Memaparkan catatan dengan label Lintasan Sejarah Bugis. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label Lintasan Sejarah Bugis. Papar semua catatan

Bugis Sabah Diiktiraf

 
SIRI ETNIK SABAH : BUKU TERBARU BUGIS SABAH

DI SABAH, masyarakat Bugis masih tidak diiktiraf sebagai Bumiputera, atau lebih tepat Bumiputera Islam Sabah. Jika di Semenanjung Malaysia, sama ada orang Bugis, Jawa, Banjar, Arab dan seumpamanya semuanya dikategori sebagai Melayu. Dan mereka dikategorikan juga sebagai Bumiputera.

YAB Perdana Menteri, DS Najib Tun Razak, adalah keturunan Bugis dari Wilayah Goa, Sulawesi Selatan. Apakah bezanya dengan keturunan Bugis dari Wilayah Goa juga yang kini sudah bermastautin beratus tahun di Sabah, tetapi masih tidak diiktiraf sebagai Bumiputera Sabah? Jika Kerajaan Negeri tidak hendak mengiktiraf masyarakat Bugis Sabah sebagai Bumiputera Sabah, apakah bermakna mereka juga mempersoalkan keturunan Bugis Perdana Menteri kita?

Perspektif Barat Punca Bugis Digelar Lanun

Oleh: Dr Khoo Kay Kim

Dalam penulisan sejarah Asia Tenggara, sehingga akhir-akhir ini memang sarjana Barat yang mempeloporinya. Sarjana tempatan hanya mulai memberi cabaran pada 1950-an. Maka muncullah istilah ‘sejarah Euro-centric’ dan ‘sejarah Malaya-centric’ di negara ini. Tetapi sehingga kini masih ramai sarjana yang tidak jelas, apakah perbezaan asas di antara dua persepsi ini.

Apa yang tidak dapat diakui ialah penulisan sejarah rantau Gugusan Kepulauan Melayu itu mula diselenggarakan oleh orang Barat. Akibatnya apabila sejarah rantau ini mula dipelajari dalam dunia akademik, sumber digunakan kebanyakannya sumber Barat. Antara yang terkenal ialah tulisan Tome Pires, Suma Oriental, yang ditulis dalam bahasa Portugis. Orang Belanda juga banyak menulis mengenai rantau ini dan permusuhan di antara mereka dengan orang Bugis begitu nyata. Kedua-dua pihak cuba menguasai perdagangan di rantau ini.

Bangsawan Gowa Dikenang sebagai Pejuang Srilanka

Sigiriya
 
CATATAN sejarah kembali mengukir keberanian bangsawan Bugis-Makassar di luar negeri. Adalah Karaeng Sangunglo atau Karaeng Sanguanglo yang disebut sebagai bangsawan Kerajaan Gowa menjadi pejuang rakyat Srilanka dulu masih bernama Ceylon.

Nama tersebut bisa jadi terasa asing di Indonesia, termasuk di tanah asalnya, Gowa. Namun tidak bagi masyarakat Colombo atau Sri Lanka.

Demikian salah satu bagian diskusi Rumah Nusantara yang digelar di kantor Tribun, Senin (12/7). Diskusi menghadirkan sejumlah akademisi seperti antroplog Dr Halilintar Latief MPd, Ishak Ngeljaratan, KH Dahlan Yusuf, dan dosen/peneliti dari Leiden Institute for Area Studies/ School of Asian Studies, Suryadi.

Sejumlah tokoh lintas etnis dan budaya juga hadir dalam diskusi yang berlangsung hangat namun tetap diselingi dengan canda tawa dari peserta diskusi.

Karaeng Sangunglo disebutkan sebagai putra Raja Gowa Ke-26 (1753), Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa, yang memilih pindah ke tanah kelahiran ibunya di Bima karena kuatnya intimidasi Belanda di Gowa kala itu.

Pada 1767, tanpa alasan yang jelas, Sultan Fakhruddin ditangkap dan dibuang ke Ceylon. Di sanalah putranya Karaeng Sangunglo menjadi pahlawan Melayu dan menjadi legenda di Ceylon.

Awalnya, Karaeng Sangunglo adalah anggota dari Resimen Melayu Ceylon (semacam pasukan khusus bentukan Belanda) yang kemudian dilikuidasi oleh Inggris tahun 1796 hingga berubah nama menjadi The Ceylon Rifle Regiment.

Membelot

Saat VOC melakukan agresi besar-besaran di wilayah Kandy, Ceylon pada 1761, Karaeng

Terlalu Bugis-Sentris, Kurang 'Perancis'

Oleh: George Junus Aditjondro

KETIKA James Brooke singgah di Sulawesi Selatan di tahun 1840, orang-orang Bugis tampak menaruh perhatian terhadap isu-isu politik luar negeri, seperti terungkap dari berbagai pertanyaan yang diajukan kepada petualang dari Inggris itu. Mereka antara lain menanyakan nasib Napoleon Bonaparte. Begitu tulis Christian Pelras, peneliti Perancis yang selalu merayakan ulang tahunnya di hari ulang tahun Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus, di halaman 345 buku yang sedang kita bahas sekarang. Sayang sekali Pelras tidak menjelaskan, mengapa orang Bugis menanyakan nasib bekas kaisar Perancis itu. Menurut informan kunci saya di Tana Ugi’, orang Bugis percaya Napoleon Bonaparte sebenarnya seorang passompe’ (perantau) Bugis. Paling tidak, dia orang Makassar. Atau orang Pangkajene, yang berbudaya campuran Bugis-Makassar. Sebab nama Napoleon Bonaparte sebenarnya adalah “Nappo daeng Leong, battu ri Bonerate” (Nappo Daeng Leong, yang berasal dari Bonerate).

Itu hanya joke, untuk menyanggah pendapat kawan saya, Dias Pradadimara, dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Kata Dias dalam bedah buku ini bersama saya di acara KAMASUKA (Keluarga Mahasiswa Sunan Kalijaga) Sulsel di Yogyakarta, hari Sabtu, 25 Februari lalu, “orang Bugis terlalu serius, kurang tahu humor”. Terbukti anda tertawa, mendengar joke dari Tana Ugi’ ini. Jadi baik produsen maupun konsumen joke itu, adalah orang Bugis dan Makassar, mengerti humor. Cuma orang Bugis memang orang-orang serius, yang sangat disiplin bekerja, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan mereka. Itulah bagian dari filsafat hidup mereka yang menjunjung tinggi tiga kebebasan: kebebasan berpendapat, kebebasan berusaha, dan kebebasan bermukim. Kalau satu, dua, atau bahkan ketiga kebebasan itu dirongrong oleh penguasa, mereka lebih baik hijrah, ketimbang hidup di bawah penindasan.

