Belajar I La Galigo Sampai Leiden - Belanda

Kisah dalam naskah La Galigo memang hebat, namun sayang nasibnya begitu malang. Berabad-abad lamanya, epos luar biasa ini tercecer. Setiap episodenya terserak ke mana-mana. Setiap bangsawan bugis menyimpan beberapa penggal episodenya sediri. Sehingga untuk melacak keseluruhan episode, diperlukan kerja keras, serta waktu yang lama. Sungguh bukan pekerjaan mudah.

Adalah Colliq Pujie, bangsawan Bugis yang berjasa menyelamatkan naskah-naskah itu. Ia mengumpulkan semua cerita dalam 12 jilid kitab dengan total 2.851 halaman. 12 jilid ini merupakan ringkasan cerita La Galigo. Ia mulai mengerjakan naskah ini tahun 1852, atas dorongan seorang peneliti Belanda bernama D.R.B. F. Matthes.

Ironisnya, meski naskah ini asli milik Indonesia, namun yang menyimpannya justru Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah ini disimpan di lantai dua. Dalam sebuah ruangan bersuhu 18 derajat Celcius. Di ruangan ini tersimpan ratusan fragmen La Galigo dalam bentuk manuskrip. Koleksi naskah La Galigo di perpustakaan ini merupakan yang paling lengkap di dunia. Karena koleksi milik bangsawan Bugis sendiri tak ada yang selengkap itu.

Naskah La Galigo di sini tak semuanya milik Colliq Pujie. Ada juga diantaranya milik bangsawan Bugis yang lain. Misalnya saja manuskrip dari daun palma berisi tiga episode La Galigo. Naskah ini ditemukan di sebuah rumah di Lamuru. Diserahkan oleh J.G.F. Van Son ke perpustakaan pada 20 April 1906. Namun, naskah ini tak boleh disentuh apalagi dibaca, mengingat usianya yang sudah begitu tua. Bila ingin membaca, kita dipersilahkan melihatnya dalam bentuk film mikro.

Menurut Roger Tol, direktur Perpustakaan KITLV (Institut Kerajaan untuk Linguistik dan Antropologi), ada alasan khusus mengapa La Galigo tak mungkin di simpan di bumi tempat lahirnya La Galigo, Sulawesi. Iklim daerah ini terlalu panas bagi manuskrip tua. Sedang Belanda, memiliki iklim lebih bersahabat. Tapi, mungkin ada alasan lain mengapa naskah ini disimpan di Belanda. Banyak naskah-naskah asli La Galigo yang hancur karena kecerobohan para pemiliknya. Misalnya saja sebuah naskah La Galigo milik Colliq Pujie yang diwariskan pada keturunannya. Naskah itu hancur karena kucing melahirkan di atasnya. Lalu, ketika dicuci dan dijemur,hujan malah datang dan mengguyur manuskrip, hingga lebur tak bersisa. Uh, malangnya. Sepertinya, kita memang harus belajar banyak dari Belanda, bagaimana cara memperlakukan warisan sejarah nenek moyang.

Sumber: http://bugisbelanda.blogspot.com/