Dari sekian suku di Nusantara, Bugis-Makassarlah yang selalu menjadi representasi suku perantau, tentu dengan mengandalkan kemampuannya dalam mengarungi samudera. Semboyan “sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai” begitu merasuk ke dalam jiwa masyarakat Bugis-Makassar (BM), sehingga mereka pun selalu dapat berhasil tiba di tujuan. Tak ada kata menyerah, rasa malu atau siriq’ meresap dan menjadi lokomotor penggerak jiwa Bugis Makassar (BM) untuk selalu berjuang hingga titik darah penghabisan.
Banyak alasan yang membuat masyarakat BM melakukan perantauan. Jika ditengok ke belakang, pelayaran dan penjelajahan ke negeri seberang sudah menjadi tradisi kuno, bahkan telah menjelma dalam prilaku asli Bugis-Makassar. Sebut saja kisah armada Sriwijaya pada abad ke-7 M yang dapat mengarungi samudra hingga ke Madagaskar dan negeri-negeri jauh untuk membawa emas dari Swarnadwipa (Sumatera). Atau kisah para pelaut asing yang membantu kekaisaran Cina masa lampau untuk menjajakan hasil bumi dan peradabannya tersebar ke seantaro bumi, serta kisah munculnya pelaut ulung di negeri Srilangka yang berbadan kekar. Ke semua kisah itu, tak lain dilakoni oleh para pelaut ulung Bugis dan Makassar.
Tradisi di atas pun menjadi salah satu faktor penunjang mentalitas masyarakat Bugis-Makassar, yang menekankan bahwa salah satu fase hidup manusia BM adalah merantau. Dengan merantau, laki-laki Bugis-Makassar dapat meresapi arti hidup yang sebenarnya. Ia pun mendapatkan kedewasaan dalam perantauannya. Selain itu, mereka juga selalu mengimpikan kebebasan dan kejayaan, serta hayalan tentang kesatriaan dan negeri baru yang menawarkan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Alasan pendorong yang lain disebabkan oleh kekacauan di daerah asal akibat perang. Peperangan lokal yang terjadi pada abad ke-16 hingga ke-18 secara tidak langsung membuat sebagian dari warga BM membulatkan tekad untuk merantau demi menemukan kembali harga diri dengan melawan penindasan, ataupun memperoleh ketenangan dan kedamaian di negeri seberang.
Selain itu, rasa malu (siri’) akibat menderita kekalahan perang menyebabkan mereka meninggalkan negeri asal untuk mengambil kembali martabatnya dengan berbuat baik di negeri rantau. Kekalahan di daerah asal menyebabkan harga diri jatuh pada titik nadir, sehingga untuk memulihkan siri’ mereka terpaksa harus mengarungi samudra yang luas itu. Untuk orang Bugis-Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga siri’ nya, sehingga kalau mereka merasa tersinggung atau ripakasiri’ atau dipermalukan, mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan siri’nya daripada hidup tanpa siri’. Meninggal untuk menjaga siri’ dalam alam berfikir orang Bugis Makassar bak mati yang diberi gula dan santan (mate rigollai, mate risantangi).
Setelah dikalahkan oleh VOC Belanda pada abad ke-17 silam itu, warga Bugis-Makassar tersebar ke berbagai tanah rantau dengan dipimpin oleh bangsawan-bangsawannya. Misalnya, Laksamana Karaeng Bontomarannu dan Laksamana Muda Karaeng Galesong melarikan diri ke Jawa untuk membantu pasukan Trunojoyo yang berperang melawan Belanda dan Mataram. Sementara adik Sultan Hasanuddin, Daeng Mangelle yang mulanya menyingkir ke Jawa lalu pada 1664 merantau dan menetap di Ayuthia, Siam dengan ditemani 60 keluarga Makassar. Hingga pada akhirnya pasukan Daeng Mangelle yang jumlahnya sekira 500-an harus menegakkan siri’ dengan melakukan pertempuran hingga titik darah penghabisan dengan pasukan Siam bergabung dengan Perancis, Inggris dan Portugis yang jumlah total pasukan hingga 10.000 tentara.
