Memaparkan catatan dengan label Menjejak Asal Usul Keturunan Bugis. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label Menjejak Asal Usul Keturunan Bugis. Papar semua catatan

Laksamana Raja Di Laut Keturunan Bugis Wajo


Makna Bengkalis
Sementara itu, asal mula nama Bengkalis diambil dari kata “Mengkal” yang berarti sedih atau sebak serta “Kalis” yang berarti tabah, sabar dan tahan ujian.

Sejarah Bengkalis bermula ketika Tuan Bujang alias Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah mendarat di Bengkalis pada tahun 1722. Sultan yang juga menguasai wilayah Siak disambut oleh batin (kepala suku) Senggoro dan beberapa Batin lainnya.

Para Batin meminta Sultan agar membangun kerajaan di Bengkalis, sebagai wujud rasa hormat mereka. Melalui musyawarah dengan sejumlah Datuk di wilayah pesisir Riau pada tahun 1723, disepakati pusat kerajaan didirikan di dekat Sabak Aur yakni di sungai Buantan salah satu anak Sungai Siak.

Bengkalis pernah menjadi basis awal kerajaan Siak. Sejarah juga mencatat, semasa Belanda berkuasa, di Bengkalis pernah diduduki residen pesisir timur pulau Sumatera. Saat itu, Bengkalis sudah menunjukkan peran penting dalam arus lalu lintas niaga di selat Melaka, terutama sebagai persinggahan saudagar yang keluar masuk sungai Siak.

Strategisnya posisi Bengkalis sebagai lalu lintas niaga menyebabkan Pemkab setempat meletakkan pembangunan pelabuhan penumpang bertaraf internasional di Selat Baru sebagai salah satu prioritas pembangunan di era otonomi. Kehadiran pelabuhan tersebut diharapkan memperlancar transportasi ke dan dari Malaysia.

“Jarak tempuh ke Malaysia dari Bengkalis hanya 45 menit. Padahal selama ini jika ditempuh dari Kota Dumai bisa mencapai dua jam,” ujar Bupati Bengkalis.

Pembangunan pelabuhan ini juga dilakukan sebagai salah satu upaya mempercepat

Leluhur Bugis Orang Nias


Oleh: Victor Zebua
Seorang anak raja Pagarruyung bernama Turanggo berlayar menuju negeri Bugis mencari isteri. Setelah berhasil mengawini puteri raja Bugis dari suku Bengguan, dia kembali ke Pagarruyung. Namun terjadi angin-ribut, mereka terdampar di Luaha Sebua, muara sungai di suatu pulau kosong. Pulau itu kemudian dinamakan Tanah Hibala yang artinya ‘tanah yang kuat’ dalam bahasa Bugis. Turanggo akhirnya menetap di pulau itu, dia beranak-pinak hingga pada raja Hibala yang memiliki dua anak, puteri (kakak) dan putera (adik).

Demikian inti pembuka cerita berjudul Legende Asal Mulanya Pulau-Pulau Batu karya Adlan Mufti (1979). Mufti memperoleh keterangan dari Dahar Alamsyah di pulau Tello tahun 1974. Waktu itu Alamsyah berumur 60 tahun. Dia adalah keturunan raja Buluaro dari suku Bengguan (Bekhua). Mufti memperkirakan legenda ini terjadi sekitar abad 12.

Selanjutnya diceritakan, semenjak lahir kedua anak raja Hibala hidup terpisah. Sang puteri (tidak diketahui namanya) tinggal di rumah bagian atas yang dinamakan mahligai, diasuh wanita pengasuh bernama Sikambang, sedang sang putera bernama Sutan Muaro tinggal bersama orang-tuanya di rumah bagian bawah.

Setelah meningkat dewasa, ketika Sutan Muaro bermain-main di halaman rumah, tanpa sengaja dia melihat sang puteri raja itu. Seketika Sutan Muaro terpesona melihat kecantikan sang puteri. Bergegas dia menemui ibunya, mengatakan bahwa ada seorang wanita cantik di rumah mereka. Namun ibunya membantah. Sutan Muaro mencari-cari wanita itu, dia naik ke mahligai dan bertemu dengannya di sana. Dia menemui ibunya lagi, mengatakan bahwa wanita itu ada di mahligai. Sutan Muaro mendesak ibunya agar wanita itu dapat dijadikan isterinya.

Melihat tekad Sutan Muaro, barulah ibunya mengakui bahwa wanita itu adalah kakaknya sendiri, tidak mungkin dapat dikawininya. Namun Sutan Muaro tidak menerima keterangan ibunya. Selama ini dia tidak diberi-tahu wanita itu kakaknya dan belum pernah bergaul

One Home, Two Countries

"I'm from Bugis. I've no problem dealing with administrative affairs"

Sebatik Island (Antara/ Eric Ireng)
VIVAnews - Asmirani never imagined that the house she had lived in since 1981 would finally become part of Malaysian territory despite of his being Indonesian. The shift in state border took place since the new agreement on territories was renewed in Aji Kuning, Sebatik Island, East Kalimantan.

