Dari Kapal Vanderwijck Hingga Petualangan Minang-Bugis di Semenanjung

Para penggemar sastera tentunya pernah membaca buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yaitu salah satu karya terbaik Hamka yang dipublikasikan sekitar tahun 1930-an dan termasuk sangat popular di jamannya. Melihat awal tahun penerbitannya boleh jadi cerita Hamka ini sepertinya diilhami oleh tragedi Titanic, kapal termewah sejagat pada zaman itu yang karam dan tenggelam di lautan Atlantik pada tahun 1912 karena menerjang gunung es. Seperti halnya kisah cinta menyedihkan dalam filem titanic yang dibintangi Leonardo DeCaprio kisah tenggelamnya kapal Van Der Vijck juga mengetengahkan kisah cinta tragis antara seorang pemuda blasteran Minang-Bugis yang bernama Zainuddin dengan seorang gadis minang bernama Hayati.
Sosok identik “Zainuddin” dalam cerita Titanic modern
Zainuddin adalah anak seorang Minang perantauan yang menikahi seorang wanita berdarah Bugis yang tidak lain adalah ibunya Zainuddin. Walau masa kecilnya sempat beberapa tahun tinggal di Bugis namun suatu keadaan telah menyebabkan dia terpaksa harus tinggal membesar ikut pamannya di Batipuh, sebuah kampong di Kota Padang Panjang Sumatera Barat. Tapi status dirinya yang tidak beribukan seorang Minang telah membuatnya sepertinya merasa terasing hidup di lingkungan masyarakat Minang yang  ketika itu masih terlalu kental memelihara adat  matrialineal. Ketika menginjak dewasa ia berkenalan dengan seorang gadis Minang bernama Hayati. Mereka berdua lama menjalin cinta dan bahkan sempat berikrar untuk menikah. Zainuddin pun demi mewujudkan niatnya untuk meminang Hayati lantas hijarah ke kota Padang Panjang untuk bekerja mengumpul uang dan selama berpisah mereka berdua sering berkirim surat cinta sebagai tanda ikatan.
Zainuddin tidak pernah mengetahui bahwa orang-tua Hayati sebenarnya tidak menginginkan Hayati menikah dengan Zainuddin karena orang-tua Hayati punya lelaki pilihan lain yaitu seorang pemuda asli Minang dari keturunan keluarga yang sangat terpandang di kampungnya. Singkat cerita Hayati pun akhirnya dinikahkan dengan lelaki bukan pilihannya. Mendengar kabar itu Zainuddin merasa tersambar petir di siang hari bolong dan kecewa berat hingga jauh sakit. Untuk melupakan luka hatinya yang terlalu dalam dan atas nasihat para sahabatnya lalu ia memutuskan untuk pergi jauh melupakan mengembara ke Surabaya bersama sahabatnya mengadu nasib. Tidak lama kemudian Zainuddin pun dikabarkan telah berhasil menjadi seorang pengusaha Minang yang sangat sukses di perantauan.
 
Sampul buku “Titanic” rasa balado
Tapi seperti kata pepatah dunia ini memang tidak selebar daun kelor beberapa tahun kemudian secara kebetulan saja Hayati bersama suaminya bernama Aziz harus hijrah ke Surabaya karena tugas sehingga suka atau tidak Zainuddin harus berjumpa lagi dengan bekas pacarnya itu terutama kalau ada acara pertemuan besar komunitas orang Minang se Surabaya. Zainuddin pun bisa membaca kalau rumah tangga Hayati kian hari kian berantakan karena suaminya terjerumus ke dalam perjudian sampai pada akhirnya mengalami kebangkrutan.  Merasa dirinya bangkrut dan gagal Aziz pun berputus asa hingga akhirnya nekad bunuh diri di sebuah hotel di Banyuwangi. Tapi sebelum bunuh diri Azis pernah diam-diam meminta Zainuddin untuk mengambil Hayati darinya untuk diperisteri.
Hayati pun akhirnya menjanda. Tapi Zainuddin masih belum bisa melupakan kepedihan masa lalunya dan ia dengan berat hati memutuskan untuk tidak kembali ke Hayati. Dengan perasaan hampa mendalam Hayati pun sadar akan keadaan dan memutuskan meninggalkan Surabaya lewat pelabuhan Tanjung Perak menaiki Kapal Van Der Wijck yang kebetulan akan berlayar menuju pelabuhan Teluk Bayur Padang. Tapi suratan takdir berbicara lain karena kapal yang ditumpanginya mengalami musibah besar setelah karam di tengah perairan sekitar Tuban. Hayati dan para penumpangnya terluka parah tapi untungnya masih sempat terselamaatkan dan diangkut ke rumah sakit. Walau demikian nyawanya tidak tertolong dan sebelum meninggal Hayati sempat memberi tahu Zainuddin kalau dirinya sebetulnya masih sepenuhnya mencintai Zainuddin. Hanya karena adat yang menjadi penghalang, ia terpaksa harus rela dijodohkan dengan pilihan orang tuanya.  Hayatipun kemudian menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukan Zainuddin. Dengan kematian Hayati kembali untuk kedua kalinya Zainuddin mengalami guncangan batin. Kepergian Hayati sepertinya telah menyayat luka baru di atas luka lamanya yang belum sempat tersembuhkan. Setahun kemudian Zainuddinpun meninggal karena stres berat.
Meskipun kisah Bugis-Minang ini hanyalah fiksi romantis dari imajinasi seorang Hamka, namun dalam pandangan saya sebetulnya memang sungguh menarik kalau mau berbicara tentang riwayat etnik Bugis dan Minang. Seperti semua orang sudah mengetahuinya bahwa kedua Rumpun Melayu ini terkenal dengan jiwa petualangan dan pengembaraannya sejak dahulu kala. Kalau orang Melayu Minang lebih kental dengan tradisi berniaganya maka orang Melayu Bugis lebih kental dengan jiwa pelautnya sehingga jejaknya telah menginjak sampai ke Madagaskar dan Afrika Selatan. Jejak sejarah perantauan manusia Bugis dan Minang pun sampai hari ini masih bisa diamati sampai ke negeri tetangga seperi Malaysia dan Thailand.
 
