PERNAH sekali saya menyaksikan tarian  sakral Bedhaya Ketawang di Surakarta, beberapa tahun yang lalu. Sembilan  orang penari perempuan berwajah rupawan dibalut kain, rambutnya  disanggul, dan tubuh bagian atas terbuka. Kulitnya kuning berkilau  karena lulur. Mereka menari dengan gerakan yang pelan, namun sarat  makna. Kata seorang kawan, para penari haruslah perawan dan tidak sedang  menstruasi.
Mengapa harus perawan? Kata  kawan itu, tarian ini punya makna yang sacral. Tarian ini hanya  dipentaskan sekali sebagai perlambang cinta Nyi Roro Kidul kepada Raja  Jawa. Konon, saat tarian ini dipentaskan, Nyi Roro Kidul selalu ikut  menari. Ia hendak menyampaikan rasa cinta yang dahsyat kepada Raja Jawa.  Ia meminta agar sang raja tetap menemaninya di dasar laut dan tidak  usah kembali ke daratan. Menurut satu sumber, tari ini menggambarkan  lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati  (Sinuhun Paku Buwono X).
Segala gerak melambangkan bujuk  rayu dan cumbu birahi. Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon 
agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana (Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan). Sinuhun menolak. Lalu terjadilah perjanjian atau sumpah sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan raja pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus. Sumpahnya adalah semua Raja Jawa haruslah memperistri Ratu Kidul. Demikian asal usul tarian Bedhaya Ketawang.
agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana (Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan). Sinuhun menolak. Lalu terjadilah perjanjian atau sumpah sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan raja pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus. Sumpahnya adalah semua Raja Jawa haruslah memperistri Ratu Kidul. Demikian asal usul tarian Bedhaya Ketawang.
Dalam satu tulisannya, budayawan  Seno Gumira Adjidarma menyebut tarian ini amat sakral sekaligus penuh  makna birahi dan seksualitas. Konon, berkembang anekdot. Para penari itu  harus perawan, sebab raja akan memilih salah seorang untuk menemaninya  tidur malam itu. Mungkin ini semacam candaan. Tapi yang menarik adalah  bagaimana raja menentukan pilihan, apakah criteria seksualitas yang  digunakan untuk memilih satu di antara sembilan penari itu? Atau,  bagaimanakah menilai seksualitas dari para penari?
Kata Seno, seksualitasnya tidak  terletak pada bagian tubuh yang terbuka. Melainkan pada bagian tubuh  yang sesekali terbuka yakni lekuk kaki di antara tumit dan mata kaki,  ketika kaki tersebut harus menyapukan kain yang tersisa. Perempuan yang  lekuk kakinya dalam dianggap sensual, konon karena menunjukkan kemampuan  permainan cintanya di atas ranjang. Semakin kurang lekuknya, semakin  rendah daya tariknya dalam konteks seksualitas. Mungkin ini aneh. Tapi,  kedalaman lekuk adalah ukuran. Pandangan ini tentu tidak ilmiah. Namun  menjelaskan kepada kita bahwa seksualitas adalah sebuah pandangan yang  dibentuk oleh cara kerja kebudayaan. Seks memang peristiwa ‘kimia’,  namun makna seksualitas dan sensualitas adalah sesuatu yang dibentuk  kebudayaan, merupakan pandangan yang lahir dari tafsir satu kebudayaan  tertentu, dan mempengaruhi cara pandang seorang individu.
Saya sering memperhatikan  perempuan Jawa yang sedang berkebaya dan sanggul. Sebagai orang luar  Jawa, saya melihatnya biasa saja, tanpa tersengat reaksi kimia sebab  saya tidak dibesarkan dalam tradisi tersebut. Tapi bagi seseorang yang  besar dalam iklim konservatif Jawa, seorang ibu bersanggul dan berkain  kebaya yang harum mewangi dalam kondangan kelas menengah atas tentu  memancarkan aura sensualitas: kebaya yang menerawang, kain yang  membungkus ketat sehingga bentuk tubuh lekuknya terpampang, belum lagi  cara bicara tertata, tetapi pandangan mata bisa menyambar dan  menggetarkan, adalah bagian dari permainan sensualitas.
Namun bagi seseorang yang dibesarkan dalam kebudayaan Dayak Kenyah, pastilah akan lain. Erotisisme nampak pada pakaian ta’a,  serupa rok yang terbelah dari atas ke bawah di belakang. Para pria  Dayak akan melihat rajah yang melingkar di paha dan kaki perempuan  sebagai keindahan erotic. Rajah adalah tato yang dibuat khusus dalam  sebuah ritual sacral. Dan rajah tersebut akan mempengaruhi erotisme atau  seksualitas.
Kebudayaan Bugis
Lain halnya dengan  masyarakat  Bugis-Makassar. Sewaktu masih kecil, saya pernah menyaksikan tarian yang  dipentaskan sejumlah gadis yang memakai baju bodo. Baju ini adalah baju  yang berbentuk tipis dan nyaris transparan. Saya terkesiap saat melihat  langsung bagaimana BH perempuan di balik baju bodo. Bagi perempuan  Bugis, baju bodo adalah pakaian adat yang dikenakan pada berbagai  upacara adat seperti perkawinan ataupun saat menari.