Residing in Malaysian land, Asmirani said he is still an Indonesian. In addition to having an Indonesian ID card, Asmirani said he still deals with regular matters in terms of citizenship.

"I'm from Bugis. I've no problem dealing with administrative affairs," he told VIVAnews in Sebatik Island, East Kalimantan, today, Dec 14.

Orang Mandar orang laut: kebudayaan bahari Mandar mengarungi gelombang

Salasilah Daeng Saring @ Daeng Saieng Di Sipitang, Sabah

Salam, berikut ini saya petik dari laman blog http://daengsaring.blogspot.com/ berkenaan Salasilah Daeng Saring @ Daeng Saieng Di Sipitang, Sabah.

Pengenalan

Daeng Saring @ Daeng Saieng adalah salah seorang yang dipercayai berasal daripada keturunan Kerajaan Riau yang telah memasuki kepulauan Borneo melalui Brunei dan dipercayai keturunan beliau kini berada di sekitar Brunei, Sarawak, Sabah dan W.P.Labuan. Sehubungan dengan itu, maka terhasilnya Blog ini bagi bertujuan untuk menjejaki Salasilah Keluarga Daeng Saring @ Saieng yang berada di sekitar Borneo dan berkemungkinan juga telah berada di Semenanjung Malaysia, Indonesia, Filipina dan kawasan-kawasan sekitarnya.

Sejarah Orang Bugis

Epos La GaligoOrang bugis memiliki berbagai ciri yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India. Dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka.

Orang bugis juga memiliki kesastraan baik itu lisan maupun tulisan. Berbagai sastra tulis berkembang seiring dengan tradisi sastra lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan disalin ulang. Perpaduan antara tradisi sastra lisan dan tulis itu kemudian menghasilkan salah satu Epos Sastra Terbesar didunia Yakni La Galigo yang naskahnya lebih panjang dari Epos Mahabharata.

Bissu dalam la Galigo Selanjutnya sejak abad ke 17 Masehi, Setelah menganut agama islam Orang bugis bersama orang aceh dan minang kabau dari Sumatra, Orang melayu di Sumatra, Dayak di Kalimantan, Orang Sunda dijawa Barat, Madura di jawa timur dicap sebagai Orang nusantara yang paling kuat identitas Keislamannya.

Bagi orang bugis menjadikan islam sebagai Integral dan esensial dari adat istiadat budaya mereka. Meskipun demikian pada saat yang sama berbagai kepercayaan peninggalan pra-islam tetap mereka pertahankan sampai abad ke 20 salah satu peninggalan dari jaman pra islam itu yang mungkin paling menarik adalah Tradisi Para Bissu (Pendeta Waria).

Diaspora Bugis Makassar di Negeri Rantau

Dari sekian suku di Nusantara, Bugis-Makassarlah yang selalu menjadi representasi suku perantau, tentu dengan mengandalkan kemampuannya dalam mengarungi samudera. Semboyan “sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai” begitu merasuk ke dalam jiwa masyarakat Bugis-Makassar (BM), sehingga mereka pun selalu dapat berhasil tiba di tujuan. Tak ada kata menyerah, rasa malu atau siriq’ meresap dan menjadi lokomotor penggerak jiwa Bugis Makassar (BM) untuk selalu berjuang hingga titik darah penghabisan.

Banyak alasan yang membuat masyarakat BM melakukan perantauan. Jika ditengok ke belakang, pelayaran dan penjelajahan ke negeri seberang sudah menjadi tradisi kuno, bahkan

Kerajaan Sriwijaya dan Para Pelaut Nomaden - Bugis/Bajau


Sejak Kan-to-li runtuh pada 563 M, ada jarak delapan puluh tahun sebelum Kerajaan Melayu di Sumatra bagian timur me­ngirimkan sebuah misi ke Cina dan melakukan perdagangan. Kon­disi itu menunjukkan bahwa tanda-tanda kehidupan mulai muncul kembali. Saat itu, Kerajaan Funan benar-benar telah runtuh. Jalur darat menyeberangi Genting Tanah Kra tak digunakan lagi, dan pola perdagangan telah berganti ke jalur laut menuju Selat Malaka.

Implikasi Politik Melayuisme Sama-Bajau di Malaysia

Mantan Ketua Menteri Sabah, Datuk Seri Salleh Said Keruak, ketika mengadakan perjumpaan dengan masyarakat Bajau di Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Indonesia.

Ikatan biologi orang Sama-Bajau dengan etnik Melayu membuatkan diaspora mereka di mana sahaja mereka berada, tetapi sentiasa mengikat asal-usul mereka dengan Johor. Konsep diaspora Sama-Bajau bukanberasaskan wilayah kerana mereka tidak mempunyai tempat asal seperti orang Jawa yang berasal dari Pulau Jawa, orang Bugis dari Sulawesi Selatan dan orang Suluk dari Pulau Sulu. Sebaliknya diaspora orang Sama-Bajau lebih kepada ideologi etnik, maka Johor bermaksud mereka berasal dari rumpun etnik Melayu di Semenanjung Melayu. Kesannya keperibadian dan identiti budaya Sama-Bajau lebih menunjang dalam peradaban Melayu Islam.

