Oleh: Victor Zebua
Seorang anak raja Pagarruyung bernama Turanggo berlayar  menuju negeri Bugis mencari isteri. Setelah berhasil mengawini puteri  raja Bugis dari suku Bengguan, dia kembali ke Pagarruyung. Namun terjadi  angin-ribut, mereka terdampar di Luaha Sebua, muara sungai di suatu pulau kosong. Pulau itu kemudian dinamakan Tanah Hibala  yang artinya ‘tanah yang kuat’ dalam bahasa Bugis. Turanggo akhirnya  menetap di pulau itu, dia beranak-pinak hingga pada raja Hibala yang  memiliki dua anak, puteri (kakak) dan putera (adik).
Demikian inti pembuka cerita berjudul Legende Asal Mulanya Pulau-Pulau Batu karya Adlan Mufti (1979). Mufti memperoleh keterangan dari Dahar Alamsyah  di pulau Tello tahun 1974. Waktu itu Alamsyah berumur 60 tahun. Dia  adalah keturunan raja Buluaro dari suku Bengguan (Bekhua). Mufti  memperkirakan legenda ini terjadi sekitar abad 12.
Selanjutnya diceritakan, semenjak lahir kedua anak raja Hibala hidup  terpisah. Sang puteri (tidak diketahui namanya) tinggal di rumah bagian  atas yang dinamakan mahligai, diasuh wanita pengasuh bernama Sikambang, sedang sang putera bernama Sutan Muaro tinggal bersama orang-tuanya di rumah bagian bawah.
Setelah meningkat dewasa, ketika Sutan Muaro bermain-main di halaman  rumah, tanpa sengaja dia melihat sang puteri raja itu. Seketika Sutan  Muaro terpesona melihat kecantikan sang puteri. Bergegas dia menemui  ibunya, mengatakan bahwa ada seorang wanita cantik di rumah mereka.  Namun ibunya membantah. Sutan Muaro mencari-cari wanita itu, dia naik ke  mahligai dan bertemu dengannya di sana. Dia menemui ibunya lagi,  mengatakan bahwa wanita itu ada di mahligai. Sutan Muaro mendesak ibunya  agar wanita itu dapat dijadikan isterinya.
Melihat tekad Sutan Muaro, barulah ibunya mengakui bahwa wanita itu  adalah kakaknya sendiri, tidak mungkin dapat dikawininya. Namun Sutan  Muaro tidak menerima keterangan ibunya. Selama ini dia tidak diberi-tahu  wanita itu kakaknya dan belum pernah bergaul selayaknya kakak-adik. Dia  tetap mendesak agar wanita itu dapat dikawininya. Akhirnya hal ini  dilaporkan kepada raja. Raja Hibala terpaksa mengundang rakyatnya rapat.  Sudah terang hadirin rapat tidak menyetujui hasrat Sutan Muaro, belum  pernah terjadi dua orang bersaudara kandung dikawinkan.
Tiba-tiba sang kakak turun dari mahligai dan berkata, “Adik Sutan  Muaro! Di negeri Bugis ada anak paman kita seorang wanita yang serupa  sekali bentuk wajahnya dengan saya, seperti pinang dibelah dua. Pergilah  adik ke negeri Bugis untuk menjumpainya, dan lihatlah mukanya. Ambillah  rambut saya dan cincin saya ini. Sekiranya nanti mukanya tidak serupa  dengan muka saya, rambutnya tidak sebagaimana rambut saya, dan cincin  ini tidak sesuai di jarinya, maka kembalilah kau ke Tanah Hibala, dan  kawinilah saya menjadi isterimu!”