Untuk bacaan selanjutnya dalam format pdf, sila download di sini.

Sitti Hapipa The Real Kartini

Peta Ceylon 1914
 
Naskah Dinasti Gowa Ditemukan
Jakarta- Sepucuk surat dalam naskah kuno beraksara Jawi mengungkapkan sejarah penting dinasti Kerajaan Goa. Ahli filologi dan peneliti dari Leiden University, Belanda, Suryadi, menemukan bagian penting yang selama ini belum terungkap dalam buku-buku sejarah di Indonesia. Sejarah penting itu dalam sepucuk surat Sitti Hapipa yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, yang ketika itu dijabat Albertus Henricus Wiese (1805-1808).

Surat penting Sitti Hapipa dari pengasingannya di Colombo, Ceylon (sekarang Sri Lanka), itu selama ini telah menjadi koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden. Suryadi memaparkan temuannya itu dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara 12 di Universitas Padjadjaran Bandung.


”Meskipun sudah banyak kajian yang dibuat mengenai (per)surat(an) Melayu lama, surat-surat dari tanah pembuangan belum banyak dibicarakan, bahkan terkesan sedikit terlupakan. Padahal, surat-surat tersebut mengandung berbagai informasi yang berharga mengenai kehidupan orang-orang yang dibuang Belanda di negeri asing tempat mereka menjalani sisa hidupnya, bahkan tak jarang berkubur di sana,” kata Suryadi ketika berbincang-bincang dengan Kompas, Minggu (10/8) di Jakarta.

Mengingat kandungan data historis yang dimiliki surat tersebut, transliterasinya yang akan diterbitkan sebuah jurnal di Indonesia dapat dimanfaatkan oleh peneliti di luar bidang ilmu filologi dan sastra Melayu lama.


Kehidupan sultan

Menurut Suryadi, isi surat Sitti Hapipa memberikan sejumlah informasi akurat mengenai kehidupan Sultan Fakhruddin beserta keluarga besarnya (dengan 12 anak dan cucu-cucu) di

Leluhur Bugis Orang Nias


Oleh: Victor Zebua
Seorang anak raja Pagarruyung bernama Turanggo berlayar menuju negeri Bugis mencari isteri. Setelah berhasil mengawini puteri raja Bugis dari suku Bengguan, dia kembali ke Pagarruyung. Namun terjadi angin-ribut, mereka terdampar di Luaha Sebua, muara sungai di suatu pulau kosong. Pulau itu kemudian dinamakan Tanah Hibala yang artinya ‘tanah yang kuat’ dalam bahasa Bugis. Turanggo akhirnya menetap di pulau itu, dia beranak-pinak hingga pada raja Hibala yang memiliki dua anak, puteri (kakak) dan putera (adik).

Demikian inti pembuka cerita berjudul Legende Asal Mulanya Pulau-Pulau Batu karya Adlan Mufti (1979). Mufti memperoleh keterangan dari Dahar Alamsyah di pulau Tello tahun 1974. Waktu itu Alamsyah berumur 60 tahun. Dia adalah keturunan raja Buluaro dari suku Bengguan (Bekhua). Mufti memperkirakan legenda ini terjadi sekitar abad 12.

Selanjutnya diceritakan, semenjak lahir kedua anak raja Hibala hidup terpisah. Sang puteri (tidak diketahui namanya) tinggal di rumah bagian atas yang dinamakan mahligai, diasuh wanita pengasuh bernama Sikambang, sedang sang putera bernama Sutan Muaro tinggal bersama orang-tuanya di rumah bagian bawah.

Setelah meningkat dewasa, ketika Sutan Muaro bermain-main di halaman rumah, tanpa sengaja dia melihat sang puteri raja itu. Seketika Sutan Muaro terpesona melihat kecantikan sang puteri. Bergegas dia menemui ibunya, mengatakan bahwa ada seorang wanita cantik di rumah mereka. Namun ibunya membantah. Sutan Muaro mencari-cari wanita itu, dia naik ke mahligai dan bertemu dengannya di sana. Dia menemui ibunya lagi, mengatakan bahwa wanita itu ada di mahligai. Sutan Muaro mendesak ibunya agar wanita itu dapat dijadikan isterinya.

Melihat tekad Sutan Muaro, barulah ibunya mengakui bahwa wanita itu adalah kakaknya sendiri, tidak mungkin dapat dikawininya. Namun Sutan Muaro tidak menerima keterangan ibunya. Selama ini dia tidak diberi-tahu wanita itu kakaknya dan belum pernah bergaul

Melayu-Bugis Bagai Mata Hitam dan Putih

Pekanbaru- Gubernur Riau HM Rusli Zainal mengatakan, orang Melayu dan orang Bugis sejak dulu memang tidak bisa dipisahkan, orang Melayu dan Bugis bisa diumpamakan seperti mata hitam dan mata putih. Sejarah pun sudah menuliskan bahwa orang Melayu dan Bugis tersebut adalah satu dan saling bekerjasama sampai sekarang.

Hal itu dikatakan Gubri ketika membuka Musyawarah Wilayah (Muswil) II, Kerukunan Keluarga Sumatra Selatan (KKSS) di Pekanbaru, Sabtu (29/3) kemarin. Hadir dalam acara itu Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau, Zainuddin Nare, Ketua Umum KKSS Pusat, Andi Jamaro dan sejumlah masyarakat Bugis dari berbagai perwakilan di kabupaten/kota di Riau.

“Kedua kaum ini sejak dari dulu memang tidak bisa dipisahkan, orang Melayu dan orang Bugis itu bagaikan mata hitam dan mata putih, keduanya saling menyatu dan bekerjasama dalam berbagai hal dan ini terjadi sudah sejak lama,’’ tutur gubernur.


Gubernur yang juga bergelar Daeng Magguna menambahkan, antara orang Melayu dan orang Bugis sudah ada sumpahnya, dalam sejarah orang Melayu dan orang Bugis saling membantu dan sampai sekarang saling membantu itu masih ada dan tetap terpelihara dengan baik.