Orang-orang Bugis banyak menempati daerah rantau seperti Samarinda, Pegatan, Bima, Kalimantan Barat, Riau,Tumase’ (Singapura),Johor, mereka pun dipimpin oleh para Matoa dagang. Sementara orang Makassar diperkirakan ke daerah-daerah yang pernah ditaklukkan oleh Gowa pada permulaan abad ke-17, yaitu Bima, Sumbawa, Banggai, Timor, Sumba, Dompu, Sanggar, Kutai, Berau, Buton, Muna, Bungku, Solor, Tedak, Manggarai, Limboto, Gorontalo, Tondano dan Sangir, Buru, Tobea dan Bebe. Diperkirakan yang terbanyak dituju ialah Bima dan Sumbawa, karena sejak tahun 1618 terjadi kawin-mawin antara orang Makassar, Bugis dan orang-orang Sumbawa dan Bima.
Kiprah Bugis Makassar di Negeri Melayu
Bukti kesohoran masyarakat Bugis-Makassar terekam jelas dalam kisah-kisah kepahlawanan kerajaan Johor, serta kerajaan Melayu lainnya. Warga BM tidak hanya menjadi pelaut dan pedagang yang ulung, tapi juga selalu berhasil menarik hati penguasa daerah setempat untuk senantiasa bekerjasama dalam mempertahankan kedudukan kerajaan. Para perantau itu pun bak dewa penolong kerajaan yang sudah hampir runtuh, mereka menjelma menjadi kesatria gagah berani, yang selalu memenangkan peperangan. Dengan begitu, kerajaan-kerajaan Melayu kembali tegak, sedangkan warga BM mendapat posisi terhormat dan sangat dibanggakan oleh masyarakat setempat. Ya, jejak kegesitan, keuletan, atau pun kejujuran warga perantauan itu tampak jelas dalam khasanah sejarah bangsa Melayu.
Dalam buku Tuhfat Al-Nafis karya Raja Ali Al-Haji berkisah banyak tentang kekesatriaan pelaut-pelaut Bugis-Makassar dalam membantu membentuk kerajaan-kerajaan Riau pada akhir abad pertengahan. Disebut dalam karya itu bahwa pada masa pemerintahan pemerintahan Mansur Shah tahun 1440 M, Malaka diserang armada kuat yang datang dari Makassar. Setelah kedatangan armada Makassar kali itu, kontak antar kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka dengan Kerajaan Gowa kian erat. Sebagai tanda persahabatan, Raja Johor Sultan Mansur Shah mengirim ke Gowa beberapa bingkisan sebagai hadiah. Lalu dibalas oleh Raja Gowa dengan mengirim seorang bangsawan bernama Daeng Mampawa, yang kemudian hari dikenal sebagai panglima perang yang disegani, bergelar Laksamana Hang Tuah.
Pada abad ke-17 merupakan masa kedatangan orang Bugis 5 bersaudara; Upu Daeng Parani, Upu Daeng Manambong, Upu Daeng Marewa, Upu Daeng Cellaq, dan Upu Daeng Kemasi. Kelima bangsawan Bugis ini berhasil menghalau Raja Kecil dari Minang yang telah mengkudeta Sultan Riau. Lantaran kesuksesannya itu, para bangsawan Bugis digelari Raja Muda yang selanjutnya kawin-mawin di tanah Melayu.
Namun, kehidupan masyarakat Bugis Makassar di negeri rantau tidak selamanya mulus. Mereka tampaknya ditakdirkan untuk menjadi dewa penolong bagi Negara yang lagi kacau balau, namun segera dikucilkan setelah negeri tersebut aman. Pengusiran ini dipelopori oleh Belanda dan Britis. Dr. Hamid Abdullah dalam “Dinamika Bugis-Makassar”, menuturkan soal kedatangan imigran Bugis-Makassar ke Tanah Linggi, Malaka. Linggi berasal dari nama bahagian buritan kapal (perahu Bugis) dan nama itu dipakai seterusnya dalam upaya membuka lahan pemukiman yang baru. Daerah linggi ini pun dengan cepat dianggap sebagai pemukiman harapan, migrasi Bugis-Makassar ke Daerah Linggi sebagai akibat langsung dari terusirnya mereka dari kesultanan Riau. Pengusiran yang sistematis itu sebagai akibat masuknya pemerintah colonial Belanda yang berkalaborasi dengan Kesultanan Riau. Pada 10 November 1784 disusun perjanjian antara kerajaan Johor dengan pemerintah Belanda yang diberi nama “Tractaat van Altoos Durende, Getrouwe Vriend end Bondgenoctschap”. Perjanjian tersebut berisi aturan yang mewajibkan warga Riau asli memegang jabatan di Kesultanan, sehingga berakibat fatal bagi posisi Bugis-Makassar dalam dunia politik Kerajaan Johor.
