Memaparkan catatan dengan label Bugis Di Thailand. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label Bugis Di Thailand. Papar semua catatan

Faqih Ali Al-Malbari moyang dan ulama raja-raja Melayu

TOKOH yang diperkenalkan ini berbeza dengan beberapa tokoh bernama Ali yang pernah dibicarakan sebelum ini, iaitu Syeikh Wan Ali bin Ishaq al-Fathani, Syarif Ali Brunei dan Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani.

Faqih Ali al-Malbari yang akan diperkenalkan dalam rencana kali ini juga bernama Andi' Ali. Terdapat percanggahan pendapat mengenai negeri asalnya kerana ada pendapat mengatakan beliau berasal dari negeri Malabar (India) dan pendapat yang lain pula mengatakan berasal dari negeri Bugis (Sulawesi Selatan, Indonesia). 

Dalam zaman yang sama, terdapat seorang lagi tokoh yang bernama Syeikh Faqih Ali yang berasal dari Patani yang dikatakan orang yang sama dengan Faqih Ali al-Malbari atau Andi' Ali, kerana sama-sama menjalankan aktiviti di Sulawesi Selatan, Johor, Kelantan dan Patani.

Namun demikian, penulis tidak dapat memastikan tentang perkara tersebut, apakah benar orang yang sama atau tokoh yang berlainan. Tetapi dapat dipastikan bahawa tokoh yang akan diperkenalkan ini adalah seorang tokoh besar dunia Melayu yang mempunyai zuriat yang ramai menjadi ulama dan raja dalam beberapa kerajaan di Patani dan Kelantan, bahkan terdapat juga di beberapa tempat-tempat lain dunia Melayu.

Asal Usul
Dalam buku yang bertajuk Ringkasan Cetera Kelantan oleh Datuk Nik Mahmud, Datuk Perdana Menteri Paduka Raja Kelantan, ada menyatakan seperti berikut, “Syahdan pada suatu masa, bulan sedang mengambang, di tepi langit, tersebutlah anak raja Bugis lari daripada saudaranya. Menumpang sebuah bahtera sampai ke Johor dan tumpang duduk berkirim diri di rumah Laksamana Kota Tinggi. Dipanggil orang 'Andi' Ali'. Tatkala Laksamana memandang kepadanya, berasa kasihan belas, dan dipeliharakannya sebagai anak sendiri. Tidak berapa tahun kemudian daripada itu, dijodohkan dengan anaknya yang bernama 'Wan Tija'.

Petualangan Orang Makassar di Negeri Siam (Muangthai)

Sebelum kedatangan orang Eropa, orang Makassar sudah dikenal sebagai pelaut ulung. Tome Pires dalam perjalanannya dari Malaka ke laut Jawa pada tahun 1513 telah menemukan pelaut makassar sebagai pelaut ulung. Keterangan Pires mengenai orang Makassar dianggap sebagai sumber Barat tertulis yang paling tua yang bisa ditemukan. Pires mengemukakan: “Orang-orang Makassar telah berdagang sampai ke Malaka, Jawa, Borneo, negeri Siam dan juga semua tempat yang terdapat antara Pahang dan Siam”.
 
Oleh Pelras, orang-orang Makassar telah meninggalkan kampung halaman mereka begitu jauh dan begitu lama. Bahkan saking lamanya, mereka melakukan perkawinan dengan warga pribumi dan memiliki keturunan di negeri yang mereka datangi. Mereka memiliki ketegaran hidup dan semangat pantang menyerah. Gelombang tinggi dan laut yang sangat luas bukanlah hambatan bagi mereka untuk mencapai negeri yang mereka tuju. Kegairahan dan kekerasan jiwa mereka mengundang decak kagum masyarakat pribumi tempat yang mereka singgahi. Yang lebih mengagumkan adalah di tempat baru tersebut mereka masih mempertahankan sifat-sifat asli mereka sebagai orang Makassar. Siri’ napacce telah tertanam kuat dalam jiwa mereka dan menjadi patrol mereka dalam menjalani hidup meskipun itu di negeri asing. Keberanian, kekasaran dan kematianlah yang akan mereka pilih jika mereka di perhadapkan pada pilihan yang rumit. Apalagi kalau itu menyangkut dengan harga diri dan kepercayaan yang di anutnya.

Di bawah ini, adalah sebuah tragedi mengharukan sekaligus mengagumkan dari 120 orang Makassar yang mempertahankan harga diri dan kehormatan mereka di negeri Muangthai. Berikut kisahnya dikutip dari buku Kisah-Kisah Bijak Orang Sulsel karangan A. Shadiq kawu yang mengambil referensi dari sejarawan Perancis Crishtian Pelras.

Taklukan Daerah Baru dengan Falsafah Tiga Ujung

Di masa lalu, orang Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut ulung. Malah, ada sebuah ungkapan yang mungkin terasa hiperbola; Di mana ada dermaga, di situ pasti ada orang Bugis-Makassar.

Keberadaan orang Bugis-Makassar yang ada di mana-mana menandakan mereka dapat diterima dengan baik oleh bangsa mana pun. Demikian dikemukakan Sosiolog yang juga Ketua Program Studi Pendidikan IPS Program Pascasarjana UNM,

Dr Andi Agustang, menanggapi film dokumenter berjudul Diaspora Bugis-Makassar dan Kebangkitan Nasional yang diputar di Ruang Rapat Pimpinan PT Media Fajar, Lt IV gedung Graha Pena Makassar, Rabu 27 Mei.