Petualangan Orang Makassar di Negeri Siam (Muangthai)

Sebelum kedatangan orang Eropa, orang Makassar sudah dikenal sebagai pelaut ulung. Tome Pires dalam perjalanannya dari Malaka ke laut Jawa pada tahun 1513 telah menemukan pelaut makassar sebagai pelaut ulung. Keterangan Pires mengenai orang Makassar dianggap sebagai sumber Barat tertulis yang paling tua yang bisa ditemukan. Pires mengemukakan: “Orang-orang Makassar telah berdagang sampai ke Malaka, Jawa, Borneo, negeri Siam dan juga semua tempat yang terdapat antara Pahang dan Siam”.
 
Oleh Pelras, orang-orang Makassar telah meninggalkan kampung halaman mereka begitu jauh dan begitu lama. Bahkan saking lamanya, mereka melakukan perkawinan dengan warga pribumi dan memiliki keturunan di negeri yang mereka datangi. Mereka memiliki ketegaran hidup dan semangat pantang menyerah. Gelombang tinggi dan laut yang sangat luas bukanlah hambatan bagi mereka untuk mencapai negeri yang mereka tuju. Kegairahan dan kekerasan jiwa mereka mengundang decak kagum masyarakat pribumi tempat yang mereka singgahi. Yang lebih mengagumkan adalah di tempat baru tersebut mereka masih mempertahankan sifat-sifat asli mereka sebagai orang Makassar. Siri’ napacce telah tertanam kuat dalam jiwa mereka dan menjadi patrol mereka dalam menjalani hidup meskipun itu di negeri asing. Keberanian, kekasaran dan kematianlah yang akan mereka pilih jika mereka di perhadapkan pada pilihan yang rumit. Apalagi kalau itu menyangkut dengan harga diri dan kepercayaan yang di anutnya.

Di bawah ini, adalah sebuah tragedi mengharukan sekaligus mengagumkan dari 120 orang Makassar yang mempertahankan harga diri dan kehormatan mereka di negeri Muangthai. Berikut kisahnya dikutip dari buku Kisah-Kisah Bijak Orang Sulsel karangan A. Shadiq kawu yang mengambil referensi dari sejarawan Perancis Crishtian Pelras.

Heroisme Bugis-Makassar Di Thailand (dulu bernama Ayuthia, Siam)

Kisah ini diambil dari catatan Claude de Forbin seorang ksatria Prancis, yang dikirim ke Siam (sekarang Thailand) oleh Raja Louis XIV, dengan misi yang amat ambisius dalam hal politik, agama, ilmu pengetahuan dan ekonomi.

Tahun 1658 - 1659 Phra Narai, raja Siam tercatat memberikan daerah pengungsian bagi 773 orang Minangkabau yang berasal dari Sumatra Barat dan berikutnya pada Tahun 1664, 250 orang (pria, wanita dan anak-anak) tiba dari Makassar dan diberikan hak dan membangun komunitas perkampungan bersebelahan dengan orang-orang Melayu yang sudah lebih dulu menetap.

Akan tetapi keadaan yang damai dan harmonis di Siam waktu itu tidak berlangsung lama, karena seringnya terjadi intrik dan perebutan kekuasan dalam lingkungan keluarga dan kerabat istana. Tidak terkecuali Phra Narai dulunya juga adalah seorang yang merebut kekuasaan dengan cara kekerasan dan berdarah, sehingga ia sadar betul bahwa kekuasaanya tidak berakar dan tidak kuat dukungannya sehingga ia akan gampang pula digulingkan, karena itulah ia mempercayakan pertahanan kerajaannya pada serdadu Prancis yang kala itu sedang berada di Siam atas perintah Raja Prancis. Serdadu Prancis dipimpin oleh Claude de Forbin dengan 6 kapal dan satu detasemen militer yang beranggotakan 636 orang.

Adalah seorang pangeran Makassar (Gowa-Tallo) bernama Daeng Mangalle yang rupanya terlibat dengan konspirasi Melayu, Campa, Makassar dan orang Islam lain di Siam, konspirasi ini akan berencana menyerang istana dan membunuh raja Siam Phra Narai, karena Raja dianggap telah melenceng yaitu menempatkan kepercayaan pada orang asing yaitu Prancis dan Misi orang asing mengembangkan agama baru kemungkinan lebih buruk lagi Raja akan berpindah memeluk agama baru.

Bumi Langit Karaeng Pattingalloang

Oleh Nirwan Ahmad Arsuka

H
ari itu, I Mangngadaccinna Daeng I Ba’le’ Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang (KP), tengah berdiri menyambut angin semilir dan gemerisik ombak Makassar. Saya bayangkan, di sisi Perdana Menteri Kesultanan Gowa itu, di bawah matahari Februari 1651, berdiri menantunya: I Mallombassi yang kelak menjadi Sultan Hasanuddin. Putera KP, Karaeng Karungrung, tampak mencermati buku di tangannya. Sejumlah tubarani (satria) dari istana Tallo dan benteng Sombaopu terlihat juga di sana. Sebagian di antaranya berbaur dengan wajah-wajah Makassar, Bugis, Malaka, Jawa, Campa, Johor, Minang, Patani, India, Cina, Portugis, Spanyol, Denmark, Perancis dan Inggeris.

Di pertengahan abad 17 itu, Makassar adalah bandar paling ramai dan paling kosmopolit di Negeri-negeri Bawah Angin belahan Timur. Dikitari sejumlah benteng yang dibangun dan diperluas sejak seratusan tahun yang silam, di bawah Raja Gowa IX Karaeng Tumapa’risi’ Kallona, pusat kerajaan Gowa – Sombaopu – menjadi kota antarbangsa dengan keragaman penduduk tertinggi dalam 600 tahun sejarahnya.

