Kapten Raymond “Turki” Westerling |
Oleh Batara R. Hutagalung
Setelah Cultuurstelsel, Poenale Sanctie dan Exorbitante Rechten, Westerling adalah hal terburuk yang "dibawa" Belanda ke Indonesia. Mungkin bab mengenai Westerling termasuk lembaran paling hitam dalam sejarah Belanda di Indonesia. Yang telah dilakukan oleh Westerling serta anak buahnya adalah war crimescrimes against humanity). Menurut International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda, crimes against humanity adalah kejahatan terbesar kedua setelah genocide (pembantaian etnis). Belanda dan negara-negara Eropa yang menjadi korban keganasan tentara Jerman selama Perang Dunia II selalu menuntut, bahwa untuk pembantaian massal atau pun kejahatan atas kemanusiaan, tidak ada kadaluarsanya. Di sini negara-negara Eropa tersebut ternyata memakai standar ganda, apabila menyangkut pelanggaran HAM yang mereka lakukan.
Ulah Westerling serta anak buahnya baik di Medan, Sulawesi Selatan, Jawa Barat mau pun dalam peristiwa APRA, hingga kini belum ada penyelesaiannya. Oleh karena itu perlu kiranya diungkap lebih rinci, hal-hal yang sehubungan dengan pembantaian di Sulawesi Selatan dan "kudeta APRA", juga konspirasi pimpinan tertinggi Belanda, baik sipil mau pun militer untuk menyelamatkan Westerling dari pengkapan dan pengadilan di Indonesia, setelah gagalnya kudeta APRA tersebut.
Westerling, yang bagi sebagian besar rakyat Indonesia adalah seorang pembunuh kejam berdarah dingin, namun bagi sebagian orang Belanda dia adalah seorang pahlawan yang hendak "menyelamatkan" jajahan Belanda dari kolaborator Jepang dan elemen komunis.
Tahun 1999 di Belanda terbit satu buku dengan judul Westerling's Oorlog (Perangnya Westerling) yang ditulis oleh J.A. de Moor. Boleh dikatakan, ini adalah buku yang sangat lengkap dan rinci mengenai sepak-terjang Westerling selama di Indonesia dan pelariannya dari Indonesia setelah "kudetanya" yang gagal. Nampaknya ada hal-hal yang selama ini belum diketahui di Indonesia, terutama menyangkut penugasannya di Sulawesi Selatan dan latar belakang rencana "kudeta", yang rupanya telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda, dan kemudian kerjasama tingkat tinggi Belanda meloloskan Westerling dari penangkapan pihak Republik. Buku ini penting sekali untuk diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Dalam Perang Dunia II, tentara Belanda di Eropa yang hancur “dilindas” tentara Jerman hanya dalam waktu 3 hari dan tentara India-Belanda, yang di Jawa tergabung dalam ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command) dihancurkan oleh tentara ke XVI Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura.
Tentara Belanda masuk kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara Inggris, yang ditugaskan oleh Allied Forces (Tentara Sekutu) untuk melucuti senjata tentara Jepang dan membebaskan para interniran Eropa dari tahanan Jepang serta memulihkan ketertiban dan keamanan. Lord Louis Mounbatten, Supreme Commander South East Asia menugaskan Letnan Jenderal Sir Philip Christison memimpin Allied Forces in the Netherlands-Indies –NEFIS (Tentara Sekutu di India Belanda).
Tanggal 27 Agustus 1945, Letnan C.A.M. Brondgeest dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda memimpin 11 orang yang diterjunkan di Pangkalanbrandan. Brondgeest ditugaskan untuk mengkoordinasi pemulihan tawanan serta interniran Sekutu yang berada di Sumatera Utara. Pada 6 September 1945 Brondgeest mulai merekrut semua orang mantan tentara KNIL yang berada di kota Medan dan sekitarnya. Dalam waktu singkat dia dapat mengumpulkan ratusan orang dan mereka direkrut menjadi polisi yang membantu Brondgeest.
Kemudian pada 14 September 1945, Letnan II (Cadangan) Raymond Paul Pierre Westerling dengan pesawat udara mendarat di Medan memimpin rombongan dengan nama sandi Status Blue, yang terdiri dari Sersan B. de Leeuw, Sersan J. Quinten, Liaison Officer Inggris Kapten Turkhaud dan Prajurit Sariwating asal Ambon. Westerling membawa seragam dan persenjataan untuk 175 orang. Mereka diperbantukan kepada Brondgeest.
