Abdul Kahar Muzakkar, Ironi Sang Patriot (Bahagian I)

“Tiga butir peluru bren Kopka Sadeli mengachiri pengatjauannja selama 15 tahun di, Sutiga butir peluru bren Kopka Sadeli mengachiri pengatjauannja selama 15 tahun di Sulawesi Selatan dan Tenggara”

Kita sering termangu, mendengar kiprah dan karya para tokoh pejuang. Entah karena mengagungkan prestasi dan jejak juangnya atau karena peran besarnya terhadap Indonesia. Kali ini, mari kita susuri sejenak sekelumit langkah dari perjalanan seorang pejuang yang kemudian dianggap pemberontak. Kisah nyata seorang pemberani yang mencari sebuah kebahagiaan dalam pahitnya penderitaan. Pejuang yang terlupa hingga kini atau bahkan tak dianggap.

Sosoknya dikenal memiliki siasat berpetualang, tipu muslihat, sekaligus daya pikat yang tinggi. Di tahun 1950-an, ia berjaya ketika menjadi pengawal Soekarno dalam menghadapi Jepang dengan hanya berbekal sebilah golok. Tetapi, patriot ini kemudian mengubah haluan perjuangannya dengan memberontak. Apakah sebab dibalik itu? Boleh jadi ia memberontak, atau ia merasa dikhianati habis-habisan. Satu hal yang tidak boleh dilupa, ia adalah satu-satunya patriot penggagas negara federalisme Islam. Sebuah diskursus yang muncul kembali di pangung politik saat terjadi reformasi Mei 1998.

Adalah Abdul Kahar Muzakkar, pahlawan yang kini hilang dalam kenangan. Lelaki yang pernah mengabdi untuk negara. Hingga kini, namanya tidak tercantum sebagai pahlawan. Dalam buku sejarah umum, kita dikenalkan kepada sosoknya sebagai pemberontak. Hingga kini kematiannya tetap menjadi misteri. Jasadnya tidak pernah diketahui, makamnya pun tak terlacak. Ia lahir sebagai anak Sulawesi. Sebagai keturunan Bugis-Makassar, Abdul Kahar Muzakkar dapat dibilang berdarah “panas”. Sosok yang kokoh, tak gentar dalam menjalani kehidupan. Ia adalah pejuang dan pemberontak yang menjunjung tinggi prinsip dan nilai-nilai Islam.

Hidup dan Karir Kahar

Kahar Muzakkar dilahirkan pada 24 Maret 1921, di daerah terpencil bernama Kampung Lanipa, Ponrang, Sulawesi Selatan. Masa kecilnya seperti pada umumnya anak-anak di Nusantara.Yang membedakan, sejak kecil jiwa pemberontakannya sudah muncul. Pantang takluk dan harus selalu menang dalam perkelahian. Ia dikenal dengan nama kecil Ladomeng karena kegemarannya bermain domino. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga petani yang cukup mampu dan tergolong aristokrasi rendah. Ketika beranjak remaja, ia merantau. Setelah tamat sekolah rakyat pada 1938, Kahar dikirim orangtuanya ke Solo. Tempat yang ia datangi adalah perguruan Mualimin Muhammadiyah untuk memahami dan mengasah ilmu agama Islam. Disini pula ia untuk pertama kali bergerak dalam gerakan Hizbul Wathon, organisasi otonom yang mempunyai visi dan mengemban misi Muhammadiyah dalam pendidikan.

Di sekolah ini ia bertemu KH Sulaeman Habib, Mufti Besar Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII). Beliaulah yang mengusulkan penambahan nama Kahar menjadi Abdul Kahar Muzakkar, diilhami oleh Abdul Kahar Muzakkir, salah seorang panitia sembilan BPUPKI. Namun, Kahar tak berhasil menamatkan sekolahnya di Solo. Setelah menikahi Siti Walinah, seorang gadis Solo, ia kembali ke kampung halamannya pada tahun 1941.

Perjuangan Melawan Penguasa Pertama

Di Sulawesi Selatan kota Luwu, Kahar bekerja di Nippon Dahopo, instansi bentukan Jepang. Saat itu Jepang sudah mulai melebarkan sayap jajahannya di Sulawesi. Selama beberapa lama berada di tanah kelahirannya, ia memberontak.

