kadang beliau berada di Kepulauan Siantan dan tempat-tempat lain.
Akibat Penembahan Adiwijaya tidak mahu dijajah oleh bangsa asing yang bukan Islam, maka kolonial Belanda dengan dalih untuk pemulihan yang disebut Rusten en orde (Ketenteraan) mengirim pasukan tentera penjajah itu dari Pontianak menyerang Mempawah. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1787 M. Oleh sebab pendengaran, penciuman dan pandangan Penembahan Adiwijaya untuk mengetahui kondisi dan situasi dalam keadaan aman dan perang memang hebat, ternyata yang diserang hanyalah tempat yang telah dikosongkan. Penghijrahan Penembahan Adiwijaya bersama dengan pengikut-pengikut setia baginda dari Pulau Pedalaman Mempawah Hilir ke Karangan Mempawah Hulu dilakukan sekitar 1786.
Setelah kekosongan pentadbiran Mempawah, Syarif Abdur Rahman al-Qadri, Sultan Pontianak, saudara ipar Penembahan Adiwijaya, mengambil langkah bijaksana dengan melantik putera beliau, Pangeran Syarif Qasim al-Qadri menjadi Raja di Mempawah.
Ibu Syarif Qasim al-Qadri ialah Utin Cenderamidi iaitu adik-beradik Penembahan Adiwijaya. Jadi Pangeran Syarif Qasim al-Qadri masih layak menjadi Raja di Mempawah kerana beliau ialah cucu Upu Daeng Menambon. Walau bagaimanapun perang antikolonial Belanda di sana-sini masih berlaku yang melibatkan Gusti Jati dan Gusti Mas, kedua-duanya putera Adiwiyaja.
Makam
Kedua-duanya dapat membentuk pasukan gabungan Melayu dan Dayak. Tempat-tempat yang pernah tercetus perang antaranya ialah di Galah Herang, Sebukit Rama, di sekitar makam Upu Daeng Menambon dan Sangking.
Perang di Mempawah itu berlarutan hingga tahun 1788 M. Pada tahun itu pula Sultan Mahmud dan Bendahara Abdul Majid Pahang mengirim utusan ke Mempawah mengajak pihak Mempawah dan Raja Tempasok untuk menyerang Belanda yang telah menjajah Riau. Situasi Mempawah sangat gawat, maka pihak Mempawah tidak bersedia untuk membantu Sultan Mahmud Riau. Begitu juga Raja Tempasok kerana penentangan masih ditumpukan kepada pihak Belanda yang telah menguasai Pontianak dan akan menjajah Mempawah pula.
Sewaktu utusan Riau datang ke Mempawah, pada waktu itulah terjadi pergaduhan antara orang-orang Cina dengan orang-orang Melayu di sekitar Kuala Mempawah. Diriwayatkan bahawa pergaduhan itu terjadi kerana orang-orang Cina yang terlibat dengan organisasi rahsia mereka di Mandor telah mengambil kesempatan membantai orang Melayu dan Bugis ketika terjadi peperangan antara Melayu-Bugis dengan Belanda.
Muncullah pahlawan-pahlawan Riau dan Patani yang gagah perkasa. Orang Cina yang beratus-ratus hanya dihadapi oleh tiga orang. Mereka ialah Habib Syaikh, yang terkenal dengan keramatny dan Tengku Sembob yang terkenal dengan kegagahan dan kehandalannya bermain senjata. Kedua-dua mereka berasal dari Riau.
Yang seorang lagi ialah Abdur Rahman yang digelar orang dengan nama Wak Tapak. Beliau berasal dari Patani. Beliau ialah Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani. Ketiga-tiga mereka yang membela Islam dan bumi Melayu itu termasuk antara orang-orang terdekat dengan Penembahan Adiwijaya yang diriwayatkan ini.
Setelah perang berakhir, beberapa orang putera dan kerabat yang terdekat memujuk Penembahan Adiwijaya supaya berpindah semula ke Pulau Pedalaman Mempawah untuk membangunkan Mempawah kembali. Mereka ingin membina kembali masyarakat Melayu-Bugis yang beragama Islam supaya mereka menjadi penyebar-penyebar Islam dalam lingkungan penduduk suku Dayak yang sebahagian besarnya masih animisme.
Ajakan suci itu pada mulanya diterima oleh Penembahan Adiwijaya, tetapi setelah melakukan sembahyang istikharah berulang-ulang kali, baginda membuat kesimpulan bahawa selagi Belanda, iaitu penjajah, yang tidak seagama dengan baginda masih bercokol di Pontianak, apatah lagi Mempawah memang sudah dalam genggaman Belanda, selama itulah penyebaran Islam akan mendapat hambatan daripada pihak penjajah itu.
Penembahan Adiwijaya berasakan umurnya telah lanjut, seakan-akan baginda tahu ajalnya telah hampir tiba.
Oleh itu sebelum mangkat baginda berwasiat. Bahawa baginda tidak rela jenazahnya dikebumikan di tempat yang pernah dijamah oleh penjajah Belanda. Ketika Penembahan Adiwijaya mangkat terjadi sedikit pertikaian iaitu ada kerabat yang mempertahankan wasiat baginda supaya dimakamkan di Karangan, bumi tempat baginda mangkat yang belum dijamah oleh Belanda.