Ketika Malaka jatuh di bawah hantamam meriam Portugis pada 1511, sejumlah satria Melayu yang menampik kekalahan tersebut, pindah beramai-ramai ke Siang (Pangkajene Kepulauan). Mereka kemudian hijrah ke Sombaopu setelah mendapat jaminan perlindungan tertulis dari Raja Gowa X Karaeng Tunipalangga. Jaminan yang memberi kesempatan kepada segala jenis manusia yang melintas di Nusantara hak menegakkan semacam hukum ektrateritorial itu,

Kemampuan Menyesuaikan Diri Manusia Bugis

Oleh:Anhar Gonggong

Jika pada tahun 1996 ”karya besar” Lombard yang diterjemahkan dengan judul Nusa Jawa: Silang Budaya diterbitkan oleh Gramedia, pada tahun yang sama sarjana ahli berkebangsaan Perancis yang lain, Christian Pelras, juga telah membuahkan hasil yang tak kurang raksasanya, The Bugis, diterbitkan oleh Blackwell di London.

Karya Pelras itu, yang oleh Nirwan Ahmad Arzuka, salah seorang penyunting terjemahan dan memberi pengantar pada terbitan terjemahan bahasa Indonesia, disebut sebagai karya yang bagaikan ”intan”, kini diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Nalar yang didukung oleh Forum Jakarta-Paris. Dengan penerbitan karya besar itu, tidak hanya lingkungan terbatas masyarakat ilmu pengetahuan dan orang Bugis saja yang mendapat peluang untuk lebih memahami salah satu suku bangsa yang memiliki dinamika untuk bertahan hidup, tetapi juga kesempatan untuk lebih memahami orang, manusia Bugis itu terbuka kepada bangsa Indonesia pada umumnya.

Dari segi perspektif situasi bangsa-negara Indonesia yang majemuk-multikultur, karya Pelras yang diterjemahkan dengan Manusia Bugis itu mempunyai arti yang tidak kecil, karena ternyata walau kita sudah membangun keadaan dan menciptakan diri sebagai bangsa yang satu

Perjuangan Opu Daeng Risaju di Sulawesi Selatan (1930-1950)

Oleh: Salmah Gosse

Pendahuluan
Konflik dan kekerasan merupakan suatu fenomena historis yang bisa terjadi dalam hubungan antara negara (kekuasaan) dengan individu. Konflik biasa muncul manakala cita-cita individu bertentangan dengan kemauan negara. Individu biasanya akan terus memperjuangkan cita-citanya baik dalam bentuk gagasan maupun aksi. Sedangkan negara akan terus berusaha untuk menekan aktivitas individu, agar jangan sampai aktivitas individu dapat membahayakan stabilitas negara. Upaya negara untuk menekan individu dapat sampai pada tingkat bentuk tindak kekerasan.

Fenomena tersebut di atas biasa terjadi dalam sebuah kekuasaan negara yang otoriter. Dalam kekuasaan ini kebebasan individu dikekang. Negara memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap diri individu. Individu harus tunduk pada peraturan-peraturan yang dibuat negara. Peraturan-peraturan yang dibuat biasanya dalam model kekuasaan yang seperti ini adalah peraturan yang dapat melanggengkan kekuasaan.

Sejarah Orang Bugis

Epos La GaligoOrang bugis memiliki berbagai ciri yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India. Dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka.

Orang bugis juga memiliki kesastraan baik itu lisan maupun tulisan. Berbagai sastra tulis berkembang seiring dengan tradisi sastra lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan disalin ulang. Perpaduan antara tradisi sastra lisan dan tulis itu kemudian menghasilkan salah satu Epos Sastra Terbesar didunia Yakni La Galigo yang naskahnya lebih panjang dari Epos Mahabharata.

Bissu dalam la Galigo Selanjutnya sejak abad ke 17 Masehi, Setelah menganut agama islam Orang bugis bersama orang aceh dan minang kabau dari Sumatra, Orang melayu di Sumatra, Dayak di Kalimantan, Orang Sunda dijawa Barat, Madura di jawa timur dicap sebagai Orang nusantara yang paling kuat identitas Keislamannya.

Bagi orang bugis menjadikan islam sebagai Integral dan esensial dari adat istiadat budaya mereka. Meskipun demikian pada saat yang sama berbagai kepercayaan peninggalan pra-islam tetap mereka pertahankan sampai abad ke 20 salah satu peninggalan dari jaman pra islam itu yang mungkin paling menarik adalah Tradisi Para Bissu (Pendeta Waria).

Hubungan Aceh Dengan Bugis Dalam Catatan Sejarah

Oleh: Irini Dewi Wanti, SS, MSP.

I. Pendahuluan
Berbicara tentang hubungan antara Aceh dengan Bugis tidak lepas dari membicarakan jalur perdagangan di Nusantara pada awal abad 15. Sejak zaman kuno pelayaran dan perdagangan dari Barat dan negeri Cina memerlukan pelabuhan tempat persinggahan untuk tempat mengambil bekal dan menumpuk barang. Selama beberapa abad fungsi emporium tersebut dijalankan oleh kerajaan Sriwijaya. Merosotnya kerajaan Sriwijaya pada akhir abad XIII menyebabkan fungsi itu terpencar ke beberapa daerah di Nusantara antara lain di Pidie dan Samudera Pasai.[1] Namun, pada abad 15 Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan yang paling ramai hingga Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Hal ini berdampak kemunduran sedikit demi sedikit pada pusat perdagangan. Kemunduran Malaka memunculkan Aceh sebagai pusat perdagangan yang disinggahi oleh para pedagang muslim yang tidak mau berhubungan dengan Portugis.

Penyelenggaraan perkapalan dan perdagangan di kota-kota pelabuhan menimbulkan jalur komunikasi terbuka, sehingga terjadi mobilitas sosial baik horizontal maupun vertikal, serta perubahan gaya hidup dan nilai-nilai. Penyebaran agama Islam yang dibawa oleh kaum pedagang, perkawinan antar suku tidak terlepas dari adanya jalur perdagangan internasional pada masa lalu.

Diaspora Bugis-Makassar (05): KALOLA, KAMPUANG ASAL PARA PENGEMBARA

Oleh Kenedi Nurhan

TIDAK ada yang istimewa dari tampilan fisik Desa Kalola. Sebagian besar rumah panggung yang ada masih berupa bangunan lama, yang juga tidak istimewa. Baik bahan dasar bangunan maupun arsitekturnya tergolong biasa-biasa saja.

Dibandingkan desa-desa tetangganya di Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sepintas terlihat betapa kemajuan fisik Kalola masih tertinggal. Meski di seberang jalan negara yang menghubungkan Pare-Pare ke arah ibu kota Wajo di Sengkang hingga Watampone di Kabupaten Bone terbentang luas sawah menghijau, namun tak terlihat tanda-tanda kemakmuran menjamah mereka.