Westerling lahir di Istambul, Turki, pada 31 Agustus 1919 sebagai anak kedua dari Paul Westerling dan Sophia Moutzou, yang berasal dari Yunani. Westerling, yang dijuluki “si Turki” karena lahir di Istambul, mendapat pelatihan khusus di Skotlandia. Dia masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolferhampton, dekat Birmingham. Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia. Seorang instruktur Inggris sendiri mengatakan pelatihan ini sebagai: “It’s hell on earth” (neraka di dunia). Pelatihan dan pelajaran yang mereka peroleh antara lain “unarmed combat”, “silent killing”, “death slide”, “how to fight and kill without firearms”, ”killing sentry” dsb. Setelah bertugas di Eastbourne sejak 31 Mei 1943, maka bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya pada 15 Desember 1943 Sersan Westerling berangkat ke India untuk betugas di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten Panglima South East Asia Command (Komando Asia Tenggara). Mereka tiba di India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan di Kedgaon, 60 km di utara kota Poona.
Pada 15 Maret 1944 di London, Belanda mendirikan Bureau Bijzondere Opdrachten -BBO (Biro untuk Tugas Istimewa), kemudian Markas Besarnya berkedudukan di Brussel dan dipimpin oleh Pangeran Bernhard. Pada 23 Oktober 1944, Westerling dipanggil untuk bertugas di BBO di Brussel, dan pada 1 Desember 1944 pangkatnya naik menjadi Sersan Mayor. Tanggal 25 Juni 1945 dia masuk ke dinas KNIL dengan pangkat (reserve) tweede luitenant (Letnan II Cadangan) dan ditugaskan di Sri Lanka pada Anglo-Dutch Country Section yang di kalangan Belanda disebut Korps Insulinde (KI). Di Eropa, Jerman sudah menyerah dan kekalahan tentara Jepang hanya tinggal menunggu waktu saja. Di Australia dan Sri Lanka, Belanda melakukan persiapan besar-besaran untuk kembali ke Indonesia.
Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat mau pun udara yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan tentara Republik. Segera setelah diangkat menjadi Panglima tertinggi Tentara Belanda di Hindia Belanda, Letnan Jenderal Spoor mengemukakan rencananya untuk membentuk pasukan infanteri, komando serta parasutis yang mendapat pelatihan istimewa.
Pada 3 Maret 1946, 60 orang serdadu Belanda pertama kali tiba di Indonesia dan langsung dibawa ke Bandung, di mana mereka memperoleh pelatihan dari seorang perwira Belanda mantan anggota Korps Insulinde. Setelah itu, realisasi untuk pembentukan pasukan parasutis berjalan dengan cepat. Pada 12 Maret 1946, Letnan KNIL Jhr. M.W.C. de Jonge, Letnan KNIL Sisselaar dan Letnan KNIL A.L. Cox (dari Angkatan Udara) ditugaskan ke Eropa untuk melakukan penelitian serta meminta bantuan dari unit parasutis Inggris dan melakukan segala sesuatu yang memungkinkan pelatihan parasutis di Hindia Belanda.
Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek, dua perwira Belanda yang pernah bertugas di Korps Insulinde, dipanggil dari Sri Lanka ke Jakarta untuk menjadi pelatih calon pasukan para. Pada 15 Maret 1946 secara resmi School voor Opleiding van Parachutisten – SOP (Sekolah Pelatihan Parasutis) didirikan dan Kapten C. Sisselaar menjadi komandan pertamanya. Pasukan jebolan SOP inilah yang kemudian digunakan dalam agresi militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948 untuk menduduki Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia waktu itu.
Agar supaya tidak dapat diketahui oleh pihak Republik, kamp pelatihan dipilih sangat jauh, yaitu di Papua Barat. Semula dipilih Biak, di mana terdapat bekas pangkalan udara tentara Amerika yang masih utuh. Kemudian pada bulan April tempat pelatihan dipindahkan ke Hollandia, juga di Papua Barat, yang arealnya dinilai lebih tepat untuk dijadikan kamp pelatihan.