Golongan kerabat baginda yang lain pula berpandangan bahawa ‘wasiat tinggal wasiat’, dan berpendapat baginda mesti dimakamkan di Pulau Pedalaman Mempawah. Kononnya jenazah Penembahan Adiwijaya dimasukkan ke dalam sebuah peti yang dimuat dalam sebuah sampan lalu dibawa ke hilir menelusuri Sungai Mempawah. Ia dibawa ke Pulau Pedalaman Mempawah.
Semua pengiring dan petugas hairan kerana dengan tiba-tiba air sungai menjadi kering. Sampan yang membawa peti jenazah terkandas. Ternyata peti bertambah ringan, lalu dibuka. Tiba-tiba didapati jenazah Penembahan Adiwijaya tidak terdapat dalam peti itu lagi. Peti yang kosong tiada berjenazah itu terus juga dibawa ke Pulau Pedalaman Mempawah menurut adat istiadat kebesaran raja pada zaman itu.
Hingga kini belum diketahui di manakah sebenarnya makam Penembahan Adiwijaya kerana terdapat dua makam beliau. Makam yang pertama terletak di Karangan (Mempawah Hulu) dan yang sebuah lagi di Pulau Pedalaman (Mempawah Hilir).
Ada beberapa orang ulama yang berasal dari dunia Melayu memiliki makam lebih daripada satu, antaranya Syeikh Yusuf Tajul Khalwati yang makamnya terletak di Afrika Selatan dan Sulawesi Selatan. Makam Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani pula terdapat di Taif dan di Mekah. Terjadinya hal yang demikian semuanya ada sejarah yang tersendiri.
Kredit kepada: http://www.utusan.com.my/
Raja Haji pahlawan teragung Nusantara
MASYARAKAT Melayu masih ramai belum mengetahui bahawa di Melaka ada beberapa orang tokoh dunia Melayu yang terkorban sebagai syuhada kerana membela kemuliaan Islam dan bangsa Melayu.
Mereka sanggup berkorban apa saja, termasuk harta dan nyawa, demi berjuang mengusir penjajah Portugis mahupun Belanda. Di antara sekian ramai yang gugur sebagai syuhada termasuklah seorang ‘ulama’ sufi dunia Melayu yang paling terkenal. Beliau bermakam di Melaka. Ulama yang dimaksudkan ialah Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i yang terkorban sebagai syuhada kerana berperang dengan Portugis.
Sejarah yang penting tentang tokoh besar yang syahid fisabilillah di Melaka juga ialah Raja Haji bin Upu Daeng Celak yang terkorban kerana melawan penjajah Belanda. Saya berpendapat bahawa Raja Haji ialah pahlawan dunia Melayu yang terbesar atau teragung dan terhebat semacam Hang Tuah memandangkan daerah operasinya di daratan dan maritim yang amat luas. Raja Haji inilah yang menjadi topik perbicaraan dalam artikel ini.
Daripada sebelah ayahnya, Raja Haji berasal daripada keturunan raja-raja di tanah Bugis, negeri Luwuk. Di sebelah ibunya pula berasal daripada keturunan raja-raja Melayu. Raja Haji lahir di Kota Lama, di Hulu Sungai Riau, pada tahun 1139 H/1727 M dan wafat pada hari Rabu di Teluk Ketapang, Melaka, 19 Rejab 1198 H/8 Jun 1784 M.
Hubungan dengan ulama
Raja Haji walaupun bukan seorang ulama, namun dibicarakan juga dalam ruangan ini, disebabkan beberapa faktor. Pertama adalah kerana beliau sempat bergaul dengan beberapa orang ulama. Dipercayai beliau sempat berjumpa dengan Saiyid Husein al-Qadri di Mempawah, iaitu guru ayah saudaranya Upu Daeng Menambon. Putera Upu Daeng Menambon bernama Gusti Jamiril ini mendapat pendidikan Islam yang padu. Gusti Jamiril adalah saudara sepupu Raja Haji, kedua-duanya sempat bergaul. Dengan demikian tata cara pergaulan Islam, sekali gus amalan keilmuan saudara sepupunya itu, berpengaruh terhadap Raja Haji.
Dalam masa yang sama Raja Haji dan Gusti Jamiril sempat belajar kepada Syeikh Ali bin Faqih yang berasal dari Patani. Beliau ini ialah Mufti Mempawah yang kedua, menggantikan Saiyid Husein al-Qadri. Makam beliau disebut ‘Keramat Pokok Sena’ terletak di Perkuburan Kampung Pedalaman Mempawah. Hubungan Raja Haji dengan Saiyid Abdur Rahman bin Saiyid Husein al-Qadri, Sultan Pontianak yang pertama juga sangat dekat. Saiyid Abdur Rahman al-Qadri ialah suami Utin Cenderamidi bin Upu Daeng Menambon. Faktor kedua, daripada keturunan Raja Haji ramai yang menjadi ulama di antaranya Raja Ali Haji (cucu beliau) yang sangat terkenal itu. Keturunan beliau yang turut menjadi ulama ialah Raja Haji Umar bin Raja Hasan bin Raja Ali Haji dan lain-lain.
Gelaran yang disandang
Raja Haji menyandang pelbagai gelaran yang diberikan antaranya ialah Engku Kelana (1747M - 1777M), Pangeran Sutawijaya, Yang Dipertuan Muda Riau-Johor IV (1777M - 1784M), Raja Api, Marhum Teluk Ketapang, Marhum Asy-Syahid fisabilillah. Yang terakhir, secara rasmi atas nama sebuah pemerintahan, Raja Haji dianugerahi gelaran Pahlawan Nasional Indonesia memperoleh Bintang Mahaputera Adipradana oleh Presiden Republik Indonesia di Jakarta pada 11 Ogos 1997.
