Itu hanya joke, untuk menyanggah pendapat kawan saya, Dias Pradadimara, dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Kata Dias dalam bedah buku ini bersama saya di acara KAMASUKA (Keluarga Mahasiswa Sunan Kalijaga) Sulsel di Yogyakarta, hari Sabtu, 25 Februari lalu, “orang Bugis terlalu serius, kurang tahu humor”. Terbukti anda tertawa, mendengar joke dari Tana Ugi’ ini. Jadi baik produsen maupun konsumen joke itu, adalah orang Bugis dan Makassar, mengerti humor. Cuma orang Bugis memang orang-orang serius, yang sangat disiplin bekerja, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan mereka. Itulah bagian dari filsafat hidup mereka yang menjunjung tinggi tiga kebebasan: kebebasan berpendapat, kebebasan berusaha, dan kebebasan bermukim. Kalau satu, dua, atau bahkan ketiga kebebasan itu dirongrong oleh penguasa, mereka lebih baik hijrah, ketimbang hidup di bawah penindasan.
Terlalu Bugis-Sentris, Kurang 'Perancis'
Itu hanya joke, untuk menyanggah pendapat kawan saya, Dias Pradadimara, dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Kata Dias dalam bedah buku ini bersama saya di acara KAMASUKA (Keluarga Mahasiswa Sunan Kalijaga) Sulsel di Yogyakarta, hari Sabtu, 25 Februari lalu, “orang Bugis terlalu serius, kurang tahu humor”. Terbukti anda tertawa, mendengar joke dari Tana Ugi’ ini. Jadi baik produsen maupun konsumen joke itu, adalah orang Bugis dan Makassar, mengerti humor. Cuma orang Bugis memang orang-orang serius, yang sangat disiplin bekerja, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan mereka. Itulah bagian dari filsafat hidup mereka yang menjunjung tinggi tiga kebebasan: kebebasan berpendapat, kebebasan berusaha, dan kebebasan bermukim. Kalau satu, dua, atau bahkan ketiga kebebasan itu dirongrong oleh penguasa, mereka lebih baik hijrah, ketimbang hidup di bawah penindasan.
UNESCO Evaluates I La Galigo Manuscript Elligibility to become a World Cultural Heritage
According to Jan, the seminar is one of the steps to obtain a UNESCO certificate. “I La Galigo was proposed last month. After the seminar, it will be evaluated by the Asia Pacific region commission and then submitted to UNESCO,” said Jan.
The La Galigo manuscript is considered to have fulfilled all the criteria. Besides its unique quality, the manuscript is the longest in the world, besides the Mahabarata epic. In addition, it has a cross-country and cross-period value. “The manuscript is are in danger of extinction. This is why we are optimistic about getting a UNESCO certificate,” said Jan.
The I La Galigo’s greatness is well known. Jan said that various researches and evaluation already done on it would become a strong testimony to facilitate the selection. I La Galigo is an epic about a Bugis community ‘s early life on earth.
Kisah Sawerigading Jadi Cermin Budaya Bugis
MAKASSAR, KOMPAS.com--Pengamat budaya dari Universitas Negeri Makassar, Prof Dr Muhammad Rapi Tang, menilai bahwa kisah mengenai pelayaran Sawerigading yang tertuang dalam sastra La Galigo menjadi cermin nilai-nilai budaya masyarakat Bugis.
"Banyak nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kisah pelayaran Sawerigading ke negeri China untuk mencapai tujuan hidupnya," ungkapnya di Makassar, Selasa.
Menurut dia, kisah pelayaran Sawerigading tersebut merupakan cerita rakyat Bugis yang secara khusus bertema kekerabatan.
Sejarah Orang Bugis

Orang bugis juga memiliki kesastraan baik itu lisan maupun tulisan. Berbagai sastra tulis berkembang seiring dengan tradisi sastra lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan disalin ulang. Perpaduan antara tradisi sastra lisan dan tulis itu kemudian menghasilkan salah satu Epos Sastra Terbesar didunia Yakni La Galigo yang naskahnya lebih panjang dari Epos Mahabharata.

Bagi orang bugis menjadikan islam sebagai Integral dan esensial dari adat istiadat budaya mereka. Meskipun demikian pada saat yang sama berbagai kepercayaan peninggalan pra-islam tetap mereka pertahankan sampai abad ke 20 salah satu peninggalan dari jaman pra islam itu yang mungkin paling menarik adalah Tradisi Para Bissu (Pendeta Waria).