Inikah potret salah satu kampung asal para pengembara Bugis yang terkenal hingga ke seberang lautan itu? Waktu yang berlari cepat ternyata tak membuka cukup ruang untuk mengubah suatu peradaban, sehingga kehidupan pun seperti jalan di tempat.

Di sinilah, 28 tahun lalu, Cik Hasan Bisri—dosen Fakultas Syariah, IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, yang kala itu tengah mengikuti pendidikan di Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (PLPIIS) Makassar—mencatat tingginya angka migrasi dari desa ini. Akibatnya, kampung-kampung di lingkup Desa Kalola kehilangan banyak penduduk. Sawah-sawah pun telantar karena ditinggal pergi para pemiliknya.

Diaspora Bugis-Makassar (04): DI TANAH JAWA MEREKA IKUT BERJUANG

Oleh Kenedi Nurhan dan Mukhlis PaEni

MENGETAHUI ada darah Bugis-Makassar mengalir dalam tubuh Wahidin Soedirohoesodo (1852-1917), Adin mengaku kaget bercampur bangga. Pada satu senja, di kompleks Pemakaman Mlati, Sleman, Yogyakarta, lelaki Bugis-Makassar yang menikahi perempuan asal Jepara ini pun bersimpuh di sisi makam pahlawan nasional penggagas kelahiran Budi Utomo tersebut.
Semula Adin—nama lengkapnya Suryadin Laoddang—tak percaya pada fakta baru yang ia terima. Bukankah dalam sejarah resmi yang ditulis selama ini disebutkan bahwa dokter Wahidin Soedirohoesodo adalah priyayi Jawa? Potret sang tokoh pun selalu ditampilkan dalam busana lelaki ningrat Jawa, lengkap dengan blankon di kepalanya.


Akan tetapi, melalui pendekatan genealogis diketahui bahwa tokoh pergerakan nasional tersebut ternyata masih keturunan Karaeng Daeng Naba. Bangsawan Bugis-Makassar ini mengembara ke Jawa setelah Kerajaan Gowa takluk pada Kompeni-Belanda tahun 1669. Di Jawa, Daeng Naba terlibat dalam intrik perebutan kekuasaan di pusar tanah Jawa (baca: Mataram), di mana Trunajaya tampil sebagai tokoh antagonisnya.


Atas jasa Daeng Naba yang ikut membantu Amangkurat II meredam pemberontakan Trunajaya (1670-1679), ia dinikahkan oleh sang penguasa Mataram dengan putri Tumenggung Sontoyodo II.

Diaspora Bugis-Makassar (03): MELAYU-BUGIS-MAKASSAR DAN ARUS BALIK SEJARAH

Oleh Kenedi Nurhan

SESUNGGUHNYA, kehadiran bangsawan Bugis-Makassar di Tanah Melayu tak ubahnya seperti fenomena arus balik sejarah. Jauh sebelum pengembara Bugis-Makassar masuk ke jantung kekuasaan Melayu, orang-orang Melayu-lah yang lebih dahulu berperan dalam dinamika lokal di negeri Bugis-Makassar.

Menyusul kejatuhan Melaka ke tangan Portugis pada 1511, di luar kerabat istana yang memindahkan pusat kekuasaan ke Johor, tidak yang pergi ke berbagai penjuru angin. Beberapa kelompok berkelana hingga ke Sulawesi. Di wilayah Kerajaan Gowa ini mereka bermukim di Salojo, daerah pesisir Makassar di perkampungan Sanrobone.

Hasil penelusuran Mukhlis PaEni, sejarawan-antropolog sosial dari Universitas Hasanuddin, memperlihatkan bahwa sampai 1615 roda perekonomian—khususnya perdagangan antarpulau melalui pelabuhan Makassar—dikuasai oleh orang Melayu dari Johor dan Patani. Baru pada 1621 orang Bugis-Makassar ikut ambil bagian penting dalam dunia perdagangan dan pelayaran di Nusantara.

“Sejak kedatangan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa (Makassar), peranan mereka tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama (baca: Islam), tapi juga dalam kegiatan sosial-budaya, bahkan di birokrasi. Dalam struktur kekuasaan Kerajaan Gowa, banyak orang

Diaspora Bugis-Makassar (02): TERLIBAT INTRIK KEKUASAAN DI JANTUNG MELAYU

Oleh Kenedi Nurhan
SETELAH beberapa kali salah jalan, rombongan kecil itu akhirnya tiba juga di sebuah makam bercungkup di puncak tebing merah berbatu kerikil. Hanya sepelemparan batu dari sana, Sungai Bintan mengalir tenang. Di kejauhan, dari selasar makam berwarna kuning menyala itu, debur ombak Selat Melaka sayup terdengar.

Letak makam itu cukup terpencil, berada di antara semak dan kebun kelapa yang tak terurus. Memang tak mudah menemukannya. Bahkan, petugas Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Tanjung Pinang yang membawahkan wilayah ini pun tidak tahu persis jalan menuju makam ‘orang besar’ di masa Kesultanan Melayu (Riau-Johor) tersebut.

Tersesat beberapa kali, dan dua kali salah mendatangi ‘alamat’ makam yang dicari, hanyalah sisi lain dari gambaran awal betapa pendek ingatan sebagian anak negeri ini pada sejarah masa lalu bangsanya. Daeng Marewa (kadang-kadang juga ditulis dengan ‘h’: Daeng Marewah), nama yang tertera pada plakat makam dan papan nama penanda sekaligus peringatan bahwa kawasan ini adalah bagian dari benda cagar budaya, siapakah dia?

Bagi kebanyakan orang, termasuk mereka yang tinggal di Kepualauan Riau dan sekitarnya—juga Johor, Pahang, Selangor dan Kedah di wilayah Tanah Semenanjung, saat ini nama Daeng Marewa hampir tak lagi dikenal. Padahal, sejarah mencatat, Daeng Marewa adalah Yamtuan Muda alias Yang Dipertuan Muda Riau I. Jabatan setingkat perdana menteri itu ia sandang selama sekitar tujuh tahun (1721-1728), dan setelah ia mangkat posisinya digantikan sang adik, Daeng Celak (1728-1745).