Tahun 1756M - 1758M Raja Haji bersama sepupunya Daeng Kemboja memimpin Perang Linggi melawan Belanda. Perang Linggi melibatkan pasukan-pasukan Melayu yang berasal dari Linggi, Rembau, Klang, Selangor dan Siak.
Sewaktu Syarif ‘Abdur Rahman al-Qadri memerangi Sanggau, Raja Haji ialah sebagai Pahlawan Perang. Perang berlaku pada 26 Muharam 1192H/24 Februari 1778 M sehingga 11 Safar 1192H/11 Mac 1778 M. Raja Haji pula melantik Syarif Abdur Rahman al-Qadri sebagai sultan yang pertama Kerajaan Pontianak sekali gus Raja Haji menyusun kerangka pentadbiran kerajaan itu.
Raja Haji merupakan satu-satunya pahlawan Nusantara yang pernah menjejak kakinya hampir ke seluruh negeri-negeri Melayu. Di antaranya Terengganu, Pahang, Johor, Selangor, Kedah, Langkat, Inderagiri, Jambi, Muntok/Bangka, Pontianak, Mempawah dan lain-lain. Jika kita bandingkan dengan semua pahlawan di Nusantara, seumpama Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan lain-lain, mereka hanya beroperasi di daratan saja dan tidak mengalami perang maritim. Jika kita bandingkan dengan Sultan Hasanuddin, beliau ialah seorang pahlawan maritim saja, tidak banyak pengalaman dalam peperangan di daratan. Kalau ada hanyalah sekitar Sulawesi Selatan.
Kalau kita banding dari segi yang lain pula, bukan bererti memperkecil-kecilkan pejuang yang lain, tetapi sejarah mencatatkan bahawa ramai pejuang ada yang menyerah kepada penjajah. Ada yang tertangkap kerana ditipu secara licik dan lain-lain. Semua yang tersebut berbeza dengan Raja Haji. Beliau lebih rela mati di medan juang daripada menyerah ataupun tertipu oleh pihak musuh. Pada 18 Jun 1784 M Raja Haji terbunuh sebagai syahid fisabilillah dalam peperangan melawan Belanda pimpinan Jacob Pieter van Braam di Melaka. Pasukan Melayu yang tewas bersama Raja Haji dianggarkan sekitar 500 orang. Sebagaimana pada mukadimah yang telah saya nyatakan, “... Raja Haji bin Upu Daeng Celak merupakan pahlawan dunia Melayu yang terbesar atau teragung dan terhebat sesudah Hang Tuah....”
Walau bagaimanapun, haruslah kita sedar bahawa kisah Hang Tuah lebih bercorak mitos. Berbeza dengan Raja Haji. Kisah beliau tercatat sebagai sejarah yang dibuktikan dengan data dan fakta yang tidak dapat ditolak. Oleh itu jika ditinjau dari segi sejarah bererti ‘Raja Haji pahlawan dunia Melayu yang terbesar dan terhebat, bukan Hang Tuah.’
Kejadian aneh
Raja Ali Haji dalam Tuhfat an-Nafis meriwayatkan kejadian aneh terhadap jenazah Raja Haji setelah mangkat dalam keadaan syahid fisabilillah seperti berikut, “Syahdan adalah aku dapat khabar daripada itu daripada orang tua-tua yang mutawatir, adalah sebelum lagi ditanamnya mayat Yang Dipertuan Muda Raja Haji, al-Marhum itu, maka ditaruhnya di dalam peti hendak dibawanya ke Betawi, sudah sedia kapal akan membawa jenazah al-Marhum itu. Maka menantikan keesokan harinya sahaja, maka pada malam itu keluar memancar ke atas seperti api daripada peti jenazah al-Marhum Raja Haji itu. Maka gaduhlah orang Melaka itu melihatkan hal yang demikian itu. Di dalam tengah bergaduh itu kapal yang akan membawa jenazah al-Marhum itu pun meletup, terbakar, terbang ke udara segala isinya serta orang-orangnya. Seorang pun tiada yang lepas.
