Memaparkan catatan dengan label Bugis Di Papua. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label Bugis Di Papua. Papar semua catatan

Taklukan Daerah Baru dengan Falsafah Tiga Ujung

Di masa lalu, orang Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut ulung. Malah, ada sebuah ungkapan yang mungkin terasa hiperbola; Di mana ada dermaga, di situ pasti ada orang Bugis-Makassar.

Keberadaan orang Bugis-Makassar yang ada di mana-mana menandakan mereka dapat diterima dengan baik oleh bangsa mana pun. Demikian dikemukakan Sosiolog yang juga Ketua Program Studi Pendidikan IPS Program Pascasarjana UNM,

Dr Andi Agustang, menanggapi film dokumenter berjudul Diaspora Bugis-Makassar dan Kebangkitan Nasional yang diputar di Ruang Rapat Pimpinan PT Media Fajar, Lt IV gedung Graha Pena Makassar, Rabu 27 Mei.


Menurut Agustang, dalam bersosialisasi dengan masyarakat di daerah asing, orang Bugis-Makassar paling tidak mengandalkan tiga hal, yakni tutur kata, keberanian dan pernikahan. Falsafah itu dikenal dengan tiga ujung, yakni ujung lidah (tutur kata), ujung (maaf) kemaluan atau pernikahan, serta ujung badik yang menegaskan keberanian orang Bugis Makassar, ungkap Agustang.


Tiga hal inilah yang digunakan orang Bugis-Makassar untuk membaur dengan masyarakat di sebuah daerah yang didatanginya. Maka dalam pandangan Agustang, Karaeng Galesong dalam film dokumenter tersebut sudah memperlihatkan ketiga-tiganya.


Dalam bertutur kata, Karaeng Galesong dikenal sebagai pribadi yang santun, sekaligus tegas jika menghadapi situasi yang keras. Keberanian pun tak diragukan lagi. Begitu juga pernikahan, dibuktikan Karaeng Galesong dengan menikahi Suratna, puteri Trunajaya.


Tiga falsafah pergaulan orang Bugis-Makasar ini juga ditunjukkan Karaeng Daeng Naba dalam film itu. Karaeng Daeng Naba juga dikenal sebagai komandan divisi tempur VOC yang memimpin sekitar 2500 prajurit Bugis-Makassar. Dia juga menikahi puteri bangsawan Mataram, yang kelak keturunannya akan menjadi pelopor gerakan kebangkitan nasional, Dr Wahidin Sudirohusodo.


Falsafah pernikahan antar etnis ini juga diakui sejarawan Sulselbar, Suriadi Mappangara. Hanya saja, di mata Suriadi, orang Bugis-Makassar di daerah perantauan lebih cenderung mengikat pernikahan dengan kalangan bangsawan. Jarang sekali menikahi rakyat jelata.

 
Kelemahan orang Bugis-Makassar di daerah asing seperti itu. Mereka hanya mengikat kalangan elite, bangsawan sehingga lemah di kalangan jelata, jelas Suriadi yang menjabat kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar.

Orang Bugis dan Diasporanya di seluruh Indonesia

Orang Bugis atau To Ugi dikenal sebagai suku yang suka bertualang, berdagang, beremigrasi, selain juga sangat dinamis dan berani ambil resiko. Orang Bugis berkerabat dekat dengan orang Mandar di Sulawesi Barat dan orang Makassar di ujung-ujung selatan Sulawesi, meskipun pada akhirnya ada istilah Bugis Mandar dan Bugis Makassar yang menimbulkan persepsi kalau Bugis, Makassar dan Mandar itu sama, padahal sebenarnya berbeda meski ada kemiripan dalam penulisan (sama-sama menggunakan aksara lontara) dan sebagian di busananya.

Sejak sekitar abad ke-16, orang Bugis memeluk Islam dan kerajaan Goa-Tallo mencapai puncak kejayaannya. Namun kemudian Belanda menguasai kawasan tersebut sehingga mengakibatkan banyak orang-orang Bugis kemudian menyebar ke berbagai penjuru Nusantara. Disamping itu, kerajaan Bone yang ada di bagian timur Sulawesi Selatan kemudian bertahan hingga abad ke-19 dan kembali diaspora orang Bugis terjadi.

Kemudian dalam perkembangannya, orang Bugis banyak mempengaruhi sejarah serta sistem pemerintahan diwilayah manapun mereka tinggal. Ada prinsip yang mereka pegang teguh ‘dimanapun bumi dipijak, disitu langit dijunjung’ maksudnya bila mereka datang ke suatu daerah dan dirasa nyaman, maka mereka menganggapnya sebagai kampung halamannya. Dapat disaksikan bahwa pada abad ke-17 dan 18 orang Bugis memperoleh pengaruh di Kerajaan Johor-Riau-Lingga hingga Semenanjung Melayu.