Susahnya Mau Ngaku Jadi Orang Bugis

Bapakku orang Bugis (Enrekang), mamaku orang Jawa (Pacitan). Aku 3 bersudara. Aku anak bungsu, 2 kakakku laki semua. Kadang kami suka iseng smsan. Ini adalah salah satu sms ria kami yang kucatat di selebaran kertas. Sudah lama sih, kira-kira tahun lalu sebelum kakak keduaku menikah. Tiba-tiba catatan sms ria ini ada di hadapanku. Oh…anakku nih yang manjat rak buku dan buka kotak rahasia Ibunya hehe. Silahkan disimak dulu ya…

Saat itu jempolku asik mencetin keypad. Kukirim sms yang sama untuk dua kakak lelakiku. 

Yang pertama lagi di Bontang dan yang kedua ada di Pekan Baru.

“Bro…napa ya dulu kecil kita kok gak mau dibilang oran Bugis?”

sms dikirim…..

Cring…sms pertama dari Bontang masuk , isinya begini :

“Ya, krn Jawa lebih dominan lah…klo keluarga kita lebih dominan Papua, mungkin kita juga ngaku orang Papua hehe”

Cring…sms dari Pekan Baru masuk, isinya begini :

“gampang aja tuh, karena saat kita kecil kita gak pernah dikenalin keluarga Bapak dan kita lebih sering ke Jawa klo liburan sekolah. Klo liburan sekolah kita sering ke Malaysia, n’tar kita ngaku orang Melayu dong hehe”

Pahlawan Bugis Yg Mangkat Di Kedah (Bahagian II)

Daeng Perani Mangkat Di kedah

Dalam buku Tuhfat Al-Nafis, Salasilah Melayu & Bugis, dan Hikayat Siak dengan jelas menyatakan yang Opu Daeng Perani telah gugur di Kedah dalam pertempuran dengan Raja Kechil Siak. Dalam Tuhfat Al-Nafis mencatatkan:

Syahadan maka berapa antaranya maka kelengkapan Yang Dipertuan Muda [Opu Daeng Merewah] serta Opu-Opu itu mudik hendak melanggar Kubu Raja Kechil sebelah hulunya pada rumahnya dan apabila sampai ke kota hulu itu maka lalulah berperang yang sangat ramainya dengan gegak gempita berbedil-bedilan dengan meriam dan rentak serta tempik soraknya maka dengan takdir Allah Subhanahu Wa Taala sert adengan sudah sampai janjiNya maka Opu Daeng Perani pun kenalah pelurunya meriam tentang dadanya maka iapun mangkat di atas beranda hgurabnya dengan nama laki kerana waktu ia berperang besar itu bersiar-siar di atas beranda memerintahkan segala orang berperang itu .......

Seterusnya sumber ini mengatakan apabila Raja Kechil dikalahkan dan berundur ke Siak, “……Yang Dipertuan Muda serta Raja Tua, Daeng Menambun……dimakamkan mayat Opu Daeng Perani itu betapa adapt istiadat raja-raja mangkat……

Pahlawan Bugis Yg Mangkat Di Kedah (Bahagian I)

Asal usul Daeng Perani

Mengikut Catatan Raja Ali Haji dalam bukunya Salasilah Melayu dan Bugis serta Tuhfat Al-Nafis, Putera Bugis lima bersaudara ini adalah dari keturunan Opu Tendriburang Daeng Rilaga iaitu putera La Maddusalat, seorang Raja Bugis di negeri Luwuk. Opu Tendriburang Daeng Rilaga mempunyai lima orang anak iaitu Daeng Perani, Daeng Chelak, Daeng Marewah, Daeng Menambun & Daeng Kemasi.

Opu Daeng Rilaga bersama anak-anaknya keluar dari Luwuk setelah ayahandanya Opu La Maddusalat mangkat. Beliau memulakan perjalanan ke negeri To Pammana. Di sini beliau disambut meriah oleh pemerintah To Pammana. Beliau Kemudian ke Bone dan seterusnya ke Betawi bertemu dengan saudaranya Opu Daeng Biasa. Selepas pertemuan itu, beliau berangkat ke Siantan. Ketika di Siantan, Opu Daeng Perani telah berkahwin dengan anak Nakhoda Alang, keturunan Makasar. Dari Siantan Opu Daeng Rilaga bersama anak-anaknya mengambara ke Johor dan Melaka serta Kemboja. Setelah beberapa lama tinggal di Kemboja, Opu Daeng Rilaga dan anak-anaknya kembali ke Siantan. Apabila mereka sampai di Siantan, isteri Opu daeng Perani telah selamat melahirkan seorang anak lelaki yang diberi nama Daeng Kemboja sempena kepulangannya dari negeri kemboja.



200 ahli keluarga Anok Branok Daik berhimpun



SEBAHAGIAN daripada ahli keluarga keturunan Bugis 'Anok Branok Daik' yang bermastautin dan di luar Terengganu berhimpun di Muzium Negeri Terengganu, kelmarin.



