Memaparkan catatan dengan label Bangsa 1Bugis. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label Bangsa 1Bugis. Papar semua catatan

Bugis Sabah Diiktiraf

 
SIRI ETNIK SABAH : BUKU TERBARU BUGIS SABAH

DI SABAH, masyarakat Bugis masih tidak diiktiraf sebagai Bumiputera, atau lebih tepat Bumiputera Islam Sabah. Jika di Semenanjung Malaysia, sama ada orang Bugis, Jawa, Banjar, Arab dan seumpamanya semuanya dikategori sebagai Melayu. Dan mereka dikategorikan juga sebagai Bumiputera.

YAB Perdana Menteri, DS Najib Tun Razak, adalah keturunan Bugis dari Wilayah Goa, Sulawesi Selatan. Apakah bezanya dengan keturunan Bugis dari Wilayah Goa juga yang kini sudah bermastautin beratus tahun di Sabah, tetapi masih tidak diiktiraf sebagai Bumiputera Sabah? Jika Kerajaan Negeri tidak hendak mengiktiraf masyarakat Bugis Sabah sebagai Bumiputera Sabah, apakah bermakna mereka juga mempersoalkan keturunan Bugis Perdana Menteri kita?

Silat Sendeng (Malay Muay Thai)


The same as grandmaster of Silat Seni Gayong, Dato' Meor Abdul Rahman,  grandmaster of Silat Sendeng, Long Mamat also the descendants Bugis. Originally from Sulawesi, the wanderlust of the Bugis ensured that they were well-travelled throughout Nusantara and beyond, bringing with them their knowledge, their culture, and their combat arts. In Malaysia, among the more popular and recognizable of these is Seni Silat Sendeng.

Silat Sendeng founded by Allahyarham Long Mamat and expanded by Allahyarham Haji Hamid bin Haji Hamzah, named this silat by Seni Silat Sendeng Muar. First center under Allahyarham Haji Hamid is born at Sungai Mati, Muar, Johor Darul Takzim. After Allahyarham Haji Hamid past away on 19 May 1990, his younger brother, Allahyarham Haji Ismail bin Haji Hamzah was choosen to lead Seni Silat Sendeng and replaced as ‘Guru Utama’ (Grandmaster). On 11 July 1992, Seni Silat Sendeng Muar was register by the name ‘Pertubuhan Seni Silat Sendeng Malaysia’ with combining 7 branch of country like Johor, Melaka, Pahang, Perak, Kuala Lumpur, Selangor and Negeri Sembilan. Now, Pertubuhan Seni Silat Sendeng

The Pride To Be The Bugis

Bugis People - Makassar, South Sulawesi

The Bugis
Bugis people is one of Indonesian ethnic which are the inhabitant of South Sulawesi. This tribe is the biggest three after Javanese and Sundanese. Beside the indigenous who live in South Sulawesi, the immigrant of Minangkabau who wander from Sumatra to Sulawesi and the Malay people are being called as Bugis people. 

At present time, The Bugis is spread to all over Indonesia like Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan even to going abroad. Bugis people are the the most group who insist to spread the Islamic religion. 

The word Bugis is referred to the word To Ugi, means Bugis People. Formerly, it referred to the first King of Chinese Kingdom in Pammana who is La Sattumpugi, which now is the regency of Wajo. The people named themselves To Ugi or the people of La Sattumpugi.

On the following era, this people are divided and growth in some kingdoms. Then, east group developing their own culture, language, literacy and their own governmental. It is mention that the classic Bugis people are coming from Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng and Rappang. Those classic group are divided from the ancient kingdom that form during the development of Bugis people. The history mention that the kingdoms which growth during the early time and affected the Bugis was the era of Bone Kingdom, Makassar Kingdom, Soppeng Kingdom and Wajo Kingdom. Moreover, the era of the conflict among the royal emperor, the entrance of Islamic religion, Dutch colonialism and independence revolution. 

Laksamana Raja Di Laut Keturunan Bugis Wajo


Makna Bengkalis
Sementara itu, asal mula nama Bengkalis diambil dari kata “Mengkal” yang berarti sedih atau sebak serta “Kalis” yang berarti tabah, sabar dan tahan ujian.

Sejarah Bengkalis bermula ketika Tuan Bujang alias Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah mendarat di Bengkalis pada tahun 1722. Sultan yang juga menguasai wilayah Siak disambut oleh batin (kepala suku) Senggoro dan beberapa Batin lainnya.

