KETIKA memberikan wawancara khusus kepada tujuh media dari Indonesia setelah dilantik menjadi Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Razak mengatakan, hanya kapal Bugis yang selalu ada di ruang kerjanya sebagai salah satu pajangan.
Rupanya pajangan itu bermakna penting. Setidaknya untuk mengingatkan Najib akan nenek moyangnya yang rupanya asli Bugis. “Asal usul saya orang Bugis.
Tapi, saya Perdana Menteri untuk semua orang Malaysia,” kata putra sulung mantan PM Malaysia kedua, Abdul Razak, itu. Dari manakah sesungguhnya kebugisaan nakhoda kapal Bugis yang yang kini bersandar di Putrajaya itu? Sejumlah sumber resmi menyebutkan, Datuk Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak adalah keturunan Raja Gowa ke-19 I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Djalil Tumenanga ri Lakiung (1667-1709).
Perihal kebugisan Najib, sebenarnya bukanlah terungkap saat ini. Ayahnya, Tun Abdul Razak ketika masih menjabat Perdana Menteri pada tahun 1973 pernah berkunjung ke Gowa dan berziarah ke makam Sultan Hasanuddin. Saat itu, Tun Abdul Razak menunjuk salah satu nisan dan menyatakan bahwa orang di makam tersebut ada di dalam silsilah keluarganya. Pemilik nisan itu tak lain adalah I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone. Karaeng Sanrobone ini adalah putra Raja Gowa (XVI) I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangappe alias Sultan Hasanuddin. Begitulah ceritanya.
Satu tahun kemudian, Tun Abdul Razak diberi gelar kehormatan masyarakat Gowa, La Tenri Patta Daeng Manesa dan istrinya diberi gelar We Bungawali. Bahkan nama beliau kini diabadikan sebagai nama jalan di daerah itu, Jalan Tun Abdul Razak. Pemberian gelar kehormatan ini juga dilakukan kepada Najib ketika berkunjung ke Gowa. Gelarnya mengambil nama dari neneknya, I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone.
Saya mengetahui sedikit hal ini selain dari berbagai literatur juga silsilah Raja-raja Sulawesi Selatan yang saya miliki. Menurut sejumlah literatur, I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone pernah berpesan kepada anak-anaknya agar ketika dia wafat nanti yang menggantikannya sebagai raja Gowa adalah cucu laki-laki pertamanya, bukan kepada anaknya. Cucu yang dimaksud adalah La Pareppa To Sappewalie Sultan Ismail, putra dari I Mariama Karaeng Patukangang, putrinya.
I Mariama ini menikah dengan Raja Bone La Patau, dan La Pareppa adalah putra pertama mereka. Sebagai catatan bahwa La Pareppa selain menjadi Raja Gowa (XX), juga menjadi Datu Soppeng (XX), serta Raja Bone (XIX). Sebagai Raja Gowa, ada ada sejumlah pendapat yang menyebutkan jika pengangkatan La Pareppa dipermasalahkan oleh Bate Salapang (Dewan dalam kerajaan Gowa) lantaran hanya mewarisi singgasana kerajaan Gowa dari pihak ibunya.
Teru terang, saya kurang sependapat dengan itu. Perlu diketahui bahwa di Sulawesi Selatan itu ada tiga kerajaan besar yang setara (Tellumpoccoe), yaitu Luwu, Gowa dan Bone. Ayah La Pareppa adalah La Patau Matanna Tikka Petta Matinroe ri Nagauleng, Raja Bone (XVI). I Mariama Karaeng Pattukangang memiliki seorang saudara laki-laki dari lain Ibu bernama Muhammad Nazaruddin Karaeng Agang Jene’ atau sebutannya Karaeng Aji. Ibu Karaeng Aji adalah Sitti Aminah, putri Sultan Bima, sedangkan ibu I Mariama adalah Petta Bau Bone.
Sebagai keturunan langsung Raja Gowa, disebutkan dalam sejumlah literatur jika Karaeng Aji merasa lebih berhak menjadi Raja Gowa dari pada La Pareppa. Akan tetapi terlepas dari semua itu, yang pasti Karaeng Aji kemudian memilih pergi merantau. Beliau meninggalkan Gowa pada tahun 1722 menuju Negeri Pahang.
Di sana, Karaeng Aji berhasil menjadi Syahbandar dan mendapat gelar Toh Tuan. Ia kemudian menikahi gadis di negeri Pahang dan memiliki banyak keturunan di sana. Beberapa cucu dan cicitnya di kemudian hari menjadi orang sukses dan nomor satu di Malaysia di antaranya: Tun Najib Razak, Tun Abdul Razak dan Dato Musa Hitam. Itulah riwayat kebugisan Tun Najib. Dan karena itu pula, maka PM Malaysia keenam itu mengatakan, hanya kapal Bugis yang selalu ada di ruang kerjanya sebagai salah satu pajangan yang selalu mengenang sebagai orang keturunan Bugis.