Maka berangkatlah Sutan Muaro ke negeri Bugis. Setelah berlayar  sekitar setahun, dia sampai di negeri pamannya itu. Namun betapa  terkejut hati Sutan Muaro, karena puteri raja Bugis (pamannya) baru saja  ditunangankan dengan anak raja Bayo. Dia tinggal di negeri pamannya  beberapa lama. Mudahlah baginya berkenalan dengan puteri pamannya.  Puteri itu cantik nian, mirip kakaknya, dia jatuh cinta. Beruntung Sutan  Muaro, dia tidak bertepuk sebelah tangan, puteri pamannya membalas  cintanya. Maka pada suatu malam diam-diam dua insan yang saling mencinta  ini, Sutan Muaro dan puteri pamannya, berlayar menuju Tanah Hibala.  Namun mereka dikejar armada raja Bugis dan anak raja Bayo. Dalam sekitar  setahun pengejaran menuju Tanah Hibala itu Tuan Puteri melahirkan anak  laki-laki.
Dekat pulau Tanah Hibala perahu Sutan Muaro terkepung dan terpaksa  bertempur melawan armada pengejar. Dada Sutan Muaro tertembus anak panah  yang dilepas anak raja Bayo. Dalam keadaan terdesak kalah, Tuan Puteri  (istri Sutan Muaro) mengirim anaknya kepada sang kakek (raja Hibala)  lewat seorang awak perahu. Setelah itu Tuan Puteri memohon, “Sekiranya  saya memang manusia yang berasal dari orang bangsawan, mempunyai derajad  yang agung dari orang biasa, jadikanlah seluruh perahu-perahu di tempat  ini menjadi batu”. Sejenak kemudian seluruh perahu di kawasan itu  berubah menjadi batu, dan selanjutnya menjelma menjadi pulau-pulau.
Perahu yang ditempati tuan puteri dan suaminya Sutan Muaro menjadi pulau Batu. Perahu yang ditempati ayah Tuan Puteri menjadi pulau Lorang. Perahu yang ditempati anak raja Bayo menjadi pulau Tello. Perahu yang membawa perbekalan armada Bugis menjadi pulau Biang. Dan pulau Mamole,  konon berasal dari perahu kiriman raja Hibala yang  membawa perbekalan  untuk anaknya Sutan Muaro yang terkepung. Itulah riwayat terjadinya  pulau-pulau yang namanya berasal dari bahasa Bugis.
Elemen Bugis
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh sang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang pernah terjadi, bersifat keduniawian, terjadi pada masa belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Legenda sering dipandang sebagai folk history (sejarah kolektif), walaupun sejarah itu mengalami distorsi karena tidak tertulis (Danandjaja, 1984: 66).
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh sang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang pernah terjadi, bersifat keduniawian, terjadi pada masa belum begitu lampau, dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Legenda sering dipandang sebagai folk history (sejarah kolektif), walaupun sejarah itu mengalami distorsi karena tidak tertulis (Danandjaja, 1984: 66).
Perkiraan Mufti bahwa legenda di atas terjadi sekitar abad 12  misalnya, tidak sesuai fakta sejarah. Kerajaan Pagarruyung didirikan  oleh Adityawarman tahun 1339 (Parlindungan, 2007: 120; Muljana, 2007:  16). Kerajaan ini berpengaruh hingga tahun 1804 (Parlindungan, 2007:  510). Dengan demikian, anak raja Pagarruyung bernama Turanggo yang  disebut dalam legenda di atas hidup pada abad 14 atau setelahnya.  Legenda itu tentulah terjadi atau diciptakan setelah abad 14.
Menurut Hämmerle (2004), sekitar 250 tahun yang lalu orang Bugis  berlabuh di pulau Simeulue, Nias, dan kepulauan Batu. Di mana mereka  mendapat pulau kosong, di situ mereka memberi nama pulau bersangkutan.  Keterangan ini selaras dengan isi legenda asal-mula pulau-pulau Batu.  Selain itu, keterangan ini menunjukkan kedatangan orang Bugis di  kepulauan Batu pada abad 18 (sekitar tahun 1750), suatu rentang waktu  yang relatif jauh dibanding abad 12 sebagaimana perkiraan Mufti.