Para Batin meminta Sultan agar membangun kerajaan di Bengkalis, sebagai wujud rasa hormat mereka. Melalui musyawarah dengan sejumlah Datuk di wilayah pesisir Riau pada tahun 1723, disepakati pusat kerajaan didirikan di dekat Sabak Aur yakni di sungai Buantan salah satu anak Sungai Siak.

Bengkalis pernah menjadi basis awal kerajaan Siak. Sejarah juga mencatat, semasa Belanda berkuasa, di Bengkalis pernah diduduki residen pesisir timur pulau Sumatera. Saat itu, Bengkalis sudah menunjukkan peran penting dalam arus lalu lintas niaga di selat Melaka, terutama sebagai persinggahan saudagar yang keluar masuk sungai Siak.

Strategisnya posisi Bengkalis sebagai lalu lintas niaga menyebabkan Pemkab setempat meletakkan pembangunan pelabuhan penumpang bertaraf internasional di Selat Baru sebagai salah satu prioritas pembangunan di era otonomi. Kehadiran pelabuhan tersebut diharapkan memperlancar transportasi ke dan dari Malaysia.

“Jarak tempuh ke Malaysia dari Bengkalis hanya 45 menit. Padahal selama ini jika ditempuh dari Kota Dumai bisa mencapai dua jam,” ujar Bupati Bengkalis.

Pembangunan pelabuhan ini juga dilakukan sebagai salah satu upaya mempercepat

Dakwah Syekh Abdul Wahab Bugis di Tanah Banjar


Pengantar
Selama ini, publikasi terhadap tulisan sejarah dan kehidupan tokoh-tokoh lokal begitu terbatas dan agak susah diakses. Wajar jika, tulisan saya yang berjudul “Ketokohan Syekh Abdul Wahab Bugis di Tanah Banjar” (Opini, Jum’at 2 Juli 2004) mendapat sambutan yang positif. Apresiasi terhadap tulisan tersebut memotivasi saya untuk lebih mengenalkan secara dekat tokoh-tokoh besar yang telah mengharumkan banua dalam perjuangan dan syiar dakwah serta dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Sehingga dengan adanya publikasi secara tertulis terhadap sedikit dari biografi dan pemikiran mereka yang bisa diramu, diharapkan generasi sekarang akan lebih tahu tentang sejarah hidup, sumbangan pikiran, dan perjuangan yang telah mereka curahkan untuk kejayaan Islam dan kesejahteraan hidup umat. Sehingga bermuara dari sini diharapkan tumbuh pula semangat yang sama untuk membangun dan memberikan yang terbaik bagi perkembangan banua, hari ini, besok, lusa dan masa yang akan datang. Untuk itu kita juga salut dengan SKH Kalimantan Post yang tetap concern menerbitkan tulisan-tulisan berkenaan dengan khazanah intelektual lokal.

Pada tulisan terdahulu dijelaskan bahwa dalam catatan sejarah, Syekh Abdul Wahab bertemu dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Madinah, dalam majelis ilmu gurunya (yang kemudian juga menjadi guru Syekh Muhammad Arsyad), Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. Jika Syekh Muhammad Arsyad (dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani) lebih banyak menggunakan waktu mereka untuk menuntut ilmu di kota Mekkah (selama 30 tahun) dan Madinah (selama 5 tahun), maka Abdul Wahab (bersama dengan Syekh Abdurrahman Misri) lebih banyak memanfaatkan waktu mereka untuk menuntut ilmu di Mesir.
 
Pigur Syekh Abdul Wahab Bugis
Berdasarkan pendapat dari Karel S. Steenbrink sebenarnya riwayat hidup seorang tokoh dapat

Bangsawan Gowa Dikenang sebagai Pejuang Srilanka

Sigiriya
 
CATATAN sejarah kembali mengukir keberanian bangsawan Bugis-Makassar di luar negeri. Adalah Karaeng Sangunglo atau Karaeng Sanguanglo yang disebut sebagai bangsawan Kerajaan Gowa menjadi pejuang rakyat Srilanka dulu masih bernama Ceylon.

Nama tersebut bisa jadi terasa asing di Indonesia, termasuk di tanah asalnya, Gowa. Namun tidak bagi masyarakat Colombo atau Sri Lanka.

Demikian salah satu bagian diskusi Rumah Nusantara yang digelar di kantor Tribun, Senin (12/7). Diskusi menghadirkan sejumlah akademisi seperti antroplog Dr Halilintar Latief MPd, Ishak Ngeljaratan, KH Dahlan Yusuf, dan dosen/peneliti dari Leiden Institute for Area Studies/ School of Asian Studies, Suryadi.

