Penerbit Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta Paris menerbitkan buku Manusia Bugis karya Christian Pelras, 10 tahun setelah edisi pertama dalam bahasa Inggris, The Bugis, diterbitkan oleh Blackwell Limited, Oxford, Inggris.
Dr Marwah Daud Ibrahim, seorang tokoh Indonesia kelahiran Bugis, menyambut gembira penerbitan terjemahan Manusia Bugis tersebut yang disebutnya sangat tepat waktunya, mengingat isi yang ditulis dalam buku tersebut sudah banyak yang sulit ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam peluncuran buku Manusia Bugis di Bentara Budaya di Jakarta, Kamis siang, Marwah mengatakan, dirinya merasa sangat beruntung dapat mengalami masa kanak-kanak seperti yang banyak dituturkan oleh Pelras dalam buku tersebut.
"Beberapa lagu rakyat yang ditulis di dalam buku ini saya kenal dan saya masih bisa menyanyikannya," kata Marwah yang menyanyikan salah satu lagu sambil menerjemahkannya.
Syair lagu yang dinyanyikannya berupa petuah, bahwa masa kecil atau kanak-kanak adalah masa yang paling tepat untuk belajar serta anjuran untuk belajar.
"Sekarang jika saya jalan ke kampung-kampung Bugis, lagu yang mereka nyanyikan sudah beda sekali dan bisa dibandingkan muatannya," kata Marwah sambil menyanyikan lagu anak-anak masa kini yang isinya tentang seorang anak memanggil penjaja makanan.
Menurut Marwah, budaya tutur dari para orang tua pada generasinya dulu, masih sangat kental dan dia bersyukur masih mengalami saat-saat indah ketika bulan purnama semua orang keluar rumah, bercengkerama sambil mendengarkan tuturan para orang tua.
Mengenai kesetaraan gender pada masyarakat Bugis yang juga disorot dalam buku itu, Marwah membenarkannya, karena ia pun merasakan perlakuan keluarga dan komunitas Bugis yang tidak pernah membedakan perempuan dan laki-laki.
"Selama ini saya melakukan apapun, pergi ke manapun juga tanpa beban bahwa saya adalah perempuan. Mungkin memang sudah dari 'sana' begitu," katanya.
Sebagai orang Bugis Soppeng, Marwah mengaku justru memperoleh banyak informasi dari buku karya Pelras (72) sastrawan dan antropolog Perancis yang menghabiskan waktu selama 40 tahun untuk meneliti 'Manusia Bugis'.
Bukan hanya Marwah yang memuji isi buku tersebut, karena putra Bugis lainnya, Dr Mochtar Pabottingi pun mengupas dengan jeli isi buku yang mengupas lengkap tentang seluk-beluk orang Bugis.
"Dalam buku ini diungkapkan bahwa orang Bugis sejatinya adalah petani, tetapi akhirnya juga terjun ke laut dan dikenal luas sebagai pelaut ulung, semata-mata karena niat menguasai perdagangan, atau bisa dibilang menguasai sektor hulu hingga ke hilir, produksi dan perdagangan," ujar Mochtar.
'Manusia Bugis' disebut-sebut sebagai penjelajah dan dengan ringan akan hijrah meninggalkan kampungnya jika merasa tidak sesuai dengan pemimpin atau raja, namun di tempat baru, orang Bugis selalu bisa menyatu melalui kawin-mawin.
Namun bukan hanya pujian yang ditujukan pada Pelras, karena dr George Junus Aditjondro, yang juga tampil sebagai pembahas dalam peluncuran buku tersebut menyebut karya Pelras ini sangat "Bugis" an kurang "Perancis".
Ia menyebut, Pelras sudah sangat Bugis dan mengabaikan suku-suku kecil di sekitarnya misalnya Luwu, dan itu tidak seperti kebiasaan peneliti Perancis.
Sebagai putra Jawa yang tumbuh dan dibesarkan di Makassar dan banyak memahami kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, George justru menyayangkan sikap penulis yang kurang memperhatikan konsep orang Bugis dan kaitannya dengan suku-suku lain di kawasan tersebut.
Nirwan Ahmad Arsuka, seorang putra Bugis lainnya yang menjadi moderator dalam diskusi tersebut, terlihat memberikan waktu yang longgar kepada para pembicara dan peserta untuk berdiskusi tentang isi buku maupun mengungkapkan pengetahuan dan nostalgia mereka tentang orang Bugis.
Buku setebal 447 halaman itu terbagi dalam dua bagian, yaitu bagian pertama mengupas tentang asal-usul orang Bugis dengan data dari masa 40.000 tahun silam, peradaban awal, masa kerajaan, pengaruh agama hingga pada masa situasi baru masyarakat Bugis.