Oleh Kenedi Nurhan
SESUNGGUHNYA, kehadiran bangsawan Bugis-Makassar di Tanah Melayu tak ubahnya seperti fenomena arus balik sejarah. Jauh sebelum pengembara Bugis-Makassar masuk ke jantung kekuasaan Melayu, orang-orang Melayu-lah yang lebih dahulu berperan dalam dinamika lokal di negeri Bugis-Makassar.
Menyusul kejatuhan Melaka ke tangan Portugis pada 1511, di luar kerabat istana yang memindahkan pusat kekuasaan ke Johor, tidak yang pergi ke berbagai penjuru angin. Beberapa kelompok berkelana hingga ke Sulawesi. Di wilayah Kerajaan Gowa ini mereka bermukim di Salojo, daerah pesisir Makassar di perkampungan Sanrobone.
Hasil penelusuran Mukhlis PaEni, sejarawan-antropolog sosial dari Universitas Hasanuddin, memperlihatkan bahwa sampai 1615 roda perekonomian—khususnya perdagangan antarpulau melalui pelabuhan Makassar—dikuasai oleh orang Melayu dari Johor dan Patani. Baru pada 1621 orang Bugis-Makassar ikut ambil bagian penting dalam dunia perdagangan dan pelayaran di Nusantara.
“Sejak kedatangan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa (Makassar), peranan mereka tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama (baca: Islam), tapi juga dalam kegiatan sosial-budaya, bahkan di birokrasi. Dalam struktur kekuasaan Kerajaan Gowa, banyak orang
Melayu yang memegang peran penting di istana kesultanan,” kata Mukhlis, yang juga adalah Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).
Di zaman Raja Gowa X (1546-1565) misalnya, seorang keturunan Melayu-Makassar berdarah campuran Bajou yang amat terkemuka bernama I Mangambari Kare Mangaweang—juga dikenal dengan nama I Daeng Ri Mangallekana—diangkat sebagai Syahbandar Kerajaan Gowa ke-2. Sejak saat itu, kata Mukhlis, secara turun-temurun jabatan syahbandar dipegang oleh orang Melayu, sampai dengan Syahbandar Ince Husa ketika Kerajaan Gowa mengalami kekalahan dalam perang melawan VOC tahun 1669.
Jabatan penting lainnya ialah juru tulis istana, yakni ketika Incik Amin menduduki jabatan itu pada zaman Sultan Hasanuddin (1653-1669). Juri tulis di istana Raja Gowa XVI ini sangat terkenal melalui syairnya yang amat indah berjudul Shair Perang Mangkasar, mengisahkan saat-saat terakhir Kerajaan Gowa tahun 1669.
Menurut Mukhlis, sumbangan utama orang-orang Melayu di wilayah timur Nusantara tidak terbatas di bidang perdagangan dan penyebaran agama Islam, tapi juga di bidang pendidikan dan—tentu saja—kebudayaan Melayu. Pada masa itulah berbagai naskah keagamaan dan sastra berbahasa Melayu diterjemahkan ke bahasa Bugis atau bahasa Makassar.
Tradisi intelektual ini berlanjut hingga abad ke-19. Salah satunya adalah penulisan ulang sureg I La Galigo—sebuah karya sastra Bugis yang disebut-sebut sebagai karya sastra terbesar dari khazanah kesusasteraan Indonesia—tahun 1860 oleh seorang bangsawan Bugis dari Tanate bernama Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanate.
“Namun, siapa sebenarnya tokoh yang disebut bangsawan Bugis ini? Nama dirinya tak lain adalah Ratna Kencana. Ibunya bernama Siti Jauhar Manikan, putri Inche Ali Abdullah Datu Pabean, Syahbandar Makassar pada abad ke-19, yang tak lain adalah keturunyan Melayu-Johor berdarah Bugis-Makassar,” tutur Mukhlis.
Dalam proses akulturasi budaya dan perkawinan antara orang Melayu dengan orang-orang Bugis-Makassar, lahirnya “generasi baru” Bugis-Makassar keturunan Melayu. Mereka ini secara umum dikenal sebagai masyarakat golongan tubaji (Makassar) atau tudeceng (Bugis). Dalam struktur sosial kemasyarakatan mereka ini menempati posisi terhormat, bahkan tak sedikit yang masuk ke struktur golongan bangsawan.
Ketika Benteng Somba Opu jatuh dan Sultan Hasanuddin harus tunduk pada isi Perjanjian Bongaya, kelompok masyarakat “Melayu-Bugis-Makassar” inilah yang boleh dibilang sebagai motor penggerak migrasi di kalangan bangsawan Kerajaan Gowa. Namun, terlepas dari adanya semacam “arus balik” tersebut, perkawinan campuran Melayu-Bugis-Makassar ini telah melahirkan apa yang disebut Mukhlis PaEni sebagai masyarakat baru Nusantara.
“Dalam diri para tubaji/tudeceng mengalir darah intelektual Melayu, yang kemudian bercampur heroisme Bugis-Makassar, dan kearifan Bajau. Sejarah mencatat, kehadiran masyarakat baru Nusantara ini memegang peranan penting dalam sejarah Nusantara di abad XVIII-XIX di Semenanjung dan kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan daerah-daerah di pantai utara Jawa termasuk di Sulawesi Selatan sendiri. Peran ini masih berlanjut hingga kini,” jelas Mukhlis.
Diapora Bugis-Makassar adalah sebuah keniscayaan, bagian dari sejarah bangsa ini menemukan keindonesiaannya. Dan memang, harus diakui bahwa mereka adalah produk pluralistik yang lahir dari sebuah dinamika sejarah masyarakat Nusantara.
