Abdul Kahar Muzakkar, Ironi Sang Patriot (Bahagian II)

Tujuan utama gerakan ini adalah untuk melawan pemerintahan Soekarno, sosok yang dianggapnya mengecewakannya dan sebagai wujud ketidakpuasannya terhadap cara pemerintah merasionalisasi para gerilyawan dari masa revolusi kedalam kesatuan Tentara Nasional Indonesia.

Dalam hidupnya, Kahar memang harus menelan pil pahit kekecewaannya. Bahkan ia dikecewakan oleh APRI, setelah begitu lama berbakti. Kahar tidak dijadikan pemimpin bahkan tidak diikutkan dalam operasi-operasi pemulihan ketenteraman di Sulawesi Selatan.

Akibat kekecewaannya tersebut, bersama dengan pasukan gerilyawan yang setia di bawah komandonya, ia masuk hutan menyatakan perlawanannya terhadap pemerintah pusat. Ia menyatakan perang melawan apa yang disebutnya kezaliman dan pengkhianatan. Dan, konflik yang terjadi merupakan sikap perlawanan melelahkan dan membutuhkan periode yang cukup panjang.

Barbara Sillars Harvey (1989), pengamat politik dari Monash University, menilai gerakan Kahar Muzakar bermula dari adanya perasaan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Pusat. Merasa tidak dihargai dan seakan-akan nasibnya ditentukan secara tidak adil oleh orang-orang yang kurang memahami aspirasi daerah. Karena pusat didominasi orang Jawa dan Minahasa, maka sentimen perasaan itu mengalami distorsi menjadi sentimen kesukuan.

Lewis Coser (1913-2003), seorang sosiolog mengatakan bahwa konflik infra-struktur merupakan representasi dari friksi suprastruktur. Dalam hal ini, perlawanan serta pemberontakan dan upaya disintegrasi yang dilakukan oleh Kahar Muzakar dan berideologi Islam, dapat dilihat dari konteks sejarah politiknya. Karena, Indonesia sebagai negara-bangsa yang terdiri dari berbagai macam perbedaan, kultur, adat, budaya, dan sistem sosial, mengakibatkan proses demokrasi yang ada tidak berjalan dengan mulus. Lebih lanjut, Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian yang dapat memberi peran positif atau fungsi positif dalam masyarakat. Mungkin, pemberontakan Kahar ini telah menjadi tauladan bagi rakyat Sulawesi Selatan. Perlawanan yang menjadi cerita sendiri di kalangan masyarakat Sulawesi.

Kahar memang orang yang dihormati di masa itu. Perjuangannya juga banyak mendapat dukungan. Sikapnya bergabung dengan DI/TII, membuat Kahar menjadi sosok yang idealis untuk membentuk negara Islam. Tetapi, Kahar sendiri tidak selamanya setuju dengan paham Kartosoewirjo yang menginginkan Indonesia menjadi negara kesatuan di bawah payung Islam. Ia cenderung membuat Indonesia sebagai negara federal sehingga asas Islam tak perlu diterapkan di seluruh wilayah Negara. Pada tahun 1962, ia memecahkan diri dari Kartosoewirjo dan mendirikan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) di Sulawesi Selatan.

Perpecahan dengan Kartosoewirjo

Pada awalnya, Kahar sangat tertarik ketika ditawari Kartosoewirjo menjadi pimpinan Tentara Islam Indonesia di Sulawesi Selatan. Apalagi, jalur yang ditempuh Kartosoewirjo membawa nama Islam, ideologi yang juga diusungnya.

Namun, ia sadar berbagai hal menghalanginya dalam setiap tindakan sebagai panglima negara Islam. Alasannya, dalam pasukannya terdapat kelompok-kelompok non Muslim yang dipengaruhi ide-ide komunis. Sehingga, ia menyatakan kepada Kartosoewirjo untuk tidak dapat sepenuhnya mengabdikan diri ke DI/TII. Seiring perjalanannya menjadi panglima, ia merasa resah. Ia tidak dapat menerima konsep-konsep radikal Kartosoewirjo yang ingin “mengislamkan Indonesia”. Kahar sangat kritis dalam memandang hal ini.