Menurut Agustang, dalam bersosialisasi dengan masyarakat di daerah asing, orang Bugis-Makassar paling tidak mengandalkan tiga hal, yakni tutur kata, keberanian dan pernikahan. Falsafah itu dikenal dengan tiga ujung, yakni ujung lidah (tutur kata), ujung (maaf) kemaluan atau pernikahan, serta ujung badik yang menegaskan keberanian orang Bugis Makassar, ungkap Agustang.


Tiga hal inilah yang digunakan orang Bugis-Makassar untuk membaur dengan masyarakat di sebuah daerah yang didatanginya. Maka dalam pandangan Agustang, Karaeng Galesong dalam film dokumenter tersebut sudah memperlihatkan ketiga-tiganya.


Dalam bertutur kata, Karaeng Galesong dikenal sebagai pribadi yang santun, sekaligus tegas jika menghadapi situasi yang keras. Keberanian pun tak diragukan lagi. Begitu juga pernikahan, dibuktikan Karaeng Galesong dengan menikahi Suratna, puteri Trunajaya.


Tiga falsafah pergaulan orang Bugis-Makasar ini juga ditunjukkan Karaeng Daeng Naba dalam film itu. Karaeng Daeng Naba juga dikenal sebagai komandan divisi tempur VOC yang memimpin sekitar 2500 prajurit Bugis-Makassar. Dia juga menikahi puteri bangsawan Mataram, yang kelak keturunannya akan menjadi pelopor gerakan kebangkitan nasional, Dr Wahidin Sudirohusodo.


Falsafah pernikahan antar etnis ini juga diakui sejarawan Sulselbar, Suriadi Mappangara. Hanya saja, di mata Suriadi, orang Bugis-Makassar di daerah perantauan lebih cenderung mengikat pernikahan dengan kalangan bangsawan. Jarang sekali menikahi rakyat jelata.

 
Kelemahan orang Bugis-Makassar di daerah asing seperti itu. Mereka hanya mengikat kalangan elite, bangsawan sehingga lemah di kalangan jelata, jelas Suriadi yang menjabat kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar.

Heroisme Bugis-Makassar Di Thailand (dulu bernama Ayuthia, Siam)

Kisah ini diambil dari catatan Claude de Forbin seorang ksatria Prancis, yang dikirim ke Siam (sekarang Thailand) oleh Raja Louis XIV, dengan misi yang amat ambisius dalam hal politik, agama, ilmu pengetahuan dan ekonomi.

Tahun 1658 - 1659 Phra Narai, raja Siam tercatat memberikan daerah pengungsian bagi 773 orang Minangkabau yang berasal dari Sumatra Barat dan berikutnya pada Tahun 1664, 250 orang (pria, wanita dan anak-anak) tiba dari Makassar dan diberikan hak dan membangun komunitas perkampungan bersebelahan dengan orang-orang Melayu yang sudah lebih dulu menetap.

Akan tetapi keadaan yang damai dan harmonis di Siam waktu itu tidak berlangsung lama, karena seringnya terjadi intrik dan perebutan kekuasan dalam lingkungan keluarga dan kerabat istana. Tidak terkecuali Phra Narai dulunya juga adalah seorang yang merebut kekuasaan dengan cara kekerasan dan berdarah, sehingga ia sadar betul bahwa kekuasaanya tidak berakar dan tidak kuat dukungannya sehingga ia akan gampang pula digulingkan, karena itulah ia mempercayakan pertahanan kerajaannya pada serdadu Prancis yang kala itu sedang berada di Siam atas perintah Raja Prancis. Serdadu Prancis dipimpin oleh Claude de Forbin dengan 6 kapal dan satu detasemen militer yang beranggotakan 636 orang.

Adalah seorang pangeran Makassar (Gowa-Tallo) bernama Daeng Mangalle yang rupanya terlibat dengan konspirasi Melayu, Campa, Makassar dan orang Islam lain di Siam, konspirasi ini akan berencana menyerang istana dan membunuh raja Siam Phra Narai, karena Raja dianggap telah melenceng yaitu menempatkan kepercayaan pada orang asing yaitu Prancis dan Misi orang asing mengembangkan agama baru kemungkinan lebih buruk lagi Raja akan berpindah memeluk agama baru.

Jejak Bugis Makassar Di Negara Siam (Thailand)

Beberapa artikel dan buku sejarah yang terdapat di internet mengenai Bugis Makassar yang berada di Negara Siam pada suatu ketika.


History of the Kingdom of Siam - The Revolt of the Macassar

Eclipses in Siam (now Thailand) - History and Legends
Return to Siam - Meanwhile those left behind under Forbin by the previous expedition had built a fort at Bangkok. Just in time. In 1686 there was an armed uprising against King Narai.

Dari Kapal Vanderwijck Hingga Petualangan Minang-Bugis di Semenanjung

Para penggemar sastera tentunya pernah membaca buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yaitu salah satu karya terbaik Hamka yang dipublikasikan sekitar tahun 1930-an dan termasuk sangat popular di jamannya. Melihat awal tahun penerbitannya boleh jadi cerita Hamka ini sepertinya diilhami oleh tragedi Titanic, kapal termewah sejagat pada zaman itu yang karam dan tenggelam di lautan Atlantik pada tahun 1912 karena menerjang gunung es. Seperti halnya kisah cinta menyedihkan dalam filem titanic yang dibintangi Leonardo DeCaprio kisah tenggelamnya kapal Van Der Vijck juga mengetengahkan kisah cinta tragis antara seorang pemuda blasteran Minang-Bugis yang bernama Zainuddin dengan seorang gadis minang bernama Hayati.
Sosok identik “Zainuddin” dalam cerita Titanic modern
Zainuddin adalah anak seorang Minang perantauan yang menikahi seorang wanita berdarah Bugis yang tidak lain