“Syahdan kata qaul yang mutawatir, tiadalah jadi dibawa jenazah al-Marhum itu pindah ke negeri yang lain. Maka ditanamkan jua di Melaka itu, hingga datang diambil dari negeri Riau adanya. Dan kata setengah qaul yang mutawatir sebab itulah digelar oleh Holanda yang dahulu-dahulu dengan nama Raja Api adanya....” (Tuhfat an-Nafis, Naskhah Terengganu, hlm. 151)
Pada pandangan saya riwayat di atas mencerminkan kemuliaan seseorang yang wafat dalam syahid fisabilillah kerana berjuang untuk kepentingan agama Islam atau memperjuangkan bangsanya, iaitu bangsa Melayu yang dicintainya. Perjuangan demikian mencerminkan kerana patuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Oleh itu tulisan Abdullah Munsyi dalam buku Hikayat Abdullah yang mengatakan bahawa mayat Raja Haji ditanam tempat kandang babi perlu dipertikaikan dan dibahas secara ilmiah. Tulisan Abdullah Munsyi selengkapnya sebagai berikut, “Sebermula di balik kebun kompeni itulah ditanamkan Raja Haji. Iaitu seorang Raja Melayu yang berkuasa adanya. Asalnya iaitu keturunan Bugis. Maka isterinya bernama Ratu Emas. Maka ialah yang telah datang memerangi Melaka pada zaman Holanda – maka adalah daripada zaman itu sampai masa ini (maksudnya hingga masa Abdullah Munsyi menulis hikayatnya, pen:) kira-kira lebih sedikit daripada 60 tahun – maka hampir-hampir dapat Melaka olehnya. Maka berkeliling jajahan Melaka dan kampung-kampung semuanya sudah didapatnya melainkan tinggallah Melaka bulat-bulat sahaja yang belum didapatnya. Maka pada masa itu segala bangsa yang ada di dalam Melaka masuk perang melawan Holanda daripada Melayu, Keling, Cina, Serani masing-masing ada dengan kapitannya dan kepala perangnya. Maka adalah beberapa tahun diperanginya lalu matilah Raja Haji itu dimakan peluru di Tanjung Palas nama tempatnya. Kemudian diambil Holanda mayatnya itu ditanamkan di balik kebun yang tersebut itu. Ada pun khabarnya yang kudengar, tempat itu kandang babi. Kemudian ada kira-kira 20, 30 tahun di belakang datanglah anak buah-anak buah Raja Haji itu dari Lingga dan Riau ke Melaka meminta izin kepada raja Inggeris hendak dipindahkannya kubur itu ke Riau. Maka diberikanlah izin. Lalu dibawanyalah pergi....” (Hikayat Abdullah, hlm. 57 - 58)
Riwayat Abdullah Munsyi tentang Raja Haji ditanam di kandang babi adalah sukar diterima disebabkan: Pertama, jauh berbeza dengan yang ditulis oleh Raja Ali Haji seperti tersebut di atas. Kedua, orang yang wafat keadaannya syahid fisabilillah adalah dimuliakan oleh Allah s.w.t.. Dalam al-Quran disebutkan bahawa “orang-orang yang mati syahid adalah tidak mati, dalam kubur mereka diberi rezeki.” Dalam hadis Nabi s.a.w. pula sangat banyak menyebutkan kelebihan orang yang mati syahid. Pandangan saya ini bukan bererti menuduh Abdullah Munsyi telah melakukan pembohongan dalam tulisannya, kerana beliau sendiri menyebut pada awal kalimatnya, “Ada pun khabarnya yang kudengar”. Oleh itu pelbagai andaian boleh dibuat. Yang pertama, boleh jadi khabar yang didengar itu sengaja diproses oleh pembohong-pembohong daripada kalangan penguasa penjajah ketika itu untuk menghapuskan kebangkitan jihad orang-orang Melayu Islam yang tidak suka negerinya dijajah oleh golongan yang bukan Islam. Kedua, kemungkinan tekanan kuasa penjajah memaksa supaya Abdullah Munsyi menulis sedemikian. Oleh itu kita perlu berfikir dan teliti setiap kalimat dan perkataan yang ditulisnya.
Selain itu jika kita berfikir secara kritis dan membuat analisis secara bebas, khusus pada konteks di atas, memang banyak kalimat ataupun perkataan demi perkataan Abdullah Munsyi mengandung unsur-unsur politik yang menguntungkan pihak penjajah pada zamannya. Sebagai contoh, walaupun Abdullah Munsyi mengakui bahawa Raja Haji adalah seorang Raja Melayu, namun pada sambungan kalimat Abdullah Munsyi menyebut pula bahawa asal Raja Haji adalah keturunan Bugis. Kenapa Abdullah Munsyi tidak menyebut Raja Haji dari sebelah ibunya adalah keturunan Melayu. Di sini dapat diduga, jika disebut Raja Haji orang Melayu semangat orang Melayu untuk berpihak kepada Raja Haji sukar dipadamkan.
Kredit kepada: http://utusan.com.my/
Proud of their Bugis heritage
New Straits Time
Orang Bugis dan Diasporanya di seluruh Indonesia
Orang Bugis atau To Ugi dikenal sebagai suku yang suka bertualang, berdagang, beremigrasi, selain juga sangat dinamis dan berani ambil resiko. Orang Bugis berkerabat dekat dengan orang Mandar di Sulawesi Barat dan orang Makassar di ujung-ujung selatan Sulawesi, meskipun pada akhirnya ada istilah Bugis Mandar dan Bugis Makassar yang menimbulkan persepsi kalau Bugis, Makassar dan Mandar itu sama, padahal sebenarnya berbeda meski ada kemiripan dalam penulisan (sama-sama menggunakan aksara lontara) dan sebagian di busananya.
Sejak sekitar abad ke-16, orang Bugis memeluk Islam dan kerajaan Goa-Tallo mencapai puncak kejayaannya. Namun kemudian Belanda menguasai kawasan tersebut sehingga mengakibatkan banyak orang-orang Bugis kemudian menyebar ke berbagai penjuru Nusantara. Disamping itu, kerajaan Bone yang ada di bagian timur Sulawesi Selatan kemudian bertahan hingga abad ke-19 dan kembali diaspora orang Bugis terjadi.