KUALA TERENGGANU 24 Sept. - Personaliti terkenal TV3 kelahiran negeri ini, Ally Iskandar Mardzi turut tidak melepaskan peluang memeriahkan program perhimpunan keluarga 'Anok Branok Daik' sempena sambutan Aidilfitri di Muzium Negeri di sini semalam.

Lebih 200 ahli keluarga itu daripada susur galur keturunan Bugis berhimpun di situ sepanjang empat jam program itu berlangsung bermula pukul 2 petang.

Pengerusi Anok Branok Daik, Mardzi Mohd. Ali berkata, program itu merupakan kali kedua diadakan selepas tahun 2007 dan ia berjaya mengeratkan hubungan silaturahim sesama mereka.

Katanya, menerusi perhimpunan itu, kesemua yang hadir turut berkesempatan menjalin semula hubungan kekeluargaan walaupun kebanyakan ahli keluarga 'Anok Branok Daik' kini bermastautin di luar Terengganu.

"Pertemuan kali ini lebih mendapat sambutan menggalakkan berbanding program serupa pada dua tahun lalu," katanya yang juga bapa kepada Ally Iskandar ketika ditemui pada majlis itu.

Menurutnya, beliau yakin keluarga itu mempunyai keahlian yang lebih ramai dan usaha untuk menjejaki mereka masih dilakukan.

Mardzi menambah, keturunan keluarga itu berasal dari Kepulauan Ringga, salah sebuah pulau yang terbesar di Kepulauan Riau, Indonesia.


Origin and Dispersion of the Sama-Bajau

The most comprehensive work regarding the origin and dispersion of Sama-Bajau language groups is Culture Contact and Language Convergence (Pallesen 1985). Based on linguistic evidence, Pallesen suggested a point of origin in what is now the southern Philippines. Around the beginning of the ninth century, speakers of Proto-Sama-Bajau dialects lived in the area of the Basilan Strait between the Zamboanga area of South Mindanao and Basilan Island in the southeastern part of the Sulu Sea (Pallesen 1985: 117). A number of groups split off during this early period. By the eleventh century further dispersion began with a major group moving southwest through the Sulu Archipelago and then along the northeastern coastal areas of Borneo (Kalimantan). Here communities again split into the North Borneo and Jama Mapun groups with the ‘forward wave’ of the Indonesian Bajau moving further down the eastern Borneo coastline via Tawau and Tarakan (ibid.: 121). The southward movement of Sama speakers into the southern Sulu and Borneo regions was ‘accelerated’ by the expansion of maritime trade after the founding of the Sulu Sultanate in the fifteenth century (Sather 1993a: 218). From the eastern coasts of Borneo, or perhaps directly from southern Sulu, Sama speakers spread southward into the Makassar Straits, arriving along the coasts of Sulawesi and spreading outward into other parts of eastern Indonesia some time before the beginning of the sixteenth and seventeenth centuries (Pallesen 1985: 121; Sather 1997: 15).

lawatan Ugik M ke Sulawesi


Ugik M sedia membantu ahlinya termasuk dalam bidang perniagaan.


DENGAN hasrat untuk menyatupadukan masyarakat Bugis di seluruh Malaysia, Persatuan Kebajikan Ekonomi Bugis Malaysia (Ugik M) telah ditubuhkan sejak setahun lalu di Johor Bahru, Johor.
Presidennya, Lokman Junit berkata, objektif penubuhan persatuan itu bagi mengukuhkan ekonomi masyarakat Bugis yang kebanyakannya melakukan kerja-kerja berkebun dan berniaga.
Dengan adanya persatuan itu juga ujarnya, satu rangkaian perniagaan boleh dijalankan di kalangan masyarakat Bugis termasuk bagi mendapatkan produk niaga daripada kampung asal mereka di Sulawesi Selatan.
Antara produk yang boleh diperoleh daripada Sulawesi Selatan adalah seperti sutera Bugis yang halus dan lembut, selendang, songkok Bugis, buku, pakaian dan produk makanan.
Beliau yang juga pemilik Ugik Technologies di Pekan Francis Pulai, Skudai, Johor berkata, syarikatnya ada menjual segala barangan dan keperluan yang diperlukan oleh masyarakat Bugis. Dengan kata lain, Ugik Technologies adalah merupakan pusat pemborong produk Bugis.
Menurut Lokman, pada masa kini Ugik M mempunyai slebih 1,000 orang ahli di seluruh Malaysia. Selain Johor, masyarakat Bugis juga tinggal di Selangor, Melaka, Perak, Pahang dan Sabah.
''Paling ramai ialah di Pontian, Johor dan mereka aktif berniaga atau berkebun yang menjadi sumber pendapatan mereka,'' katanya kepada Mega baru-baru ini.
Lokman menambah, bagi mengenalkan asal-usul masyarakat Bugis di negara ini yang berasal dari Sulawesi Selatan, beliau merancang untuk membuat projek pertama melancong ke Sulawesi pada musim cuti sekolah bulan Jun ini.
Program lawatan selama tujuh hari enam malam ini mengenakan tambang sebanyak RM2,000 seorang termasuk tambang, penginapan, perjalanan serta lawatan semasa di sana dan makan minum.
Di antara aktiviti yang akan diadakan semasa berada di Sulawesi ialah melawat pusat pemborong Sulawesi, melawat kilang, melawat Muzium Lagaligo yang menjadi kubu pertahanan daripada serangan Belanda dan sebagainya.
''Bagi mereka yang masih mempunyai saudara-mara, mereka boleh pulang ke kampung halaman dan menziarahi sanak saudara yang masing tinggal di sana,'' tambah Lokman.
Kepada yang berminat, bolehlah menghubungi Lokman di 016-7975810.end_of_the_skype_highlighting