Dulunya, seorang perempuan yang  mengenakan baju bodo, tidak mengenakan apapun di baliknya. Itu tercatat  dari kesaksian seorang penjelajah bernama James Brooke yang mengunjungi  Makassar pada tahun 1840. Ia mengatakan, “Perempuan [Bugis]  mengenakan pakaian sederhana… Sehelai sarung [menutupi pinggang] hingga  kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin (kasa), memperlihatkan  payudara dan leluk-lekuk dada.” Rupanya cara memakai baju bodo ini  masih berlaku di tahun 1930-an. Buktinya, saya menemukan satu foto di  situs Wikipedia yang menampilkan gambar seorang gadis Bugis pada tahun  1930-an, yang memakai baju bodo. Perhatikan bahwa ia tidak mengenakan  apapun di baliknya.
Jika  baju bodo sering dikenakan saat upacara adat, maka silakan tebak  bagaimana perasaan lelaki yang menyaksikan tubuh perempuan. Apakah  mereka juga terkesiap seperti saya?  Ternyata tidak juga. Bagi sejumlah  orang Bugis yang sempat saya tanyai, keseksian itu tidak terletak pada  tubuh yang nampak di balik baju bodo. Justru karena seringnya tubuh itu  terlihat, sehingga secara perlahan kehilangan keseksiannya. Konsepsi  tentang tubuh tidak lagi penting sebab orang ingin melihat sesuatu di  balik tubuh tersebut. Orang-orang lalu menemukan keseksian pada sejauh  mana tuturan cerdas dari seorang perempuan.
Lagi-lagi ini adalah soal  kebudayaan. Dalam catatan banyak peneliti, posisi perempuan menjadi  simbol dari keunikan dari tradisi Bugis. Masyarakat Bugis tradisional  mengijinkan perempuan menjadi pemimpin sehingga keseksian seorang  perempuan dinilai dari sejauh mana kecerdasan dan kedalaman  pengetahuannya atas sesuatu. Dalam karya klasik yang mendunia I La  Galigo, disebutkan tentang sosok perempuan utama cerdas, We Nyilik Timo,  yang mendampingi Batara Guru sebagai penguasa langit. Dalam I La Galigo  juga terdapat sosok Sangiang Serri yang menjadi symbol dari kesuburan.
Sejak masa silam, kata antropolog Christian Pelras, di Bugis perbedaan gender dengan menempatkan perempuan sebagai second sex  tak nampak. Posisi perempuan yang aktif di dunia social menyebabkan  mereka tidak dilihat semata dari kecantikan dan sensualitas belaka.  Lantas, jika kita tetap ngotot membahas kecantikan, apakah standar  kecantikan bagi orang Bugis. Saya tak terlalu paham. Tapi, dalam salah  satu naskah tradisional Lontara Se’bo (kitab Lubang), terdapat istilah mattappa’ cina (berwajah seperti orang Cina). Artinya, kriteria cantik adalah ketika bermata sipit dan berkulit putih.
Lesson Learned
Apa hikmah yang dipetik dari telaah atas seksualitas dalam berbagai kebudayaan itu? Pertama,  seksualitas bukan semata aspek biologi. Selama ini, kita sering  terjebak pada salah kaprah yang melihat sensualitas dan seksualitas  hanyalah sekedar perkara hubungan biologis. Padahal, Seks adalah  kebudayaan yang dikonstruksi secara kolektif oleh sebuah masyarakat,  ditransmisikan secara turun-temurun dan menjadi pedoman yang  mempengaruhi tindakan seseorang dalam satu masyarakat. Latar belakang  seseorang akan sangat mempengaruhi konsepsinya tentang seksualitas.  Karena kebudayaan setiap orang berbeda-beda, maka nilai-nilai yang  membentuk selera seksual setiap orang juga berbeda. Seks menjadi  relatif.
Dalam hal tarian Bedhoyo  Ketawang di atas, lekuk kaki bisa menjadi sesuatu yang memantik hasrat  seksual bagi seorang lelaki Jawa. Demikian pula dengan kebaya ketat,  sanggul, serta cara bertutur yang lemah-lembut. Bagi masyaraklat Dayak,  rajah pada paha bisa menjadi daya tarik sesksual seorang perempuan.  Sementara bagi masyarakat Bugis, tubuh yang seksi di balik baju bodo,  serta kecerdasan saat bertutur adalah elemen-elemen yang membangkitkan  hasrat dan gairah seorang perempuan.
Kedua, seks senantiasa  mengandung aspek konstruksi kebudayaan yang di dalamnya juga terdapat  medan kontestasi kepentingan dan negosiasi makna yang tak  habis-habisnya. Dalam hal seks, konsep nikmat-tidak nikmat, konsep  cantik-tidak cantik, dan lain-lain adalah konsep yang dibentuk oleh  seseorang dan terus dimapankan dalam kebudayaan. Konsep ini dipengaruhi  oleh latar belakang seseorang, serta bagaimana pandangannya atas  sesuatu. Bahkan bagi seseorang yang dipengaruhi keagamaan yang kuat  sekalipun akan melahirkan konsep sendiri yang terkait seksualitas.
Pada akhirnya, seks adalah aspek biologi yang kemudian dipengaruhi kebudayaan. Terserah bagaimana Anda menilainya.(*)
Sumber: http://timurangin.blogspot.com/ 