Sejumlah tokoh lintas etnis dan budaya juga hadir dalam diskusi yang berlangsung hangat namun tetap diselingi dengan canda tawa dari peserta diskusi.

Karaeng Sangunglo disebutkan sebagai putra Raja Gowa Ke-26 (1753), Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa, yang memilih pindah ke tanah kelahiran ibunya di Bima karena kuatnya intimidasi Belanda di Gowa kala itu.

Pada 1767, tanpa alasan yang jelas, Sultan Fakhruddin ditangkap dan dibuang ke Ceylon. Di sanalah putranya Karaeng Sangunglo menjadi pahlawan Melayu dan menjadi legenda di Ceylon.

Awalnya, Karaeng Sangunglo adalah anggota dari Resimen Melayu Ceylon (semacam pasukan khusus bentukan Belanda) yang kemudian dilikuidasi oleh Inggris tahun 1796 hingga berubah nama menjadi The Ceylon Rifle Regiment.

Membelot

Saat VOC melakukan agresi besar-besaran di wilayah Kandy, Ceylon pada 1761, Karaeng

Sitti Hapipa The Real Kartini

Peta Ceylon 1914
 
Naskah Dinasti Gowa Ditemukan
Jakarta- Sepucuk surat dalam naskah kuno beraksara Jawi mengungkapkan sejarah penting dinasti Kerajaan Goa. Ahli filologi dan peneliti dari Leiden University, Belanda, Suryadi, menemukan bagian penting yang selama ini belum terungkap dalam buku-buku sejarah di Indonesia. Sejarah penting itu dalam sepucuk surat Sitti Hapipa yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, yang ketika itu dijabat Albertus Henricus Wiese (1805-1808).

Surat penting Sitti Hapipa dari pengasingannya di Colombo, Ceylon (sekarang Sri Lanka), itu selama ini telah menjadi koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden. Suryadi memaparkan temuannya itu dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara 12 di Universitas Padjadjaran Bandung.


”Meskipun sudah banyak kajian yang dibuat mengenai (per)surat(an) Melayu lama, surat-surat dari tanah pembuangan belum banyak dibicarakan, bahkan terkesan sedikit terlupakan. Padahal, surat-surat tersebut mengandung berbagai informasi yang berharga mengenai kehidupan orang-orang yang dibuang Belanda di negeri asing tempat mereka menjalani sisa hidupnya, bahkan tak jarang berkubur di sana,” kata Suryadi ketika berbincang-bincang dengan Kompas, Minggu (10/8) di Jakarta.

Mengingat kandungan data historis yang dimiliki surat tersebut, transliterasinya yang akan diterbitkan sebuah jurnal di Indonesia dapat dimanfaatkan oleh peneliti di luar bidang ilmu filologi dan sastra Melayu lama.


Kehidupan sultan

Menurut Suryadi, isi surat Sitti Hapipa memberikan sejumlah informasi akurat mengenai kehidupan Sultan Fakhruddin beserta keluarga besarnya (dengan 12 anak dan cucu-cucu) di

Karaeng Sangunglo dan Heroisme Bugis di Sri Lanka

Tasik Kandy

Namanya Karaeng Sangunglo atau kadang ditulis Sanguanglo. Ia adalah keturunan bangsawan Gowa, sebuah kerajaan lokal di Sulawesi Selatan. Tapi lelaki yang, menurut kesaksian seorang Inggris, berbadan besar berdegap itu berkubur jauh di seberang Laut Sahilan. Ia tewas dalam mempertahankan Kerajaan Kandy di jantung Pulau Ceylon (Sri Lanka) dari aneksasi kolonialis Belanda dan Inggris.

Siapakah Karaeng Sangunglo? Inilah hikayat tentang dirinya, dirangkai dari serpihan data sejarah yang terserak dalam laporan orang Eropa, surat kabar, majalah dan buku-buku tua, naskah-naskah bertulisan Jawi, dan juga beberapa sumber kedua.

Pulau Sumbawa suatu hari di tahun 1767. Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa sedang berada di ibukota Kerajaan Bima, penghasil kayu sepang sekeras paku yang digemari Belanda, madu, sarang burung, dan….budak. Baginda adalah Sultan Gowa ke-26 (naik tahta 1753). Ayahnya, Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742-1753) mempersunting ibunya, Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731-1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga (1711-1713).