Di lain pihak, tahun 1811 Marsden melaporkan perihal kampung Buluaro  yang terletak di tengah pulau Batu. Penghuni kampung ini mayoritas orang  Nias, namun ada juga ras yang mirip orang Makassar atau Bugis yang  berjumlah tidak melebihi seratus orang. Marsden juga melaporkan cerita  kapal (perahu) yang menjelma menjadi batu.
“Upon the same authority also we are told that the island derives  its name of Batu from a large rock resembling the hull of a vessel,  which tradition states to be a petrifaction of that in which the Buluaro  people arrived.” [Dari sumber yang sama juga diceritakan kepada  kita bahwa pulau itu mengambil nama Batu dari sebuah batu besar yang  menyerupai lambung kapal, yang menurut tradisi adalah kapal yang menjadi  batu yang digunakan oleh orang-orang Buluaro tiba.]
Laporan Marsden mengindikasikan cerita bermotif ‘perahu yang menjelma  menjadi batu’ telah beredar sekitar awal abad 19. Dikaitkan dengan  kedatangan orang Bugis di kepulauan Batu pada abad 18, dapat  diperkirakan legenda asal-mula pulau-pulau Batu diciptakan dalam rentang waktu akhir abad 18 hingga awal abad 19 (sekitar 8-9 generasi yang lalu).
Dapat pula diketahui, mengacu keterangan Dahar Alamsyah (informan  Mufti) dan laporan Marsden, kolektif (masyarakat) pendukung legenda ini  adalah masyarakat tradisional di kawasan kepulauan Batu. Masyarakat  tersebut, khususnya di kampung Buluaro, berhasil menciptakan sebuah  folklor berbentuk legenda yang eksplisit berisi elemen Bugis. Meski  mengandung unsur pralogis, ‘perahu ajaib’ yang berubah menjadi batu atau  pulau misalnya, legenda ini dapat dianggap sebagai ‘saksi sejarah’  kedatangan orang Bugis di kawasan kepulauan Batu pada abad 18.
Folklor (legenda) seperti ini tidak, atau setidaknya belum, ditemukan  di kawasan kepulauan Hinako. Menurut kalangan peneliti, sebagian orang  Nias di pulau Hinako dan sekitarnya juga memiliki leluhur yang berasal  dari Sulawesi (Marsden, 1811; Fries, 1919: 55; Zebua, 1995: 51;  Hämmerle, 2001: 213-24; Danandjaja & Koentjaraningrat, 2004: 41;  Koestoro & Wiradnyana, 2007: 26).
Orang Maruwi
Tahun 1811 Marsden melaporkan bahwa penghuni pulau Hinako adalah ras yang disebut Maros atau orang Maruwi. Kata ‘maruwi’ lebih umum dikenal sebagai ‘maru’. Belakangan ‘maru’ menjadi akar nama mado (marga) orang Nias keturunan Bugis di Hinako. Menurut Fries (1919: 55), mado tersebut adalah: Maroe Ndroeri, Maroe Ao, Maroe Haŵa, Maroe Lafaoe, Maroe Abaja, dan Maroe Gadi.
Tahun 1811 Marsden melaporkan bahwa penghuni pulau Hinako adalah ras yang disebut Maros atau orang Maruwi. Kata ‘maruwi’ lebih umum dikenal sebagai ‘maru’. Belakangan ‘maru’ menjadi akar nama mado (marga) orang Nias keturunan Bugis di Hinako. Menurut Fries (1919: 55), mado tersebut adalah: Maroe Ndroeri, Maroe Ao, Maroe Haŵa, Maroe Lafaoe, Maroe Abaja, dan Maroe Gadi.