Selain itu juga peran orang Bugis di kawasan timur Indonesia juga sangat besar. Banyak sultan-sultan di kawasan itu yang setidaknya sebagian tubuhnya dialiri darah Bugis. Memang pada masa lalu, orang-orang Bugis dikenal sebagai penjelajah ulung yang ditakuti dimana-mana, dan banyak kelompok lanun Bugis yang kemudian menjadi penguasa, khususnya di kawasan Kepulauan Riau dan Semenanjung.

Selain itu, banyak kelompok perlawanan Bugis seperti Karaeng Galesong yang membantu Trunojoyo dalam melawan Belanda di sepanjang pantai utara Jawa dengan mendirikan markas di Pasuruan pada tahun 1675-1679. Orang Bugis juga banyak yang menjadi prajurit bayaran untuk melindungi kepentingan-kepentingan kerajaan yang mereka tempati. Seperti misalnya di Bali, bahkan sampai Jogjakarta dan Bima.

Diaspora orang Bugis sendiri sangatlah luas, hingga mencakup hampir seluruh wilayah Nusantara (termasuk Singapura dan Malaysia), baik di perkotaan maupun pedesaan. Mereka membangun pemukiman-pemukiman yang kemudian dalam sejarahnya melebur dengan penduduk sekitarnya. Pemukiman orang Bugis di berbagai wilayah sendiri juga sebagian besar penduduknya telah kehilangan bahasa Bugis dan budayanya, serta telah tergantikan oleh bahasa dan budaya penduduk tempat mereka bermukim, terutama sekali di pulau Sumatera, Jawa dan Madura.

Untuk Pulau Sumatera, mereka tersebar di kota-kota bagian timur, khususnya di Riau, Kepulauan Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Sedangkan di Pulau Jawa, mereka tinggal di kota-kota utama seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Jogjakarta, Surabaya, Semarang, Malang dan sebagainya.

Di Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah, terdapat satu perkampungan Bugis yang ada di dusun Batulawang, desa Kemujan. Penduduk kampung Bugis ini hidup membaur dengan orang Jawa, Madura, Buton dan Bajo yang juga bermukim dikawasan itu.

Daerah Bugisan, Jogjakarta konon juga dulunya adalah pemukiman para prajurit Bugis yang direkrut Raja Jogjakarta dimasa lalu dan kini menjadi bagian kota Jogjakarta.

Sedangkan di Jawa Timur sendiri, banyak kerabat kerajaan Madura yang kawin mawin dengan orang Bugis. Keturunan Bugis ini banyak dijumpai di Sumenep, dan Kepulauan Kangean serta kepulauan Masalembu.

Pulau Bali juga menyimpan beberapa kampung Bugis. Mereka juga adalah keturunan pedagang dan prajurit yang kemudian menetap dan menikah dengan penduduk setempat. Kampung Islam yang banyak dihuni orang Bugis terdapat di Pulau Serangan, Tuban, Kepaon, Tanjung Benoa dan , Kampung Loloan (berbaur dengan keturunan Melayu dari Pahang, Trengganu dan Pontianak), kampung-kampung Islam di kawasan Nusa Penida dan beberapa komunitas kecil baik yang tergabung dalam banjar besar ataupun kampung tersendiri.

Di Nusa Tenggara, banyak pemukiman Bugis yang dijumpai utamanya di kawasan Sumbawa, Flores, Solor, Alor, dan Timor, khususnya di kawasan perkotaan. Bahkan dari segi busana, masyarakat Sumbawa dan Bima banyak terpengaruh oleh Bugis. Dan gelar Kraeng yang dipakai suku Manggarai di Flores juga berakar dari kata Karaeng.

Sedangkan di Pulau Kalimantan, orang Bugis (termasuk Mandar) banyak dijumpai di Kotabaru dan Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan) serta sepanjang pesisir Kalimantan Timur (Pasir sampai Pulau Sebatik) hingga Sabah, Malaysia. Orang Bugis juga bermukim di sepanjang Sungai Mahakam dari Melak di hulu hingga Samboja di hilir sungai. Sarung Tenun Samarinda yang populer itu juga dihasilkan orang-orang Bugis yang ternyata perintis berdirinya kota Samarinda, ibukota Kaltim ini, yang kebanyakan berkonsentrasi di Samarinda seberang.

Lebih besar lagi pengaruh Bugis di Sulawesi, Maluku Utara, Maluku dan Papua dimana di hampir seluruh penjuru pulau bisa dijumpai komunitas-komunitas Bugis, apalagi di pasar-pasar. Dimasa lalu juga, kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan juga setidaknya mendapat pengaruh dari Bugis. Bahkan orang Bugis berdagang sampai di perbatasan Indonesia-Papua Nugini atau kota Merauke, kota tertimur di Indonesia.

Itu hanya sebagian dari persebaran orang Bugis, baik yang sejak berabad-abad silam maupun pendatang-pendatang baru yang datang untuk bekerja atau belajar, utamanya di pulau Jawa.