Sultan Fakhruddin sedang gundah karena intimidasi politik Belanda di Gowa, juga karena intrik dalam keluarganya sendiri. Hatinya risau dan pikirannya kacau. Ia tinggalkan Istana Gowa dan pergi ke Bima, tanah kelahiran Ibundanya, untuk menenangkan jiwa. Para bangsawan Gowa

Lisa Halim Tapping Into The Indonesian Market (Bugis-Jepun)


Born to an Indonesian father and a Japanese mother, Japanese pop singer Lisa Halim makes her father's hometown a place to expand her market outside Japan.

The Japanese-born singer recently made her fourth visit to Indonesia to perform in the Bali Marathon as part of the annual Nusa Dua Fiesta. "Indonesia is so familiar. Being here is like visiting my hometown although I have never lived here," said the 24-year-old singer, who grew up in Japan with her parents. Following the death of her father, a native of Makassar, South Sulawesi, she now lives with her mother.

In 2008, she released an album Here I am in Indonesia and Malaysia, with two English-titled songs, "Tomorrow" and "Say Goodbye". "I want to travel to more places now and expand my market, but I want to start here, in my father's hometown." Lisa developed a passion for singing and songwriting from the age of 13. 

She was inspired by the album I Will Always Love You by Whitney Houston, which her mother

Muslims in Australia


A long and vibrant history
Muslims in Australia have a long and varied history that is thought to pre-date European settlement. Some of Australia’s earliest visitors were Muslim, from the east Indonesian archipelago. They made contact with mainland Australia as early as the 16th and 17th centuries.

Early Muslim visitors—the Macassar traders
Fishermen and traders from what is today the Macassar region of Indonesia arrived on the northern coasts of Western Australia, the Northern Territory and Queensland. The Macassarese traded with local Indigenous people and fished for ‘trepang’ (commonly known as sea cucumber), which they sold as a delicacy on the lucrative Chinese market.

Evidence of these early visitors can be found in the similarity of certain words that occur in the languages of the Macassarese and of the coastal Indigenous Australians. Aboriginal cave paintings depict the traditional Macassar vessels or ‘prau’ and a number of Macassan artefacts have been found in Aboriginal settlements on the west and north coasts of Australia. Marriages between Indigenous people and Macassarese are believed to have taken place, and Macassan grave sites have been found along the coastline.

Melayu-Bugis Bagai Mata Hitam dan Putih

Pekanbaru- Gubernur Riau HM Rusli Zainal mengatakan, orang Melayu dan orang Bugis sejak dulu memang tidak bisa dipisahkan, orang Melayu dan Bugis bisa diumpamakan seperti mata hitam dan mata putih. Sejarah pun sudah menuliskan bahwa orang Melayu dan Bugis tersebut adalah satu dan saling bekerjasama sampai sekarang.

Hal itu dikatakan Gubri ketika membuka Musyawarah Wilayah (Muswil) II, Kerukunan Keluarga Sumatra Selatan (KKSS) di Pekanbaru, Sabtu (29/3) kemarin. Hadir dalam acara itu Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau, Zainuddin Nare, Ketua Umum KKSS Pusat, Andi Jamaro dan sejumlah masyarakat Bugis dari berbagai perwakilan di kabupaten/kota di Riau.

“Kedua kaum ini sejak dari dulu memang tidak bisa dipisahkan, orang Melayu dan orang Bugis itu bagaikan mata hitam dan mata putih, keduanya saling menyatu dan bekerjasama dalam berbagai hal dan ini terjadi sudah sejak lama,’’ tutur gubernur.


Gubernur yang juga bergelar Daeng Magguna menambahkan, antara orang Melayu dan orang Bugis sudah ada sumpahnya, dalam sejarah orang Melayu dan orang Bugis saling membantu dan sampai sekarang saling membantu itu masih ada dan tetap terpelihara dengan baik.


Arena Wati - Muhammad Dahlan bin Abdul Biang


Muhammad Dahlan bin Abdul Biang, Andi Mohalan Andi Beang atau lebih dikenali sebagai Arena Wati (lahir 30 Julai 1925, meninggal dunia 25 Januari 2009) ialah Sasterawan Negara Malaysia tahun 1988. Nama pena lainnya ialah Duta Muda dan Patria.

Arena Wati dilahirkan pada 30 Julai 1925 di Kalumpang Kabupaten, Jeneponto, Makasar, Indonesia. Arena mendapat pendidikan awal di sekolah Belanda, Hollands Indische School, sebelum meletus Perang Dunia II. Semasa Perang Dunia II, beliau memulakan kerjayanya sebagai pelaut pada tahun 1943. Pengalamannya dalam bidang ini meningkatkan lagi kemampuan beliau dalam penulisan dan menghasilkan novel yang baik. Beliau menamatkan pengajian menengahnya di Makasar pada tahun 1953.

