Memaparkan catatan dengan label Bugis Di Pulau Bali. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label Bugis Di Pulau Bali. Papar semua catatan

Orang Bugis dan Diasporanya di seluruh Indonesia

Orang Bugis atau To Ugi dikenal sebagai suku yang suka bertualang, berdagang, beremigrasi, selain juga sangat dinamis dan berani ambil resiko. Orang Bugis berkerabat dekat dengan orang Mandar di Sulawesi Barat dan orang Makassar di ujung-ujung selatan Sulawesi, meskipun pada akhirnya ada istilah Bugis Mandar dan Bugis Makassar yang menimbulkan persepsi kalau Bugis, Makassar dan Mandar itu sama, padahal sebenarnya berbeda meski ada kemiripan dalam penulisan (sama-sama menggunakan aksara lontara) dan sebagian di busananya.

Sejak sekitar abad ke-16, orang Bugis memeluk Islam dan kerajaan Goa-Tallo mencapai puncak kejayaannya. Namun kemudian Belanda menguasai kawasan tersebut sehingga mengakibatkan banyak orang-orang Bugis kemudian menyebar ke berbagai penjuru Nusantara. Disamping itu, kerajaan Bone yang ada di bagian timur Sulawesi Selatan kemudian bertahan hingga abad ke-19 dan kembali diaspora orang Bugis terjadi.

Kemudian dalam perkembangannya, orang Bugis banyak mempengaruhi sejarah serta sistem pemerintahan diwilayah manapun mereka tinggal. Ada prinsip yang mereka pegang teguh ‘dimanapun bumi dipijak, disitu langit dijunjung’ maksudnya bila mereka datang ke suatu daerah dan dirasa nyaman, maka mereka menganggapnya sebagai kampung halamannya. Dapat disaksikan bahwa pada abad ke-17 dan 18 orang Bugis memperoleh pengaruh di Kerajaan Johor-Riau-Lingga hingga Semenanjung Melayu.

Selain itu juga peran orang Bugis di kawasan timur Indonesia juga sangat besar. Banyak sultan-sultan di kawasan itu yang setidaknya sebagian tubuhnya dialiri darah Bugis. Memang pada masa lalu, orang-orang Bugis dikenal sebagai penjelajah ulung yang ditakuti dimana-mana, dan banyak kelompok lanun Bugis yang kemudian menjadi penguasa, khususnya di kawasan Kepulauan Riau dan Semenanjung.

Selain itu, banyak kelompok perlawanan Bugis seperti Karaeng Galesong yang membantu Trunojoyo dalam melawan Belanda di sepanjang pantai utara Jawa dengan mendirikan markas di Pasuruan pada tahun 1675-1679. Orang Bugis juga banyak yang menjadi prajurit bayaran untuk melindungi kepentingan-kepentingan kerajaan yang mereka tempati. Seperti misalnya di Bali, bahkan sampai Jogjakarta dan Bima.

Diaspora orang Bugis sendiri sangatlah luas, hingga mencakup hampir seluruh wilayah Nusantara (termasuk Singapura dan Malaysia), baik di perkotaan maupun pedesaan. Mereka membangun pemukiman-pemukiman yang kemudian dalam sejarahnya melebur dengan penduduk sekitarnya. Pemukiman orang Bugis di berbagai wilayah sendiri juga sebagian besar penduduknya telah kehilangan bahasa Bugis dan budayanya, serta telah tergantikan oleh bahasa dan budaya penduduk tempat mereka bermukim, terutama sekali di pulau Sumatera, Jawa dan Madura.

Untuk Pulau Sumatera, mereka tersebar di kota-kota bagian timur, khususnya di Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Sedangkan di Pulau Jawa, mereka tinggal di kota-kota utama seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Jogjakarta, Surabaya, Semarang, Malang dan sebagainya.

Di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah, terdapat satu perkampungan Bugis yang ada di dusun Batulawang, desa Kemujan. Penduduk kampung Bugis ini hidup membaur dengan orang Jawa, Madura, Buton dan Bajo yang juga bermukim dikawasan itu.

Daerah Bugisan, Jogjakarta konon juga dulunya adalah pemukiman para prajurit Bugis yang direkrut Raja Jogjakarta dimasa lalu dan kini menjadi bagian kota Jogjakarta.

Sedangkan di Jawa Timur sendiri, banyak kerabat kerajaan Madura yang kawin mawin dengan orang Bugis. Keturunan Bugis ini banyak dijumpai di Sumenep, dan Kepulauan Kangean serta kepulauan Masalembu.

Pulau Bali juga menyimpan beberapa kampung Bugis. Mereka juga adalah keturunan pedagang dan prajurit yang kemudian menetap dan menikah dengan penduduk setempat. Kampung Islam yang banyak dihuni orang Bugis terdapat di Pulau Serangan, Tuban, Kepaon, Tanjung Benoa dan , Kampung Loloan (berbaur dengan keturunan Melayu dari Pahang, Trengganu dan Pontianak), kampung-kampung Islam di kawasan Nusa Penida dan beberapa komunitas kecil baik yang tergabung dalam banjar besar ataupun kampung tersendiri.