Pengusiran itu bukan menjadi halangan bagi Bugis-Makassar untuk merebut kembali martabatnya. Mereka kembali mengarungi lautan, menerobos sungai, merambah dan membuka hutan untuk pemukiman baru. Semangat juang mereka tak surut, dan justru tambah bersemangat. Orang Bugis-Makassar menyulap kawasan hutan lebat menjadi tanah pertanian yang subur. Sungai Ujong di pinggir hutan Linggi dibersihkan dan dibuka untuk lalu lintas perdagangan. Kian lama pelayaran rakyat melewati alur Sungai Ujong kian ramai dan menjadikan Linggi sebagai salah satu kawasan penting. Sehingga pada awal abad ke-19 Linggi menjelma menjadi daerah otonomi yang luas sedangkan orang Bugis-Makassar pun telah memiliki struktur pemerintahan lokal tersendiri. Tentunya, perinsip siri’ dan pace lah yang terus membakar semangat mereka, sehingga tidak jatuh mental ketika terusir dari kesultanan Riau.
Banyak alasan yang membuat masyarakat BM melakukan perantauan. Jika ditengok ke belakang, pelayaran dan penjelajahan ke negeri seberang sudah menjadi tradisi kuno, bahkan telah menjelma dalam prilaku asli Bugis-Makassar. Sebut saja kisah armada Sriwijaya pada abad ke-7 M yang dapat mengarungi samudra hingga ke Madagaskar dan negeri-negeri jauh untuk membawa emas dari Swarnadwipa (Sumatera). Atau kisah para pelaut asing yang membantu kekaisaran Cina masa lampau untuk menjajakan hasil bumi dan peradabannya tersebar ke seantaro bumi, serta kisah munculnya pelaut ulung di negeri Srilangka yang berbadan kekar. Ke semua kisah itu, tak lain dilakoni oleh para pelaut ulung Bugis dan Makassar.
Tradisi di atas pun menjadi salah satu faktor penunjang mentalitas masyarakat Bugis-Makassar, yang menekankan bahwa salah satu fase hidup manusia BM adalah merantau. Dengan merantau, laki-laki Bugis-Makassar dapat meresapi arti hidup yang sebenarnya. Ia pun mendapatkan kedewasaan dalam perantauannya. Selain itu, mereka juga selalu mengimpikan kebebasan dan kejayaan, serta hayalan tentang kesatriaan dan negeri baru yang menawarkan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Alasan pendorong yang lain disebabkan oleh kekacauan di daerah asal akibat perang. Peperangan lokal yang terjadi pada abad ke-16 hingga ke-18 secara tidak langsung membuat sebagian dari warga BM membulatkan tekad untuk merantau demi menemukan kembali harga diri dengan melawan penindasan, ataupun memperoleh ketenangan dan kedamaian di negeri seberang.
Selain itu, rasa malu (siri’) akibat menderita kekalahan perang menyebabkan mereka meninggalkan negeri asal untuk mengambil kembali martabatnya dengan berbuat baik di negeri rantau. Kekalahan di daerah asal menyebabkan harga diri jatuh pada titik nadir, sehingga untuk memulihkan siri’ mereka terpaksa harus mengarungi samudra yang luas itu. Untuk orang Bugis-Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga siri’ nya, sehingga kalau mereka merasa tersinggung atau ripakasiri’ atau dipermalukan, mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan siri’nya daripada hidup tanpa siri’. Meninggal untuk menjaga siri’ dalam alam berfikir orang Bugis Makassar bak mati yang diberi gula dan santan (mate rigollai, mate risantangi).
Setelah dikalahkan oleh VOC Belanda pada abad ke-17 silam itu, warga Bugis-Makassar tersebar ke berbagai tanah rantau dengan dipimpin oleh bangsawan-bangsawannya. Misalnya, Laksamana Karaeng Bontomarannu dan Laksamana Muda Karaeng Galesong melarikan diri ke Jawa untuk membantu pasukan Trunojoyo yang berperang melawan Belanda dan Mataram. Sementara adik Sultan Hasanuddin, Daeng Mangelle yang mulanya menyingkir ke Jawa lalu pada 1664 merantau dan menetap di Ayuthia, Siam dengan ditemani 60 keluarga Makassar. Hingga pada akhirnya pasukan Daeng Mangelle yang jumlahnya sekira 500-an harus menegakkan siri’ dengan melakukan pertempuran hingga titik darah penghabisan dengan pasukan Siam bergabung dengan Perancis, Inggris dan Portugis yang jumlah total pasukan hingga 10.000 tentara.