Ketika Hämmerle (2001: 219) mencari informasi tentang suku Bugis di  kepulauan Hinako, tahun 1980 beliau memperoleh keterangan mengenai mado  keturunan Bugis dari informan yang bergelar Raja Kelapa, seorang  keturunan Bugis yang berdomisili di Sirombu. Menurut Raja Kelapa, mado  orang Bugis yang mendiami kepulauan Hinako adalah: Maru Ndruri, Maru  Haŵa, Maru Abaya, Maru Lafao, dan Maru’ao. Kelima mado tersebut datang  ke Hinako sekitar 12 generasi yang lalu (per tahun 1980). Dari  keterangan itu Hämmerle memperkirakan kedatangan leluhur Bugis ke Hinako  13 generasi yang lalu (per tahun 2001) atau sekitar tahun 1675.  Perkiraan ini cukup berharga dalam upaya melacak sejarah leluhur Bugis  di Hinako.
Sejak tahun 1663 seorang bangsawan Bone bernama Arung Palakka dan  pasukannya yang berjumlah 400 orang Bugis dari Bone dan Soppeng diterima  Belanda menjadi serdadu, ditempatkan di perkampungan Angke di Batavia  (Kesuma, 2004: 61; Ricklefs, 2007: 98). Pada tahun 1666 pasukan Arung  Palakka membantu Cornelis Speelman menyerbu pasukan Aceh di Pariaman.  Peristiwa tersebut menimbulkan dugaan Kesuma (2004: 96), ada anggota  pasukan Arung Palakka yang tertinggal dan terdampar hingga ke Hinako.
Jumlah anggota pasukan Arung Palakka agaknya berkurang, mungkin  karena tewas atau tertinggal sebagaimana dugaan Kesuma. Setelah  penyerbuan di Pariaman, 24 Nopember 1666 armada gabungan pasukan Belanda  dan pasukan Arung Palakka berangkat menyerbu Makassar. Kekuatan pasukan  Arung Palakka masih tetap 400 orang, namun angka tersebut genap setelah  ditambah sejumlah anggota pasukan Ambon pimpinan Yonker yang berasal  dari Manipa (Kesuma, 2004: 62).
Jarak waktu antara tahun 1666 (kedatangan pasukan Arung Palakka di  Pariaman) dan tahun 1675 (kedatangan leluhur Bugis di Hinako perkiraan  Hämmerle) relatif dekat. Benarkah leluhur sebagian orang Nias di Hinako  berasal dari anggota pasukan Arung Palakka? Bila benar, mengapa terkesan  mereka berasal dari Maros (orang Maros atau orang Maruwi), bukan dari  Bone dan Soppeng asal pasukan Arung Palakka?
Lepas dari itu, angka tahun ini menunjukkan leluhur Bugis tiba di  Hinako pada abad 17, sekitar satu abad (4 generasi) lebih dulu ketimbang  kedatangan leluhur Bugis di Batu. Meski sama-sama dari Sulawesi,  kelompok mereka tentu berbeda. Boleh jadi, faktor inilah yang  melatarbelakangi ‘cerita lisan’ tentang tiga bersaudara Bugis; anak  pertama tinggal di Hinako, anak kedua tinggal di Sinabang dan anak  bungsu menetap di Batu (Hämmerle, 2001: 214).
Sebagai saudagar, orang Bugis dilaporkan hadir di kawasan pantai  barat Sumatera sekitar awal abad 10 hingga abad 19 (Parlindungan, 2007:  617; Danandjaja & Koentjaraningrat, 2004: 40-1; Asnan, 2007: 175).  Pada abad 10 misalnya, mereka berintegrasi dengan orang Batak di Natal  dan Muaralabuh membentuk marga Nasution (Parlindungan, 2007:  617).  Dalam rentang waktu yang relatif panjang itu, selain di Hinako dan Batu,  dimungkinkan ada leluhur Bugis lain yang menetap di Nias dan  sekitarnya.