Ringkasan Isi Surek Galigo Sawerigading & La Galigo Ke Senrijawa
2. Utusan pembawa undangan itu juga mengundang anak datu tujuh-puluh, sambil mengatakan bahwa sejak bulan lalu dia mengantar juga undangan ke Tompo Tikka, Singki Wéro dan Lau Saddeng.
3. Anak datu tujuh-puluh sedang asyik menyabung ayam di gelanggang, sedang Wé Tenridiyo yang bergelar Batari Bissu anak Sawérigading yang dinasibkan menjadi bissu sejak kecil, menengadah ke langit berkomunikasi dengan orang kayangan suami langitnya yang bernama To Sompa Riwu.
4. To Sompa Riwu turun dari langit menjemput Wé Tenridiyo menaikkannya ke Boting Langi. Dalam perjalanannya ke Boting Langi, dia melihat dunia yang ditinggalkan itu besarnya hanya bagaikan sebua kempu.
Naskah Kuno Kerajaan Pindah Tangan
"Banyak naskah kuno yang dulu milik beberapa kerajaan di Indonesia, sekarang menjadi koleksi perpustakaan di luar negeri, salah satunya naskah cerita rakyat dari Sulawesi Selatan La Galigo yang kini berada di Perpustakaan Leiden di Belanda," katanya, di Yogyakarta, Rabu.
Ia mengatakan naskah kuno yang keberadaannya tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dapat berpindah kepemilikan karena ketidakpahaman masyarakat di negeri ini tentang nilai yang terkandung pada naskah itu.
"Jika ada orang asing datang dan ingin memilikinya, maka mereka rela melepas setelah disodori sejumlah uang sebagai pengganti naskah kuno tersebut," katanya.
Kodir mengatakan, orang maupun lembaga asing sangat berminat untuk memiliki naskah-naskah peninggalan sejumlah kerajaan di Indonesia, karena mereka memahami kandungan nilai pada naskah tersebut yang kaya informasi serta pengetahuan.
"Berbeda dengan masyarakat kita yang tidak mengerti kandungan nilai naskah kuno itu, dan mereka hanya tahu bahwa naskah yang mereka simpan hanya sebuah buku yang diwariskan secara turun temurun dari ayah, kakek, buyut, dan seterusnya," katanya.
Menurut dia, jika sebuah naskah kuno sudah menjadi milik pihak asing, maka semua informasi yang terkandung di dalamnya mutlak telah berpindah kepemilikan.
"Apabila pihak Indonesia ingin mendapatkan informasi, data, maupun pengetahuan dari naskah yang sudah berpindah kepemilikan, maka akan dipungut biaya oleh pemilik baru," katanya.
Ia mengatakan, untuk mengantisipasi berpindahnya kepemilikan naskah kuno, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) sedang gencar melakukan konservasi dan digitalisasi naskah jenis itu yang masih tersebar di seluruh Indonesia.
"Kewenangan Perpusnas diatur dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Sistem Perpustakaan Nasional," katanya.
Kredit kepada: http://oase.kompas.com
Malaysia dan Indonesia Usulkan Mak Yong sebagai "Memory of the World"
Kenyataan itu diungkapkan peneliti dan pakar budaya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Pudentia, pada seminar Memory of the World bertajuk Peduli Budaya dan Warisan Dokumenter untuk Meningkatkan Jati Diri dan Harga Diri Bangsa, Senin (14/9) di LIPI, Jakarta. Mak Yong yang keberadaanya sudah ada sejak 150 tahun lalu, sudah masuk nominasi sebagai Memory of the World, tapi masih perlu dilengkapi, tandas Pudentia.
MoW adalah program UNESCO yang memberikan perhatian pada ingatan kolektif manusia berupa warisan dokumenter yang secara sah dapat menjadi bukti kejadian penting dalam sejarah umat manusia. Keunikan warisan budaya manusia dalam bentuk pemikiran/penemuan baru dan segala bentuk peninggalan yang bermanfat bagi peradaban manusia dapat diperlihatkan melalui program WoW, yang telah ditetapkan UNESCO sejak tahun 1992.
Indonesia baru bergabung sejak 2005 dalam program ini. Usulan Indonesia tentang Nagarakrtagama sebagai Memory of the World telah diterima tahun 2008 lalu. Sejak tahun lalu, Komisi Memory of the World (MOW) Indonesia mengusulkan dokumentasi Mak Yong dan I La Galigo. Mak Yong kita usulkan karena memiliki kekuatan yang luar biasa sebagai penanda identitas kemelayuan. Ini sebagai bukti bahwa Melayu memiliki repertoar yang melebihi dari apa yang kita kenal sekarang.Pudentia menjelaskan, tentang Mak Yong ini, Malaysia tidak punya naskahnya, tidak punya topeng serta alat musik khas kesenian Mak Yong, gedomba. Alat musik tersebut pernah mau dibeli Malaysia, berapa pun harganya. Tapi pewaris kesenian Mak Yong tak mau menjualnya.