Selepas tamat persekolahan, Arena bekerja dengan syarikat penerbitan di Singapura, dan kemudiannya ke Johor Baru dan Brunei. Dalam tempoh ini, beliau telah menjadi warganegara Malaysia dan antara tahun 1962 hingga 1974, beliau bertugas di Pustaka Antara, Kuala Lumpur.

Arena Wati terjun dalam dunia kewartawanan sekitar tahun 1954 dan pernah menjadi editor di Pustaka Antara dan akhirnya menerima anugerah Sasterawan Negara pada 1988. Kebanyakan karya Arena Wati berbentuk akademik, imiginatif, mencabar minda dan kritikannya pedas dan berbisa.

Petualangan Orang Makassar di Negeri Siam (Muangthai)

Sebelum kedatangan orang Eropa, orang Makassar sudah dikenal sebagai pelaut ulung. Tome Pires dalam perjalanannya dari Malaka ke laut Jawa pada tahun 1513 telah menemukan pelaut makassar sebagai pelaut ulung. Keterangan Pires mengenai orang Makassar dianggap sebagai sumber Barat tertulis yang paling tua yang bisa ditemukan. Pires mengemukakan: “Orang-orang Makassar telah berdagang sampai ke Malaka, Jawa, Borneo, negeri Siam dan juga semua tempat yang terdapat antara Pahang dan Siam”.
 
Oleh Pelras, orang-orang Makassar telah meninggalkan kampung halaman mereka begitu jauh dan begitu lama. Bahkan saking lamanya, mereka melakukan perkawinan dengan warga pribumi dan memiliki keturunan di negeri yang mereka datangi. Mereka memiliki ketegaran hidup dan semangat pantang menyerah. Gelombang tinggi dan laut yang sangat luas bukanlah hambatan bagi mereka untuk mencapai negeri yang mereka tuju. Kegairahan dan kekerasan jiwa mereka mengundang decak kagum masyarakat pribumi tempat yang mereka singgahi. Yang lebih mengagumkan adalah di tempat baru tersebut mereka masih mempertahankan sifat-sifat asli mereka sebagai orang Makassar. Siri’ napacce telah tertanam kuat dalam jiwa mereka dan menjadi patrol mereka dalam menjalani hidup meskipun itu di negeri asing. Keberanian, kekasaran dan kematianlah yang akan mereka pilih jika mereka di perhadapkan pada pilihan yang rumit. Apalagi kalau itu menyangkut dengan harga diri dan kepercayaan yang di anutnya.

Di bawah ini, adalah sebuah tragedi mengharukan sekaligus mengagumkan dari 120 orang Makassar yang mempertahankan harga diri dan kehormatan mereka di negeri Muangthai. Berikut kisahnya dikutip dari buku Kisah-Kisah Bijak Orang Sulsel karangan A. Shadiq kawu yang mengambil referensi dari sejarawan Perancis Crishtian Pelras.

Heroisme Bugis-Makassar Di Thailand (dulu bernama Ayuthia, Siam)

Kisah ini diambil dari catatan Claude de Forbin seorang ksatria Prancis, yang dikirim ke Siam (sekarang Thailand) oleh Raja Louis XIV, dengan misi yang amat ambisius dalam hal politik, agama, ilmu pengetahuan dan ekonomi.

Tahun 1658 - 1659 Phra Narai, raja Siam tercatat memberikan daerah pengungsian bagi 773 orang Minangkabau yang berasal dari Sumatra Barat dan berikutnya pada Tahun 1664, 250 orang (pria, wanita dan anak-anak) tiba dari Makassar dan diberikan hak dan membangun komunitas perkampungan bersebelahan dengan orang-orang Melayu yang sudah lebih dulu menetap.

Akan tetapi keadaan yang damai dan harmonis di Siam waktu itu tidak berlangsung lama, karena seringnya terjadi intrik dan perebutan kekuasan dalam lingkungan keluarga dan kerabat istana. Tidak terkecuali Phra Narai dulunya juga adalah seorang yang merebut kekuasaan dengan cara kekerasan dan berdarah, sehingga ia sadar betul bahwa kekuasaanya tidak berakar dan tidak kuat dukungannya sehingga ia akan gampang pula digulingkan, karena itulah ia mempercayakan pertahanan kerajaannya pada serdadu Prancis yang kala itu sedang berada di Siam atas perintah Raja Prancis. Serdadu Prancis dipimpin oleh Claude de Forbin dengan 6 kapal dan satu detasemen militer yang beranggotakan 636 orang.