Kemudian dalam perkembangannya, orang Bugis banyak mempengaruhi sejarah serta sistem pemerintahan diwilayah manapun mereka tinggal. Ada prinsip yang mereka pegang teguh ‘dimanapun bumi dipijak, disitu langit dijunjung’ maksudnya bila mereka datang ke suatu daerah dan dirasa nyaman, maka mereka menganggapnya sebagai kampung halamannya. Dapat disaksikan bahwa pada abad ke-17 dan 18 orang Bugis memperoleh pengaruh di Kerajaan Johor-Riau-Lingga hingga Semenanjung Melayu.
Selain itu juga peran orang Bugis di kawasan timur Indonesia juga sangat besar. Banyak sultan-sultan di kawasan itu yang setidaknya sebagian tubuhnya dialiri darah Bugis. Memang pada masa lalu, orang-orang Bugis dikenal sebagai penjelajah ulung yang ditakuti dimana-mana, dan banyak kelompok lanun Bugis yang kemudian menjadi penguasa, khususnya di kawasan Kepulauan Riau dan Semenanjung.
Selain itu, banyak kelompok perlawanan Bugis seperti Karaeng Galesong yang membantu Trunojoyo dalam melawan Belanda di sepanjang pantai utara Jawa dengan mendirikan markas di Pasuruan pada tahun 1675-1679. Orang Bugis juga banyak yang menjadi prajurit bayaran untuk melindungi kepentingan-kepentingan kerajaan yang mereka tempati. Seperti misalnya di Bali, bahkan sampai Jogjakarta dan Bima.
Diaspora orang Bugis sendiri sangatlah luas, hingga mencakup hampir seluruh wilayah Nusantara (termasuk Singapura dan Malaysia), baik di perkotaan maupun pedesaan. Mereka membangun pemukiman-pemukiman yang kemudian dalam sejarahnya melebur dengan penduduk sekitarnya. Pemukiman orang Bugis di berbagai wilayah sendiri juga sebagian besar penduduknya telah kehilangan bahasa Bugis dan budayanya, serta telah tergantikan oleh bahasa dan budaya penduduk tempat mereka bermukim, terutama sekali di pulau Sumatera, Jawa dan Madura.
Untuk Pulau Sumatera, mereka tersebar di kota-kota bagian timur, khususnya di Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Sedangkan di Pulau Jawa, mereka tinggal di kota-kota utama seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Jogjakarta, Surabaya, Semarang, Malang dan sebagainya.
Di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah, terdapat satu perkampungan Bugis yang ada di dusun Batulawang, desa Kemujan. Penduduk kampung Bugis ini hidup membaur dengan orang Jawa, Madura, Buton dan Bajo yang juga bermukim dikawasan itu.
Daerah Bugisan, Jogjakarta konon juga dulunya adalah pemukiman para prajurit Bugis yang direkrut Raja Jogjakarta dimasa lalu dan kini menjadi bagian kota Jogjakarta.
Sedangkan di Jawa Timur sendiri, banyak kerabat kerajaan Madura yang kawin mawin dengan orang Bugis. Keturunan Bugis ini banyak dijumpai di Sumenep, dan Kepulauan Kangean serta kepulauan Masalembu.
Pulau Bali juga menyimpan beberapa kampung Bugis. Mereka juga adalah keturunan pedagang dan prajurit yang kemudian menetap dan menikah dengan penduduk setempat. Kampung Islam yang banyak dihuni orang Bugis terdapat di Pulau Serangan, Tuban, Kepaon, Tanjung Benoa dan , Kampung Loloan (berbaur dengan keturunan Melayu dari Pahang, Trengganu dan Pontianak), kampung-kampung Islam di kawasan Nusa Penida dan beberapa komunitas kecil baik yang tergabung dalam banjar besar ataupun kampung tersendiri.
Di Nusa Tenggara, banyak pemukiman Bugis yang dijumpai utamanya di kawasan Sumbawa, Flores, Solor, Alor, dan Timor, khususnya di kawasan perkotaan. Bahkan dari segi busana, masyarakat Sumbawa dan Bima banyak terpengaruh oleh Bugis. Dan gelar Kraeng yang dipakai suku Manggarai di Flores juga berakar dari kata Karaeng.
Sedangkan di Pulau Kalimantan, orang Bugis (termasuk Mandar) banyak dijumpai di Kotabaru dan Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan) serta sepanjang pesisir Kalimantan Timur (Pasir sampai Pulau Sebatik) hingga Sabah, Malaysia. Orang Bugis juga bermukim di sepanjang Sungai Mahakam dari Melak di hulu hingga Samboja di hilir sungai. Sarung Tenun Samarinda yang populer itu juga dihasilkan orang-orang Bugis yang ternyata perintis berdirinya kota Samarinda, ibukota Kaltim ini, yang kebanyakan berkonsentrasi di Samarinda seberang.
Lebih besar lagi pengaruh Bugis di Sulawesi, Maluku Utara, Maluku dan Papua dimana di hampir seluruh penjuru pulau bisa dijumpai komunitas-komunitas Bugis, apalagi di pasar-pasar. Dimasa lalu juga, kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan juga setidaknya mendapat pengaruh dari Bugis. Bahkan orang Bugis berdagang sampai di perbatasan Indonesia-Papua Nugini atau kota Merauke, kota tertimur di Indonesia.
Itu hanya sebagian dari persebaran orang Bugis, baik yang sejak berabad-abad silam maupun pendatang-pendatang baru yang datang untuk bekerja atau belajar, utamanya di pulau Jawa.