Peneliti dan pakar budaya Mukhlis PaEni mengatakan, I La Galigo diusulkan karena merupakan salah satu karya sastra besar dunia. Di dalamnya ada cerita berbingkai ibarat cerita bersambung yang tak pernah habisnya. Naskah aslinya ada 6000 halaman, di mana per halaman ada 50 baris, atau lebih kurang 300.000 baris panjangnya. Sekitar 1,5 lebih panjang dari epos Mahabrata, ujarnya.
Menjawab pertanyaan Arya Gunawan dari UNESCO Jakarta, Mukhlis PaEni menjelaskan, I La Galigo yang dipertandingkan secara internasional untuk mendapat pengakuan sebagai Memory of the World, tak membuat Indonesia cemas. Dunia tahu I La Galigo sebagai karya besar dunia. "Yang membuat kita cemas, bagaimana meyakinkan bangsa sendiri tentang perlunya warisan budaya ini dijaga dan dilestarikan," katanya.Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman mengatakan, mengingat warisan budaya bersifat humaniter, global dan mempunyai kaitan dengan bangsa-bangsa lain, Indonesia merasa sangat berkepentingan untuk ikut serta dalam program UNESCO yang memberikan perhatian pada ingatan kolektif manusia berupa wa risan dokumenter yang secara sah dapat menjadi bukti kejadian penting dalam sejarah umat manusia.
Indonesia adalah sebuah negeri yang sangat kaya akan warisan budaya, yang memiliki makna sejarah sangat tinggi dan tak ternilai, serta artistik dan penuh nilai-nilai spiritual. "Warisan budaya ini adalah milik kita bersama, maka untuk menjaga kelestariannya perlu dukungan politik dan komitmen yang kuat dari semua pihak," ungkapnya.
Kredit kepada: http://oase.kompas.com
Dua Warisan Karya Budaya Indonesia Diusulkan Sebagai Memory of the World
Pengakuan dalam bentuk serfikat Memory of the World sebelumnya telah diporelah Indonesia untuk warisan karya budaya naskah Negara Kertagama, yang diputuskan dalam sidang MOWCAP (Memory of the World Committee fo Asia/Pacific)-UNESCO di Australia pada 17-18 September 2008 lalu.
"Warisan karya budaya I La Galigo dari Makassar yang kita usulkan ke MOWCAP adalah berupa naskah, sedangkan Makyon dari Riau (Melayu) berupa tradisi lisan," kata Menbudpar Jero Wacik dalam keterangan pers akhir tahun di Jakarta, Selasa (22/12).
Menbudpar Jero Wacik mengatakan, pengakuan UNESCO terhadap warisan budaya Indonesia itu sangat besar perannya dalam upaya pelestarian dan pengakuan dunia, yang di era ekonomi kreatif sekarang ini warisan karya budaya tersebut merupakan mata uang baru yang dapat mensejahterakan masyarakat. "Karya budaya sebagai doposit ini harus kita gali, lindungi, serta dikembangkan agar menjadi mata uang baru untuk mensejahterakan masyarakat," katanya.
Kredit kepada: http://www.budpar.go.id
Pementasan Teater Kontemporer 'I La Galigo' Memukau Publik Milan, Italia
Disebutkan, publik di kota Milan sangat mengagumi pementasan itu dan sebagian besar penonton menilai bahwa pementasan teater kontemporer 'I La Galigo' sangat fantastik.
Pertunjukan teater ini telah banyak memukau seni pentas teater kontemporer dunia. 'I La Galigo' pernah digelar di Esplanade, Singapura, Lincoln Center Festival, New York, Het Muziektheatre, Amsterdam, Forum Universal de la Cultures Barcelona, Spayol, Les Nuit de Fourviere Rhone, Perancis, dan Ravenna Festival, Italia.
Pesan dari pementasan 'I La Galigo' adalah bahwa manusia pada awalnya diibaratkan selalu sibuk dengan segala urusannya, namun tidak akan membawa apa-apa ketika meninggal dunia.