Adalah seorang pangeran Makassar (Gowa-Tallo) bernama Daeng Mangalle yang rupanya terlibat dengan konspirasi Melayu, Campa, Makassar dan orang Islam lain di Siam, konspirasi ini akan berencana menyerang istana dan membunuh raja Siam Phra Narai, karena Raja dianggap telah melenceng yaitu menempatkan kepercayaan pada orang asing yaitu Prancis dan Misi orang asing mengembangkan agama baru kemungkinan lebih buruk lagi Raja akan berpindah memeluk agama baru.

Jejak Bugis Makassar Di Negara Siam (Thailand)

Beberapa artikel dan buku sejarah yang terdapat di internet mengenai Bugis Makassar yang berada di Negara Siam pada suatu ketika.


History of the Kingdom of Siam - The Revolt of the Macassar

Eclipses in Siam (now Thailand) - History and Legends
Return to Siam - Meanwhile those left behind under Forbin by the previous expedition had built a fort at Bangkok. Just in time. In 1686 there was an armed uprising against King Narai.

Suku Di Sulawesi Selatan

RUMPUN BUGIS = termasuk dalam rumpun Melayu Muda

Selama ini yang orang tahu dari Sulsel cuma ada empat suku, yaitu makassar, bugis, mandar dan toraja... ternyata masih banyak yang lain...

SUKU BENTONG = Suku Bentong tinggal di perbatasan Kabupaten Maros dan Bone, mereka mendiami daerah Bulo-Bulo, bagian dari wilayah Kecamatan Tenete Riaja. Kabupaten Barru, Propinsi Sulawesi Selatan.

SUKU BUGIS = Suku tersebut berpusat di Sulawesi Selatan. Suku ini mendiami sebelas Kabupaten, yaitu Kab. Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Sidenreng-Rappang, Powelai-Mamasa, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajene, dan Maros.

SUKU CAMPALAGIAN = Nama lain dari suku ini adalah Tulumpanuae atau Tasing, dan biasa disebut oleh pemerintah suku Mandar. Namun mereka menyebut diri mereka orang Campalagian. Mereka tinggal di sekitar Kabupaten Majene, tepatnya di kota Campalagian dan Kab. Polewali-Mamasa (Polmas) serta di Kabupaten Mamuju sepanjang sungai Mandar.

SUKU DURI = Suku Duri terletak di pedalaman Sulawesi Selatan, mendiami wilayah Kabupaten Enrekang yang tersebar di lima kecamatan, yaitu Kec. Enrekang, Maiwa, Baraka, Anggareja dan Alia, yang berbatasan dengan Tanah Toraja. Mereka menggunakan bahasa dengan dialek khusus yaitu bahasa Duri.

1Bugis - Suku Duri

Suku Duri terletak di pedalaman Sulawesi Selatan, mendiami wilayah Kabupaten Enrekang yang tersebar di lima kecamatan, yaitu Kec. Enrekang, Maiwa, Baraka, Anggareja dan Alia, yang berbatasan dengan Tanah Toraja. Mereka menggunakan bahasa dengan dialek khusus yaitu bahasa Duri.

1Bugis - Suku Mamuju

Mamuju terletak di tepi pantai timur Sulawesi , terbentang dari arah selatan ke utara. Suku ini dialiri oleh beberapa sungai, seperti Hua, Karamu, Lumu, Budung-Budung.

1Bugis - Suku Toala' / Pannei

Sumpang Bita adalah obyek wisata gua yang terdapat di Kab. Pangkep, Sulsel. Pada dinding gua Sumpang Bita itu terdapat bekas gambar telapak tangan, dan telapak kaki manusia, perahu, rusa dan babi hutan. Mungkin unsur-unsur ini menunjukkan gaya hidup orang Toala/Pannei zaman dulu. Konon sejak 5000 tahun yang lampau merupakan tempat hidup nenek moyang suku Toala/Pannei.

1Bugis - Suku Makassar

Suku Makassar adalah nama Melayu untuk sebuah etnis yang mendiami pesisir selatan pulau Sulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkassara' berarti Mereka yang Bersifat Terbuka.

Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin Traktat dengan Bali, kerjasama dengan Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adudomba Belanda terhadap Kerajaan taklukannya.