Kredit kepada: http://sejarah.kompasiana.com
Rupanya pajangan itu bermakna penting. Setidaknya untuk mengingatkan Najib akan nenek moyangnya yang rupanya asli Bugis. “Asal usul saya orang Bugis.
Tapi, saya Perdana Menteri untuk semua orang Malaysia,” kata putra sulung mantan PM Malaysia kedua, Abdul Razak, itu. Dari manakah sesungguhnya kebugisaan nakhoda kapal Bugis yang yang kini bersandar di Putrajaya itu? Sejumlah sumber resmi menyebutkan, Datuk Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak adalah keturunan Raja Gowa ke-19 I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Djalil Tumenanga ri Lakiung (1667-1709).
Perihal kebugisan Najib, sebenarnya bukanlah terungkap saat ini. Ayahnya, Tun Abdul Razak ketika masih menjabat Perdana Menteri pada tahun 1973 pernah berkunjung ke Gowa dan berziarah ke makam Sultan Hasanuddin. Saat itu, Tun Abdul Razak menunjuk salah satu nisan dan menyatakan bahwa orang di makam tersebut ada di dalam silsilah keluarganya. Pemilik nisan itu tak lain adalah I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone. Karaeng Sanrobone ini adalah putra Raja Gowa (XVI) I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangappe alias Sultan Hasanuddin. Begitulah ceritanya.
Satu tahun kemudian, Tun Abdul Razak diberi gelar kehormatan masyarakat Gowa, La Tenri Patta Daeng Manesa dan istrinya diberi gelar We Bungawali. Bahkan nama beliau kini diabadikan sebagai nama jalan di daerah itu, Jalan Tun Abdul Razak. Pemberian gelar kehormatan ini juga dilakukan kepada Najib ketika berkunjung ke Gowa. Gelarnya mengambil nama dari neneknya, I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone.
Saya mengetahui sedikit hal ini selain dari berbagai literatur juga silsilah Raja-raja Sulawesi Selatan yang saya miliki. Menurut sejumlah literatur, I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone pernah berpesan kepada anak-anaknya agar ketika dia wafat nanti yang menggantikannya sebagai raja Gowa adalah cucu laki-laki pertamanya, bukan kepada anaknya. Cucu yang dimaksud adalah La Pareppa To Sappewalie Sultan Ismail, putra dari I Mariama Karaeng Patukangang, putrinya.
I Mariama ini menikah dengan Raja Bone La Patau, dan La Pareppa adalah putra pertama mereka. Sebagai catatan bahwa La Pareppa selain menjadi Raja Gowa (XX), juga menjadi Datu Soppeng (XX), serta Raja Bone (XIX). Sebagai Raja Gowa, ada ada sejumlah pendapat yang menyebutkan jika pengangkatan La Pareppa dipermasalahkan oleh Bate Salapang (Dewan dalam kerajaan Gowa) lantaran hanya mewarisi singgasana kerajaan Gowa dari pihak ibunya.
Teru terang, saya kurang sependapat dengan itu. Perlu diketahui bahwa di Sulawesi Selatan itu ada tiga kerajaan besar yang setara (Tellumpoccoe), yaitu Luwu, Gowa dan Bone. Ayah La Pareppa adalah La Patau Matanna Tikka Petta Matinroe ri Nagauleng, Raja Bone (XVI). I Mariama Karaeng Pattukangang memiliki seorang saudara laki-laki dari lain Ibu bernama Muhammad Nazaruddin Karaeng Agang Jene’ atau sebutannya Karaeng Aji. Ibu Karaeng Aji adalah Sitti Aminah, putri Sultan Bima, sedangkan ibu I Mariama adalah Petta Bau Bone.
Sebagai keturunan langsung Raja Gowa, disebutkan dalam sejumlah literatur jika Karaeng Aji merasa lebih berhak menjadi Raja Gowa dari pada La Pareppa. Akan tetapi terlepas dari semua itu, yang pasti Karaeng Aji kemudian memilih pergi merantau. Beliau meninggalkan Gowa pada tahun 1722 menuju Negeri Pahang.
Di sana, Karaeng Aji berhasil menjadi Syahbandar dan mendapat gelar Toh Tuan. Ia kemudian menikahi gadis di negeri Pahang dan memiliki banyak keturunan di sana. Beberapa cucu dan cicitnya di kemudian hari menjadi orang sukses dan nomor satu di Malaysia di antaranya: Tun Najib Razak, Tun Abdul Razak dan Dato Musa Hitam. Itulah riwayat kebugisan Tun Najib. Dan karena itu pula, maka PM Malaysia keenam itu mengatakan, hanya kapal Bugis yang selalu ada di ruang kerjanya sebagai salah satu pajangan yang selalu mengenang sebagai orang keturunan Bugis.
Kredit kepada: http://sejarah.kompasiana.com