Banyak sekali orang-orang Bugis yang menjadi orang berpengaruh diberbagai tempat, baik dibidang ekonomi maupun pemerintahan di Indonesia dan sudah dua orang Bugis yang menduduki posisi tertinggi didalam pemerintahan antara lain BJ Habibi dan Jusuf Kalla.

Pendek kata, pengaruh Bugis dalam pembentukan masyarakat Indonesia tidak bisa diabaikan sama sekali. Mereka juga turut berperan serta dalam melawan penjajahan serta memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, jadi tanpa peran serta mereka maka bangsa kita takkan terbentuk seperti sekarang ini.

Sekali lagi...keras, petualang ulung, pedagang ulet dan berani ambil resiko, itu yang saya sukai dari kelompok satu ini.


Bambang Priantono

Kredit kepada: http://bambangpriantono.multiply.com/

Pengaruh ekonomi Bugis terhadap Papua

Resensi: Amber dan Komin: Studi Perubahan Ekonomi di Papua, Akhmad, Bigraf Publishing, 2005

Tebal buku ini 157 halaman. Yang disoroti, peranan pedagang Bugis dalam proses transformasi ekonomi di Papua, khususnya mengenai perkembangan ekonomi pasar. Judulnya, Amber dan Komin: Studi Perubahan Ekonomi di Papua, yang ditulis oleh Akhmad, antropolog asal suku Bugis di Sulawesi Selatan.

Ia juga menceritakan jaringan sosial maupun pranata budaya yang dianut oleh orang Bugis di Papua. Termasuk, persaingan yang timpang sekali antara pedagang pendatang dan pribumi di pasar-pasar seputar Kota Jayapura.

Konflik, dominasi ekonomi, dan etnisitas menjadi perdebatan di Papua saat ini. Pergulatan identitas kesukuan memiliki dampak negatif sebab bisa memicu konflik. Kondisi itu memunculkan persaingan dalam memperoleh sumber daya ekonomi. Namun, nilai positifnya tak sedikit. Dominasi ekonomi suku Bugis dijadikan referensi bagi orang Papua dalam melakukan strategi baru untuk mengembangkan diri.

Buku dengan enam bab itu memuat hasil penelitian sebagai rintisan awal untuk memahami transformasi ekonomi di Papua atas keberadaan pendatang. Situasi sosial di Papua saat ini ditandai dengan munculnya wacana yang merujuk pada perbedaan etnis. Fenomena itu mempertegas batas orang Papua dengan non-Papua, yaitu antara suku Bugis dan warga Papua.

Di papua, gejala ini bukan gejala sosial budaya baru karena sudah ada sejak pascakolonial dengan munculnya kata 'Amber' bagi pendatang berambut lurus dan 'Komin' bagi orang Papua yang berambut keriting. Gejala itu mendominasi perekonomian di Papua. Tapi, pertemuan kelompok Amber dan Komin membawa perubahan ekonomi nyata di Papua.

Tiga faktor melatarbelakangi perubahan itu. Pertama, penetrasi pasar dalam kehidupan orang Papua dari kehadiran suku Bugis. Kedua, pertemuan mode produksi domestik dengan yang modern. Ketiga, tidak semua hasil produksi subsistem habis dikonsumsi, jadi ada sisa yang dijual di pasar. Meskipun ada integrasi ekonomi dalam kehidupan orang Papua, pedagang setempat belum mampu bersaing dengan pedagang Bugis.

Penulis menganalisis penyebab keberhasilan kelompok Bugis dan ketertinggalan orang Papua dalam setting ekonomi pasar. Suku Bugis sukses karena mereka melakukan hubungan personal dalam ekonomi pasar. Sedangkan ketertinggalan orang Papua, mereka mengabaikan prinsip personal seperti proses tawar-menawar, utang-piutang, dan kredit.

Di sisi lain, ketertinggalan orang Papua juga akibat faktor struktural yang tak memungkinkan mereka bersaing dengan pedagang pendatang. Saat peralihan kekuasaan dari kolonial Belanda ke Indonesia pada 1963, orang Papua bukan kelompok pedagang. Namun, posisi perdagangan di tangan orang China (Amber). Landasan ekonomi orang Papua bersifat barter untuk membangun solidaritas sosial.

Intinya, keterlibatan orang Papua dalam ekonomi pasar adalah ketika mereka bertemu dengan suku Bugis. Pertemuan itu melahirkan reproduksi perdagangan. Orang Papua, yang asalnya pemburu, peramu, dan peladang, menjadi kecil di pasar. Dengan cara ini, mereka merespons berbagai perubahan di sekeliling mereka.

Kenyataan ini memaksa warga Papua beradaptasi dengan perubahan baru. Keadaan itu melahirkan konflik orang Papua dengan perantau asal Bugis. Kasus mencolok dari konflik itu berupa pembakaran pasar-pasar yang didominasi suku Bugis, di antaranya Pasar Abepura pada 1996, Pasar Entrop (1999 dan 2000), dan Pasar Sentani (2000).

Nerma Ginting


Sumber: http://www.media-indonesia.com/