Pakar Kebudayaan Bugis La Galigo

Dipetik dari laman web http://www.ranesi.nl/

Kebudayaan merupakan unsur sejarah yang penting bagi sebuah bangsa. Bangsa yang besar menghargai sejarah kebudayaannya. Kebudayaan Indonesia sangat kaya dan beragam. Sejarah suatu kebudayaan bisa kita pelajari dari naskah yang diwariskan. Dengan perjalanan waktu dan jaman banyak peninggalan bersejarah yang hilang, rusak bahkan terlupakan.

Bagaimana dengan situasi dan kondisi naskah atau manuskript kebudayaan begitu banyak suku bangsa Indonesia? Benarkah lebih banyak naskah kebudayaan Indonesia yang tersimpan di luar negeri? Apakah naskah-naskah sejarah yang ada di Indonesia masih tersimpan dan terjaga dengan baik? Bagaimana dengan naskah-naskah kebudayaan Indonesia yang tersimpan di Belanda?

Ikuti rangkuman Dialog Interaktif Radio Nederland dengan stasiun mitra Radio Bharata FM di Makassar bersama drs Sirtjo Koolhof, seorang pakar kebudayaan Bugis yang mengangkat epik La Galigo dalam skripsinya. Drs S. Koolhof kini bekerja sebagai pustakawan di KILTV (Lembaga Bahasa dan Budaya Asia Tenggara -Karibia) di Leiden. KITLV merupakan perpustakaan yang memiliki koleksi literatur Indonesia terbesar di luar negeri. Pemandu acara di stasiun mitra Radio Bharata FM adalah Erik Alamsyah dan didampingi oleh Bapak Karim Beso dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Makasar.

La Galigo
La Galigo adalah Epik tertulis yang terpanjang di dunia. Epik ini menceritakan tentang penciptaan alam semesta yang berawal dengan seorang raja dunia atas atau raja langit yang bernama La Patiganna. Karya La Galigo ini merupakan suatu karya sastra yang sangat agung . Bila dibandingkan dengan budaya daerah-daerah lain di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu di Jawa atau Bali, La Galigo memiliki keunikan tersendiri yakni dari gaya penyampaian, bahasa, dan formula yang digunakan merupakan campuran tradisi lisan dan tulisan.

Sebelumnya pada tahun 1983 telah ada desertasi yang dibuat oleh bapak profesor Fachruddin Ambuendre di Universitas Indonesia. Namun saat itu belum pernah ada yang diterbitkan dalam bentuk tulisan ilmiah dengan terjemahan bahasa Bugis.

Penelitian Sirtjo Koolhof
Dengan adanya keunikan khusus tersebut maka Sirtjo memilih topik La Galigo sebagai sumber inspirasi penulisan tugas akhirnya, "Saat itu saya masih mahasiswa di jurusan Sastra Indonesia di Unviersitas Leiden, saya sangat tertarik dengan budaya dan bahasa Sulawesi terutama sastra Bugis .Dan dalam sastra Bugis ini , La Galigo yang paling yang dan karena pada waktu itu belum ada satu episode yang diterbitkan dan terjemahan dalam bahasa Bugis."

Penelitian skripsinya dilakukan di sebuah daerah di desa Sidrap-Amparita yang hanya berpenduduk 10.000 jiwa orang. Selama 3 bulan lamanya, Sirtjo Koolhof melakukan penelitian dengan menanyakan langsung kepada masyarakat setempat dan menyaksikan kehidupan sehari-hari mereka seperti upacara kelahiran bayi, upacara pernikahan, dan lain sebagainya. Dalam upacara-upacara tersebut terdapat unsur cerita La Galigo. Misalnya "Di daerah Sidrap masih ada masyarakat setempat yang masih memilki naskah La Galigo namun sudah tidak ada orang lagi yang bisa membacanya" tegas Sirtjo.

Dikarenakan situasi iklim di Indonesia yang lembab dan panas belum lagi ancaman rayap, maka sulit sekali menemukan sebuah naskah asli yang berumur lebih dari satu abad. Menurutnya kebanyakan naskah kebudayaan yang ada di Indonesia merupakan naskah salinan. Sirtjo selalu membuat salinan dari setiap naskah yang ia dapatkan.

Dengan bantuan seorang pakar Bugis Bapak Muhammad Salim, Sirtjo Koolhof mendapatkan pementasan tradisi Makduta sebagai salah satu bahan yang digunakan dalam penulisan skripsinya. Pentas Makduta ini menceritakan tentang Sawerigading yang melamar We Cudai. Sawerigading merupakan simbol laki-laki Bugis yang cakap, baik dan patuh kepada keluarganya. Sawerigading semula jatuh cinta pada We Tenriyabeng yang sebenarnya adalah saudara kembarnya. Mereka tidak saling mengenal, karena mereka dipisahkan sejak dilahirkan. Namun setelah mengetahui bahwa We Tenriyabeng merupakan saudara kandungnya sendiri, mereka tidak bisa menikah. Akhirnya Sawerigading meninggalkan Luwuk. Dalam perjalanan ke Cina, di Wajo ia bertemu We Cudai seorang wanita yang mirip sekali dengan We Tenriyabeng. Mereka menikah dan lahirlah La Galigo. Pementasan Makduta berlangsung kurang lebih 10 - 15 menit.

Selain penelitian lapangan, Sirtjo Koolhof juga banyak mendapatkan informasi dari salinan naskah-naskah La Galigo di perpustakaan Leiden, kota dengan Universitas paling tua di Belanda. Perpusatakaan ini bisa diakses oleh semua orang. Sehingga sangat mudah untuk mendapatkan segala informasi yang dibutuhkan. Naskah lain juga terdapat di Jakarta yakni di perpusatakaan Nasional dan juga di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan di Gedung Mulo yang memilki 15 buah naskah Bugis.

Pementasan I La Galigo di Eropa
Tahun 2004 telah digelar I La Galigo di beberapa negara Eropa seperti di Belanda, Perancis dan Amerika. Pementasan tersebut diterima dan dihargai sangat positif oleh berbagai kalangan masyarakat. Koran The New York Times yang biasanya sangat kritis memberikan komentar yang optimis. Pementasan I La Galigo dibawah bimbingan Robert Wilson seorang seniman teater dari Amerika Serikat. Cerita pementasan I La Galigo ini merupakan percampuran dari berbagai kebudayaan dengan tetap menggunakan ciri kebudayaan Makasar yang melahirkan budaya dunia secara menyeluruh. Yang menarik adalah bahwa pertunjukan ini ditujukan kepada seluruh golongan masyarakat dan tidak didasarkan pada satu budaya daerah tertentu saja.