Sebuah Resort di Negeri Sembilan Malayisa dibuat dengan kubah ala Minangkabau
Orang-orang Melayu Minang diyakini menyebrang ke wilayah Malayisa dan Thailand dimulai pada era keemasan kekuasaan Srivijaya. Walau demikian demikian gelombang terbesar arus migrasi orang Minangkabau ke wilayah Semenanjung diperkirakan baru sejak sekitar 500 tahun lalu yaitu pada masa kejayaan kerajaan Pagar Ruyung. Orang Minang banyak hijarah ke Semenanjung diantaranya untuk berniaga dan mencari lahan baru yang aman dari bencana alam. Pada kurun abad ke-15 waktu itu raja Pagar Ruyung bernama Sultan Abdul Jalil mengirim puteranya bernama Melawar ke Semenanjung sebagai raja pemersatu orang Minang di perantauan yang ketika itu bersengketa terpecah belah. Kebanyakan perkampungan Minang itu berpusat di kawasan Negeri Sembilan. Raja-raja Negeri Sembilan yang sekarang masih berkuasa adalah keturunan Melayu Minang. Negeri Minang di Malayisa ini berpusat di kota Seremban, hanya beberapa puluh kilometer saja dari Kuala Lumpur dekat dengan lapangan terbang internasional Kuala Lumpur (KLIA). Kalau kita pergi ke Negeri Sembilan masih nampak nuansa Minang baik dari segi bentuk kubah bangunan, adat istiadat, makanan maupun dialek bahasa.
 
Sultan Negeri Sembilan dan keluarga, naik tahta tahun 2008
Kepiawaian orang Bugis-Makasar sebagai orang pelaut ulung dan pemberani sudah terkenal sejak dahulu kala bukan hanya di Indonesia tapi juga di luar Indonesia. Perkampungan Bugis banyak dijumpai di kawasan Asia Tenggara seperti di Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Di semenanjung Malaya orang-orang Melayu Bugis bahkan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil sejak runtuhnya kesultanan Malaka oleh bangsa Portugis pada tahun 1511M. Tercatat Kerajaan Selangor, kerajaan Johor dan kerajaan Pahang misalnya adalah kerajaan-kerajaan Melayu yang sekarang tergabung dibawah kerajaan Malaysia, didirikan oleh para sultan dari keturunan Melayu Bugis di Semenanjung. Bukan itu saja, Perdana Menteri Malaysia Ke-2 (Tun Abdul Razak) adalah seorang pemimpin Malaysia keturunan Bugis yang terbilang sukses dan kesuksesannya kini menurun kepada putranya yang bernama Datuk Sri Nadjib Razak yang sekarang menjadi PM Malaysia ke-5.
 
Dua pemimpin asal Bugis (PM Malaysia dan JK) tengah berdialog pada suatu pertemuan resmi
Jejak tapak sejarah orang Makasar-Bugis juga dapat ditelusuri di Thailand, sebuah negeri tua yang dikenal dengan julukan Negeri Gajah Putih. Mungkin sudah banyak yang mengetahi bahwa di salah satu sudut dekat kawasan pelancongan terkenal pusat kota Bangkok terdapat sebuah jalan yang bernama Makkasan yang diambil dari nama Makasar. Jalan ini letaknya tidak jauh jadi pusat pertokoan mewah terbesar di Bangkok yaitu Central World dekat dengan kawasan pasar murah PratuNam. Mulai pertengahan tahun 2010 kawasan Makkasan ini ternyata menjadi lebih hidup lagi sejak diresmikannya skytrain yaitu kereta api express langsung dari Bandara Internasional  Suvarnabhumi ke Station Makkasan yang hanya memakan waktu 15 menit saja dari Airport.
 
