Suku Bajo dikenal dengan nama SAMA. Mereka menyebar di Lima Benua Suku Bajo adalah pelaut tangguh. Laut adalah hidupnya. Mereka memilih hidup di pulau-pulau di tengah lautan dari pada harus bersosialisasi di darat. Julukan mereka manusia perahu.
Tidak heran bila Suku Bajo sering diidentikkan dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Pendidikan belum dipandang sebagai prioritas hidup. Abdul Manan, sang Presiden Suku Bajo Indonesia, menuturkan betapa sulitnya Suku Bajo menghadapi kehidupan sosial.
Suku Bajo mampu bertahan dengan kerasnya hidup di lautan dengan menjadi nelayan, kata Abdul Manan yang juga Kepala Bappeda Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Pulau Sama Bahari, pulau yang dihuni 364 keluarga Suku Bajo cukup menggambarkan bentuk kehidupan mereka. Di Pulau Karang yang terletak di antara gugusan pulau-pulau di Sultra, terlihat rumah-rumah penduduk terbuat dari bambu. Kemiskinan suku Bajo terpancar nyata. Penduduk di sana hanya bekerja sebagai nelayan tradisional.
Dari segi pendidikan pun tertinggal jauh. Di Pulau Sama Bahari, hanya berdiri satu sekolah dasar. Kalau hendak masuk ke sekolah lanjutan, harus menyeberang ke pulau terdekat.
Ia mengakui sulitnya Suku Bajo untuk maju disebabkan tradisi sebagai nelayan turun-temurun sangat kuat. Dalam suku ini, nelayan adalah pekerjaan satu-satunya. Itu membuat mereka cenderung tidak ingin keluar dari komunitas yang sudah terbangun sejak lama. Anak-anak Suku Bajo memang tidak didorong bersekolah oleh orang tuanya, sehingga mereka sangat tertinggal, kata pria berusia 46 tahun ini.
Inilah kegelisahan Abdul Manan. Namun, realitas itu tidak ingin dibiarkan berlarut. Presiden Suku Bajo ini mengimpikan suatu saat Suku Bajo maju secara ekonomi dan pendidikan.
Salah satunya yang didorong adalah membangun sekolah lebih banyak untuk membantu anak-anak Suku Bajo. Hal itu sudah diwujudkan dengan membangun khusus sekolah di Kendari yang memberikan kesempatan bagi anak Suku Bajo bersekolah gratis. Di Pulau-pulau yang dihuni Suku Bajo juga diberikan sistem Kejar Paket untuk yang pendidikannya tertinggal.
Tingkat partisipasi sekolah di Sultra 64 persen, namun Suku Bajo cuma mencapai 0,5 persen. Kita tidak ingin muluk-muluk, mencapai satu persen saja sudah bagus, katanya.
Keinginan Abdul Manan memajukan suku Bajo sangat kuat. Ia kemudian menjalin hubungan dengan Suku-Suku Bajo yang terpencar di tiga negara lainnya, Malaysia, Thailand, dan Filipina dengan membentuk The Bajau International Communities Confederation (BICC). Untuk memajukan Suku Bajo di Indonesia, ia harus mendapatkan bantuan dari Suku Bajo di negara lain yang lebih maju. Keeratan Suku Bajo empat negara ini tidak terlepas dari asal-usul etnik ini. Abdul Manan menjelaskandalam salah satu versi disebutkan Suku Bajo berasal dari Johor, Malaysia yang terdampar di Sulawesi Selatan saat melaut. Itu sebabnya di daerah pesisir Bone, Sulawesi Selatan, terdapat Desa BajoE Kecamatan Tanete Riattang timur Kabupaten Bone.
Tapi ada juga versi lain yang berkembang yang menyebutkan Suku Bajo berasal dari Palopo, Sulawesi kemudian berkembang hingga keseluruh tanah air. Di Indonesia suku Bajo selain di Sulawesi Selatan ada juga di Flores, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan, Sumatera, dan Gorontalo. Meski demikian, lebih banyak yang menerima versi asal-usul suku Bajo dari Johor. Hal itu juga melihat keberadaan suku Bajo di Malaysia yang berkembang luas.
Menyadari bukan suku yang berasal dari satu negara, Suku Bajo sepakat mengklaim sebagai suku dunia. Suku Bajo sudah mencatatkan diri mereka sebagai putra dunia di UNESCO, PBB. “Kita bukan suku milik suatu negara, tuturnya. Pembentukan BICC diupayakan untuk membantu kesejahteraan Duku Bajo secara ekonomi, memajukan pendidikan serta melestarikan budaya. BICC harus bisa memberi beasiswa kepada anak-anak Suku Bajo, katanya.
BICC diketuai salah satu anggota Parlemen Sabah, Datuk Sri Saleh Keruak yang juga merupakan anak Suku Bajo. Dibandingkan empat negara itu, Abdul Manan mengatakan Suku Bajo di Indonesia paling tertinggal. Di Malaysia, meski juga nelayan tapi bukan lagi nelayan tradisional. Di sana nelayannya maju. Phuket tempat wisata terkenal di Thailand adalah salah satu bisnis Suku Bajo.
