SORE menjelang malam pada 24 Juni 1669, Benteng Somba Opu akhirnya jatuh ke tangan VOC (baca: Kompeni-Belanda). Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape alias Sultan Hasanuddin dipaksa turun tahta. Kerajaan Gowa-Tallo runtuh. Makassar pun tidak lagi jadi kiblat perdagangan anak-anak negeri di wilayah timur Nusantara.
Bukan saja harus mengakui kekuasaan Belanda, Sultan Hasanuddin dan pengikutnya juga dipaksa mematuhi Perjanjian Bongaya (1667) serta perjanjian-perjanjian sebelumnya (1660). Gowa antara lain harus melepas kontrol atas sejumlah daerah yang justru jadi sumber ekonomi dan penopang kekuasaan mereka. Belum lagi ancaman hukuman bagi mereka yang dituding telah membunuh orang-orang Belanda semasa perang.
Butir-butir Perjanjian Bongaya yang dimaksudkan untuk mengakhiri Perang Makassar pada tahun 1667—dua tahun sebelum Hasanuddin sebagai penguasa Somba Opu benar-benar bertekuk lutut setelah dibombardir pasukan Cornelis Speelman dan sekutunya—itu sangat merugikan posisi tawar para bangsawan dan kerabat kesultanan.
Pengalihan kontrol kekuasaan Gowa kepada Kompeni telah melemahkan perekonomian kerajaan. Apalagi adanya larangan kepada rakyat Gowa agar tidak lagi terlibat dalam perdagangan dan pelayaran.
“Pembatasan-pembatasan tersebut bukan saja secara langsung menjatuhkan peran ekonomi kerajaan, juga berangsur-angsur memudarkan wibawa para bangsawan Bugis-Makassar yang terikat dalam Perjanjian Bongaya,” kata sejarawan-antropolog sosial dari Universitas Hasanuddin, Mukhlis PaEni, yang juga Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).
Butir-butir Perjanjian Bongaya yang dimaksudkan untuk mengakhiri Perang Makassar pada tahun 1667—dua tahun sebelum Hasanuddin sebagai penguasa Somba Opu benar-benar bertekuk lutut setelah dibombardir pasukan Cornelis Speelman dan sekutunya—itu sangat merugikan posisi tawar para bangsawan dan kerabat kesultanan.
Pengalihan kontrol kekuasaan Gowa kepada Kompeni telah melemahkan perekonomian kerajaan. Apalagi adanya larangan kepada rakyat Gowa agar tidak lagi terlibat dalam perdagangan dan pelayaran.
“Pembatasan-pembatasan tersebut bukan saja secara langsung menjatuhkan peran ekonomi kerajaan, juga berangsur-angsur memudarkan wibawa para bangsawan Bugis-Makassar yang terikat dalam Perjanjian Bongaya,” kata sejarawan-antropolog sosial dari Universitas Hasanuddin, Mukhlis PaEni, yang juga Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).
Namun, akhir dari perang dahsyat dalam sejarah VOC di Nusantara tersebut justru menjadi awal dari periode sejarah yang sangat penting bagi dinamika perantauan orang-orang Bugis-Makassar di Tanah Air. Jika sebelumnya hanya masyarakat pada umumnya yang bermigrasi ke seantero Nusantara, sejak Perjanjian Bongaya pola dan pelaku migrasi justru banyak dimotori oleh kalangan bangsawan.
Dengan kata lain, sejak itu pula tonggak sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar mengalami semacam pergeseran. Bernard HM Vlekke (Nusantara: Sejarah Indonesia, 2006) mencatat, Perjanjian Bongaya menimbulkan perubahan revolusioner dalam organisasi politik di bagian timur Kepulauan Indonesia.
Selain mendapatkan monopoli dagang di pelabuhan Makassar, Kompeni-Belanda juga menerapkan berbagai pembatasan. Raja Gowa bahkan diminta agar menganjurkan rakyatnya menanggalkan aktivitas kemaritiman mereka, mengubah profesi dari pelaut ke petani.
Munculnya kekuasaan otoriter di kawasan ini menyebabkan sangat banyak orang Bugis-Makassar yang melarikan diri. MC Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, 2008) bahkan menggambarkan situasi kala itu lebih dramatis lagi.
Katanya, “Mereka (orang-orang Bugis-Makassar) lari menuju kapal-kapal mereka bagaikan perompak-perompak Viking yang sedang mencari kehormatan, kekayaan, dan tempat-tempat tinggal baru.”
