Upacara adat mappaci yang harus dilakukan dan merupakan rangkaian perayaan pernikahan Bugis Makassar yaitu Upacara adat Mappacci, dengan penggunaan simbol-simbol yang sarat makna akan menjaga keutuhan keluarga dan memelihara kasih sayang dalam rumah tangga.”Mappacci” berasal dari kata “pacci”, yaitu daun yang dihaluskan untuk penghias kuku, mirip bunyinya dengan kata “paccing” artinya bersih atau suci. Melambangkan kesucian hati calon pengantin menghadapi hari esok,khususnya memasuki bahtera rumah tangga meninggalkan masa gadis sekaligus merupakan malam yang berisi doa.
Dalam kesustraan bugis terdapat pantun yang berbunyi: "Duwa Kuala sappo unganna panasaenabelo kanukue”. Penjelasan pada kalimat ini yakni dalam bahasa bugis, nangka dinamakan “lempu” yang berati jujur. Sedangkan penghias kukunya mirip bunyinya “paccing” yang artinya bersih, suci. Jadi kesucian dan kejujuran merupakan benteng dalam kehidupan, karena kesucian adalah pancaran kalbu yang menjelma dalam kejujuran. Adapun peralatan dan perlengkapan “Mapacci” disini dapat sibagi atas tiga kelompok, yaitu: Benno dan Tai Bani (Patti) dan kelompok II tersiri dari: Bantal, sarung, daun pisang dan dau nangka. Benno yaitu beras yang digoreng kering hingga mekar melambangkan harapan, kiranya calon pengantin ini akan mekar berkembang dengan baik, bersih dan jujur. Dalam bahasa bugis disebut “Mpenno Rialei”. Sedang Tai Bani (Patti) merupakan lilin dari lebah, ini melambangkan suluh (penerang) dan kehidupan lebah artinya tata kehidupan bermasyarakat yang kita lihat dalam kehidupan lebih terlihat rukun, baik, tidak saling mengganggu satu sama lain. Artinya hendaknya menjadi suri tauladan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sementara, Bantal (Pallungang) merupakan simbol kemakmuran. Pengertian khususnya sebagai pengalas kepala yang artinya penghormatan atau martabat, dalam bahasa bugis disebut “Mappakalebbi”. Mengenai Sarung (Lipa) yang disusun 7 lembar, maksudnya ialah debagai penutup tubuh (harga diri) juga karena sarung dibuat dari benang yang di tenun helai deni helai yang melambangkan ketekunan dam keterampilan. Menurut cerita dahulu kala jika mencari calon isteri, si pria tidak perlu melihat secara langsung si gadis tapi cukup dengan melihat hasil tenunannya rapi atau tidak. Bila tenunnannya rapi dan bagus maka pilihan pria akan jatuh pada gadis tersebut. Tujuh lembar melambangkan hasil pekerjaan yang baik. Dalam bahasa bugis “Tujui” yang mirip dengan kata “Mattujui” artinya berguna.
Untuk daun pisang (Leko’ Unti), dilambangkan sebagai kehidupan yang sambung menyambung. Daun yang tua belum kering betul, daun muda telah muncul untuk menggantikan dan melanjutkan hidupnya. Dalam bahasa bugis disebut “Maccolli Maddaung” dan Daun nangka, (bugis = “Dau’ Panasa”), mirip sengan bunyi “Minasa” yang berarti cita-cita yang luhur. Selain kelompok I dan II, masih ada kelompok III yang terdiri atas Bekkeng, yaitu tempat daun pacci yang mengandung arti kesatuan jiwa atau kerukunan hidup dalam suatu keluarga dan daun pacci: itu sendiri yang melambangkan kesucian, diantaranya napacing hati(bersih hati), Napacing Jiwa(bersih jiwa), Napacing Nawa – nawa(bersih pikiran), Napacing panggaukang (bersih tingkah laku), Napaccing ateka’ (bersih itikat).
Secara sederhana, jalannya upacara Mapacci adalah sebagai berikut:
- Calon pengantin sudah duduk di lamming,atau bisa pula dalam kamar pengantin.
- Kelompok pembaca barzanji (pabarazanji) sudah siap di tempat yang disediakan.
- Para tamu telah duduk di ruangan.
- Setelah protokol membuka acara, pembacaan barzanji sudah dapat dilakukan.
- Sampai dibacakan “badrun alaina” (makassar: niallemi syaraka) maka sekaligus acara mapacci dimulai dengan sedikit mengambil daun pacci yang telah dihaluskan dan diletakan ditelapak tangan calon pengantin,sambil seorang ibu mendampingi calon pengantin, sementara itu barzanji tetap di bacakan.
- Setelah semua tamu yang ditetapkan telah melakukan “Mapacci” maka seluruh hadirin bersama-sama mendoakan semoga calon pengantin direstui oleh Yang Maha Kuasa agar menjadi suri tauladan karena martabat dan harga dirinya yang tinggi. ”Cukkong muwa minasae, nakkelo puwangnge naiyya ma’dupa”.