Yang dapat diterima menjadi anggota pasukan para tidak boleh melebihi tinggi 1,85 m dan berat badan tidak lebih dari 86 kg. Selain tentara yang berasal dari Belanda, orang Eropa dan Indo-Eropa juga pribumi yang menjadi tentara KNIL ikut dilatih di sini. Mereka berasal dari suku Ambon, Menado, Jawa, Sunda, Timor, Melayu, Toraja, Aceh dan beberapa orang Tionghoa. Pelatihan yang dimulai sejak bulan April 1946 sangat keras, sehingga banyak yang tidak lulus pelatihan tersebut. Sekitar 40% pribumi, 20% orang Eropa dan 15% orang Indo-Eropa dinyatakan tidak lulus menjalani pelatihan.
Pada 1 Mei 1947 telah terbentuk Pasukan Para I (1e para-compagnie) yang beranggota 240 orang di bawah pimpinan C. Sisselaar, yang pangkatnya naik menjadi Kapten. Pada 1 Juni 1947, pasukan para tersebut dibawa ke lapangan udara militer Belanda, Andir (sekarang bandara Hussein Sastranegara), di Bandung. Dengan demikian pasukan ini berada tidak jauh dari kamp pelatihan tentara KNIL di Cimahi. Namun parasut yang dipesan sejak bulan Desember 1946 di Inggris baru tiba pada bulan Oktober 1947.
Untuk Angkatan Darat, dibentuk pasukan khusus seperti yang telah dilakukan oleh tentara Inggris di Birma. Jenderal Mayor Charles Orde Wingate (1903 – 1944) yang legendaris membentuk pasukan khususnya yang sangat terkenal yaitu “The Chindits”, yang sanggup menerobos garis pertahanan musuh untuk kemudian beroperasi di belakang garis pertahanan musuh. Taktik seperti ini kemudian dikenal sebagai “Operasi Wingate”, yang juga dipergunakan oleh TNI selama agresi militer Belanda II.
Sejak kedatangannya di Indonesia pada bulan Desember 1945, Kapten KNIL W.J. Schneepens mengembangkan gagasan untuk membentuk suatu “speciaale troepen” (pasukan khusus) dalam KNIL (Ayahnya, Lekol W.B.J.A. Scheepens adalah perwira Korps Marechaussee –marsose- yang bertugas di Aceh. Dia tewas pada tahun 1913 akibat tusukan rencong). Gagasan ini kemudian mendapat persetujuan pimpinannya. Pada 15 Juni 1946 dia mendirikan pusat pelatihan yang dinamakan Depot Speciale Troepen – DST (Depot Pasukan Khusus) yang ditempatkan langsung di bawah Directoraat Centrale Opleidingen - DCO (Direktorat Pusat Pelatihan) yang dipimpin oleh Mayor Jenderal KNIL E. Engles. Direktorat ini baru dibentuk setelah Perang Dunia II untuk menangani pelatihan pasukan yang akan dibentuk di Hindia Belanda. Kamp dan pelatihan DST ditempatkan di Polonia, Jakarta Timur.
Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi Komandan pasukan khusus ini. Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat, dan pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Namun dia berhasil meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan, dan setelah “berhasil” menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan namanya membumbung tinggi.
Di kancah diplomasi, untuk perundingan selanjutnya Pemerintah Inggris mengirim seorang diplomat senior lain, Lord Miles Lampson Killearn, menggantikan Sir Archibald Clark-Kerr, yang karena jasa-jasanya, tingkat kebangsawanannya naik; Sir Archibald Clark Kerr kemudian begelar Lord Inverchapel dan mendapat tugas di Washington.
Letnan Jenderal Sir Philip Christison, yang paling dibenci oleh Belanda, kemudian diganti oleh Letnan Jenderal Sir Montague (“Monty”) Stopford, seorang keturunan langsung dari Admiral Stopford, komandan armada Inggris yang bersama Sir Thomas Stamford Raffles mengusir tentara Belanda dari India Belanda tahun 1811. Jenderal Stopford tidak lama bertugas di Indonesia karena dia sangat tidak menyenangi situasi yang dihadapi, yang dinilainya penuh ketidakjujuran dan intrik, dan tidak cocok untuk seorang perwira dan gentleman. Pada suatu kesempatan, dia mengatakan kepada van der Post (lihat: Post, Sir Laurens van der, The Admiral’s Baby, John Murray, London 1996 hlm. 268):
“I cannot imagine circumstances more lethal for a simple soldier than this mess of pottage you have in Indonesia.”