Kartosoewirjo mengharapkan bentuk negara kesatuan yang dijalankan berdasarkan syariat Islam. Ia menilai bahwa lebih dari 90 persen penduduk Indonesia menganut Islam sehingga tidak ada ideologi lain yang mampu memayungi Indonesia kecuali Islam. Kahar memiliki persepsi berbeda. Ia mengharapkan bentuk negara federal Islam yang mengusung sistem pemerintahan demokrasi sejati. Dalam pandangannya, pemerintahan tersebut berbentuk presidential dengan presiden sebagai kepala negara dibantu oleh menteri-menteri yang dipilih langsung oleh rakyat. Sedangkan, ia mengharapkan pembentukan negara-negara bagian dengan mengedepankan keadilan sosial. Ia sangat menghormati beragam agama dan kepercayaan di Indonesia. Sehingga, dalam negara-negara bagian mempunyai bentuk pemerintahan negara bagian sendiri. Tentu saja berdasarkan ajaran agama dan peradabannya masing-masing, menurut ketentuan yang dinyatakan dalam Undang Undang Dasar negara bagian masing-masing. Dengan demikian menurutnya, masing-masing golongan suku bangsa Indonesia akan hidup dalam lingkungan daerah negara bagiannya dengan bebas merdeka. Tetapi tentu saja, masih dalam ikatan pemerintahan demokratis Indonesia.

Itulah perbedaan mendasar antara Kartosoewirjo dan Kahar Muzakkar dalam rancah ideologi. Untuk itu, Kahar pernah mendesak untuk mempositifkan dan mengkonkretkan bentuk kedaulatan negara bersendikan asas Alquran dan Hadist. Namun, Kartosoewirjo menolak mentah-mentah. Hal itu akhirnya membuat Kahar hengkang dari kelompok DI/TII dan akhirnya mendeklarasikan RPII di tahun 1962.

Sebagai pemimpin, Kahar bersumpah untuk bertindak tegas, radikal, dan revolusioner. Ia juga ingin membersihkan Islam dari pengaruh Feodalisme. Dengan itu, ia meyakinkan rakyatnya bahwa gerakan Islam revolusioner di wilayah Indonesia Timur merupakan pejuang Islam yang paling depan.

Di awal kepemimpinannya, feodalisme, fanatisme terhadap intepretasi ulama dan mazhab merupakan hal yang harus dihapuskan. Menurutnya, tiga hal tersebut adalah perusak kehidupan kesatuan masyarakat Islam. Baginya, landasan pengaturan hidup bukan berasal dari tiga hal itu. Tetapi, satu-satunya landasan adalah Alquran dan Hadist tanpa campur tangan manusia.

Konsep Negara Demokrasi

Dalam beberapa bukunya, Kahar Muzakkar menjelaskan dengan konkret bentuk dan sistem pemerintahan yang menjadi cita-citanya. Misalnya, dalam buku Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia (1960), ia mempertentangkan konsep negara yang diusung Soekarno. Baginya, Soekarno telah gagal dalam perjuangan kemerdekaan.

Dalam pandangannya, Soekarno tidak tegas dalam menetapkan dasar negara.Soekarno dinilai telah menipu bangsa Indonesia dengan keinginannya untuk membentuk “agama Pancasila”. Lebih lanjut, Kahar mengkritisasi demokrasi terpimpin yang diusung Soekarno. Sebagai pemimpin, Soekarno terlalu congkak membanggakan kekuasaannya sebagai pemimpin yang berkuasa atas kedaulatan rakyat. Padahal, ia sering mengucap pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.Namun, dalam penilaian Kahar, dalam hal kedaulatan, rakyat “diperkosa” dan ditelan oleh kekuasaannya yang otoriter.

Soekarno pun dicapnya sebagai komunis Karena Kahar menilai ia membela Partai Komunis Indonesia (PKI). Itulah yang membuatnya patah hati. Padahal, awalnya ia sangat terkagum-kagum dengan ideologi Pancasila yang ditanamkan Soekarno.

Sebagai niat baik, Kahar mengirimkan surat untuk Soekarno. Di dalam surat itu Kahar menyatakan dirinya bersedia menyerah dan kembali ke pangkuan republik dengan dua syarat. Pertama, Sukarno membubarkan PKI. Dan kedua, Soekarno menetapkan Ketuhanan sebagai asas negara. Kahar ia menaruh harapan yang sangat besar pada Soekarno.


Kredit kepada: http://slimsalabim.net/

Sila baca bahagian I dan III artikel ini.