Banyak sekali orang-orang Bugis yang menjadi orang berpengaruh diberbagai tempat, baik dibidang ekonomi maupun pemerintahan di Indonesia dan sudah dua orang Bugis yang menduduki posisi tertinggi didalam pemerintahan antara lain BJ Habibi dan Jusuf Kalla.
Pendek kata, pengaruh Bugis dalam pembentukan masyarakat Indonesia tidak bisa diabaikan sama sekali. Mereka juga turut berperan serta dalam melawan penjajahan serta memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, jadi tanpa peran serta mereka maka bangsa kita takkan terbentuk seperti sekarang ini.
Sekali lagi...keras, petualang ulung, pedagang ulet dan berani ambil resiko, itu yang saya sukai dari kelompok satu ini.
Bambang Priantono
Kredit kepada: http://bambangpriantono.multiply.com/
Riwayat Kebugisan Najib Tun Razak

Rupanya pajangan itu bermakna penting. Setidaknya untuk mengingatkan Najib akan nenek moyangnya yang rupanya asli Bugis. “Asal usul saya orang Bugis.
Tapi, saya Perdana Menteri untuk semua orang Malaysia,” kata putra sulung mantan PM Malaysia kedua, Abdul Razak, itu. Dari manakah sesungguhnya kebugisaan nakhoda kapal Bugis yang yang kini bersandar di Putrajaya itu? Sejumlah sumber resmi menyebutkan, Datuk Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak adalah keturunan Raja Gowa ke-19 I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Djalil Tumenanga ri Lakiung (1667-1709).
Perihal kebugisan Najib, sebenarnya bukanlah terungkap saat ini. Ayahnya, Tun Abdul Razak ketika masih menjabat Perdana Menteri pada tahun 1973 pernah berkunjung ke Gowa dan berziarah ke makam Sultan Hasanuddin. Saat itu, Tun Abdul Razak menunjuk salah satu nisan dan menyatakan bahwa orang di makam tersebut ada di dalam silsilah keluarganya. Pemilik nisan itu tak lain adalah I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone. Karaeng Sanrobone ini adalah putra Raja Gowa (XVI) I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangappe alias Sultan Hasanuddin. Begitulah ceritanya.
Satu tahun kemudian, Tun Abdul Razak diberi gelar kehormatan masyarakat Gowa, La Tenri Patta Daeng Manesa dan istrinya diberi gelar We Bungawali. Bahkan nama beliau kini diabadikan sebagai nama jalan di daerah itu, Jalan Tun Abdul Razak. Pemberian gelar kehormatan ini juga dilakukan kepada Najib ketika berkunjung ke Gowa. Gelarnya mengambil nama dari neneknya, I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone.
Saya mengetahui sedikit hal ini selain dari berbagai literatur juga silsilah Raja-raja Sulawesi Selatan yang saya miliki. Menurut sejumlah literatur, I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone pernah berpesan kepada anak-anaknya agar ketika dia wafat nanti yang menggantikannya sebagai raja Gowa adalah cucu laki-laki pertamanya, bukan kepada anaknya. Cucu yang dimaksud adalah La Pareppa To Sappewalie Sultan Ismail, putra dari I Mariama Karaeng Patukangang, putrinya.
I Mariama ini menikah dengan Raja Bone La Patau, dan La Pareppa adalah putra pertama mereka. Sebagai catatan bahwa La Pareppa selain menjadi Raja Gowa (XX), juga menjadi Datu Soppeng (XX), serta Raja Bone (XIX). Sebagai Raja Gowa, ada ada sejumlah pendapat yang menyebutkan jika pengangkatan La Pareppa dipermasalahkan oleh Bate Salapang (Dewan dalam kerajaan Gowa) lantaran hanya mewarisi singgasana kerajaan Gowa dari pihak ibunya.
Teru terang, saya kurang sependapat dengan itu. Perlu diketahui bahwa di Sulawesi Selatan itu ada tiga kerajaan besar yang setara (Tellumpoccoe), yaitu Luwu, Gowa dan Bone. Ayah La Pareppa adalah La Patau Matanna Tikka Petta Matinroe ri Nagauleng, Raja Bone (XVI). I Mariama Karaeng Pattukangang memiliki seorang saudara laki-laki dari lain Ibu bernama Muhammad Nazaruddin Karaeng Agang Jene’ atau sebutannya Karaeng Aji. Ibu Karaeng Aji adalah Sitti Aminah, putri Sultan Bima, sedangkan ibu I Mariama adalah Petta Bau Bone.
Sebagai keturunan langsung Raja Gowa, disebutkan dalam sejumlah literatur jika Karaeng Aji merasa lebih berhak menjadi Raja Gowa dari pada La Pareppa. Akan tetapi terlepas dari semua itu, yang pasti Karaeng Aji kemudian memilih pergi merantau. Beliau meninggalkan Gowa pada tahun 1722 menuju Negeri Pahang.
Di sana, Karaeng Aji berhasil menjadi Syahbandar dan mendapat gelar Toh Tuan. Ia kemudian menikahi gadis di negeri Pahang dan memiliki banyak keturunan di sana. Beberapa cucu dan cicitnya di kemudian hari menjadi orang sukses dan nomor satu di Malaysia di antaranya: Tun Najib Razak, Tun Abdul Razak dan Dato Musa Hitam. Itulah riwayat kebugisan Tun Najib. Dan karena itu pula, maka PM Malaysia keenam itu mengatakan, hanya kapal Bugis yang selalu ada di ruang kerjanya sebagai salah satu pajangan yang selalu mengenang sebagai orang keturunan Bugis.