Kredit kepada: http://www.budpar.go.id
Aku Ingin Ke Belanda Mencari Ilmu I La Galigo

Saat kesunyian magis kian menyihir penonton, mendadak dihentak musik tabuh mengiringi tiga pria berpakaian laskar Bugis. Mereka melintas sambil melompat-lompat. Di akhir pementasan, adegan itu kembali muncul. Namun, mereka hanya berjalan mengusung benda-benda dalam bayangan kosong. Sesudahnya, seorang pemeran I La Galigo merosot turun dari tangga hidrolik ke bawah panggung. Inilah awal dan akhir cerita.
Tak kurang dari 2.000 penonton yang memadati gedung teater megah Esplanade, Rafless Street, Singapura, Jumat (14/3) pekan lalu memberikan apresiasi spontan. Mereka terhenyak berdiri dengan gemuruh tepuk tangan menggema selama beberapa menit. Tampak ikut berdiri, Menko Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla bersama istri, 15 rombongan dari Jakarta. Juga dedengkot Teater Koma Nano Riantiarno bersama istri, aktris Christine Hakim, Ria Irawan, dan lainnya. Hadir beberapa pengusaha, tokoh pers Djafar Assegaf hingga ekonom Sadli.
Sungguh apresiasi hebat atas epik Bugis berlakon I La Galigo yang diusung arsitek teater kontemporer dunia, Robert Wilson. Ia berhasil mengangkat epik berumur ribuan tahun yang mulai terkikis di masyarakat Bugis. La Galigo merupakan sastra unik karena memiliki gejala khas konsisten, gaya bahasa dan alur cerita. "Epik ini sederhana dan alami, karenanya saya lebih menonjolkan kreativitas artis dengan memadukan gerakan, kata-kata, teknik lampu, musik, dan imajinasi," kata Wilson.
Keberhasilan pentas perdana ini tak lepas dari dukungan 50 aktor seniman Indonesia. Dalam kerangka artistik bersentuhan teknologi, penari dari Sulawesi Selatan, Jawa, Bali, Sumatera, dan Papua membuat cerita menjadi hidup. Selepas tiga hari di Singapura, I La Galigo terbang ke Amsterdam, Barcelona, Lyon, Ravenna, Italia, dan New York.
I La Galigo sejatinya karya sastra Bugis kuno yang berisi tentang genesis orang Bugis dan filosofi kehidupan manusia. Menurut peneliti Belanda Roger Tol, kitab La Galigo memiliki panjang sekitar 300 ribu baris. Dua kali lebih panjang dibanding Mahabharata dan Ramayana serta sajak-sajak Homerus dari Yunani sepanjang 160-200 ribu baris. Peneliti La Galigo selama 25 tahun ini juga menilai gaya bahasanya sangat indah.
Sedikit dialog
Robert Wilson membuka lakon ini dengan gaya tengok belakang. Awal cerita menampilkan seorang pria berpakaian Kerajaan Cina, duduk bersila membaca kitab I La Galigo yang ditulis dengan bahasa Lontar. Ia menampilkan kisah yang praktis berurutan, sejak cerita tentang kakek dan kemudian giliran ayah, dan terakhir tentang I La Galigo. Selama tiga jam tampak adegan-adegan yang terharmonisasi tarian dan musik tradisional, serta kilatan permainan cahaya. Dialog bisu di atas panggung dihidupkan 70 alat musik Bugis.
Tampak sekali Robert mengangkat teks-teks kuno berwujud puisi menjadi cerita epik sederhana. Ia ingin membawanya ke dunia masa kini yang jarang diketahui orang. Maka, ia meminimalkan dialog, yang dibawakan "dalang" pendeta bissu asli Puang Matoa Saidi. Dialog maupun cerita ringkas dalam bahasa Bugis yang dilantunkan. Untuk menuntun plot dalam bahasa Lontar halus, disediakan terjemahan bahasa Inggris di papan teks sisi kiri panggung.
Tari garapan Andi Ummu Tunru menguatkan La Galigo sebagai tradisi tua. Tari Pakarena dari Makassar, Pajoge dari Bone, Pajaga dari Luwu, Pegellu dari Toraja, dan Pamanca dari Gowa. Kostum garapan Joachim Herzog dengan warna mencolok menegaskan karakter para tokoh. Patoteque putih bersih, tokoh Batara Guru merah, tokoh Sawerigading kuning.
Kilatan permainan lampu mengganti warna-warna latar belakang cerdas mendukung penonjolan tokohnya. Sorotan snap shot menimbulkan efek tiga dimensi. Gemuruh musik perpaduan perkusi, sayatan rebab juga menyuguhkan suasana berbeda-beda.