Di tempat yang baru, orang-orang Bugis-Makassar melibatkan diri dalam berbagai peristiwa sosial-politik lokal. Sebutlah seperti di Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, bahkan di Siam sekalipun.
“Sampai abad XVIII, para prajurit ganas ini menjadi momok di Nusantara,” tulis sejarawan dari Australia tersebut.
Dinamika lokal
Migrasi besar-besaran orang-orang Bugis-Makassar tersebut ikut memberi warna pada dinamika lokal di berbagai daerah di Nusantara. Mukhlis PaEni mencatat, sepanjang dua abad (abad XVII-XIX) lebih mereka tidak hanya menciptakan dinamika ekonomi dan politik, tetapi juga akulturasi sosial budaya melalui perkawinan di hampir daerah di Nusantara.
Oleh karena itu, bagi Mukhlis PaEni, fenomena ini bukan sekadar migrasi biasa, melainkan apa yang ia sebut sebagai diaspora Bugis-Makassar. Para bangsawan serta raja-raja kecil yang terikat dalam persekutuan dengan Kerajaan Gowa—tentu berserta pengikutnya—tersebut mengembara dan membuka daerah baru, yang kemudian menjelma menjadi komunitas-komunitas Bugis-Makassar di berbagai daerah di Nusantara.
“Mereka meninggalkan daerahnya untuk mencari arena yang lebih leluasa untuk kehidupan yang lebih bebas, sekaligus menegakkan kewibawaan mereka di mata pengikutnya. Di tempat-tempat yang baru mereka membaur ke dalam dinamika sosial politik lokal yang berlangsung melalui kerja sama saling menguntungkan,” tutur Mukhlis.
Keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal di berbagai tempat di Nusantara masih bisa dilacak hingga sekarang. Di Pulau Jawa, misalnya, baik naskah Babad Tanah Jawi, Babad Kraton Jawa, maupun Serat Trunajaya menggambarkan bagaimana prajurit-prajurit dari timur Nusantara ini ikut berperan membantu Trunajaya mempreteli kekuasaan Mataram yang disokong Kompeni-Belanda.
Nama Karaeng Galesong dan Daeng Naba, dua bangsawan dari Kerajaan Gowa-Tallo, jadi tokoh sentral dalam kisah perseteruan itu. Tiga puluh dua makan prajurit dari Gowa di kompleks pemakaman Mlati, Yogyakarta, adalah saksi sejarah keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika politik setempat.
Nama prajurit bugis dalam kesatuan “ketentaraan” di Kraton Yogyakarta yang ada saat ini adalah bukti lain yang tersisa dari eksistensi Bugis-Makassar di jantung kekuasaan Mataram. Bila dilacak lebih jauh, kata Mukhlis PaEni, dokter Wahidin Soedirohoesodo—pahlawan nasional, tokoh pendorong lahirnya Budi Utomo—ternyata leluhurnya pun masih keturunan Bugis-Makasar: Daeng Naba!
Di daerah-daerah lain, seperti di Kalimantan, Sumatera, dan Tanah Semenanjung, keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal juga memberi warna baru. Di beberapa tempat mereka bahkan bisa masuk ke pusat kekuasaan istana, baik sebagai raja muda (dalam kasus di Kesultanan Melayu di Johor dan Riau) maupun sebagai raja atau sultan di Kesultanan Aceh, Selangor, Pahang, dan Mempawah.
Selain keterlibatan dalam dunia perdagangan hingga politik kekuasaan, “sumbangan” terbesar dari sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar pasca-Perjanjian Bongaya adalah lahirnya manusia baru Nusantara dari perkawinan campuran dengan dengan warga setempat. Akulturasi budaya pun terjadi.
Di sanalah semangat multikultur dan pluralitas yang menjadi kekuatan bangsa disemai dalam taman keindonesiaan kita hari ini.
Dengan kata lain, sejak itu pula tonggak sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar mengalami semacam pergeseran. Bernard HM Vlekke (Nusantara: Sejarah Indonesia, 2006) mencatat, Perjanjian Bongaya menimbulkan perubahan revolusioner dalam organisasi politik di bagian timur Kepulauan Indonesia.
Selain mendapatkan monopoli dagang di pelabuhan Makassar, Kompeni-Belanda juga menerapkan berbagai pembatasan. Raja Gowa bahkan diminta agar menganjurkan rakyatnya menanggalkan aktivitas kemaritiman mereka, mengubah profesi dari pelaut ke petani.