Kredit kepada: http://sejarah.kompasiana.com
Diplomasi Ala Bugis…
Orang bugis sebenarnya mempunyai ciri khas yang menarik. Dari sejarahnya kerajaan bugis didirikan bukan pada pusat-pusat ibu kota dan sangat jauh dari pengaruh India. Itulah sebabnya di Bugis tidak ada candi. Ini berbeda dengan kerajaan jawa yang mebangun pusat kerajaannya pada ibu kota dan bersifat konsentris.
Namun demikian, orang bugis sudah terkenal memiliki kebudayaan, mereka memiliki tradisi lisan maupun tulisan. Bahkan orang bugis memiliki salah satu epos terbesar di dunia yang lebih panjang daripada epos Mahabarata yakni cerita tentang lagaligo yang sampai saat ini sering dibaca dan disalin ulang dan menjadi budaya yang mengakar pada masyarakat bugis.
Bagi suku-suku lain, orang Bugis sering dianggap sebagai orang yang berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan. Bila perlu demi kehormatan, orang bugis bersedia melakukan kekerasan. Namun dibalik sifat itu semua, sebenarnya orang bugis adalah orang yang sangat ramah, menghargai orang lain dan menjunjung tinggi kesetiakawanan, bahkan bersedia menjadi bumper demi kesetiakawanan. (itulah mungkin sebabnya mengapa Golkar pada masa pemerintahan SBY-JK sering menjadi Bumper karena ia dipimpin oleh seorang yang sangat berwatak bugis).
Meskipun sebagai bangsa perantau, orang bugis selalu membawa identitas bugisnya di mana mana. Beberapa orang-orang di singapura dan Malaysia meskipun sudah menjadi warga Negara sana, dan mereka sudah bergaya hidup modern tapi mereka selalu mengaku sebagai orang Bugis meskpiun sudah merupakan keturunan yang kesekian dan belum pernah menginjak tanah bugis.
Begitu juga dengan saya, selama terjun ke dunia politik saya tidak pernah melepas karakter bugis saya yang blak-blakan, dan sering dianggap kurang santun bagi mereka yang sangat menghargai etiket. Tapi itulah saya, saya sering mengatakan kepada teman-teman, jangan paksa saya jadi orang jawa. Menjadi orang bugis dan berkarakter keras kadang berguna juga. Waktu menyelesaikan kasus ambalat untuk pertama kalinya, saat itu saya menggunakan gaya diplomasi ala Bugis yang anda tidak dapatkan dalam literature strategi diplomasi. Waktu itu saya ke Malaysia bertemu dengan Perdana Menteri yaitu Najib. Saat itu ia ditemani oleh 5 Menteri dan saya juga ditemani oleh 5 Menteri plus Dubes kita. Saat pertemuan itu saya bilang ke Najib “Najib…Ambalat itu masalah sensitive, itu bisa membuat kita perang. Kalau kita perang, belum tentu siapa yang menang. Tapi satu hal yang mesti you ingat, di Malaysia ini ada 1 juta orang Indonesia, 1000 orang saja saya ajari Bom, dan mereka Bom ini gedung-gedung di Malaysia maka habislah kalian”
Saat itu pak Najib kaget, dia sadar sebagai sesama Bugis, ancaman saya bukan hanya gertakan belaka. Dia bilang ke saya “pak Jusuf, tidak bisa begitu”
Saya bilang ke dia “makanya mari kita berunding, terus terang saya kadang tidak suka sama you punya Negara, Buruh-buruh Ilegal dari Indonesia ditangkapi kayak binatang, sedangkan majikannya tidak ditangkap, padahal kalau ada buruh Ilegal maka tentu ada juga majikan illegal. Setiap ada Ilegal loging pasti orang Malaysia yang ambil, begitu ada kebakaran hutan mereka marah-marah, padahal hampir sepanjang tahun mereka menghirup udara segar yang dihasilkan oleh hutan-hutan di Indonesia, satu bulan saja ada kabut asap mereka marah marah. Dan juga setiap ada ledakan Bom di Indonesia selalu orang Malaysia dalangnya”
Waktu itu Pak Dubes langsung bisiki saya “Pak, Ini sepertinya sudah melewati batas diplomasi”
Saya langsung bilang ke dia “kau kan Dubes, yah sudah kau perbaikilah mana yang lewat”
Setelah itu, untuk menunjukkan ketidak sukaan saya kepada Malaysia saya menolak menginap di Kuala Lumpur, saya bilang saya mau menginap di kampong Bugis di Johor sana. Akhirnya pak Najib ikut juga saya ke sana. Di atas mobil, dalam perjalanan menuju Johor Pak Najib Bilang ke saya “ Kayaknya bapak terlalu keras tadi waktu berunding”
Saya cuma bilang ke dia “kamu kan juga orang Bugis, kenapa kau tidak keras juga tadi?” mendengar itu dia cuman ketawa saja.