Orang-orang Bugis banyak menempati daerah rantau seperti Samarinda, Pegatan, Bima, Kalimantan Barat, Riau,Tumase’ (Singapura),Johor, mereka pun dipimpin oleh para Matoa dagang. Sementara orang Makassar diperkirakan ke daerah-daerah yang pernah ditaklukkan oleh Gowa pada permulaan abad ke-17, yaitu Bima, Sumbawa, Banggai, Timor, Sumba, Dompu, Sanggar, Kutai, Berau, Buton, Muna, Bungku, Solor, Tedak, Manggarai, Limboto, Gorontalo, Tondano dan Sangir, Buru, Tobea dan Bebe. Diperkirakan yang terbanyak dituju ialah Bima dan Sumbawa, karena sejak tahun 1618 terjadi kawin-mawin antara orang Makassar, Bugis dan orang-orang Sumbawa dan Bima.
Kiprah Bugis Makassar di Negeri Melayu
Bukti kesohoran masyarakat Bugis-Makassar terekam jelas dalam kisah-kisah kepahlawanan kerajaan Johor, serta kerajaan Melayu lainnya. Warga BM tidak hanya menjadi pelaut dan pedagang yang ulung, tapi juga selalu berhasil menarik hati penguasa daerah setempat untuk senantiasa bekerjasama dalam mempertahankan kedudukan kerajaan. Para perantau itu pun bak dewa penolong kerajaan yang sudah hampir runtuh, mereka menjelma menjadi kesatria gagah berani, yang selalu memenangkan peperangan. Dengan begitu, kerajaan-kerajaan Melayu kembali tegak, sedangkan warga BM mendapat posisi terhormat dan sangat dibanggakan oleh masyarakat setempat. Ya, jejak kegesitan, keuletan, atau pun kejujuran warga perantauan itu tampak jelas dalam khasanah sejarah bangsa Melayu.
Dalam buku Tuhfat Al-Nafis karya Raja Ali Al-Haji berkisah banyak tentang kekesatriaan pelaut-pelaut Bugis-Makassar dalam membantu membentuk kerajaan-kerajaan Riau pada akhir abad pertengahan. Disebut dalam karya itu bahwa pada masa pemerintahan pemerintahan Mansur Shah tahun 1440 M, Malaka diserang armada kuat yang datang dari Makassar. Setelah kedatangan armada Makassar kali itu, kontak antar kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka dengan Kerajaan Gowa kian erat. Sebagai tanda persahabatan, Raja Johor Sultan Mansur Shah mengirim ke Gowa beberapa bingkisan sebagai hadiah. Lalu dibalas oleh Raja Gowa dengan mengirim seorang bangsawan bernama Daeng Mampawa, yang kemudian hari dikenal sebagai panglima perang yang disegani, bergelar Laksamana Hang Tuah.
Pada abad ke-17 merupakan masa kedatangan orang Bugis 5 bersaudara; Upu Daeng Parani, Upu Daeng Manambong, Upu Daeng Marewa, Upu Daeng Cellaq, dan Upu Daeng Kemasi. Kelima bangsawan Bugis ini berhasil menghalau Raja Kecil dari Minang yang telah mengkudeta Sultan Riau. Lantaran kesuksesannya itu, para bangsawan Bugis digelari Raja Muda yang selanjutnya kawin-mawin di tanah Melayu.
Namun, kehidupan masyarakat Bugis Makassar di negeri rantau tidak selamanya mulus. Mereka tampaknya ditakdirkan untuk menjadi dewa penolong bagi Negara yang lagi kacau balau, namun segera dikucilkan setelah negeri tersebut aman. Pengusiran ini dipelopori oleh Belanda dan Britis. Dr. Hamid Abdullah dalam “Dinamika Bugis-Makassar”, menuturkan soal kedatangan imigran Bugis-Makassar ke Tanah Linggi, Malaka. Linggi berasal dari nama bahagian buritan kapal (perahu Bugis) dan nama itu dipakai seterusnya dalam upaya membuka lahan pemukiman yang baru. Daerah linggi ini pun dengan cepat dianggap sebagai pemukiman harapan, migrasi Bugis-Makassar ke Daerah Linggi sebagai akibat langsung dari terusirnya mereka dari kesultanan Riau. Pengusiran yang sistematis itu sebagai akibat masuknya pemerintah colonial Belanda yang berkalaborasi dengan Kesultanan Riau. Pada 10 November 1784 disusun perjanjian antara kerajaan Johor dengan pemerintah Belanda yang diberi nama “Tractaat van Altoos Durende, Getrouwe Vriend end Bondgenoctschap”. Perjanjian tersebut berisi aturan yang mewajibkan warga Riau asli memegang jabatan di Kesultanan, sehingga berakibat fatal bagi posisi Bugis-Makassar dalam dunia politik Kerajaan Johor.