Sebelum pementasan, Andi Ummu Tunru yang mengenakan gaun panjang cokelat kepada Koran Tempo mengatakan, penggarapan karya ini menjalani proses panjang. Mereka harus melakukan penelitian tentang kitab La Galigo selama tiga tahun. Begitu juga membuat seminar terbuka penggalian sastra La Galigo. Selepas itu, terbentuk kesepakatan menampilkannya berupa pementasan. "Persiapan pentas perdana di Singapura dilakukan selama dua minggu," katanya.
Mereka berlatih tiga kali sepekan di Benteng Fort Rotterdam, Singapura. Sebelumnya, para seniman harus belajar Pamanca di Desa Paopao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Latihan selalu berlangsung pada pukul 23.00-04.00 Wita. Latihan ditutup dengan ritual maccera, yaitu memotong ayam sebagai pertanda syukur.
Cikal bakal pertunjukan ini ketika penari Restu Kusumaningrum, koordinator artistik produksi, bersama Rhoda Grauer, produser seni dan penulis naskah lakon ini, sepakat mewujudkannya menjadi seni pertunjukan. Bersama Rahayu Supanggah mereka membuat presentasi di studio Robert Wilson di New York, dan berhasil menggaet Change Performing Arts (Italia) sebagai sponsor.
Kitab La Galigo mulanya dikumpulkan Raja Paccana, Colliq Pujie, dari lembaran-lembaran daun lontar. Ia hidup pada 1812-1876. Statusnya sebagai Raja Tanete tidak menghalangi kerjanya. Saat itu, Kabupaten Barru masih terbagi empat kerajaan: Tanete, Balusu, Malluisetasi, dan Barru.
Naskah La Galigo tersebar di beberapa negara. Selain empat di Inggris dan beberapa naskah di Belanda, lima naskah La Galigo juga tersimpan di Library of Congress Washington DC, Amerika Serikat. Naskah-naskah tersebut, Bugis (1) War betw Two Rajahs, Bugis (2) Day of Judgement-fr. The Koran, Bugis (3) A Tale, Bugis (4) A Rajah's courtship, Bugis (5) Marriage froms, etc.
Peneliti sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, Nurhayati Rahman, menjelaskan, kitab asli La Galigo tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah itu dibawa Dr. Benjamin Frederik Matthes sekitar 1800-an. Awalnya, Matthes dikirim ke Sulawesi Selatan oleh Nederlands Bijbelgenootschap untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan Makassar. Pulang ke Belanda, ia membawa 25 naskah Sureq La Galigo.
Rencana pementasan La Galigo sempat menuai protes medio tahun lalu. Proyek lakon ini dinilai banyak mencangkokkan unsur-unsur luar Bugis. Padahal, unsur-unsur Bugis yang menjadi landasannya justru ditinggalkan. Para seniman Sulawesi Selatan berpandangan pementasan itu bisa membangun persepsi keliru tradisi dan syair kepahlawanan yang mengakibatkan jiwa La Galigo tak utuh. Para peneliti, ilmuwan, dan seniman yang terlibat sejak awal proyek La Galigo malah ditinggalkan.
Nurhayati menjelaskan, Rhoda Grauer dan Restu Kusumaningrum dari Bali Purnati Centre for The Art, tidak menghargai hak intelektual dan para peneliti La Galigo. Padahal, Rhoda Restu hanya sebagai penghubung dengan sutradara Robert Wilson. Konon, kontroversi ini yang membuat pementasan La Galigo tidak digelar di Tanah Air. Kontroversi tersebut ditepis Jusuf Kalla yang menyebut tidak tersedianya gedung representatif sebagai penyebab.
Peneliti La Galigo yang lain, Muhammad Salim, mengatakan tidak mungkin melakonkan utuh La Galigo. Sebab lebih panjang dari epos Mahabharata dan petualangan tokoh utamanya sebanding dengan kisah Ulysses dalam Odyssey karya Homer. Diambillah keputusan mengambil salah satu bagian terpenting: awal mula manusia di bumi.
Sumber: bugisbelanda.blogspot.com (sumber asal dari www.korantempo.com)
Belajar I La Galigo Sampai Leiden - Belanda

Adalah Colliq Pujie, bangsawan Bugis yang berjasa menyelamatkan naskah-naskah itu. Ia mengumpulkan semua cerita dalam 12 jilid kitab dengan total 2.851 halaman. 12 jilid ini merupakan ringkasan cerita La Galigo. Ia mulai mengerjakan naskah ini tahun 1852, atas dorongan seorang peneliti Belanda bernama D.R.B. F. Matthes.
