Diaspora Bugis-Makassar (02): TERLIBAT INTRIK KEKUASAAN DI JANTUNG MELAYU

Oleh Kenedi Nurhan
SETELAH beberapa kali salah jalan, rombongan kecil itu akhirnya tiba juga di sebuah makam bercungkup di puncak tebing merah berbatu kerikil. Hanya sepelemparan batu dari sana, Sungai Bintan mengalir tenang. Di kejauhan, dari selasar makam berwarna kuning menyala itu, debur ombak Selat Melaka sayup terdengar.

Letak makam itu cukup terpencil, berada di antara semak dan kebun kelapa yang tak terurus. Memang tak mudah menemukannya. Bahkan, petugas Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Tanjung Pinang yang membawahkan wilayah ini pun tidak tahu persis jalan menuju makam ‘orang besar’ di masa Kesultanan Melayu (Riau-Johor) tersebut.

Tersesat beberapa kali, dan dua kali salah mendatangi ‘alamat’ makam yang dicari, hanyalah sisi lain dari gambaran awal betapa pendek ingatan sebagian anak negeri ini pada sejarah masa lalu bangsanya. Daeng Marewa (kadang-kadang juga ditulis dengan ‘h’: Daeng Marewah), nama yang tertera pada plakat makam dan papan nama penanda sekaligus peringatan bahwa kawasan ini adalah bagian dari benda cagar budaya, siapakah dia?

Bagi kebanyakan orang, termasuk mereka yang tinggal di Kepualauan Riau dan sekitarnya—juga Johor, Pahang, Selangor dan Kedah di wilayah Tanah Semenanjung, saat ini nama Daeng Marewa hampir tak lagi dikenal. Padahal, sejarah mencatat, Daeng Marewa adalah Yamtuan Muda alias Yang Dipertuan Muda Riau I. Jabatan setingkat perdana menteri itu ia sandang selama sekitar tujuh tahun (1721-1728), dan setelah ia mangkat posisinya digantikan sang adik, Daeng Celak (1728-1745).

Siapakah sesungguhnya Daeng Marewa—juga Daeng Celak—dan bagaimana mereka bisa duduk di tampuk tertinggi kekuasaan Kesultanan Melayu? Bukankah dari nama gelar (baca: daeng) yang mereka sandang, dengan gampang orang bisa mengaitkannya dengan kebangsawan Bugis-Makassar?

Memang, Daeng Marewa dan Daeng Celak adalah dua di antara lima bersaudara “satria” Bugis-Makassar, putra Opu Tenri Borong Daeng Rilakka. Tiga saudara mereka yang lain adalah Daeng Perani, Daeng Manambung, dan Daeng Kamase.

Lima bersaudara keturunan bangsawan-petualang Bugis-Makassar, meminjam istilah sejarawan Taufik Abdullah, inilah yang ikut berperan penting dalam mengangkat marwah Kesultanan Melayu (Riau-Johor) pada abad XVIII. Berkat mereka, Kesultanan Melayu (saat itu berpusat di Johor, sehingga sejarah pun mencatatnya sebagai Kesultanan Melayu-Johor) bisa diselamatkan dari kehancuran akibat pendudukan Raja Kecil dari Siak.
Ketika itu, Raja Kecil—yang mengklaim sebagai keturunan (alm) Sultan Mahmud Shah II—menuntut hak atas tahta di Johor. Dibantu orang-orang Minangkabau, pada Maret 1718, Raja Kecil berhasil menguasai istana Kesultanan Melayu-Johor, menyusul terbunuhnya Raja Muda Mahmud. Riau kepulauan dan sekitarnya pun, termasuk Lingga dan Bintan yang juga pernah jadi pusat kekuasaan Kesultanan Melayu, ikut dikuasai pasukan Raja Kecil.

Pihak kerabat Istana Johor yang melarikan diri ke Pahang lalu berpaling kepada pengembara Bugis-Makassar yang kala itu memang sudah dikenal sebagai salah satu kekuatan utama di kawasan Selat Melaka. Pilihan jatuh pada kekuatan lima bersaudara yang dipimpin Daeng Perani berserta para pengikutnya. Johor pun jadi ajang persaingan kekuasaan antara orang-orang Minangkabau, Bugis-Makassar, dan Melayu.

Setelah melalui serangkaian pertempuran laut yang seru, orang-orang Bugis-Makassar berhasil menghalau kekuatan Raja Kecil. Istana Johor juga bisa direbut kembali. Sebagai kompensasi atas jasa-jasa mereka, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1721-1760) yang dilantik sebagai penguasa Johor menetapkan semacam kuasa bersama antara Melayu dan Bugis-Makassar atas kedaulatan Kesultanan Melayu-Johor.

Satu di antara lima bersaudara tersebut, Daeng Marewa, bahkan diberi kekuasaan khusus sebagai Yamtuan Muda alias Raja Muda di Riau. Adapun Daeng Perani—yang kelak jadi Raja Muda di Selangor—dan Daeng Celak kemudian dikawinkan dengan saudara-saudara Sultan Johor.

Setelah Daeng Marewa wafat pada 1728, Daeng Celak tampil sebagai Yang Dipertuan Muda Riau II (1728-1745), sebelum akhirnya ia digantikan Daeng Kamboja—anak Daeng perani—sebagai Yang Dipertuan Muda Riau III. Hingga Kesultanan Melayu-Riau dibubarkan oleh Belanda pada 3 Februari 1911, jabatan Yang Dipertuan Muda Riau selanjutnya dipegang oleh anak cucu Daeng Celak yang sudah merupakan keturunan Melayu-Bugis-Makassar.