Pengusiran itu bukan menjadi halangan bagi Bugis-Makassar untuk merebut kembali martabatnya. Mereka kembali mengarungi lautan, menerobos sungai, merambah dan membuka hutan untuk pemukiman baru. Semangat juang mereka tak surut, dan justru tambah bersemangat. Orang Bugis-Makassar menyulap kawasan hutan lebat menjadi tanah pertanian yang subur. Sungai Ujong di pinggir hutan Linggi dibersihkan dan dibuka untuk lalu lintas perdagangan. Kian lama pelayaran rakyat melewati alur Sungai Ujong kian ramai dan menjadikan Linggi sebagai salah satu kawasan penting. Sehingga pada awal abad ke-19 Linggi menjelma menjadi daerah otonomi yang luas sedangkan orang Bugis-Makassar pun telah memiliki struktur pemerintahan lokal tersendiri. Tentunya, perinsip siri’ dan pace lah yang terus membakar semangat mereka, sehingga tidak jatuh mental ketika terusir dari kesultanan Riau.
Keterlibatan masyarakat Bugis-Makassar dalam kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu tampak cukup pelik. Mereka dengan terpaksa ikut terlibat perang, hiruk pikuk dalam memperebutkan kekuasaan dan mahkota kerajaan Riau, Johor, Pahang, Kedah dan Selangor. Aktivitas berupa intrik politik, komplot, skandal adalah peristiwa yang berulang setiap saat, yang kadang mengambil korban keluarga sendiri. Seringkali pula mereka dijebak untuk memihak pada salah satu golongan, sehingga membuat kelompok mereka terpecah-pecah. Sehingga anak keturunan Bugis-Makassar saling bersitegang karena berbeda keberpihakan.
Kekesatrian masyarakat yang lahir dari keyakinan mendalam pada filosofi siri’ na pacce tampak pada kesetiaan dan loyalitas yang tinggi terhadap kepercayaan raja di negeri rantau. Mereka pun dengan lantang mengucapkan sumpah setia, seperti yang ditunjukkan Upu Kelana Jaya Putera yang saat itu hendak diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda yang akan memerintah Riau, Pahang dan Johor. Sumpah setia itu dikenal dengan tradisi Mangaruq (Bugis), angngaruq (Makassar) di hadapan Yang Dipertuan Besar Sultan Upu Kelana Jaya Putera sembari berteriak: “Yakinlah Sultan Badru’l Alam Shah, akulah Yang Dipertuan Muda yang memerintah kerajaanmu! Barang tiada suka membujur di hadapanmu, aku lentang! Dan barang yang tiada suka melintang di hadapanmu, kubujurkan! Barang yang semak berduri di hadapanmu aku cucikan”. Sumpah setia ini adalah bekal yang dibawa mereka dari tanah asalnya, Bugis dan Makassar.
Peranan Bugis dalam Politik Malaysia
Semenjak abad ke-18, pemerintahan negeri Johor banyak bergantung kepada kepahlawanan orang-orang Bugis, yang terkenal dengan keberaniannya dalam berperang. Meski negeri Johor pernah dibawahi oleh Raja dari Sumatera pada 1718-1722, tapi dengan dukungan masyarakat Bugis, Sultan Johor kembali menegakkan kedaulatannya. Sejak saat itu, pahlawan-pahlawan Bugis mempunyai pengaruh dan memainkan peranan yang penting di pemerintahan Negeri Johor.
Setelah kerajaan Makassar turun tahta, banyak keturunan Raja Gowa yang menetap di Pekan, Pahang, daerah kekuasaan Sultan Johor. Mereka kemudian melakukan asimilasi atau kawin-mawin dengan gadis setempat. Salah seorang cicit perempuan Raja Bugis menikah dengan bangsawan Melyu, lalu keturunan dari percampuran ini diperuntukkan baginya sebuah gelar kepemimpinan yang dikenal sebagai Orang Kaya Indera Syahbandar. Peranan mereka yaitu memungut cukai serta menyiapkan para tentara dengan persenjataan yang lengkap.
