Bugis-Makassar di Lintasan Sejarah

Oleh SURIADI MAPPANGARA

Ada cerita menarik tentang orang Bugis di Brunei. Tahun 1996, saya berkesempatan mengikuti seminar internasional di negara itu. Sewaktu istirahat, saya bertemu dua pegawai Museum Brunei. Sewaktu memperkenalkan diri bahwa saya orang Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan, keduanya sedikit kaget.

Mengapa orang Bugis tidak keriting rambutnya dan hitam kulitnya?” kata mereka. Kali ini saya yang terkejut. ”Orang di sini mengenal ciri-ciri orang Bugis itu keriting rambutnya dan hitam kulitnya. Mereka sangat ditakuti sehingga gadis-gadis di sini yang kepala batu biasanya ditakut-takuti dengan mengatakan akan dikawinkan dengan orang Bugis,” katanya.

Lain lagi cerita seorang teman dari Malaysia yang baru-baru ini mampir di Makassar dalam perjalanannya ke Wakatobi, Sulawesi Tenggara, untuk mengikuti seminar Asosiasi Tradisi Lisan. Ia bermalam sehari di Makassar. Ketika saya mengajak jalan-jalan di Makassar, rona wajahnya menampakkan keheranan.

”Apakah ini Makassar, tempat asal orang-orang Bugis? Dalam pikiran saya, Makassar itu masih terbelakang. Gambaran saya mengenai daerah Bugis jauh dari perkiraan saya,” ujarnya.
Mungkin karena sedemikian kagetnya sampai-sampai ia mengatakan bahwa Makassar seperti
Petaling Jaya, satu kawasan yang cukup ramai di daerah Selangor, Malaysia. Setelah saya menjelaskan mengenai sejarah dan budaya orang Bugis-Makassar-Mandar dan Toraja, kekagetan itu makin tampak di wajahnya. Ketika saya mengatakan bahwa Makassar pernah menjadi ibu kota negara Indonesia Timur, ia tampak lebih bingung lagi.

Dua cerita di atas sedikit menggambarkan mengenai ketidakjelasan siapa yang disebut dengan orang Bugis. Satu hal yang sangat kontroversial jika dikaitkan dengan peran yang demikian besar yang dibangun oleh orang Bugis-Makassar dalam sejarah panjang Nusantara. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa orang Bugis-Makassar memberi andil yang sangat besar dalam penyatuan negara Indonesia.

Jika berbicara mengenai Sumatera Utara, pasti orang Batak yang ada dalam benak kita. Demikian juga jika orang berbicara mengenai Sulawesi Selatan, orang langsung menyebut orang Bugis meskipun Bugis hanyalah satu dari empat suku besar yang ada di daerah ini: Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.

Suku Bugis adalah suku terbesar yang ada di Sulawesi Selatan. Mereka yang berada di luar Sulawesi Selatan lebih banyak lagi. Mereka mendiami 15 dari 21 kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Bone, Soppeng, Wajo, Luwu, Luwu Timur, Luwu Utara, Sidenreng Rappang, Bulukumba, Sinjai, Pinrang, Barru, Enrekang, Parepare, Pangkajene Kepulauan, dan Maros. Dua kabupaten terakhir merupakan daerah-daerah peralihan, yang penduduknya berbahasa Bugis maupun Makassar.

Mereka dikenal sebagai suku bangsa pelaut dan tersebar hampir di seluruh Nusantara sampai ke Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei. Daerah tempat mereka berdagang bahkan sampai ke utara Australia. Demikian tersebarnya orang Bugis ini sehingga Mochtar Naim, antropolog, mengatakan, di mana ada tambatan perahu, di situ pasti ada orang Bugis.

Mengapa hanya Bugis yang dikenal dan semuanya menjadi Bugis? Sarung bugis, kapal bugis, budaya bugis, bahkan sampai makanan: kue bugis. Bagaimana dengan orang Makassar, Mandar, dan Toraja, yang juga berasal dari Sulawesi Selatan? Bahkan, kerajaan besar, seperti Gowa yang identik dengan suku Makassar, juga seperti tidak dikenal luas?

Berbicara mengenai Bugis, dalam catatan sejarah sering dirujuk kepada Bone semata. Di sinilah faktor kekeliruannya. Meskipun diketahui bahwa VOC telah menjuluki Arung Palakka (Raja Bone XV, memerintah 1667-1696) sebagai De koning van Bugis, sesungguhnya etnis Bugis juga terdiri atas sejumlah kerajaan-kerajaan yang satu dengan lainnya tidaklah akur. Mereka memiliki raja sendiri-sendiri.

Di antara mereka sering dibangun perjanjian untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul. Bahkan, ketika Kerajaan Gowa mulai kuat dan menunjukkan upaya perluasan kekuasaan dan pengaruhnya, ada kekhawatiran di kalangan raja Bugis sehingga kerajaan-kerajaan itu membangun satu aliansi besar yang terdiri atas Bone, Soppeng dan Wajo (TellumpoccoE).