Proud of their Bugis heritage

Sat, Jan 02, 2010
New Straits Time
JOHOR BARU, MALAYSIA - For centuries, the Bugis community is known to be skilful shipbuilders, mariners and traders, and having a penchant for being revered warriors.
Perhaps that could explain the qualities of many leaders who can trace their ancestry to Bugis roots, who originate from the Sulawesi Islands in Indonesia.
Prime Minister Datuk Seri Najib Razak, former cabinet minister Tan Sri Rafidah Aziz and Johor Menteri Besar Datuk Abdul Ghani Othman are among those in the illustrious group with Bugis heritage.
Today, the community is found in many parts of the country, including Sabah, Johor, Perak and Selangor, with some still practising the Bugis language and culture.
To celebrate the Bugis' rich culture and forge closer ties among its community, a group known as Persatuan Kebajikan Ekonomi Bugis Malaysia recently invited its fellow brethren from all over for a first-of-its-kind gathering.
This effort led to the Bugis Big Family Day 2009 (Hari Keluarga Besar Bugis) that was held at Pekan Francais in Jalan Pontian, Skudai, on Thursday.
Persatuan Kebajikan Ekonomi Bugis Malaysia chairman Lokman Junit said the day-long gathering of about 1,000 Bugis descendents was aimed to create a platform for cultural and economic exchange.
"There are more than 10 clans of Bugis represented in the event, including those from Daeng Parani, Daeng Marewar, Kemasi, Bone and Wajok," said Lokman, who builds traditional Bugis houses without nails under his company, Ugik Tecknologies.
Participants of the family day were entertained by "Maduppah Busarak", which is the closing dance for royal Bugis functions. Traditional fare lepat loi and burasak were served with rendang and fried grated coconut.
Meanwhile, a seventh generation Bugis descendent, Abdullah Mohd Yusof, 63, from Ipoh said the Bugis were known for their explorations of the seven seas.
"Due to our bold nature, our forefathers were either brave seamen or revered religious leaders," said Abdullah, whose mother was a descendent of Bugis religious leader Daeng Selili.


Orang Bugis dan Diasporanya di seluruh Indonesia

Orang Bugis atau To Ugi dikenal sebagai suku yang suka bertualang, berdagang, beremigrasi, selain juga sangat dinamis dan berani ambil resiko. Orang Bugis berkerabat dekat dengan orang Mandar di Sulawesi Barat dan orang Makassar di ujung-ujung selatan Sulawesi, meskipun pada akhirnya ada istilah Bugis Mandar dan Bugis Makassar yang menimbulkan persepsi kalau Bugis, Makassar dan Mandar itu sama, padahal sebenarnya berbeda meski ada kemiripan dalam penulisan (sama-sama menggunakan aksara lontara) dan sebagian di busananya.

Sejak sekitar abad ke-16, orang Bugis memeluk Islam dan kerajaan Goa-Tallo mencapai puncak kejayaannya. Namun kemudian Belanda menguasai kawasan tersebut sehingga mengakibatkan banyak orang-orang Bugis kemudian menyebar ke berbagai penjuru Nusantara. Disamping itu, kerajaan Bone yang ada di bagian timur Sulawesi Selatan kemudian bertahan hingga abad ke-19 dan kembali diaspora orang Bugis terjadi.

Kemudian dalam perkembangannya, orang Bugis banyak mempengaruhi sejarah serta sistem pemerintahan diwilayah manapun mereka tinggal. Ada prinsip yang mereka pegang teguh ‘dimanapun bumi dipijak, disitu langit dijunjung’ maksudnya bila mereka datang ke suatu daerah dan dirasa nyaman, maka mereka menganggapnya sebagai kampung halamannya. Dapat disaksikan bahwa pada abad ke-17 dan 18 orang Bugis memperoleh pengaruh di Kerajaan Johor-Riau-Lingga hingga Semenanjung Melayu.

Selain itu juga peran orang Bugis di kawasan timur Indonesia juga sangat besar. Banyak sultan-sultan di kawasan itu yang setidaknya sebagian tubuhnya dialiri darah Bugis. Memang pada masa lalu, orang-orang Bugis dikenal sebagai penjelajah ulung yang ditakuti dimana-mana, dan banyak kelompok lanun Bugis yang kemudian menjadi penguasa, khususnya di kawasan Kepulauan Riau dan Semenanjung.