Ia mengalami bentrokan dengan kepala-kepala adat setempat. Sikap Kahar yang membenci sistem feodal yang berlaku di Sulawesi Selatan menjadi alasan. Bahkan, ia menganjurkan agar sistem aristokrasi dihapuskan. Awal dari perjuangannya dimulai ketika ia mengecam keras sikap Kerajaan Luwu yang kooperatif dan “Pak Toeroet” (nurut) dengan datangnya Jepang ke ranah Sulawesi. Kerajaan Luwu berang. Padahal, mayoritas pemuda Sulawesi kala itu percaya dan tunduk dengan iming-iming Jepang sebagai pembebas dari Timur. Kahar menepis dengan perkasa. Menurutnya, segala tindak tanduk Jepang adalah omong kosong belaka. Hanyalah bentuk kehancuran bertopeng cahaya.

Ia tangguh akan pendiriannya untuk mengusir Jepang dari tanah kelahirannya itu. Akibat penentangannya tersebut, Kerajaan Luwu bertindak licik dengan menuduhnya mencuri. Kemudian ia diganjar hukuman atas tuduhan menghina kerajaan dan mencuri. Hukuman yang diterimanya sangat berat. Ia diganjar vonis adat ri paoppangi tana, hukuman yang mengharuskannya keluar dari tanah kelahirannya, bumi tercintanya.

Untuk kedua kalinya, pada Mei 1943, Kahar meninggalkan kampung halaman. Ia kembali ke Solo. Mencari kehidupan baru. Itulah periode yang membuatnya harus terus berjuang dan memberontak atas segala penindasan wilayah, ekonomi, dan politik Indonesia oleh Jepang. Ia memutuskan untuk terjun total dalam kancah perjuangan kemerdekaan.

Perjuangan di Jawa

Kemudian, ia mendirikan toko Usaha Semangat Muda. Dalam perkembangannya, toko itu digunakan sebagai pusat dan markas gerakan perjuangan. Tempat dimana ia membuat strategi pemberontakan dan mengumpulkan para pemuda.

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, ia pergi ke Jakarta. Di Ibu Kota, Kahar mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (Gepis), yang kemudian berubah menjadi Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS). Di organisasi itu Kaharmenjabat sebagai Sekretaris. Ternyata ia seorang administrator dan orator yang berbakat dengan daya tariknya yang besar. Sikapnya menimbulkan kekaguman kawan-kawan dan kabar itu pun menyebar luas.

Pada Desember 1945, beberapa pemuda menemui Kahar dan meminta untuk membantu dalam usaha pembebasan 800 pemuda yang ditahan di Nusakambangan. Aksinya berhasil, dan 800 pemuda tersebutlah yang menjadi cikal bakal laskar andalan yang dibentuknya dan dinamakan Kesatoean Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) .

Dalam perjalanan hidupnya, Kahar bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Karir Kahar mengalami kemajuan pesat. Ia aktif mengikuti berbagai pertempuran penting untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia dipercaya menjadi Komandan Persiapan Tentara Republik Indonesia-Sulawesi dan merupakan orang Bugis-Makassar pertama yang berpangkat letnan kolonel (letkol). Perjalanan karirnya menyurut ketika pasukan di luar Jawa direorganisasi menjadi satu brigade, dan Kahar tidak terpilih sebagai pemimpin. Yang ditunjuk adalah Letkol J.F. Warouw. Sedangkan Kahar hanya dipilih sebagai wakil komandan.

Konflik dengan APRI

Di tahun 1952, setelah berhasil menumpas pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi Selatan, Kahar menuntut KGSS menjadi formasi resimen. Ia menghendaki pasukannnya yang terdiri dari 10 batalyon itu dimasukkan ke dalam APRI kemudian menjadi Brigade Hasanuddin di bawah kepemimpinannya.

Kolonel Kawilarang, Panglima saat itu menolak mentah-mentah. Kahar sangat kecewa dan kemudian ia meletakkan pangkat letkolnya di depan Kawilarang. Analisis Anhar Gonggong (2001), sejarawan dari Universitas Indonesia, kegagalan-kegagalan tersebut membuat Kahar merasa gagal mengembalikan harga dirinya sebagai orang Bugis-Makassar.

Kelanjutan dari kekecewaan tersebut, ia berikut KGSS memutuskan bergabung dengan gerakan DI/TII Kartosoewirjo pada 20 Agustus 1952. Pada tanggal 7 Agustus 1953, ia memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia. Ia diangkat menjadi Panglima Divisi IV TII. Awal aru baginya untuk melaksanakan apa yang dicita-citakannya. Gerakan ini mendapat perhatian rakyat. Banyak yang setuju, bahkan banyak yang mencela. Hebatnya, gerakan ini berhasil mengajak sebagian anggota TNI untuk melarikan diri masuk hutan dan bergabung bersama NII Sulawesi Selatan.


Kredit kepada: http://slimsalabim.net/

Sila baca bahagian II dan III artikel ini.