Di Nusa Tenggara, banyak pemukiman Bugis yang dijumpai utamanya di kawasan Sumbawa, Flores, Solor, Alor, dan Timor, khususnya di kawasan perkotaan. Bahkan dari segi busana, masyarakat Sumbawa dan Bima banyak terpengaruh oleh Bugis. Dan gelar Kraeng yang dipakai suku Manggarai di Flores juga berakar dari kata Karaeng.

Sedangkan di Pulau Kalimantan, orang Bugis (termasuk Mandar) banyak dijumpai di Kotabaru dan Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan) serta sepanjang pesisir Kalimantan Timur (Pasir sampai Pulau Sebatik) hingga Sabah, Malaysia. Orang Bugis juga bermukim di sepanjang Sungai Mahakam dari Melak di hulu hingga Samboja di hilir sungai. Sarung Tenun Samarinda yang populer itu juga dihasilkan orang-orang Bugis yang ternyata perintis berdirinya kota Samarinda, ibukota Kaltim ini, yang kebanyakan berkonsentrasi di Samarinda seberang.

Lebih besar lagi pengaruh Bugis di Sulawesi, Maluku Utara, Maluku dan Papua dimana di hampir seluruh penjuru pulau bisa dijumpai komunitas-komunitas Bugis, apalagi di pasar-pasar. Dimasa lalu juga, kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan juga setidaknya mendapat pengaruh dari Bugis. Bahkan orang Bugis berdagang sampai di perbatasan Indonesia-Papua Nugini atau kota Merauke, kota tertimur di Indonesia.

Itu hanya sebagian dari persebaran orang Bugis, baik yang sejak berabad-abad silam maupun pendatang-pendatang baru yang datang untuk bekerja atau belajar, utamanya di pulau Jawa.

Banyak sekali orang-orang Bugis yang menjadi orang berpengaruh diberbagai tempat, baik dibidang ekonomi maupun pemerintahan di Indonesia dan sudah dua orang Bugis yang menduduki posisi tertinggi didalam pemerintahan antara lain BJ Habibi dan Jusuf Kalla.

Pendek kata, pengaruh Bugis dalam pembentukan masyarakat Indonesia tidak bisa diabaikan sama sekali. Mereka juga turut berperan serta dalam melawan penjajahan serta memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, jadi tanpa peran serta mereka maka bangsa kita takkan terbentuk seperti sekarang ini.

Sekali lagi...keras, petualang ulung, pedagang ulet dan berani ambil resiko, itu yang saya sukai dari kelompok satu ini.


Bambang Priantono

Kredit kepada: http://bambangpriantono.multiply.com/

Bugis Pulau Bali - Pulau Serangan

Pulau Penyu atau Pulau Serangan di sebelah selatan Pulau Bali bukan hanya hamparan pasir putih dan panorama bahari. Namun sejarah tentang kerukunan antara warga berbeda suku. Tepatnya kekerabatan antara Bugis muslim dan warga setempat yang mayoritas Hindu. Mereka hidup rukun di satu perkampungan yaitu Kampung Bugis.

Usman dan Ali, contoh sosok warga Kampung Bali yang lahir dari darah Sulawesi dan Bali. Ayah mereka Alkam berasal dari Sopeng, Sulawesi Selatan dan ibunya, Made Rentik asli dari Pulau Serangan. Setelah menikah, Made Rentik memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Aisyah.Usman dan Ali merupakan contoh hasil perkawinan campuran antara suku Bugis dan suku Bali.

Tetapi, karena sejarahnya kampung itu tetap disebut Kampung Bugis. Diperkirakan orang Bugis mendarat di Pulau Serangan pada abad 17 atau setelah Belanda menguasai Kerajaan Gowa. Rombongan yang dipimpin Syekh Haji Mukmin meninggalkan Gowa karena tidak sepaham dengan peraturan Pemerintah Belanda. Apalagi ketika itu Belanda sangat mengendalikan kehidupan maritim setempat. “Jadi ada dua saudara.

Satu pro-Belanda satu lagi anti-Belanda. Dia [anti-Belanda] terdampar di ujung timur Pulau Serangan,” ungkap M. Mansyur, sesepuh Kampung Bugis.Tiba di Pulau Serangan orang-orang Bugis mulai membangun perkampungan.