Ironisnya, meski naskah ini asli milik Indonesia, namun yang menyimpannya justru Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah ini disimpan di lantai dua. Dalam sebuah ruangan bersuhu 18 derajat Celcius. Di ruangan ini tersimpan ratusan fragmen La Galigo dalam bentuk manuskrip. Koleksi naskah La Galigo di perpustakaan ini merupakan yang paling lengkap di dunia. Karena koleksi milik bangsawan Bugis sendiri tak ada yang selengkap itu.
Naskah La Galigo di sini tak semuanya milik Colliq Pujie. Ada juga diantaranya milik bangsawan Bugis yang lain. Misalnya saja manuskrip dari daun palma berisi tiga episode La Galigo. Naskah ini ditemukan di sebuah rumah di Lamuru. Diserahkan oleh J.G.F. Van Son ke perpustakaan pada 20 April 1906. Namun, naskah ini tak boleh disentuh apalagi dibaca, mengingat usianya yang sudah begitu tua. Bila ingin membaca, kita dipersilahkan melihatnya dalam bentuk film mikro.
Menurut Roger Tol, direktur Perpustakaan KITLV (Institut Kerajaan untuk Linguistik dan Antropologi), ada alasan khusus mengapa La Galigo tak mungkin di simpan di bumi tempat lahirnya La Galigo, Sulawesi. Iklim daerah ini terlalu panas bagi manuskrip tua. Sedang Belanda, memiliki iklim lebih bersahabat. Tapi, mungkin ada alasan lain mengapa naskah ini disimpan di Belanda. Banyak naskah-naskah asli La Galigo yang hancur karena kecerobohan para pemiliknya. Misalnya saja sebuah naskah La Galigo milik Colliq Pujie yang diwariskan pada keturunannya. Naskah itu hancur karena kucing melahirkan di atasnya. Lalu, ketika dicuci dan dijemur,hujan malah datang dan mengguyur manuskrip, hingga lebur tak bersisa. Uh, malangnya. Sepertinya, kita memang harus belajar banyak dari Belanda, bagaimana cara memperlakukan warisan sejarah nenek moyang.
Sumber: http://bugisbelanda.blogspot.com/
Pakar Kebudayaan Bugis La Galigo

Bagaimana dengan situasi dan kondisi naskah atau manuskript kebudayaan begitu banyak suku bangsa Indonesia? Benarkah lebih banyak naskah kebudayaan Indonesia yang tersimpan di luar negeri? Apakah naskah-naskah sejarah yang ada di Indonesia masih tersimpan dan terjaga dengan baik? Bagaimana dengan naskah-naskah kebudayaan Indonesia yang tersimpan di Belanda?
Ikuti rangkuman Dialog Interaktif Radio Nederland dengan stasiun mitra Radio Bharata FM di Makassar bersama drs Sirtjo Koolhof, seorang pakar kebudayaan Bugis yang mengangkat epik La Galigo dalam skripsinya. Drs S. Koolhof kini bekerja sebagai pustakawan di KILTV (Lembaga Bahasa dan Budaya Asia Tenggara -Karibia) di Leiden. KITLV merupakan perpustakaan yang memiliki koleksi literatur Indonesia terbesar di luar negeri. Pemandu acara di stasiun mitra Radio Bharata FM adalah Erik Alamsyah dan didampingi oleh Bapak Karim Beso dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Makasar.
La Galigo
La Galigo adalah Epik tertulis yang terpanjang di dunia. Epik ini menceritakan tentang penciptaan alam semesta yang berawal dengan seorang raja dunia atas atau raja langit yang bernama La Patiganna. Karya La Galigo ini merupakan suatu karya sastra yang sangat agung . Bila dibandingkan dengan budaya daerah-daerah lain di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu di Jawa atau Bali, La Galigo memiliki keunikan tersendiri yakni dari gaya penyampaian, bahasa, dan formula yang digunakan merupakan campuran tradisi lisan dan tulisan.
Sebelumnya pada tahun 1983 telah ada desertasi yang dibuat oleh bapak profesor Fachruddin Ambuendre di Universitas Indonesia. Namun saat itu belum pernah ada yang diterbitkan dalam bentuk tulisan ilmiah dengan terjemahan bahasa Bugis.