Laurens van der Post adalah seorang perwira tentara Inggris kelahiran afrika Selatan, yang bertugas di Indonesia (India-Belanda) dan diinternir selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada bulan September 1945, dia diangkat menjadi Gubernur Militer tentara Inggris untuk Jakarta (Batavia).
Stopford kemudian digantikan oleh Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, Panglima Divisi 5 –penghancur dan pembantai Surabaya November 1945- yang menjadi Panglima AFNEI sampai penarikan seluruh tentara Inggris, 15th British Army Corps, dari Indonesia pada akhir bulan November 1946.
Gilbert MacKereth, atasan van der Post, semula adalah Konsul Jenderal Inggris kemudian diangkat menjadi The British Minister in Indonesia. Di akhir masa tugasnya di Indonesia, dia membuat laporan kepada Pemerintah Inggris, di mana dia memberikan catatan, bahwa perilaku Belanda dan militernya yang brutal terhadap rakyat Indonesia telah membuat syok serdadu Inggris. Mengenai laporan Mackereth, van der Post menulis:
“… Gilberth MacKereth, in his own report to the Secretary of State at the end of his mission, was to remark how the brutal behaviour of the Dutch and their soldiery towards the Indonesians had schocked the ordinary British soldiers.”
Sayang MacKereth tidak menyampaikan hal tersebut pada awal melainkan di akhir masa tugasnya di Indonesia, sehingga kebiadaban tentara Belanda serta antek-anteknya terhadap rakyat Indonesia tidak diketahui di Inggris. Selain itu MacKereth juga tidak menyampaikan, kekejaman tentara Inggris terhadap rakyat Indonesia, terutama di Surabaya pada bulan November 1945.
Sementara itu, dua Divisi tentara Australia di bawah Letnan Jenderal Leslie "Ming the mercyless" Morshead “membersihkan” kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia di wilayah Indonesia Timur, dan setelah wilayah tersebut “bersih dan aman”, diserahkan kepada Netherlands-Indies Civil Administration (NICA), sesuai persetujuan CAA (Civil Affairs Agreement) yang ditandatangani di Chequers, dekat London, pada 24 Agustus 1945.
Sebenarnya persetujuan tersebut antara Inggris dan Belanda, di mana Inggris membantu Belanda “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia yang baru menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dan setelah kekuatan bersenjata RI dihancurkan, maka wilayah tersebut diserahkan kepada NICA. Namun karena Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South-East Asia tidak mempunyai cukup pasukan, hanya 3 British-Indian Divisions, maka tentara Inggris dibantu dua Divisi Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie Morsehead -yang karena kekejamannya mendapat julukan "Ming the Merrciless", tokoh kejam dalam cerita fiksi Flash Gordon- yang sebelumnya termasuk Komando Pasifik Baratdaya (South-West Pacific Area Command) pimpinan Letnan Jenderal Douglas MacArthur (Hutagalung-2001, hlm. 164 – 165). Hal ini jelas penyalahgunaan tugas dari Allied Forces (tentara Sekutu).
Setelah menganggap bahwa Indonesia Timur telah “bersih” dan aman, maka pada 13 Juli 1946 tentara Australia “menyerahkan” wilayah Indonesia Timur kepada Netherlands-Indies Civil Administration.
Inggris yang kemudian diwakili oleh Lord Killearn, memfasilitasi kembali perundingan lanjutan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda yang dimulai pada 7 Oktober 1946. (lihat: Hatta, Drs. Mohammad, Memoir, Tintamas Indonesia, Jakarta 1962, hlm. 493). Delegasi Republik tetap dipimpin oleh Perdana Menteri Syahrir, dan delegasi Belanda kini dinamakan Komisi Jenderal yang dipimpin oleh Profesor Willem Schermerhorn, mantan Perdana Menteri Belanda. Tanggal 14 Oktober diumumkan berlakunya gencatan senjata. Hal ini sangat diinginkan oleh Inggris, agar mereka dapat dengan tenang menarik seluruh tentaranya dari medan pertempuran melawan Republik, serta memulangkan para prajurit yang telah jenuh dengan perang -sejak tahun 1939, sejak pecahnya Perang Dunia II di Eropa- kembali ke negaranya.
Pada 11 November 1946 tempat perundingan dipindahkan ke Linggajati, dekat Cirebon, sehingga hasil perundingan tersebut kemudian dinamakan Persetujuan Linggajati. Butir yang terpenting bagi Indonesia tertuang dalam pasal 1, yaitu:
“Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera. Adapun daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Serikat atau tentara Belanda, dengan berangsur-angsur dan dengan kerjasama antara kedua belah pihak akan dimasukkan pula ke dalam Daerah Republik.”