Siapakah sesungguhnya Daeng Marewa—juga Daeng Celak—dan bagaimana mereka bisa duduk di tampuk tertinggi kekuasaan Kesultanan Melayu? Bukankah dari nama gelar (baca: daeng) yang mereka sandang, dengan gampang orang bisa mengaitkannya dengan kebangsawan Bugis-Makassar?

Memang, Daeng Marewa dan Daeng Celak adalah dua di antara lima bersaudara “satria” Bugis-Makassar, putra Opu Tenri Borong Daeng Rilakka. Tiga saudara mereka yang lain adalah Daeng Perani, Daeng Manambung, dan Daeng Kamase.

Lima bersaudara keturunan bangsawan-petualang Bugis-Makassar, meminjam istilah sejarawan Taufik Abdullah, inilah yang ikut berperan penting dalam mengangkat marwah Kesultanan Melayu (Riau-Johor) pada abad XVIII. Berkat mereka, Kesultanan Melayu (saat itu berpusat di Johor, sehingga sejarah pun mencatatnya sebagai Kesultanan Melayu-Johor) bisa diselamatkan dari kehancuran akibat pendudukan Raja Kecil dari Siak.
Ketika itu, Raja Kecil—yang mengklaim sebagai keturunan (alm) Sultan Mahmud Shah II—menuntut hak atas tahta di Johor. Dibantu orang-orang Minangkabau, pada Maret 1718, Raja Kecil berhasil menguasai istana Kesultanan Melayu-Johor, menyusul terbunuhnya Raja Muda Mahmud. Riau kepulauan dan sekitarnya pun, termasuk Lingga dan Bintan yang juga pernah jadi pusat kekuasaan Kesultanan Melayu, ikut dikuasai pasukan Raja Kecil.

Pihak kerabat Istana Johor yang melarikan diri ke Pahang lalu berpaling kepada pengembara Bugis-Makassar yang kala itu memang sudah dikenal sebagai salah satu kekuatan utama di kawasan Selat Melaka. Pilihan jatuh pada kekuatan lima bersaudara yang dipimpin Daeng Perani berserta para pengikutnya. Johor pun jadi ajang persaingan kekuasaan antara orang-orang Minangkabau, Bugis-Makassar, dan Melayu.

Setelah melalui serangkaian pertempuran laut yang seru, orang-orang Bugis-Makassar berhasil menghalau kekuatan Raja Kecil. Istana Johor juga bisa direbut kembali. Sebagai kompensasi atas jasa-jasa mereka, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1721-1760) yang dilantik sebagai penguasa Johor menetapkan semacam kuasa bersama antara Melayu dan Bugis-Makassar atas kedaulatan Kesultanan Melayu-Johor.

Satu di antara lima bersaudara tersebut, Daeng Marewa, bahkan diberi kekuasaan khusus sebagai Yamtuan Muda alias Raja Muda di Riau. Adapun Daeng Perani—yang kelak jadi Raja Muda di Selangor—dan Daeng Celak kemudian dikawinkan dengan saudara-saudara Sultan Johor.

Setelah Daeng Marewa wafat pada 1728, Daeng Celak tampil sebagai Yang Dipertuan Muda Riau II (1728-1745), sebelum akhirnya ia digantikan Daeng Kamboja—anak Daeng perani—sebagai Yang Dipertuan Muda Riau III. Hingga Kesultanan Melayu-Riau dibubarkan oleh Belanda pada 3 Februari 1911, jabatan Yang Dipertuan Muda Riau selanjutnya dipegang oleh anak cucu Daeng Celak yang sudah merupakan keturunan Melayu-Bugis-Makassar.

Tidak seperti leluhur mereka yang asli Bugis-Makassar, anak-anak berdarah Melayu-Bugis-Makassar ini tak lagi menyandang gelar daeng sebagai ciri kebangsawan mereka, tetapi tampil dengan gelar kebangsawanan baru: “raja”! Raja Haji Fisabilillah sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV tercatat sebagai penguasa pertama dari garis keturunan Melayu-Bugis-Makassar.

Bagaimana “karier” Daeng Manambun dan Daeng Kamase? Tuhfat al-Nafis yang ditulis Raja Ali Haji—pada episode tentang sejarah dan silsilah Melayu-Bugis—menyebutkan, “Daeng Manambun menjadi raja di Mempawah (di Pulau Kalimantan—pen) bergelar Pangeran Emas Surya Negara... adapun Daeng Kamase berkuasa di negeri Sambas bergelar Pengeran Mangkubumi.”

Ekses Perjanjian Bongaya

Kehadiran para perantau-petualang Bugis-Makassar yang bisa masuk ke pusat kekuasaan Kesultanan Melayu (Riau-Johor) dan kerajaan-kerajaan lain di Tanah Melayu, tentu saja merupakan fenomena menarik.

Mereka ternyata tidak sekadar berperan dalam dinamika sosial-ekonomi melalui jalur pelayaran dan perdagangan. Pada banyak tempat—di Kesultanan Melayu (Johor-Riau) sebagai contoh kasus—orang-orang Bugis-Makassar bahkan terlibat dalam dinamika sosial politik hingga ke jantung kekuasaan setempat.

Sejak diterapkannya Perjanjian Bongaya (1667), menyusul kejatuhan Benteng Somba Opu sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Gowa-Tallo pada 24 Juni 1669, memang terjadi migrasi besar-besaran orang-orang Bugis-Makassar ke berbagai penjuru Nusantara. Pola pelayaran dan perdagangan orang-orang Bugis-Makassar pun, sebagaimana dicatat Christian Pelras (Manusia Bugis, 2006), mengalami perubahan.

Dimotori para bangsawan dan raja-raja kecil yang menentang isi perjanjian tersebut, yang secara umum mengekang kebebasan dan bahkan mempreteli eksistensi mereka, tujuan migrasi terutama ke wilayah barat Nusantara. Mereka menghindari wilayah timur—terutama ke Maluku sebagai daerah penghasil rempah-rempah—karena jalur pelayaran dan perdagangan ditutup oleh Belanda.

Selain Kalimantan, Sumbawa, Lombok, dan Jawa-Bali, rombongan para bangsawan Bugis-Makassar ini juga banyak menetap di Sumatera dan Tanah Semenanjung. Opu Tenri Borong Daeng Rilakka—bangsawan dari Kerajaan Luwu yang ketika itu merupakan daerah bawahan Gowa—bersama lima putra dan pengikutnya termasuk yang memilih bermigrasi ke daerah pesisir timur Pulau Sumatera.