Penelitian Sirtjo Koolhof
Dengan adanya keunikan khusus tersebut maka Sirtjo memilih topik La Galigo sebagai sumber inspirasi penulisan tugas akhirnya, "Saat itu saya masih mahasiswa di jurusan Sastra Indonesia di Unviersitas Leiden, saya sangat tertarik dengan budaya dan bahasa Sulawesi terutama sastra Bugis .Dan dalam sastra Bugis ini , La Galigo yang paling yang dan karena pada waktu itu belum ada satu episode yang diterbitkan dan terjemahan dalam bahasa Bugis."
Penelitian skripsinya dilakukan di sebuah daerah di desa Sidrap-Amparita yang hanya berpenduduk 10.000 jiwa orang. Selama 3 bulan lamanya, Sirtjo Koolhof melakukan penelitian dengan menanyakan langsung kepada masyarakat setempat dan menyaksikan kehidupan sehari-hari mereka seperti upacara kelahiran bayi, upacara pernikahan, dan lain sebagainya. Dalam upacara-upacara tersebut terdapat unsur cerita La Galigo. Misalnya "Di daerah Sidrap masih ada masyarakat setempat yang masih memilki naskah La Galigo namun sudah tidak ada orang lagi yang bisa membacanya" tegas Sirtjo.
Dikarenakan situasi iklim di Indonesia yang lembab dan panas belum lagi ancaman rayap, maka sulit sekali menemukan sebuah naskah asli yang berumur lebih dari satu abad. Menurutnya kebanyakan naskah kebudayaan yang ada di Indonesia merupakan naskah salinan. Sirtjo selalu membuat salinan dari setiap naskah yang ia dapatkan.
Dengan bantuan seorang pakar Bugis Bapak Muhammad Salim, Sirtjo Koolhof mendapatkan pementasan tradisi Makduta sebagai salah satu bahan yang digunakan dalam penulisan skripsinya. Pentas Makduta ini menceritakan tentang Sawerigading yang melamar We Cudai. Sawerigading merupakan simbol laki-laki Bugis yang cakap, baik dan patuh kepada keluarganya. Sawerigading semula jatuh cinta pada We Tenriyabeng yang sebenarnya adalah saudara kembarnya. Mereka tidak saling mengenal, karena mereka dipisahkan sejak dilahirkan. Namun setelah mengetahui bahwa We Tenriyabeng merupakan saudara kandungnya sendiri, mereka tidak bisa menikah. Akhirnya Sawerigading meninggalkan Luwuk. Dalam perjalanan ke Cina, di Wajo ia bertemu We Cudai seorang wanita yang mirip sekali dengan We Tenriyabeng. Mereka menikah dan lahirlah La Galigo. Pementasan Makduta berlangsung kurang lebih 10 - 15 menit.
Selain penelitian lapangan, Sirtjo Koolhof juga banyak mendapatkan informasi dari salinan naskah-naskah La Galigo di perpustakaan Leiden, kota dengan Universitas paling tua di Belanda. Perpusatakaan ini bisa diakses oleh semua orang. Sehingga sangat mudah untuk mendapatkan segala informasi yang dibutuhkan. Naskah lain juga terdapat di Jakarta yakni di perpusatakaan Nasional dan juga di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan di Gedung Mulo yang memilki 15 buah naskah Bugis.
Pementasan I La Galigo di Eropa
Tahun 2004 telah digelar I La Galigo di beberapa negara Eropa seperti di Belanda, Perancis dan Amerika. Pementasan tersebut diterima dan dihargai sangat positif oleh berbagai kalangan masyarakat. Koran The New York Times yang biasanya sangat kritis memberikan komentar yang optimis. Pementasan I La Galigo dibawah bimbingan Robert Wilson seorang seniman teater dari Amerika Serikat. Cerita pementasan I La Galigo ini merupakan percampuran dari berbagai kebudayaan dengan tetap menggunakan ciri kebudayaan Makasar yang melahirkan budaya dunia secara menyeluruh. Yang menarik adalah bahwa pertunjukan ini ditujukan kepada seluruh golongan masyarakat dan tidak didasarkan pada satu budaya daerah tertentu saja.
Theatre guru: Robert Wilson

Internationally famous for his mesmerizing, epic theater works such as Einstein on the Beach, Robert Wilson talks about his three-hour Indonesian production I La Galigo. The Hot Ticket at the Melbourne International Arts Festival last year, it's based on the creation myth of the Bugis people of South Sulawesi.
Originally broadcast 22 October 2006.
Buku 'Manusia Bugis' Akhirnya Terbit Dalam Bahasa Indonesia
Penerbit Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta Paris menerbitkan buku Manusia Bugis karya Christian Pelras, 10 tahun setelah edisi pertama dalam bahasa Inggris, The Bugis, diterbitkan oleh Blackwell Limited, Oxford, Inggris.