Demikian juga suku Makassar. Mereka ini juga terdiri atas beberapa kerajaan, tetapi yang besar adalah Kerajaan Gowa dan Tallo, yang lebih dikenal dengan Kerajaan Makassar.

Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin terjadi perang antara VOC dan Gowa, yang juga melibatkan sejumlah kerajaan Bugis di dalamnya. Sebutlah seperti Bone, Soppeng, daerah-daerah Turatea, dan sejumlah kerajaan-kerajaan kecil yang memihak kepada VOC.

Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Arung Palakka untuk memanfaatkan kekuatan VOC dalam upaya memerdekakan Bone, yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Gowa. Perang itu sendiri berakhir dengan kemenangan VOC dan ditandatangani Perjanjian Bongaya yang telah mengakhiri seluruh kebesaran dan kejayaan Kerajaan Gowa. Kerajaan Bone kemudian diberi sejumlah hak istimewa. Setelah Perjanjian Bongaya, Bone menjadi satu-satunya kerajaan yang terkuat dan berkuasa di Sulawesi Selatan.

Perjanjian Bongaya itu sendiri tidak dapat diterima oleh sebagian bangsawan tinggi Kerajaan Gowa, juga beberapa kerajaan yang bersekutu dengan Gowa, seperti Wajo (Bugis) dan Mandar (sekarang menjadi Provinsi Sulawesi Barat). Mereka kemudian meninggalkan daerah Sulawesi Selatan dan membangun kekuatan di luar dan selalu bersedia merelakan tenaganya untuk digunakan demi melawan Belanda.

Gelombang pengungsi dari Sulawesi Selatan tidak saja terdiri atas orang-orang Makassar, tetapi juga suku Bugis yang juga tidak setuju atas perjanjian itu. Agar lebih aman dalam pelayaran, mereka sering menyebut dirinya orang Bugis meskipun mereka adalah orang Makassar atau Mandar.

Dalam perkembangan berikutnya, gelombang pengungsi dari daerah-daerah Bugis juga mengalir. Pada masa pendudukan Inggris di Sulawesi Selatan (1812- 1816), Kerajaan Bone melakukan perlawanan sehingga pusat kekuasaan Kerajaan Bone yang berada di Bontoala (satu wilayah dekat Makassar) diserang dan orang-orang Bugis terpaksa meninggalkan daerah itu.

Pada tahun 1824-1825, Belanda melakukan serangan pertama atas Kerajaan Bone, juga mengakibatkan terjadi pengungsian. Pada tahun 1859-1860, Belanda sekali lagi melakukan serangan yang mengakibatkan Kerajaan Bone berubah statusnya dari kerajaan sekutu menjadi ”kerajaan pinjaman” dari Pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 1905, sekali lagi Belanda melakukan serangan yang mematikan atas Kerajaan Bone dan akhirnya Kerajaan Bone kembali berubah statusnya menjadi kerajaan taklukan. Perlawanan yang dibangun Kerajaan Bone dengan sekutu-sekutu Bugisnya telah mengakibatkan banyak terjadi pengungsian, tidak saja di dalam wilayah Sulawesi, tetapi juga di luar Sulawesi.

Bugis-Makassar
Apa yang dikatakan orang Bugis atau orang Makassar menjadi sangat relevan jika kita berbicara sebelum abad XVIII. Pada masa itu, kedua etnis ini mencoba membangun hegemoni mereka. Tidaklah menjadi sesuatu yang tabu ketika kedua etnis besar ini pada masa lalu sering berhadapan di medan laga untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

Meskipun demikian, hegemoni yang dibangun itu tidak saja terbatas antara etnis Makassar dan Bugis, tetapi juga di antara kerajaan Bugis sendiri yang juga mencoba membangun kekuatan. Tidak kurang dari 20 perjanjian yang dibangun antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone dan juga antara Kerajaan Bone dengan kerajaan Bugis lainnya.

Bagi orang Makassar, mereka sebenarnya tidak memiliki dendam dengan orang Bugis. Sebab, keterlibatan orang Bugis hanyalah mempercepat terjadinya perang. Sejak awal VOC sudah merencanakan untuk menguasai Kerajaan Gowa.

Oleh karena itu, di luar Sulawesi Selatan mereka tetap menyatu, bahkan mereka (baca: orang Makassar) menyebut dirinya juga orang Bugis. Demikian pula Arung Palakka. Ia tidak menaruh dendam kepada Kerajaan Gowa yang menguasai Bone.

Arung Palakka kemudian mendekatkan semua kerajaan besar yang ada di Sulawesi Selatan dalam satu ikatan perkawinan. Inilah yang mungkin ingin disampaikan Leonard Andaya yang menulis buku The Heritage of Arung Palakka. Oleh karena itu, kini istilah Bugis sepertinya tidak serasi tanpa kata makassar, yaitu Bugis-Makassar.

Suriadi Mappangara Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar; Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulawesi Selatan

Sumber:http://www.kompas.com