Tragedi kemanusiaan di Sulawesi Selatan
Sementara di Linggajati tengah dilakukan perundingan, di daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, setelah menghadapi perlawanan sengit dari rakyat setempat, tentara Belanda melancarkan teror serta pembantaian masal terhadap penduduk di daerah-daerah yang mendukung Republik.
Walau pun banyak pemimpin mereka ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh, perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan tidak kunjung padam. Hampir setiap malam terjadi serangan dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda. Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan, karena tentara KNIL yang sejak bulan Juli menggantikan tentara Australia, tidak sanggup mengatasi gencarnya serangan-serangan pendukung Republik. Mereka menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda di Jakarta, bahwa apabila perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak dapat diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan.
Maka pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Buurman van Vreeden memanggil seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di Batavia. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari DST pimpinan Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu.
Pada 15 November 1946, Letnan I Vermeulen memimpin rombongan yang terdiri dari 20 orang pasukan dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju Makassar. Sebelumnya, NEFIS telah mendidikan markasnya di Makassar. Pasukan khusus tersebut diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang telah terbentuk sejak Oktober 1945. Anggota DST segera memulai tugas intelnya untuk melacak keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta para pendukung mereka.
Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya di desa Matoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter InsurgencyVoorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), di mana telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Suatu buku Pedoman untuk Counter Insurgency.
Aksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu desa Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di desa Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.
Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.
Fase kedua dimulai, yaitu mencari “kaum ekstremis”, “perampok”, “penjahat” dan “pembunuh.” Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama “teroris” yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantunya mengidentifikasi para “teroris” tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama Standrechtelijke excecuties– eksekusi di tempat, tanpa proses pengadilan, tuntutan dan pembelaan. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah "11 ekstremis", "23 perampok" dan "seorang pembunuh.”
Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depa, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir “teroris dan perampok.” Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 rakyat desa.
Demikianlah “sweeping a la Westerling.” Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.
Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran desa Kalungkuang yang terletak di pinggiran kota Makassar. Hasilmya: 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Mongisidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang “teroris” dieksekusi.
Setelah daerah sekitar Makassar “dibersihkan”, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polombangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar bersenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan desa Komara. Pasukan lain mengurung Polombangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh.
Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Goa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan kerjasama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.
Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1946 Jenderal Spoor memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh. Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Pare-Pare dan dilanjutkan di Madello (15.1.), Abokangeng (16.1.), Padakalawa (17.1.), satu desa tak dikenal (18.1.) Enrekang (18.1.) Talanbangi (19.1.), Soppeng (22.1), Barru (25.1.) Malimpung (27.1) dan Suppa (28.1.).
Seorang saksi mata yang menyaksikan sendiri pembantaian yang dilakukan tentara Belanda di bawah Westerling dan kemudian menjadi korban pemerkosaan oleh seorang perwira Belanda adalah Sitti Hasanah Nu’mang (lihat: Nu’mang, Sitti Hasanah, dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45, Grasindo, Jakarta 1995, hlm 258 – 263). Berikut ini adalah cuplikan penuturannya:
'... Dengan tidak diduga-duga, serdadu NICA mulai mendatangi rumah, dan membawa ayah pergi. Tidak lama kemudian, mereka datang lagi untuk mengambil paman saya, Puang Side. Datang yang ketiga kalinya, tibalah giliran saya dibawa ke kantor MP (Polisi Militer). Di sini saya bertemu ayah, Puang Side dan banyak lagi teman-teman seperjuangan yang lain.
Dua minggu di sel MP bersama ayah dan Puang Side, kami lalu dibawa ke penjara besar Pare-Pare. Kami bertemu lagi dengan teman-teman seperjuangan. Kira-kira sebulan lebih menjadi penghuni rumah tahanan.