Pemegang gelar Datu Syahbandar dari generasi ke generasi selalu setia kepada raja, mereka pun selalu tidak enak hati terhadap manuver Inggris yang mulai memengaruhi Kesultanan Pahang. Sehingga dalam jangka waktu singkat intervensi Inggris pun mulai menggerogoti penamaan dan silsilah Datuk Syahbandar. Setelah Dato’ Syahbandar Ali meninggal dunia, gelar yang mesti diarahkan ke Awang Muhammad tiba-tiba dilucutkan selama satu generasi. Gelar itu baru tertitis lagi pada keturunan Awang, yaitu Hussein. Ia diberi gelar pada 1930.
Namun, dalam tempo 20 tahun (1880-2000) British mengambil peranan dalam kehidupan sosial, politik dan pemerintahan di negeri Pahang. Pengambil alihan itu diawali dengan pengenalan sistem Residen melalui Perjanjian Pangkor 1874 melibatkan banyak negeri, yakni Perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang. Namun, akibatnya sistem administrasi yang asing ini membuat Dato Syahbandar secara tak langsung dianggap tidak berperanan lagi. Sekolah modern yang didirikan Inggris pun mengeliminir kemugkinan model pemerintahan tradisional, yang diajarkan kepada mereka adalah bagaimana mempersiapkan tenaga kerja yang dapat mengisi pos dinas-dinas pemerintahan daerah.
Hussein merupakan anak aristokrat Malayu yang merupakan generasi pertama untuk belajar di Maktab Melayu Kuala Kangsar pada 1905. Pada umur 1920 ia menikahi Fatimah, gadis jelita dari Pulau Keladi yang nantinya dianugerahi anak bernama Abdul Razak. Nah, Tun Abdul Razak inilah Perdana Menteri Malaysia yang kedua (1970-1975) yang merupakan keturunan Makassar. Sedangkan anaknya yang bernama Dato’ Seri Najib mewarisi kepemimpinan Bugis, yang jika ditelusuri merupakan keturunan Sultan Abdul Jalil atau Abdul Jalil atau Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone, Raja ke-15 di Kerajaan Gowa. Tun Abdul Razak pun merasa bersyukur karena telah mewarisi kepemimpinan Bugis yang dengan semangat kepahlawan untuk memantapkan kekuatan dan perpaduan Rumpun Melayu.
Kepemimpinan setelah Tun Abdul Razak pun tetap menjalin hubungan diplomatik yang erat antar Indonesia-Malaysia. Baik sejak Tunku Abdul Rahman hingga kepemimpinan Dato’ Seri Abdullah Ahmad Badawi. Dan Dato’ Seri Najib Tun Razak, perdana menteri Malaysia saat ini yang juga merupakan keturunan Bugis juga menekankan hal tersebut dalam sebuah pantun beliau: “Menobatkan Raja di Negeri Linggi, Keturunan pula para wali, kita serumpun, walau tak senegeri; kekalnya ikatan simpul mati”.
Selain tokoh politik, terdapat pula beberapa tokoh berpengaruh di Malaysia yang merupakan keturunan Bugis-Makassar, seperti Arena Wati, Elang di Negeri Melayu. Sosok asal Sulsel dan bernama lengkap Muhammad Dahlan bin Abdul Biang ini merupakan salah seorang maestro sastra terbesar abad ini di negeri Jiran. Berbagai penghargaan telah ia peroleh, antara lain: anugerah SEA Write Award (Pemerintah Tailand, 1985), anugerah Sastrawan Negara (Malaysia, 1987), anugerah MASTERA 1 Brunei, dan Anugerah Doktor Persuratan (Universiti Kebangsaan Malaysia, 2003), serta beragam penghargaan lain yang berasal dari dalam dan luar negeri.
Dengan demikian, pengaruh dan semangat Bugis-Makassar masih menghangat di negeri Jiran, semangat rindu akan kepahlawanan, keyakinan dan keteguhannya dalam menegakkan kebenaran.
Tulisan ini merupakan pengantar proposal untuk penelitian kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar di Tanah Melayu... semoga bermanfaat.. doakan semoga berhasil.