Airport link antara Makkasan city dan Suvarnabhumi - Bangkok
Mengenai sejarah Makkasan di Bangkok dari beberapa catatan yang ada dapat disimak sebagai berikut. Dikisahkan tiga orang pangeran keturunan Kerajaan Goa, yaitu Daeng Mangalle, Daeng Ruru dan Daeng Tulolo melarikan diri dari Kerajaan Gowa beserta 250 orang pengikut karena serangan VOC. Mereka mencoba mencari perlindungan di Thailand dan belajar mencari pengalaman di negeri yang ketika itu masih bernama Ayutthya . Menurut riwayat ketiga Daeng ini hijrah di Ayutthaya sekitar tahun 1664 pada masa kegemilangan Ayutthaya dibawah kepemimpinan raja Phra Narai yang sangat termashur. Raja ini dikenal sangat bijak, maju dalam perniagaan dan sangat ulung dalam berdiplomasi dengan banyak negara termasuk dengan negara-negara Eropa yang justeru ketika itu mulai gencar menancapkan kuku penjajahannya di seluruh dunia termasuk kawasan Asia tenggara. Raja Phra Narai juga terkenal sangat toleran dan terbuka kepada semua kaum dari berbagai bangsa dan penganut agama. Pada masa pemerintahannya ia mengangkat seorang penasehat kerajaan berketurunan Yunani tapi lama bekerja untuk kerajaan Inggris dalam Serikat Dagang Hindia Timur Inggris (EIC) semacam VOC Belanda. Penasehat kerajaan ini terkenal dengan nama Konstantin Phaulkon yang sangat faseh menguasai banyak bahasa, termasuk bahasa Thai. Pengangkatannya sebagai penasehat ini tentunya untuk memudahkan berdiplomasi dan berniaga terutama dengan perusahanaan-perusahaan dagang Eropa.
Di masa pemerintahan King Phra Narai tercatat hubungan diplomatik dibuka dengan beberapa negara Eropa seperti kerajaan Vatikan, Inggris dan Perancis. Hubungan diplomatik juga dilakukan dengan banyak kerajaan di Asia seperti dari Persia, India dan China.
Khusus dengan Perancis, ketika itu kerajaan Perancis diizinkan Raja Narai untuk mengirim sekitar 300 ribu pasukan ke Negeri Siam untuk mengamankan misi Perancis di Asia Tenggara termasuk mengamankan kepentingannya di Ayutthaya. Kehadiran serdadu Perancis yang terlalu banyak ternyata mengundang banyak konflik bagi rakyat Ayutthaya, termasuk bagi kaum pendatang lainnya seperti bagi orang Bugis, cham (Kamboja), Laos, China, Persia, India dan lainnya yang sebelumnya sudah hidup rukun dan nyaman di Ayutthaya. Apalagi prilaku serdadu Perancis yang sering arogan dan sewenang-wenang itu sepertinya ada agenda terselubung untuk menduduki dan menguasai Ayutthaya. Rakyat Ayutthaya mulai mengkhawatirkan sikap King Narai yang terlalu dekat dengan bangsa Perancis dan khawatir negara akan jatuh kedalam penjajahan Perancis.
Puncak ketidak-puasan rakyat Ayutthaya dengan kehadiran serdadu Perancis meletus pada tahun 1688 melului apa yang disebut revolusi rakyat. Rakyat yang melakukan aksi revolusi terpaksa harus berhadapan dengan tentara Perancis dan pasukan kerajaan Ayutthaya yang setia kepada Constantine Phaulkon. Panglima kepercayaan Raja Narai yang bernama Phetracha juga ikut mebelot melawan Phaulkon si penasehat asing tersebut dan akhirnya dia bisa mengendalikan keadaan berhasil mendepak tentara Perancis keluar wilayah Ayutthaya.
Para Daeng Bugis ini rupanya termasuk salah satu kelompok yang ikut berjuang mengusir tentara Perancis karena khawatir keadaan yang sama seperti dialami di Sulawesi yang menimpa kerajaan Gowa akibat gempuran VOC terjadi di Ayutthaya.  Diberitakan Daeng Mangalle gugur sedang Daeng lainnya selamat dalam revolusi itu.
 
Tentara Perancis di Ayutthaya (Thailand) yang membunuh pemberontak Bugis
Pada akhir revolusi bersenjata ini berdasarkan kesepakatan diplomatik tentara Prancis ditarik dari Ayutthaya dan Raja Narai yang sudah sakit-sakitan pun mangkat. Phetracha kemudian memproklamirkan diri menjadi Raja Ayutthaya.  Sejak itu orang Makassar-Bugis mulai dikenal orang Thai dan nama Makkasan entah sejak kapan kemudian diabadikan menjadi nama jalan.