Munculnya kekuasaan otoriter di kawasan ini menyebabkan sangat banyak orang Bugis-Makassar yang melarikan diri. MC Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, 2008) bahkan menggambarkan situasi kala itu lebih dramatis lagi.
Katanya, “Mereka (orang-orang Bugis-Makassar) lari menuju kapal-kapal mereka bagaikan perompak-perompak Viking yang sedang mencari kehormatan, kekayaan, dan tempat-tempat tinggal baru.”
Di tempat yang baru, orang-orang Bugis-Makassar melibatkan diri dalam berbagai peristiwa sosial-politik lokal. Sebutlah seperti di Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, bahkan di Siam sekalipun.
“Sampai abad XVIII, para prajurit ganas ini menjadi momok di Nusantara,” tulis sejarawan dari Australia tersebut.
Dinamika lokal
Migrasi besar-besaran orang-orang Bugis-Makassar tersebut ikut memberi warna pada dinamika lokal di berbagai daerah di Nusantara. Mukhlis PaEni mencatat, sepanjang dua abad (abad XVII-XIX) lebih mereka tidak hanya menciptakan dinamika ekonomi dan politik, tetapi juga akulturasi sosial budaya melalui perkawinan di hampir daerah di Nusantara.
Oleh karena itu, bagi Mukhlis PaEni, fenomena ini bukan sekadar migrasi biasa, melainkan apa yang ia sebut sebagai diaspora Bugis-Makassar. Para bangsawan serta raja-raja kecil yang terikat dalam persekutuan dengan Kerajaan Gowa—tentu berserta pengikutnya—tersebut mengembara dan membuka daerah baru, yang kemudian menjelma menjadi komunitas-komunitas Bugis-Makassar di berbagai daerah di Nusantara.
“Mereka meninggalkan daerahnya untuk mencari arena yang lebih leluasa untuk kehidupan yang lebih bebas, sekaligus menegakkan kewibawaan mereka di mata pengikutnya. Di tempat-tempat yang baru mereka membaur ke dalam dinamika sosial politik lokal yang berlangsung melalui kerja sama saling menguntungkan,” tutur Mukhlis.
Keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal di berbagai tempat di Nusantara masih bisa dilacak hingga sekarang. Di Pulau Jawa, misalnya, baik naskah Babad Tanah Jawi, Babad Kraton Jawa, maupun Serat Trunajaya menggambarkan bagaimana prajurit-prajurit dari timur Nusantara ini ikut berperan membantu Trunajaya mempreteli kekuasaan Mataram yang disokong Kompeni-Belanda.
Nama Karaeng Galesong dan Daeng Naba, dua bangsawan dari Kerajaan Gowa-Tallo, jadi tokoh sentral dalam kisah perseteruan itu. Tiga puluh dua makan prajurit dari Gowa di kompleks pemakaman Mlati, Yogyakarta, adalah saksi sejarah keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika politik setempat.
Nama prajurit bugis dalam kesatuan “ketentaraan” di Kraton Yogyakarta yang ada saat ini adalah bukti lain yang tersisa dari eksistensi Bugis-Makassar di jantung kekuasaan Mataram. Bila dilacak lebih jauh, kata Mukhlis PaEni, dokter Wahidin Soedirohoesodo—pahlawan nasional, tokoh pendorong lahirnya Budi Utomo—ternyata leluhurnya pun masih keturunan Bugis-Makasar: Daeng Naba!
Di daerah-daerah lain, seperti di Kalimantan, Sumatera, dan Tanah Semenanjung, keterlibatan orang-orang Bugis-Makassar dalam dinamika lokal juga memberi warna baru. Di beberapa tempat mereka bahkan bisa masuk ke pusat kekuasaan istana, baik sebagai raja muda (dalam kasus di Kesultanan Melayu di Johor dan Riau) maupun sebagai raja atau sultan di Kesultanan Aceh, Selangor, Pahang, dan Mempawah.
Selain keterlibatan dalam dunia perdagangan hingga politik kekuasaan, “sumbangan” terbesar dari sejarah sosial orang-orang Bugis-Makassar pasca-Perjanjian Bongaya adalah lahirnya manusia baru Nusantara dari perkawinan campuran dengan dengan warga setempat. Akulturasi budaya pun terjadi.
Di sanalah semangat multikultur dan pluralitas yang menjadi kekuatan bangsa disemai dalam taman keindonesiaan kita hari ini.
Kredit kepada: http://kenedinurhan.blogspot.com/