Kedatangan mereka didengar oleh Raja Badung yang menguasai Pulau Serangan. Kelompok Syekh Haji Mukmin diundang ke kerajaan dan dimintai keterangan maksud datang ke Pulau Serangan. Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan XI membenarkan, masyarakat Pulau Serangan punya ikatan sejarah dan darah dengan orang-orang Bugis. “Leluhur kami ada menikah dengan seorang putri raja di Jawa. Ini bukan soal Bugis saja. Maduranya ada, masih campur mereka. Tapi apapun masa lalunya, kita ada hubungan erat dengan Bugis,” kata Ida Cokorda.

Ida Cokorda menunjukkan lokasi di luar Pulau Serangan, namun karena pada dasarnya mereka merupakan suku yang dekat dengan laut. Mereka memohon untuk pindah kembali ke Pulau Serangan. Permohonan mereka dikabulkan. Usman dan Ali juga merupakan contoh orang-orang yang tetap menekuni dunia nelayan.

Di luar Usman dan Ali atau sekitar 70 kepala keluarga di Kampung Bugis, lebih memilih pekerjaan berbeda. Industri pariwisata dan pesatnya pembangunan perlahan-lahan mengubah pola hidup warga setempat. Kalaupun mereka berada di laut, lebih karena sebagai penyedia jasa wisata bahari. Kesetiaan Usman dan Ali meneruskan bakat nenek moyang juga diperkuat kepiawaian menyelam di laut.

Mereka menyelam dengan peralatan sederhana sambil memanah ikan. Hampir segala jenis ikan pernah ditangkap termasuk ikan hias. Ikan tersebut dijual atau mereka makan sendiri. Roda kehidupan Kampung Bugis yang sebenarnya lebih terlihat kala suara azan magrib terdengar. Setelah kumandang azan, seluruh warga akan datang ke Masjid Assyuhada yang merupakan satu-satunya masjid di Kampung Bugis.

Usai menunaikan salat magrib, anak-anak berkumpul untuk belajar mengaji. Rutinitas ini persis dilakukan nenek moyang mereka di Sulawesi Selatan. Kecintaan warga Kampung Bugis terhadap Islam, sejarah nenek moyang, adat istiadat Suku Bugis terlihat dari sebuah alquran tua. Mereka memelihara alquran tua itu karena konon dibawa Syekh Haji Mukmin. Ayat-ayat suci yang ditulis dalam lembaran kertas masih terbaca jelas.

Kitab itu dibungkus dengan kain tebal berwarna hijau agar tidak rusak. Alquran dalam berbagai kesempatan dibawa keliling kampung atau warga setempat menyebut acara ini dengan kirab. Mereka berkeliling sambil membaca salawat nabi. Kitab alquran tua, lantunan shalawat nabi, dan makam Syekh Haji Mukmin serta pengikutnya itu menjadi catatan penting keberadaan Suku Bugis di Pulau Serangan.

Catatan ini terus dipelihara meski proses perkawinan antarsuku banyak terjadi. “Syekh Haji Mukmin Membawa bekal satu kitab alquran. Dia berpesan kalau ada musibah atau bahaya apapun, kamu harus mengelilingi kampung sambil membawa alquran ini,” tutur M. Mansyur. Sesepuh Kampung Bugis ini menambahkan, tidak seorang pun tahu termasuk Syekh Haji Mukmin, siapa penulis alquran tersebut. “Ini tulisan tangan,” kata Mansyur.

Di luar catatan sejarah dan budaya suku Bugis di Pulau Serangan, selama 14 tahun terakhir, warga Kampung Bugis dan warga lain dihadapkan pada persoalan baru, yaitu reklamasi pulau. Karena reklamasi, lahan yang tadinya hanya 112 hektare disulap menjadi 481 hektare. Keadaan ini membawa perubahan terhadap kehidupan masyarakat terutama menyangkut kondisi lingkungan dan lahan lakah.

Dampak lain, Usman dan Ali atau warga setempat juga makin sulit mencari ikan hias yang dulu sering mereka tangkap sambil menyelam. Kerusakan mangrove membuat ikan menjauh ke tengah samudra sehingga kehidupan bernelayan sangat terganggu. Cara hidup orang Bugis kini bergeser ke daratan.

Kalaupun masih ada yang bertahan sebagai nelayan, karena tidak punya pilihan lain. “Jadi, walaupun ada pendatang, tapi rel-rel dasar mereka tetap Bugis, tetap orang Jawa tetap orang Madura, dan kami juga tetap Hindu. Tetapi menghadapi hal-hal yang negatif, kami tetap satu,” kata Ida Cokorda.

Kendati begitu, Ida Cokorda memastikan warga Pulau Serangan tidak akan kehilangan identitas karena mereka seperti ikan berenang di laut. “Walaupun air laut asin, tapi kami [ikan] tidak asin,” kata Ida Cokorda. Mansyur juga memastikan kerukunan antar penganut agama berbeda di Pulau Serangan termasuk nomor satu di seputar Bali. “Tidak pernah satu kali pun dari dulu terjadi keributan,” tegas Mansyur.

Sumber : Liputan6.com