Terlalu Bugis-Sentris, Kurang 'Perancis'

Oleh: George Junus Aditjondro

KETIKA James Brooke singgah di Sulawesi Selatan di tahun 1840, orang-orang Bugis tampak menaruh perhatian terhadap isu-isu politik luar negeri, seperti terungkap dari berbagai pertanyaan yang diajukan kepada petualang dari Inggris itu. Mereka antara lain menanyakan nasib Napoleon Bonaparte. Begitu tulis Christian Pelras, peneliti Perancis yang selalu merayakan ulang tahunnya di hari ulang tahun Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus, di halaman 345 buku yang sedang kita bahas sekarang. Sayang sekali Pelras tidak menjelaskan, mengapa orang Bugis menanyakan nasib bekas kaisar Perancis itu. Menurut informan kunci saya di Tana Ugi’, orang Bugis percaya Napoleon Bonaparte sebenarnya seorang passompe’ (perantau) Bugis. Paling tidak, dia orang Makassar. Atau orang Pangkajene, yang berbudaya campuran Bugis-Makassar. Sebab nama Napoleon Bonaparte sebenarnya adalah “Nappo daeng Leong, battu ri Bonerate” (Nappo Daeng Leong, yang berasal dari Bonerate).

Itu hanya joke, untuk menyanggah pendapat kawan saya, Dias Pradadimara, dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Kata Dias dalam bedah buku ini bersama saya di acara KAMASUKA (Keluarga Mahasiswa Sunan Kalijaga) Sulsel di Yogyakarta, hari Sabtu, 25 Februari lalu, “orang Bugis terlalu serius, kurang tahu humor”. Terbukti anda tertawa, mendengar joke dari Tana Ugi’ ini. Jadi baik produsen maupun konsumen joke itu, adalah orang Bugis dan Makassar, mengerti humor. Cuma orang Bugis memang orang-orang serius, yang sangat disiplin bekerja, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan mereka. Itulah bagian dari filsafat hidup mereka yang menjunjung tinggi tiga kebebasan: kebebasan berpendapat, kebebasan berusaha, dan kebebasan bermukim. Kalau satu, dua, atau bahkan ketiga kebebasan itu dirongrong oleh penguasa, mereka lebih baik hijrah, ketimbang hidup di bawah penindasan.

Untuk bacaan selanjutnya dalam format pdf, sila download di sini.