Karakter keras dan berani orang Bugis Makassar (sulsel) tidak lepas dari tradisi maritim nenek moyang mereka To Luwu yang artinya Pelaut. Ganasnya ombak lautan telah banyak membentuk karakter orang Bugis Makasssar yang tidak kenal kompromi dan senang berkompetisi. karakter keras yang selalu di identikan dengan kata ewako yang artinya melawan selalu bergandengan dengan kata siri’. Bagi orang Bugis Makassar siri’ atau malu merupakan harga mati. Siri’ ibaratnya hantu yang selalu berputar-putar di setiap kepala anak cucu Sawerigading dan hanya bisa “ditebus” dengan badik.
Kata siri‘ sendiri dalam bahasa indonesia berarti malu. Namun, dalam masyarakat bugis, apabila seseorang menyisipkan kata “siri” ini dalam kata-kata atau dialog dalam sebuah permasalahan atau percekcokan, maka berhati-hatilah, bisa dipastikan bahwa masalah tersebut adalah masalah serius. Siri’ ini yang membawa ribuan laskar Bugis Makassar keliling nusantara melawan penjajah kafir dan sekaligus menuntut balas kekalahan dalam perjanjian Bongaya. Karaeng Galesong di Madura, Syech Yusuf di Banten atau Raja haji Fisabililah di bumi Melayu sebagian contoh kecil.
Filosofi siri’ pula yang membuat Daeng Mangalle beserta 200 an pengikutnya bertempur puputan sampai habis melawan ribuan tentara Prancis dan Inggris di negeri Siam (Thailand). Dari pada merendahkan harga diri di hadapan raja siam yang didukung prancis lebih baik mati di tembus peluru tentara Eropa. Seorang pendeta yang melihat langsung perang Laskar Makassar yang berjumlah 200an melawan ribuan tentara Eropa terkagum kagum melihat keberanian anak-anak makassar, “seumur hidup saya belum pernah melihat ada pasukan seberani mereka ( Makassar)”. Seorang prajurit Eropa dengan lancangnya menendang kepala prajurit Makassar yang sekarat, dengan tiba-tiba bangun dan membunuh prajurit itu. Tidak ada yang membangunkan prajurit sekarat itu kecuali membela harga diri (siri’). 200 an laskar makassar dan 1000an laskar Eropa yang tewas jadi saksi sejarah penebusan siri’.
Ungkapan Siri’ numi kupopoang yang maknanya karena engkau menjaga siri maka engkau pantas di pertuan. Sehingga apabila seorang tidak mempunyai siri’ maka dia tidak lagi mendapat penghormatan. Seorang raja atau bangsawan yang sudah melupakan siri’nya tidak pantas lagi duduk di tahtanya, dia pantas diturunkan atau dibunuh. Tidak mengerankan seorang pemimpin kharasmatik seperti Kahar Muzakkar yang dicap pemberontak akan selalu di hormati orang Bugis Makassar ( Sulsel & Sulbar) karena keteguhannya mempertahankan siri nya dan laskarnya yang tidak diakui pemerintah Soekarno.
Dalam perspektif modern ini, semangat siri’ sudah mulai luntur. Siri’ jaman sekarang muncul berupa letupan kekecewaan dalam bentuk demontrasi anarkis dan tawuran mahasiswa. Padahal sejatinya siri adalah membela harga diri untuk tujuan positif demi harga diri bukan demi kepentingan politik atau nafsu anarki sesaat. Gambar atau tayangan di televisi dan media lain sudah cukup mendiskreditkan keberanian orang Bugis Makassar dengan kekerasan semu. Keberanian menghunus badik tidak lebih karena sikap emosional yang berlebihan. Padahal badik tidak boleh dihunuskan sembarangan, ketika badik dihunuskan mesti ada korban yang tertusuk, begitu adat orang Bugis Makassar.
Jadilah orang Bugis Makassar lekat dengan kekerasan, padahal kekerasan sangat berbeda dengan membela siri’ atau harga diri. Bukan namanya siri adalah membela pemimpin yang koruptor atau pemimpin yang menzalimi rakyat. Saya setuju pendapat Sejarawan Anhar Gongong bahwa” harga diri sebenarnya identik dengan antikekerasan, Orang berharga diri tinggi lebih mengandalkan percakapan dan dialog”.
Kredit kepada: http://www.kompasiana.com/