Selain itu, banyak kelompok perlawanan Bugis seperti Karaeng Galesong yang membantu Trunojoyo dalam melawan Belanda di sepanjang pantai utara Jawa dengan mendirikan markas di Pasuruan pada tahun 1675-1679. Orang Bugis juga banyak yang menjadi prajurit bayaran untuk melindungi kepentingan-kepentingan kerajaan yang mereka tempati. Seperti misalnya di Bali, bahkan sampai Jogjakarta dan Bima.

Diaspora orang Bugis sendiri sangatlah luas, hingga mencakup hampir seluruh wilayah Nusantara (termasuk Singapura dan Malaysia), baik di perkotaan maupun pedesaan. Mereka membangun pemukiman-pemukiman yang kemudian dalam sejarahnya melebur dengan penduduk sekitarnya. Pemukiman orang Bugis di berbagai wilayah sendiri juga sebagian besar penduduknya telah kehilangan bahasa Bugis dan budayanya, serta telah tergantikan oleh bahasa dan budaya penduduk tempat mereka bermukim, terutama sekali di pulau Sumatera, Jawa dan Madura.

Untuk Pulau Sumatera, mereka tersebar di kota-kota bagian timur, khususnya di Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Sedangkan di Pulau Jawa, mereka tinggal di kota-kota utama seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Jogjakarta, Surabaya, Semarang, Malang dan sebagainya.

Di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah, terdapat satu perkampungan Bugis yang ada di dusun Batulawang, desa Kemujan. Penduduk kampung Bugis ini hidup membaur dengan orang Jawa, Madura, Buton dan Bajo yang juga bermukim dikawasan itu.

Daerah Bugisan, Jogjakarta konon juga dulunya adalah pemukiman para prajurit Bugis yang direkrut Raja Jogjakarta dimasa lalu dan kini menjadi bagian kota Jogjakarta.

Sedangkan di Jawa Timur sendiri, banyak kerabat kerajaan Madura yang kawin mawin dengan orang Bugis. Keturunan Bugis ini banyak dijumpai di Sumenep, dan Kepulauan Kangean serta kepulauan Masalembu.

Pulau Bali juga menyimpan beberapa kampung Bugis. Mereka juga adalah keturunan pedagang dan prajurit yang kemudian menetap dan menikah dengan penduduk setempat. Kampung Islam yang banyak dihuni orang Bugis terdapat di Pulau Serangan, Tuban, Kepaon, Tanjung Benoa dan , Kampung Loloan (berbaur dengan keturunan Melayu dari Pahang, Trengganu dan Pontianak), kampung-kampung Islam di kawasan Nusa Penida dan beberapa komunitas kecil baik yang tergabung dalam banjar besar ataupun kampung tersendiri.

Di Nusa Tenggara, banyak pemukiman Bugis yang dijumpai utamanya di kawasan Sumbawa, Flores, Solor, Alor, dan Timor, khususnya di kawasan perkotaan. Bahkan dari segi busana, masyarakat Sumbawa dan Bima banyak terpengaruh oleh Bugis. Dan gelar Kraeng yang dipakai suku Manggarai di Flores juga berakar dari kata Karaeng.

Sedangkan di Pulau Kalimantan, orang Bugis (termasuk Mandar) banyak dijumpai di Kotabaru dan Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan) serta sepanjang pesisir Kalimantan Timur (Pasir sampai Pulau Sebatik) hingga Sabah, Malaysia. Orang Bugis juga bermukim di sepanjang Sungai Mahakam dari Melak di hulu hingga Samboja di hilir sungai. Sarung Tenun Samarinda yang populer itu juga dihasilkan orang-orang Bugis yang ternyata perintis berdirinya kota Samarinda, ibukota Kaltim ini, yang kebanyakan berkonsentrasi di Samarinda seberang.

Lebih besar lagi pengaruh Bugis di Sulawesi, Maluku Utara, Maluku dan Papua dimana di hampir seluruh penjuru pulau bisa dijumpai komunitas-komunitas Bugis, apalagi di pasar-pasar. Dimasa lalu juga, kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan juga setidaknya mendapat pengaruh dari Bugis. Bahkan orang Bugis berdagang sampai di perbatasan Indonesia-Papua Nugini atau kota Merauke, kota tertimur di Indonesia.

Itu hanya sebagian dari persebaran orang Bugis, baik yang sejak berabad-abad silam maupun pendatang-pendatang baru yang datang untuk bekerja atau belajar, utamanya di pulau Jawa.

Banyak sekali orang-orang Bugis yang menjadi orang berpengaruh diberbagai tempat, baik dibidang ekonomi maupun pemerintahan di Indonesia dan sudah dua orang Bugis yang menduduki posisi tertinggi didalam pemerintahan antara lain BJ Habibi dan Jusuf Kalla.

Pendek kata, pengaruh Bugis dalam pembentukan masyarakat Indonesia tidak bisa diabaikan sama sekali. Mereka juga turut berperan serta dalam melawan penjajahan serta memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, jadi tanpa peran serta mereka maka bangsa kita takkan terbentuk seperti sekarang ini.