SESUNGGUHNYA, kehadiran bangsawan Bugis-Makassar di Tanah Melayu tak ubahnya seperti fenomena arus balik sejarah. Jauh sebelum pengembara Bugis-Makassar masuk ke jantung kekuasaan Melayu, orang-orang Melayu-lah yang lebih dahulu berperan dalam dinamika lokal di negeri Bugis-Makassar.
Menyusul kejatuhan Melaka ke tangan Portugis pada 1511, di luar kerabat istana yang memindahkan pusat kekuasaan ke Johor, tidak yang pergi ke berbagai penjuru angin. Beberapa kelompok berkelana hingga ke Sulawesi. Di wilayah Kerajaan Gowa ini mereka bermukim di Salojo, daerah pesisir Makassar di perkampungan Sanrobone.
Hasil penelusuran Mukhlis PaEni, sejarawan-antropolog sosial dari Universitas Hasanuddin, memperlihatkan bahwa sampai 1615 roda perekonomian—khususnya perdagangan antarpulau melalui pelabuhan Makassar—dikuasai oleh orang Melayu dari Johor dan Patani. Baru pada 1621 orang Bugis-Makassar ikut ambil bagian penting dalam dunia perdagangan dan pelayaran di Nusantara.
“Sejak kedatangan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa (Makassar), peranan mereka tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama (baca: Islam), tapi juga dalam kegiatan sosial-budaya, bahkan di birokrasi. Dalam struktur kekuasaan Kerajaan Gowa, banyak orang
Melayu yang memegang peran penting di istana kesultanan,” kata Mukhlis, yang juga adalah Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI).
Di zaman Raja Gowa X (1546-1565) misalnya, seorang keturunan Melayu-Makassar berdarah campuran Bajou yang amat terkemuka bernama I Mangambari Kare Mangaweang—juga dikenal dengan nama I Daeng Ri Mangallekana—diangkat sebagai Syahbandar Kerajaan Gowa ke-2. Sejak saat itu, kata Mukhlis, secara turun-temurun jabatan syahbandar dipegang oleh orang Melayu, sampai dengan Syahbandar Ince Husa ketika Kerajaan Gowa mengalami kekalahan dalam perang melawan VOC tahun 1669.
Jabatan penting lainnya ialah juru tulis istana, yakni ketika Incik Amin menduduki jabatan itu pada zaman Sultan Hasanuddin (1653-1669). Juri tulis di istana Raja Gowa XVI ini sangat terkenal melalui syairnya yang amat indah berjudul Shair Perang Mangkasar, mengisahkan saat-saat terakhir Kerajaan Gowa tahun 1669.
Menurut Mukhlis, sumbangan utama orang-orang Melayu di wilayah timur Nusantara tidak terbatas di bidang perdagangan dan penyebaran agama Islam, tapi juga di bidang pendidikan dan—tentu saja—kebudayaan Melayu. Pada masa itulah berbagai naskah keagamaan dan sastra berbahasa Melayu diterjemahkan ke bahasa Bugis atau bahasa Makassar.
Tradisi intelektual ini berlanjut hingga abad ke-19. Salah satunya adalah penulisan ulang sureg I La Galigo—sebuah karya sastra Bugis yang disebut-sebut sebagai karya sastra terbesar dari khazanah kesusasteraan Indonesia—tahun 1860 oleh seorang bangsawan Bugis dari Tanate bernama Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanate.
“Namun, siapa sebenarnya tokoh yang disebut bangsawan Bugis ini? Nama dirinya tak lain adalah Ratna Kencana. Ibunya bernama Siti Jauhar Manikan, putri Inche Ali Abdullah Datu Pabean, Syahbandar Makassar pada abad ke-19, yang tak lain adalah keturunyan Melayu-Johor berdarah Bugis-Makassar,” tutur Mukhlis.
Dalam proses akulturasi budaya dan perkawinan antara orang Melayu dengan orang-orang Bugis-Makassar, lahirnya “generasi baru” Bugis-Makassar keturunan Melayu. Mereka ini secara umum dikenal sebagai masyarakat golongan tubaji (Makassar) atau tudeceng (Bugis). Dalam struktur sosial kemasyarakatan mereka ini menempati posisi terhormat, bahkan tak sedikit yang masuk ke struktur golongan bangsawan.
Ketika Benteng Somba Opu jatuh dan Sultan Hasanuddin harus tunduk pada isi Perjanjian Bongaya, kelompok masyarakat “Melayu-Bugis-Makassar” inilah yang boleh dibilang sebagai motor penggerak migrasi di kalangan bangsawan Kerajaan Gowa. Namun, terlepas dari adanya semacam “arus balik” tersebut, perkawinan campuran Melayu-Bugis-Makassar ini telah melahirkan apa yang disebut Mukhlis PaEni sebagai masyarakat baru Nusantara.
“Dalam diri para tubaji/tudeceng mengalir darah intelektual Melayu, yang kemudian bercampur heroisme Bugis-Makassar, dan kearifan Bajau. Sejarah mencatat, kehadiran masyarakat baru Nusantara ini memegang peranan penting dalam sejarah Nusantara di abad XVIII-XIX di Semenanjung dan kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan daerah-daerah di pantai utara Jawa termasuk di Sulawesi Selatan sendiri. Peran ini masih berlanjut hingga kini,” jelas Mukhlis.
Diapora Bugis-Makassar adalah sebuah keniscayaan, bagian dari sejarah bangsa ini menemukan keindonesiaannya. Dan memang, harus diakui bahwa mereka adalah produk pluralistik yang lahir dari sebuah dinamika sejarah masyarakat Nusantara.
Kredit kepada: http://kenedinurhan.blogspot.com/