Pagi itu tanggal 4 Januari 1947, kira-kira pukul 08.00, sebuah jeep MP berhenti di depan penjara besar Pare-Pare. Seorang sersan mayor turun dari jeep itu diikuti beberapa militer yang lain. Mereka berseragam loreng, bertopi baja, lengkap bersenjata sangkur terhunus, bahkan ada yang menyandang stengun. Mereka masuk penjara, kemudian memanggil satu presatu nama tahanan Merah-Putih yang belum diadili. Lalu kami disuruhnya berbaris dua-dua keluar penjara menuju kantor. Sampai di depan kantor, kami disuruh jongkok di tanah. Tidak lama kemudian, kami diperintahkan lagi keluar menuju lapangan tenis. Begiru kami berhenti, kami dibentak disuruh berangkat menuju ke barat. Di lapangan tenis, para serdadu tersebut berdiri melingkari barisan kami. Ketika semua sudah jongkok, saya tetap berdiri di tengah, dekat ayah. Saya pikir, jongkok atau berdiri toh akan sama-sama ditembak juga.
Tak lama kemudian, datanglah sebuah jeep, di atasnya duduk dua orang Belanda, seorang berbaret merah, sedangkan yang lain orangnya gemuk becelana pendek dan pakai topi helm. Salah seorangnya ternyata adalah Westerling itu mendekati ayah, dan berteriak, “inilah balasannya! Ekstremis! Perampok! Pemberontak! Saya akan selesaikan satu persatu!!” Kemudian terdengar suara tembakan yang memberondong, yang tidak akan saya lupakan seumur hidup. ayah gugur ..... Satu per satu saudara saya roboh ke tanah. Selesai menembak, westerling melangkah di depan saya lalu menggertak kasar, “Ini perempuan juga mau melawan Belanda ya!?”
“Heh, Tuan, kami bukan perampok! Tuan-tuanlah yang merampok! Ini adalah negeri kami sendiri!!!” teriak saya geram...
...Saya diam termanggu-manggu, heran mengapa saya disisakan, tidak dibunuh bersama yang lain? Tiba-tiba seorang serdadu mendorong saya, saya disuruh naik jeep, kembali ke markas MP. Ketika mesin mulai menderu, saya masih sempat menoleh, melihat jenazah ayah dan saudara-saudara seperjuangan bergelimpangan di tanah ...
Hari itu saya bermalam di MP. Besoknya, saya dibawa lagi ke penjara besar Pare-Pare. setelah semalam di kamar sel, keesokan harinya saya dipindahkan, dicampur dengan perempuan nakal. Di sini saya tinggal lima malam. Malam itu, kira-kira pukul 21.00 malam, kamar saya dibuka penjaga, seorang MP. “Bangun! Dipanggil Tuan Besar!” bentaknya memerintah. Saya tergopoh-gopoh bangun, lalu mengikuti orang yang memanggil, menuju ke kamar Mayor de Bruin. Di situ ada dua orang tamunya, yang kemudian saya kenal sebagai van der Velaan dan seorang KNIL yang saya tidak tahu namanya. Mereka bertiga sedang ngobrol sambil menghadapi minuman keras di meja, membelakangi saya sambil menuang minuman di gelas. Entah minuman keras apa yang dituang, saya tidak lihat. Kemudian minuman itu disodorkannya kepada saya sambil berkata, “Ini limun, bukan apa-apa!” saya dipaksa minum sambil pistolnya dipegang-pegang. Belum seberapa saya meminumnya, kepala saya langsung pusing. Saya melihat dua orang Belanda tadi cepat-cepat ke luar ruang dan ... saya pun tidak sadarkan diri.
Kira-kira pukul 05.00 subuh, saya baru sadar. Saya langsung marah-marah mencaci maki Mayor de Bruin, “Kenapa saya disiksa begini? Kenapa tidak dibunuh saja? Kurang ajar, tidak berperikemanusiaan! Apa ini hukuman yang dijatuhkan kepada saya?!” Subuh itu juga saya tinggalkan kamar itu dan pindah ke kamar saya semula. Dalam kesendirian saya meratapi nasib. Ayah ditembak, saya tercemar dan tidak berdaya ... Hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu...'
Saksi mata dan juga korban lain yang mengalami kekejaman tentara Belanda adalah Hj. Oemi Hani A. Salam (lihat: Salam, Hj. Oemi Hani A., Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ‘45, hlm. 174 – 178), yang menuturkan pengalaman dan penderitaannya:
'... Setelah itu, saya dibawa dan dijebloskan ke dalam tahanan di tangsi KNIL Majene. Jumlah tahanan yang ada bertambah menjadi delapan puluh orang, termasuk Ibu Depu, Siti Ruaidah, Muhamad Djud Pance, dan A.R. Tamma, yang kesemuanya merupakan aktivis PRI, aktivis KRIS muda, atau kedua-duanya.