Malamnya di Johor, kita makan malam dan nyanyi-nyanyi, mengundang Siti Nurhaliza, sampai jam 1 malam dan kita ngantuk. Keesokan paginya kita main golf, dan saat itu juga masalah Ambalat selesai. Dengan gaya Diplomasi ala Bugis, saya tidak perlu memakai bahan yang sudah disiapkan oleh DEPLU semua spontanitas saja. Dan sampai sekarang kalau ada tentara Malaysia datang lagi di Ambalat, saya tinggal telpon Najib “Hey Najib, jangan lagi kau kirim, you punya tentara ke Ambalat, kita bisa perang nanti”
Demikan juga waktu saya menyuruh EXXON supaya angkat kaki dari Blok Natuna. Waktu itu saya dikejar oleh orang-orang EXXON mereka mau melobi. Tapi saya selalu menolak ketemu dan menghindar. Saya ke Riyadh, mereka mau nyusul ke sana, saya ke Jedah mereka mau datang, tapi saya tolak karena saya mau ibadah dan sampai di belahan bumi manapun mereka kejar saya. Akhirnya waktu itu Di Makassar karena melihat kegigihan mereka, saya suruh mereka datang. Dan datanglah itu Chairman Exxon mereka 4 orang dan saya hanya ditemani oleh Sekretaris saya.
Saat pertemuan di Hotel Sahid Makassar, orang Exxon bilang ke saya, “Mr.Vice President, anda kalau membatalkan kontrak dengan EXXON, maka besok akan saya SU”
Saya langsung pukul meja saya dan bilang ke dia “kalau kau berani SU, maka saya akan SU kau 10 kali, Its my country, not your country, jangan kau datang ke sini mau ancam-ancam saya”.
Saat itu dia langsung minta maaf. Dan saat itu Blok Natuna kembali ke tangan kita pengelolaannya, meskipun pada akhirnya lepas lagi ke EXXON karena wewenang saya dicabut dan control tidak lagi berada di tangan saya. Apa pun itu, untuk kehormatan bangsa, kita jangan mau didikte oleh bangsa lain, kalau mereka keras, maka kita balas lebih keras lagi. Jangan pernah takut kita akan dibuat susah dan macam-macam. Selama kita yakin Tuhan selalu bersama kita, maka bangsa lain tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadap kita.
Kredit kepada: http://umum.kompasiana.com
Najib PM keenam
Oleh Ahmad Naim Tahir dan Norfatimah Ahmad
bhnews@bharian.com.my
Pak Lah menghadap Tuanku Mizan serah surat letak jawatan
KUALA LUMPUR: Proses peralihan kuasa kepemimpinan negara bermula semalam apabila Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi menghadap Yang di-Pertuan Agong, Tuanku Mizan Zainal Abidin bagi menyerahkan surat melepaskan jawatannya dan memohon perkenan melantik Datuk Seri Najib Razak sebagai Perdana Menteri keenam.
Abdullah dilihat memasuki pekarangan Istana Negara di sini, kira-kira jam 10 pagi dengan menaiki Proton Perdana bernombor WCH 13 dan keluar kira-kira sejam selepas itu sambil tersenyum dan melambai kepada wakil media yang menunggu di luar istana.
Najib, 55, yang mengambil alih jawatan Presiden Umno daripada Abdullah pada Perhimpunan Agung parti itu minggu lalu, turut menghadap Yang di-Pertuan Agong setengah jam selepas itu.
Timbalan Perdana Menteri dilihat memasuki perkarangan istana pada jam 11.25 pagi dan beredar kira-kira 45 minit dengan menaiki Proton Perdana bernombor pendaftaran WRP 11.
Ketua Setiausaha Negara, Tan Sri Mohd Sidek Hassan, ketika dihubungi Berita Harian mengesahkan Sultan Mizan memperkenankan pelantikan Najib sebagai Perdana Menteri keenam.
Istiadat pelantikan dan mengangkat sumpah jawatan serta sumpah simpan rahsia di hadapan Seri Paduka akan diadakan di Istana Negara pada jam 10 pagi ini.
Mohd Sidek berkata, istiadat bersejarah itu akan berlangsung seperti dijadualkan dan semua persiapan sudah diatur untuk memastikan upacara berkenaan berjalan lancar.
"Selepas mengangkat sumpah jawatan sebagai Perdana Menteri, Datuk Seri Najib akan menandatangani surat menyimpan rahsia kerajaan sepanjang tempoh menduduki kerusi tertinggi kerajaan," katanya.
Mohd Sidek berkata, orang kenamaan tempatan dan wakil negara asing turut dijemput untuk menyaksikan istiadat itu, yang dijangka selesai sebelum tengah hari.
Majlis penyerahan nota serah tugas Perdana Menteri oleh Abdullah kepada Najib pula dijadual berlangsung di Pejabat Perdana Menteri pada jam 4 petang.
Pelantikan Najib mengulangi sejarah bapanya, Allahyarham Tun Abdul Razak Hussein, yang memegang jawatan nombor satu dalam kerajaan dari 1970 hingga meninggal dunia pada 14 Januari 1976.
Najib dilantik sebagai Timbalan Perdana Menteri pada 7 Januari 2004 ketika menjadi Naib Presiden Umno paling kanan.
Sebelum itu, beliau pernah menjadi Menteri Pendidikan (1995-1999) serta dua kali sebagai Menteri Pertahanan pada Oktober 1990 hingga April 1995 dan dari Disember 1999 sebelum berpindah ke Kementerian Kewangan pada 17 September 2008.
Sumber: Berita Harian