Mado Maru
Dari beberapa sumber diketahui, tidak semua mado ‘maru’ keturunan leluhur Bugis. Mado Maru Haŵa misalnya, adalah keturunan mado Zebua bernama Haŵa Dölömbanua (Zebua, 1995:49; Hämmerle, 2001: 222). Atau, mado Maru Lafao adalah keturunan mado Daeli bernama Gandria (Hämmerle, 2001: 223). Bahkan mado Maru Ndruri yang dipercaya leluhurnya berasal dari Sulawesi, ada yang mengaku keturunan Hia Ho (Zebua, 1995: 51; Hämmerle, 2001: 220-1). Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Dari beberapa sumber diketahui, tidak semua mado ‘maru’ keturunan leluhur Bugis. Mado Maru Haŵa misalnya, adalah keturunan mado Zebua bernama Haŵa Dölömbanua (Zebua, 1995:49; Hämmerle, 2001: 222). Atau, mado Maru Lafao adalah keturunan mado Daeli bernama Gandria (Hämmerle, 2001: 223). Bahkan mado Maru Ndruri yang dipercaya leluhurnya berasal dari Sulawesi, ada yang mengaku keturunan Hia Ho (Zebua, 1995: 51; Hämmerle, 2001: 220-1). Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Menurut Hämmerle (2001: 214), di Hinako dulu ada kepercayaan pada  Kara Maru, suatu batu yang melayang-layang di laut dan bersuara, “Ambillah saya, sembahlah saya.”  Barang siapa berkunjung ke Hinako harus menyembah batu itu, kalau tidak  pasti orang itu akan sakit. Berlatar-belakang kepercayaan ini,  kemungkinan besar warga Hinako (dari pelbagai keturunan) mengambil  ‘maru’ sebagai mado mereka. Anggapan ini terkesan spekulatif. Namun  dapat terjadi, karena orang Nias mengenal nama mado ‘belum begitu lama’,  ketika diadakan soera pas (semacam KTP) sekitar tahun 1913-1914 (Zebua, 1996: 7).
Medan penelitian sejarah leluhur Bugis di Hinako dan Batu, serta di  Nias umumnya, masih terbuka lebar. Setidaknya uraian di atas memberi  gambaran kehadiran leluhur Bugis dalam masyarakat Nias. Menurut Kesuma  (2004: 137) filosofi migrasi orang Bugis adalah “kegisi monro sore’ lopie’, kositu tomallabu se’ngereng”  [di mana perahu terdampar, di sanalah kehidupan ditegakkan]. Menyambut  ‘kehidupan yang ditegakkan’ oleh para leluhur Bugis di kawasan Nias,  Fries (1919: 55) menulis sebuah kalimat yang bijak, “Ma’oewoera, ba hoelö no tobali Ono Niha sa’ae”.
Bacaan:
- Asnan, Gusti, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Penerbit Ombak, 2007
- Danandjaja, James, Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain, Grafiti Pers, 1984
- Danandjaja, J. & Koentjaraningrat, Penduduk Kepulauan Sebelah Barat Sumatra, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, cet. 20, 2004
- Fries, E., Nias. Amoeata Hoelo Nono Niha, Zendingsdrukkery, 1919
- Hämmerle, Johannes M., Asal Usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi, Yayasan Pusaka Nias, 2001
- Hämmerle, Johannes M., Lingua Nias, Media Warisan No. 38-39 (IV), April 2004
- Kesuma, Andi Ima, Migrasi & Orang Bugis, Penerbit Ombak, 2004
- Koestoro, Lucas Pratanda & Ketut Wiradnyana, Tradisi Megalitik di Pulau Nias, Balai Arkeologi Medan, 2007
- Marsden, William, The History of Sumatra (1811), The Project Gutenberg eBook, 2005
- Mufti, Adlan, Legende Asal Mulanya Pulau-Pulau Batu, Sinar Indonesia Baru, Januari 1979
- Muljana, Slamet, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, LKiS, cet. 4, 2007
- Parlindungan, Mangaradja Onggang, Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao (1964), LKiS, 2007
- Ricklefs, M.C, A History of Modern Indonesia (1981), terjemahan: Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, 2007
- Zebua, Faondragö, Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, Gunungsitoli, 1996
- Zebua, S., Menelusuri: Sejarah Kebudayaan Ono Niha, Tuhegeo I, 1995
Sumber: http://niasonline.net 