Sekali lagi...keras, petualang ulung, pedagang ulet dan berani ambil resiko, itu yang saya sukai dari kelompok satu ini.


Bambang Priantono

Kredit kepada: http://bambangpriantono.multiply.com/

Riwayat Kebugisan Najib Tun Razak

KETIKA memberikan wawancara khusus kepada tujuh media dari Indonesia setelah dilantik menjadi Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Razak mengatakan, hanya kapal Bugis yang selalu ada di ruang kerjanya sebagai salah satu pajangan.

Rupanya pajangan itu bermakna penting. Setidaknya untuk mengingatkan Najib akan nenek moyangnya yang rupanya asli Bugis. “Asal usul saya orang Bugis.

Tapi, saya Perdana Menteri untuk semua orang Malaysia,” kata putra sulung mantan PM Malaysia kedua, Abdul Razak, itu. Dari manakah sesungguhnya kebugisaan nakhoda kapal Bugis yang yang kini bersandar di Putrajaya itu? Sejumlah sumber resmi menyebutkan, Datuk Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak adalah keturunan Raja Gowa ke-19 I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Djalil Tumenanga ri Lakiung (1667-1709).

Perihal kebugisan Najib, sebenarnya bukanlah terungkap saat ini. Ayahnya, Tun Abdul Razak ketika masih menjabat Perdana Menteri pada tahun 1973 pernah berkunjung ke Gowa dan berziarah ke makam Sultan Hasanuddin. Saat itu, Tun Abdul Razak menunjuk salah satu nisan dan menyatakan bahwa orang di makam tersebut ada di dalam silsilah keluarganya. Pemilik nisan itu tak lain adalah I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone. Karaeng Sanrobone ini adalah putra Raja Gowa (XVI) I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangappe alias Sultan Hasanuddin. Begitulah ceritanya.

Satu tahun kemudian, Tun Abdul Razak diberi gelar kehormatan masyarakat Gowa, La Tenri Patta Daeng Manesa dan istrinya diberi gelar We Bungawali. Bahkan nama beliau kini diabadikan sebagai nama jalan di daerah itu, Jalan Tun Abdul Razak. Pemberian gelar kehormatan ini juga dilakukan kepada Najib ketika berkunjung ke Gowa. Gelarnya mengambil nama dari neneknya, I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone.

Saya mengetahui sedikit hal ini selain dari berbagai literatur juga silsilah Raja-raja Sulawesi Selatan yang saya miliki. Menurut sejumlah literatur, I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone pernah berpesan kepada anak-anaknya agar ketika dia wafat nanti yang menggantikannya sebagai raja Gowa adalah cucu laki-laki pertamanya, bukan kepada anaknya. Cucu yang dimaksud adalah La Pareppa To Sappewalie Sultan Ismail, putra dari I Mariama Karaeng Patukangang, putrinya.

I Mariama ini menikah dengan Raja Bone La Patau, dan La Pareppa adalah putra pertama mereka. Sebagai catatan bahwa La Pareppa selain menjadi Raja Gowa (XX), juga menjadi Datu Soppeng (XX), serta Raja Bone (XIX). Sebagai Raja Gowa, ada ada sejumlah pendapat yang menyebutkan jika pengangkatan La Pareppa dipermasalahkan oleh Bate Salapang (Dewan dalam kerajaan Gowa) lantaran hanya mewarisi singgasana kerajaan Gowa dari pihak ibunya.

Teru terang, saya kurang sependapat dengan itu. Perlu diketahui bahwa di Sulawesi Selatan itu ada tiga kerajaan besar yang setara (Tellumpoccoe), yaitu Luwu, Gowa dan Bone. Ayah La Pareppa adalah La Patau Matanna Tikka Petta Matinroe ri Nagauleng, Raja Bone (XVI). I Mariama Karaeng Pattukangang memiliki seorang saudara laki-laki dari lain Ibu bernama Muhammad Nazaruddin Karaeng Agang Jene’ atau sebutannya Karaeng Aji. Ibu Karaeng Aji adalah Sitti Aminah, putri Sultan Bima, sedangkan ibu I Mariama adalah Petta Bau Bone.


Sebagai keturunan langsung Raja Gowa, disebutkan dalam sejumlah literatur jika Karaeng Aji merasa lebih berhak menjadi Raja Gowa dari pada La Pareppa. Akan tetapi terlepas dari semua itu, yang pasti Karaeng Aji kemudian memilih pergi merantau. Beliau meninggalkan Gowa pada tahun 1722 menuju Negeri Pahang.

Di sana, Karaeng Aji berhasil menjadi Syahbandar dan mendapat gelar Toh Tuan. Ia kemudian menikahi gadis di negeri Pahang dan memiliki banyak keturunan di sana. Beberapa cucu dan cicitnya di kemudian hari menjadi orang sukses dan nomor satu di Malaysia di antaranya: Tun Najib Razak, Tun Abdul Razak dan Dato Musa Hitam. Itulah riwayat kebugisan Tun Najib. Dan karena itu pula, maka PM Malaysia keenam itu mengatakan, hanya kapal Bugis yang selalu ada di ruang kerjanya sebagai salah satu pajangan yang selalu mengenang sebagai orang keturunan Bugis.