Di kawasan Selat Melaka ini mereka bersama orang-orang Bugis-Makassar lainnya mendirikan perkampungan di pantai-pantai dan muara-muara sungai besar. Di Jambi, seperti daerah Muara Sabak dan Tanjung Jabung, selain berdagang, orang-orang Bugis-Makassar juga banyak yang membuka lahan perkebunan kelapa. Begitu pun di Kepulauan Riau dan Tanah Semenanjung.

Pada masa ini, Ricklefs (2006) meyakini, para pengembara Bugis-Makassar terlibat aktif di hampir seluruh bagian barat Nusantara dan menjadi kekuatan utama di Selat Melaka. Bahkan, seperti dicatat Pelras, dalam perkembangan berikutnya mereka juga melibatkan diri dalam perseteruan di kalangan penguasa Melayu.

“Melalui peperangan dan perkawinan mereka berhasil menjadi salah satu kekuatan politik utama, khususnya di Kesultanan (Melayu) Riau-Johor dan Tanah Melayu pada umumnya,” tulis Christian Pelras.

Tak hanya di Kesultanan Melayu (Riau-Johor) serta pusat kekuasaan kerajaan-kerajaan lain di Tanah Semenanjung dan Kalimantan Barat, di belahan utara Pulau Sumatera pun anak cucu pengembara Bugis-Makassar juga masuk ke jantung kekuasaan. Di Kesultanan Aceh, misalnya, selama hampir dua abad (1727-1838), Ricklefs mencatat ada enam orang Bugis-Makassar yang tampil sebagai penguasa kesultanan.

Versi Anthony Reid (Asal Usul Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad Ke-19) jauh lebih banyak lagi. Sebab, sejak Sultan Alauddin Ahmad Syah memerintah tahun 1727 hingga berakhirnya Kesultanan Aceh pada 1903 (Sultan Muhammad Daud Syah; 1894-1903), seluruh sultan yang berkuasa adalah keturunan Bugis-Makassar.

Dihadapkan pada kenyataan sejarah yang demikian, betapa banyak nilai yang bisa diserap untuk kehidupan bangsa ini pada masa sekarang dan yang akan datang. Pluralisme dan multikultutralisme bukan saja sudah menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa ini, tetapi juga merupakan sebuah kearifan yang selayaknya terus dikembangkan.
 

Diaspora Bugis-Makassar (01): SENJA DI SOMBA OPU

Oleh Kenedi Nurhan
SORE menjelang malam pada 24 Juni 1669, Benteng Somba Opu akhirnya jatuh ke tangan VOC (baca: Kompeni-Belanda). Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape alias Sultan Hasanuddin dipaksa turun tahta. Kerajaan Gowa-Tallo runtuh. Makassar pun tidak lagi jadi kiblat perdagangan anak-anak negeri di wilayah timur Nusantara.

Bukan saja harus mengakui kekuasaan Belanda, Sultan Hasanuddin dan pengikutnya juga dipaksa mematuhi Perjanjian Bongaya (1667) serta perjanjian-perjanjian sebelumnya (1660). Gowa antara lain harus melepas kontrol atas sejumlah daerah yang justru jadi sumber ekonomi dan penopang kekuasaan mereka. Belum lagi ancaman hukuman bagi mereka yang dituding telah membunuh orang-orang Belanda semasa perang.

Butir-butir Perjanjian Bongaya yang dimaksudkan untuk mengakhiri Perang Makassar pada tahun 1667—dua tahun sebelum Hasanuddin sebagai penguasa Somba Opu benar-benar bertekuk lutut setelah dibombardir pasukan Cornelis Speelman dan sekutunya—itu sangat merugikan posisi tawar para bangsawan dan kerabat kesultanan.

Pengalihan kontrol kekuasaan Gowa kepada Kompeni telah melemahkan perekonomian kerajaan. Apalagi adanya larangan kepada rakyat Gowa agar tidak lagi terlibat dalam perdagangan dan pelayaran.

“Pembatasan-pembatasan tersebut bukan saja secara langsung menjatuhkan peran ekonomi kerajaan, juga berangsur-angsur memudarkan wibawa para bangsawan Bugis-Makassar yang terikat dalam Perjanjian Bongaya,” kata sejarawan-antropolog sosial dari Universitas Hasanuddin, Mukhlis PaEni, yang juga Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).

Namun, akhir dari perang dahsyat dalam sejarah VOC di Nusantara tersebut justru menjadi awal dari periode sejarah yang sangat penting bagi dinamika perantauan orang-orang Bugis-Makassar di Tanah Air. Jika sebelumnya hanya masyarakat pada umumnya yang bermigrasi ke seantero Nusantara, sejak Perjanjian Bongaya pola dan pelaku migrasi justru banyak dimotori oleh kalangan bangsawan.

Dengan kata lain, sejak itu pula tonggak sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar mengalami semacam pergeseran. Bernard HM Vlekke (Nusantara: Sejarah Indonesia, 2006) mencatat, Perjanjian Bongaya menimbulkan perubahan revolusioner dalam organisasi politik di bagian timur Kepulauan Indonesia.

Selain mendapatkan monopoli dagang di pelabuhan Makassar, Kompeni-Belanda juga menerapkan berbagai pembatasan. Raja Gowa bahkan diminta agar menganjurkan rakyatnya menanggalkan aktivitas kemaritiman mereka, mengubah profesi dari pelaut ke petani.

Munculnya kekuasaan otoriter di kawasan ini menyebabkan sangat banyak orang Bugis-Makassar yang melarikan diri. MC Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, 2008) bahkan menggambarkan situasi kala itu lebih dramatis lagi.

Katanya, “Mereka (orang-orang Bugis-Makassar) lari menuju kapal-kapal mereka bagaikan perompak-perompak Viking yang sedang mencari kehormatan, kekayaan, dan tempat-tempat tinggal baru.”

Di tempat yang baru, orang-orang Bugis-Makassar melibatkan diri dalam berbagai peristiwa sosial-politik lokal. Sebutlah seperti di Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, bahkan di Siam sekalipun.

“Sampai abad XVIII, para prajurit ganas ini menjadi momok di Nusantara,” tulis sejarawan dari Australia tersebut.