Saya masih meringkuk dalam kamar tahanan, yang hanya berukuran 3 x 3 m, ketika terjadi peristiwa maut Galung Lombok yang teramat mengerikan pada tanggal 2 Februari 1947. Peristiwa pembantaian yang didalangi anjing-anjing Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di lain-lain daerah. Pada peristiwa yang memilukan hati itu, pahlawan M. Yusuf Pabicara Baru, anggota Dewan Penasihat PRI, bersama dengan H. Ma’ruf Imam Baruga, Sulaiman Kapala Baruga, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut. Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.
Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut “Peristiwa Galung Lombok” itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammdyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.
Dua di antara mereka yang disiksa luar biasa beratnya ialah Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas. Wahab Anas dalam keadaan terjungkir di tiang gantungan, dipukul bertubi-tubi. Darahnya bercucuran keluar dari hidung, mulut dan telinganya. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang bajingan NICA, sampai menghebuskan nafas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.
...Kami bersyuku,r bahwa kami luput dari pembunuhan kejam tersebut karena nama kami, yakni Ibu Depu, Rusidah, saya dan lain-lain tidak terdapat dalam daftar ‘perampok’. ... '
Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada 7 dan 14 Februari di pesisir Tanette; pada 16 dan 17 Februari desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para “ekstremis” bereskalasi di desa Kulo, Amperita dan Maruanging di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan. Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya “teroris, perampok dan pembunuh” yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.
H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.
Demikianlah pembantaian rakyat Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh tentara Belanda yang dipimpin oleh Raymond P.P. Westerling.
Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan, menghianati bangsanya sendiri. Pada aksi di Goa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang selama Perang Dunia II tetap setia kepada Belanda.
Berdasarkan laporan yang diterimanya, Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke Jawa.
Dengan keberhasilan menumpas para “teroris”, tentu saja di kalangan Belanda –baik militer mau pun sipil- reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita: “Pasukan si Turki kembali.” Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.
Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Tanggal 5 Januari 1948, nama DST dirubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling kini memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya kini Kapten.
Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten Raymond “Turki” Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.
Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya “hanya” 600 (!) orang.
Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan “contra-guerilla”, memperoleh “licence to kill” (lisensi untuk membunuh) dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. van Mook. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.
Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tidak ada kadaluarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court.
Catatan:
1. Tulisan ini merupakan cuplikan dari Naskah buku Batara R. Hutagalung, Serangan Umum 1 Maret 1949. Satu Episode Dalam Perjuangan Indonesia. Jakarta 2005.
2. Rincian data mengenai Westerling dan pembantaiannnya di Sulawesi Selatan dikutip a.l. dari:
o J.A. de Moor, Westerling’s Oorlog, Indonesie 1945 – 1950, Uitgeverij Balans, Netherlands, 1999,
o Willem Ijzereef, De Zuid-Celebes Affaire. Kapitein Westerling en de standrechtelijke executies. De Batafsche Leeuw, Groningen, 1984.
o Jan Bank (Editor), De Excessennota, Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950, Sdu Uitgeverij Koninginnengracht, Den Haag, 1995.
3. Pada 27 Agustus 2005, bertempat di kediaman Sdr. Andi Tenri Gappa, saya dapat bertemu dengan Ibu Hj. Oemi Hani A. Salam, yang kini berusia 82 tahun. Beliau masih aktif di kegiatan sosial kemasyarakatan, dan ingatan beliau masih sangat kuat. Ibu Oemi menyampaikan, bahwa beberapa saksi mata kini masih hidup dan dapat memberikan keterangan mengenai pembantaian yang dilakukan oleh Westerling tahun 1946/1947 di Sulawesi Selatan. (kejahatan perang) dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang sangat berat, sebagian besar dengan sepengetahuan dan bahkan dengan ditolerir oleh pimpinan tertinggi militer Belanda. Pembantaian penduduk di desa-desa di Sulawesi Selatan adalah kejahatan atas kemanusiaan ( (NICA). Kemudian van Mook segera memanggil orang-orang Indonesia dari Indonesia Timur pendukung Belanda untuk mengadakan pertemuan di Malino, dekat Makassar, Sulawesi Selatan. Pada 16-22 Juli 1946 Belanda menggelar yang dinamakan Konferensi Malino (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang pada (ICC) di Den Haag, Belanda.
Kredit kepada: http://batarahutagalung.blogspot.com