Tekadnya kuat, Suku Bajo di Indonesia harus bisa sebanding dengan Suku Bajo di negara lain. Perlu dipahami, bahwa Suku Bajo adalah suku pengembara laut. Pada awalnyanya mereka hidup diatas perahu, berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Meski saat ini banyak warga suku Bajo yang tinggal di daratan, kehidupan mereka tidak bisa dipisahkan dari laut. Di Indonesia, permukiman suku Bajo dapat ditemukan di beberapa daerah. Suku Bajo di pulau Lombok ditemukan disebuah kampung di kecamatan Labuhan Haji, Lombok Timur sedangkan di Pulau Sumbawa, mereka dapat dijumpai di Pulau Moyo dan sekitarnya, serta kawasan Bima di sebelah Timur Sumbawa. Di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur terdapat kota bernama Labuhan Bajo salah satu tempat orang bajo yang dapat dijumpai sepanjang pesisir Kabupaten Manggarai Barat hingga Flores Timur. Di Sulawesi, suku bajo menyebar di beberapa propinsi yaitu Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara serta Sulawesi Selatan. Di Gorontalo, suku Bajo terdapat di sepanjang pesisir teluk tomini yaitu di Torosiaje, Kabupaten Pohuwato dan di Tanjung Bajo, Kabupaten Bualemo.
Dibandingkan dengan permukiman suku Bajo di daerah lain, permukiman suku Bajo di Torosiaje memiliki keunikan tersendiri yaitu permukiman tersebut dibangun di atas laut yang benar-benar terpisah dari daratan. Torosiaje terletak di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, kurang lebih 300 km ke arah barat kota Gorontalo. Terdapat jalan darat relatif mulus yang menghubungkan Kota Gorontalo dengan Desa Torosiaje. Ada dua perkampungan suku Bajo di Torosiaje. Pertama yaitu perkampungan suku Bajo di Torosiaje Jaya yang terletak di daratan, dan yang kedua perkampungan suku Bajo yang terletak di atas laut yaitu Desa Torosiaje laut.
Perkampungan suku Bajo di Torosiaje memiliki bentuk menyerupai huruf U yang terbuka ke arah laut, yang dapat dicapai dari dermaga penyeberangan di Desa Torosiaje Jaya dengan menggunakan perahu selama kurang lebih 15 menit. Cikal bakal perkampungan Suku Bajo di Torosiaje telah dimulai sejak tahun 1901. Pada awalnya mereka adalah sekumpulan pengembara yang tinggal di atas rumah perahu atau Soppe. Karena timbul keinginan untuk menetap akhirnya mereka membangun rumah panggung dari kayu di atas laut. Seiring dengan berjalannya waktu, populasi orang Bajo di Torosiaje semakin meningkat. Saat ini Desa Torosiaje laut memiliki jumlah penduduk mencapai 1027 jiwa.
Sebagai sebuah wilayah perkampungan, perkampungan suku Bajo di Torosiaje laut memiliki fasilitas cukup lengkap meski letaknya di laut. Di wilayah perkampungan tersebut terdapat klinik pengobatan, masjid, taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan gedung serba guna yang dapat dimanfaatkan sebagai lapangan bulu tangkis. Jadi bukan hanya mereka yang tinggal di darat saja yang bisa bermain bulu tangkis, mereka yang tinggal di laut pun bisa memainkan olah raga ini. Meski tidak begitu nyaman tentunya karena menimbulkan suara berdebam yang cukup keras pada lantai papan. Antar rumah warga di perkampungan ini dihubungkan dengan jembatan kayu, yang di beberapa tempat dilengkapi pula dengan atap.
Perkampungan suku Bajo Torosiaje laut ini menawarkan panorama indah. Matahari terbit dan tenggelam yang menimbulkan warna jingga di langit dapat disaksikan dengan indahnya. Perairan di sekitar perkampungan ini juga sangat jenih. Maka tidak heran jika kita dapat dengan mudah melihat ikan-ikan yang berwarna-warni berseliweran dengan indahnya tanpa harus menyelam. Bagi penggemar memancing, perairan di sekitar perkampungan suku Bajo Torosiaje merupakan surga. Ikan baronang yang seolah-olah menawarkan diri tampak jelas berenang-renang disekitar tiang-tiang penyangga rumah. Hanya dengan umpan secuil pisang, ikan bisa dengan sangat mudah didapatkan.
Sebagai desa wisata, perkampungan suku Bajo juga dilengkapi dengan fasilitas penginapan. Ada dua penginapan di perkampungan ini. Satu buah penginapan dibangun oleh Dinas Pariwisata, dan satu lagi milik perseorangan. Pada waktu-waktu tertentu seperti hari raya ketupat, yaitu tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri, disini diadakan perayaan dengan aneka perlombaan yang digelar. Jadi, tunggu apalagi untuk berkunjung ke Torosiaje?
Kredit kepada: http://bangsabugis.blogspot.com/