Dinamika lokal

Migrasi besar-besaran orang-orang Bugis-Makassar tersebut ikut memberi warna pada dinamika lokal di berbagai daerah di Nusantara. Mukhlis PaEni mencatat, sepanjang dua abad (abad XVII-XIX) lebih mereka tidak hanya menciptakan dinamika ekonomi dan politik, tetapi juga akulturasi sosial budaya melalui perkawinan di hampir daerah di Nusantara.

Oleh karena itu, bagi Mukhlis PaEni, fenomena ini bukan sekadar migrasi biasa, melainkan apa yang ia sebut sebagai diaspora Bugis-Makassar. Para bangsawan serta raja-raja kecil yang terikat dalam persekutuan dengan Kerajaan Gowa—tentu berserta pengikutnya—tersebut mengembara dan membuka daerah baru, yang kemudian menjelma menjadi komunitas-komunitas Bugis-Makassar di berbagai daerah di Nusantara.

“Mereka meninggalkan daerahnya untuk mencari arena yang lebih leluasa untuk kehidupan yang lebih bebas, sekaligus menegakkan kewibawaan mereka di mata pengikutnya. Di tempat-tempat yang baru mereka membaur ke dalam dinamika sosial politik lokal yang berlangsung melalui kerja sama saling menguntungkan,” tutur Mukhlis.

Keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal di berbagai tempat di Nusantara masih bisa dilacak hingga sekarang. Di Pulau Jawa, misalnya, baik naskah Babad Tanah Jawi, Babad Kraton Jawa, maupun Serat Trunajaya menggambarkan bagaimana prajurit-prajurit dari timur Nusantara ini ikut berperan membantu Trunajaya mempreteli kekuasaan Mataram yang disokong Kompeni-Belanda.

Nama Karaeng Galesong dan Daeng Naba, dua bangsawan dari Kerajaan Gowa-Tallo, jadi tokoh sentral dalam kisah perseteruan itu. Tiga puluh dua makan prajurit dari Gowa di kompleks pemakaman Mlati, Yogyakarta, adalah saksi sejarah keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika politik setempat.

Nama prajurit bugis dalam kesatuan “ketentaraan” di Kraton Yogyakarta yang ada saat ini adalah bukti lain yang tersisa dari eksistensi Bugis-Makassar di jantung kekuasaan Mataram. Bila dilacak lebih jauh, kata Mukhlis PaEni, dokter Wahidin Soedirohoesodo—pahlawan nasional, tokoh pendorong lahirnya Budi Utomo—ternyata leluhurnya pun masih keturunan Bugis-Makasar: Daeng Naba!

Di daerah-daerah lain, seperti di Kalimantan, Sumatera, dan Tanah Semenanjung, keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal juga memberi warna baru. Di beberapa tempat mereka bahkan bisa masuk ke pusat kekuasaan istana, baik sebagai raja muda (dalam kasus di Kesultanan Melayu di Johor dan Riau) maupun sebagai raja atau sultan di Kesultanan Aceh, Selangor, Pahang, dan Mempawah.

Selain keterlibatan dalam dunia perdagangan hingga politik kekuasaan, “sumbangan” terbesar dari sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar pasca-Perjanjian Bongaya adalah lahirnya manusia baru Nusantara dari perkawinan campuran dengan dengan warga setempat. Akulturasi budaya pun terjadi.

Di sanalah semangat multikultur dan pluralitas yang menjadi kekuatan bangsa disemai dalam taman keindonesiaan kita hari ini.
 

lawatan Ugik M ke Sulawesi


Ugik M sedia membantu ahlinya termasuk dalam bidang perniagaan.


DENGAN hasrat untuk menyatupadukan masyarakat Bugis di seluruh Malaysia, Persatuan Kebajikan Ekonomi Bugis Malaysia (Ugik M) telah ditubuhkan sejak setahun lalu di Johor Bahru, Johor.
Presidennya, Lokman Junit berkata, objektif penubuhan persatuan itu bagi mengukuhkan ekonomi masyarakat Bugis yang kebanyakannya melakukan kerja-kerja berkebun dan berniaga.
Dengan adanya persatuan itu juga ujarnya, satu rangkaian perniagaan boleh dijalankan di kalangan masyarakat Bugis termasuk bagi mendapatkan produk niaga daripada kampung asal mereka di Sulawesi Selatan.
Antara produk yang boleh diperoleh daripada Sulawesi Selatan adalah seperti sutera Bugis yang halus dan lembut, selendang, songkok Bugis, buku, pakaian dan produk makanan.
Beliau yang juga pemilik Ugik Technologies di Pekan Francis Pulai, Skudai, Johor berkata, syarikatnya ada menjual segala barangan dan keperluan yang diperlukan oleh masyarakat Bugis. Dengan kata lain, Ugik Technologies adalah merupakan pusat pemborong produk Bugis.
Menurut Lokman, pada masa kini Ugik M mempunyai slebih 1,000 orang ahli di seluruh Malaysia. Selain Johor, masyarakat Bugis juga tinggal di Selangor, Melaka, Perak, Pahang dan Sabah.
''Paling ramai ialah di Pontian, Johor dan mereka aktif berniaga atau berkebun yang menjadi sumber pendapatan mereka,'' katanya kepada Mega baru-baru ini.
Lokman menambah, bagi mengenalkan asal-usul masyarakat Bugis di negara ini yang berasal dari Sulawesi Selatan, beliau merancang untuk membuat projek pertama melancong ke Sulawesi pada musim cuti sekolah bulan Jun ini.
Program lawatan selama tujuh hari enam malam ini mengenakan tambang sebanyak RM2,000 seorang termasuk tambang, penginapan, perjalanan serta lawatan semasa di sana dan makan minum.
Di antara aktiviti yang akan diadakan semasa berada di Sulawesi ialah melawat pusat pemborong Sulawesi, melawat kilang, melawat Muzium Lagaligo yang menjadi kubu pertahanan daripada serangan Belanda dan sebagainya.
''Bagi mereka yang masih mempunyai saudara-mara, mereka boleh pulang ke kampung halaman dan menziarahi sanak saudara yang masing tinggal di sana,'' tambah Lokman.
Kepada yang berminat, bolehlah menghubungi Lokman di 016-7975810.end_of_the_skype_highlighting