Dr Marwah Daud Ibrahim, seorang tokoh Indonesia kelahiran Bugis, menyambut gembira penerbitan terjemahan Manusia Bugis tersebut yang disebutnya sangat tepat waktunya, mengingat isi yang ditulis dalam buku tersebut sudah banyak yang sulit ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam peluncuran buku Manusia Bugis di Bentara Budaya di Jakarta, Kamis siang, Marwah mengatakan, dirinya merasa sangat beruntung dapat mengalami masa kanak-kanak seperti yang banyak dituturkan oleh Pelras dalam buku tersebut.
"Beberapa lagu rakyat yang ditulis di dalam buku ini saya kenal dan saya masih bisa menyanyikannya," kata Marwah yang menyanyikan salah satu lagu sambil menerjemahkannya.
Syair lagu yang dinyanyikannya berupa petuah, bahwa masa kecil atau kanak-kanak adalah masa yang paling tepat untuk belajar serta anjuran untuk belajar.
"Sekarang jika saya jalan ke kampung-kampung Bugis, lagu yang mereka nyanyikan sudah beda sekali dan bisa dibandingkan muatannya," kata Marwah sambil menyanyikan lagu anak-anak masa kini yang isinya tentang seorang anak memanggil penjaja makanan.
Menurut Marwah, budaya tutur dari para orang tua pada generasinya dulu, masih sangat kental dan dia bersyukur masih mengalami saat-saat indah ketika bulan purnama semua orang keluar rumah, bercengkerama sambil mendengarkan tuturan para orang tua.
Mengenai kesetaraan gender pada masyarakat Bugis yang juga disorot dalam buku itu, Marwah membenarkannya, karena ia pun merasakan perlakuan keluarga dan komunitas Bugis yang tidak pernah membedakan perempuan dan laki-laki.
"Selama ini saya melakukan apapun, pergi ke manapun juga tanpa beban bahwa saya adalah perempuan. Mungkin memang sudah dari 'sana' begitu," katanya.
Sebagai orang Bugis Soppeng, Marwah mengaku justru memperoleh banyak informasi dari buku karya Pelras (72) sastrawan dan antropolog Perancis yang menghabiskan waktu selama 40 tahun untuk meneliti 'Manusia Bugis'.
Bukan hanya Marwah yang memuji isi buku tersebut, karena putra Bugis lainnya, Dr Mochtar Pabottingi pun mengupas dengan jeli isi buku yang mengupas lengkap tentang seluk-beluk orang Bugis.
"Dalam buku ini diungkapkan bahwa orang Bugis sejatinya adalah petani, tetapi akhirnya juga terjun ke laut dan dikenal luas sebagai pelaut ulung, semata-mata karena niat menguasai perdagangan, atau bisa dibilang menguasai sektor hulu hingga ke hilir, produksi dan perdagangan," ujar Mochtar.
'Manusia Bugis' disebut-sebut sebagai penjelajah dan dengan ringan akan hijrah meninggalkan kampungnya jika merasa tidak sesuai dengan pemimpin atau raja, namun di tempat baru, orang Bugis selalu bisa menyatu melalui kawin-mawin.
Namun bukan hanya pujian yang ditujukan pada Pelras, karena dr George Junus Aditjondro, yang juga tampil sebagai pembahas dalam peluncuran buku tersebut menyebut karya Pelras ini sangat "Bugis" an kurang "Perancis".
Ia menyebut, Pelras sudah sangat Bugis dan mengabaikan suku-suku kecil di sekitarnya misalnya Luwu, dan itu tidak seperti kebiasaan peneliti Perancis.
Sebagai putra Jawa yang tumbuh dan dibesarkan di Makassar dan banyak memahami kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, George justru menyayangkan sikap penulis yang kurang memperhatikan konsep orang Bugis dan kaitannya dengan suku-suku lain di kawasan tersebut.
Nirwan Ahmad Arsuka, seorang putra Bugis lainnya yang menjadi moderator dalam diskusi tersebut, terlihat memberikan waktu yang longgar kepada para pembicara dan peserta untuk berdiskusi tentang isi buku maupun mengungkapkan pengetahuan dan nostalgia mereka tentang orang Bugis.
Buku setebal 447 halaman itu terbagi dalam dua bagian, yaitu bagian pertama mengupas tentang asal-usul orang Bugis dengan data dari masa 40.000 tahun silam, peradaban awal, masa kerajaan, pengaruh agama hingga pada masa situasi baru masyarakat Bugis.