Kredit kepada: http://sejarah.kompasiana.com


Keturunan Raja Nepo Bangkitkan Sejarah Kerajaan

Keturunan  Raja Nepo Bangkitkan Sejarah Kerajaan

Barru, Sulawesi Selatan - Generasi muda sekarang mungkin banyak yang tidak tahu tentang sejarah daerahnya. Karena sejarah yang di muatanlokalkan sangat jarang dijumpai di sekolah-sekolah. Hal ini bisa menyebabkan generasi pelanjut tidak paham sama sekali tentang budaya leluhurnya.

Berangkat dari keprihatinan itu, Sompa Bau Sadapotto yang akrab dipanggil Puang Datu, salah seorang putri keturunan Raja Nepo berusaha membangkitkan kembali sejarah Kerajaan Nepo. Caranya lewat seminar dan penelitian.

‘‘Ini merupakan salah satu cara untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai kearifan lokal, khususnya mengangkat sejarah Kerajaan Nepo yang pernah berdaulat di Sulsel. Selain itu, juga mengangkat Kerajaan Nepo sebagai muatan lokal dunia pendidikan di Sulsel,‘‘ jelas Bau Sadapotto di kediamannya dekat lapangan sepakbola Palanro, Kecamatan Mallusetasi, Barru, Selasa (20/10).

Saat ini, kata Puang Datu, telah dilakukan penelitian tentang Kerajaan Nepo di Sulsel. Khususnya soal kearifan lokal dalam sistem politik tradisional di tanah Bugis. Penelitian ini merupakan kerjasama Pusat Kajian Multikultural Unhas dengan Dinas Komunikasi, Informasi, Kebudayaan dan Pariwisata Barru.

‘‘Tapi rasanya belum lengkap jika tidak memunculkan lontara Raja Nepo. Dalam hal ini setidaknya satu rumpun kerajaan ada raja pertama dan terakhir. Itu belum terungkap dalam penelitian tersebut,‘‘ terangnya.

Hasil penelitian itu juga merilis sejarah singkat Kerajaan Nepo. Jauh sebelum Arung La Bongngo berkuasa, sudah ada pemerintah yang dikenal Arung Patappuloe (Raja Empat Puluh) yang memerintah sekitar abad ke-16. Empat puluh raja ini terdiri dari satu rumpun keluarga di bawah payung kebesaran Kerajaan Nepo.

Dalam menjalankan tugas pemerintahannya, keempat puluh raja itu tidak seorangpun yang berkuasa penuh. Masing-masing raja bertugas sesuai bidang kerajaan yang telah ditentukan. (K15/rus)

Sumber: http://www.beritakotamakassar.com
Kredit Foto: http://yohanesss.multiply.com

Sejarah dan Budaya Bugis di Tawau, Sabah

Penulis buku ini mengikut sumber yang diperolehi, telah menghasilkan 2 buah buku. Antaranya:
Kehidupan beragama masyarakat Kadazandusun by Suraya Sintang.
Penerbit UMS, 2007.

Sejarah dan budaya Bugis di Tawau, Sabah by Suraya Sintang.
Penerbit USM dengan kerjasama Persatuan Kebajikan Bugis Sabah (PKBS), 2007
(berikut adalah sinopsis buku tersebut yang diperolehi daripada blog PKBS)


Sebuah hasil penulisan padaidi yang cukup bermakna. Hasil penulian oleh Puan Suraya Sintang , BA (UIAM) dan MA (UKM) dalam bidang Tamadun dan Perbandingan Agama dan kini merupakan pensyarah di Pusat Penataran Ilmu dan Bahasa, Universiti Malaysia Sabah.

Buku ' Sejarah dan Budaya Bugis di Tawau,Sabah' memaparkan tujuh rencana yang berkisar mengenai sosiobudaya Bugis, sejarah awal komuniti Bugis di Tawau, punca penghijrahan, adat resam, nilai siri', dan kepercayaan pra-Islam serta kepercayaan roh nenek moyang. Buku ini bertujuan mengisi kekosongan maklumat terhadap kajian komuniti Bugis Sabah yang sebahagian besarnya mendenominasi beberapa daerah kawasan pantai timur Sabah, seperti Tawau, Sandakan, Kunak, Lahad Datu. Buku ini sememangnya memenuhi citarasa dan kehendak pembacayang menantikan bahan penulisan dan bacaan yang membolehkan pembaca mengenali dan memahami sejarah dan budaya orang Bugis. Adalah wajar sekiranya buku ini menjadi sebahagian daripada koleksi rujukan pembaca yang berminat mengkaji budaya etnik Melayu. Penerbitan buku ini juga diharapkan agar dapat memupuk kefahaman bersama dan semangat perpaduan melalui terhadap kepelbagaian budaya tradisi salah satu kelompok etnik di pantai timur Sabah.


Kredit kepada
http://persatuankebajikanbugissabah.blogspot.com/