Tidak seperti leluhur mereka yang asli Bugis-Makassar, anak-anak berdarah Melayu-Bugis-Makassar ini tak lagi menyandang gelar daeng sebagai ciri kebangsawan mereka, tetapi tampil dengan gelar kebangsawanan baru: “raja”! Raja Haji Fisabilillah sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV tercatat sebagai penguasa pertama dari garis keturunan Melayu-Bugis-Makassar.

Bagaimana “karier” Daeng Manambun dan Daeng Kamase? Tuhfat al-Nafis yang ditulis Raja Ali Haji—pada episode tentang sejarah dan silsilah Melayu-Bugis—menyebutkan, “Daeng Manambun menjadi raja di Mempawah (di Pulau Kalimantan—pen) bergelar Pangeran Emas Surya Negara... adapun Daeng Kamase berkuasa di negeri Sambas bergelar Pengeran Mangkubumi.”

Ekses Perjanjian Bongaya

Kehadiran para perantau-petualang Bugis-Makassar yang bisa masuk ke pusat kekuasaan Kesultanan Melayu (Riau-Johor) dan kerajaan-kerajaan lain di Tanah Melayu, tentu saja merupakan fenomena menarik.

Mereka ternyata tidak sekadar berperan dalam dinamika sosial-ekonomi melalui jalur pelayaran dan perdagangan. Pada banyak tempat—di Kesultanan Melayu (Johor-Riau) sebagai contoh kasus—orang-orang Bugis-Makassar bahkan terlibat dalam dinamika sosial politik hingga ke jantung kekuasaan setempat.

Sejak diterapkannya Perjanjian Bongaya (1667), menyusul kejatuhan Benteng Somba Opu sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Gowa-Tallo pada 24 Juni 1669, memang terjadi migrasi besar-besaran orang-orang Bugis-Makassar ke berbagai penjuru Nusantara. Pola pelayaran dan perdagangan orang-orang Bugis-Makassar pun, sebagaimana dicatat Christian Pelras (Manusia Bugis, 2006), mengalami perubahan.

Dimotori para bangsawan dan raja-raja kecil yang menentang isi perjanjian tersebut, yang secara umum mengekang kebebasan dan bahkan mempreteli eksistensi mereka, tujuan migrasi terutama ke wilayah barat Nusantara. Mereka menghindari wilayah timur—terutama ke Maluku sebagai daerah penghasil rempah-rempah—karena jalur pelayaran dan perdagangan ditutup oleh Belanda.

Selain Kalimantan, Sumbawa, Lombok, dan Jawa-Bali, rombongan para bangsawan Bugis-Makassar ini juga banyak menetap di Sumatera dan Tanah Semenanjung. Opu Tenri Borong Daeng Rilakka—bangsawan dari Kerajaan Luwu yang ketika itu merupakan daerah bawahan Gowa—bersama lima putra dan pengikutnya termasuk yang memilih bermigrasi ke daerah pesisir timur Pulau Sumatera.

Di kawasan Selat Melaka ini mereka bersama orang-orang Bugis-Makassar lainnya mendirikan perkampungan di pantai-pantai dan muara-muara sungai besar. Di Jambi, seperti daerah Muara Sabak dan Tanjung Jabung, selain berdagang, orang-orang Bugis-Makassar juga banyak yang membuka lahan perkebunan kelapa. Begitu pun di Kepulauan Riau dan Tanah Semenanjung.

Pada masa ini, Ricklefs (2006) meyakini, para pengembara Bugis-Makassar terlibat aktif di hampir seluruh bagian barat Nusantara dan menjadi kekuatan utama di Selat Melaka. Bahkan, seperti dicatat Pelras, dalam perkembangan berikutnya mereka juga melibatkan diri dalam perseteruan di kalangan penguasa Melayu.

“Melalui peperangan dan perkawinan mereka berhasil menjadi salah satu kekuatan politik utama, khususnya di Kesultanan (Melayu) Riau-Johor dan Tanah Melayu pada umumnya,” tulis Christian Pelras.

Tak hanya di Kesultanan Melayu (Riau-Johor) serta pusat kekuasaan kerajaan-kerajaan lain di Tanah Semenanjung dan Kalimantan Barat, di belahan utara Pulau Sumatera pun anak cucu pengembara Bugis-Makassar juga masuk ke jantung kekuasaan. Di Kesultanan Aceh, misalnya, selama hampir dua abad (1727-1838), Ricklefs mencatat ada enam orang Bugis-Makassar yang tampil sebagai penguasa kesultanan.

Versi Anthony Reid (Asal Usul Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad Ke-19) jauh lebih banyak lagi. Sebab, sejak Sultan Alauddin Ahmad Syah memerintah tahun 1727 hingga berakhirnya Kesultanan Aceh pada 1903 (Sultan Muhammad Daud Syah; 1894-1903), seluruh sultan yang berkuasa adalah keturunan Bugis-Makassar.

Dihadapkan pada kenyataan sejarah yang demikian, betapa banyak nilai yang bisa diserap untuk kehidupan bangsa ini pada masa sekarang dan yang akan datang. Pluralisme dan multikultutralisme bukan saja sudah menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa ini, tetapi juga merupakan sebuah kearifan yang selayaknya terus dikembangkan.