Oleh Kenedi Nurhan dan Mukhlis PaEni
MENGETAHUI ada darah Bugis-Makassar mengalir dalam tubuh Wahidin Soedirohoesodo (1852-1917), Adin mengaku kaget bercampur bangga. Pada satu senja, di kompleks Pemakaman Mlati, Sleman, Yogyakarta, lelaki Bugis-Makassar yang menikahi perempuan asal Jepara ini pun bersimpuh di sisi makam pahlawan nasional penggagas kelahiran Budi Utomo tersebut.
Semula Adin—nama lengkapnya Suryadin Laoddang—tak percaya pada fakta baru yang ia terima. Bukankah dalam sejarah resmi yang ditulis selama ini disebutkan bahwa dokter Wahidin Soedirohoesodo adalah priyayi Jawa? Potret sang tokoh pun selalu ditampilkan dalam busana lelaki ningrat Jawa, lengkap dengan blankon di kepalanya.
Akan tetapi, melalui pendekatan genealogis diketahui bahwa tokoh pergerakan nasional tersebut ternyata masih keturunan Karaeng Daeng Naba. Bangsawan Bugis-Makassar ini mengembara ke Jawa setelah Kerajaan Gowa takluk pada Kompeni-Belanda tahun 1669. Di Jawa, Daeng Naba terlibat dalam intrik perebutan kekuasaan di pusar tanah Jawa (baca: Mataram), di mana Trunajaya tampil sebagai tokoh antagonisnya.
Akan tetapi, melalui pendekatan genealogis diketahui bahwa tokoh pergerakan nasional tersebut ternyata masih keturunan Karaeng Daeng Naba. Bangsawan Bugis-Makassar ini mengembara ke Jawa setelah Kerajaan Gowa takluk pada Kompeni-Belanda tahun 1669. Di Jawa, Daeng Naba terlibat dalam intrik perebutan kekuasaan di pusar tanah Jawa (baca: Mataram), di mana Trunajaya tampil sebagai tokoh antagonisnya.
Atas jasa Daeng Naba yang ikut membantu Amangkurat II meredam pemberontakan Trunajaya (1670-1679), ia dinikahkan oleh sang penguasa Mataram dengan putri Tumenggung Sontoyodo II.
Selain itu, ia juga dihadiahi “tanah perdikan” yang sekarang berada di daerah Mlati, Sleman, Yogyakarta. Dari hasil perkawinan campuran itu, seabad kemudian lahir priyayi Jawa terkemuka bernama Mas Ngabehi Wahidin Soedirohoesodo.
Majalah PESAT edisi 6 Februari 1952 (Thn VIII, No 6:19) memuat ulasan tentang hal itu, di bawah sub-judul: “Siapakah dr Wahidin?”. Fakta sejarah ini juga muncul di Berita KebudayaanRAGI BUANA edisi Mei 1959 (Thn VI, No 64) yang mengutip keterangan yang pernah disampaikan dokter Radjiman Wediodiningrat (1879-1952)—pendiri Budi Utomo yang juga kerabat Wahidin—ikut memperkuat fakta sejarah tersebut. edisi 28 November 1952.
Bahwa “Wahidin berdarah tjampuran suku Djawa dan Makassar, ialah keturunan DainKraing Nobo, seorang pradjurit jang dalam djaman Mataram membantu Sunan Amangkurat Tegal Arum melawan Trunodjojo...”
Kenyataan bahwa Wahidin bukanlah orang Jawa asli kian menggugah kesadaran kebangsaan Adin, betapa tipis sesungguhnya batas-batas etnisitas di negeri ini. “Sayangnya, tidak banyak orang yang tahu kalau Wahidin—juga Radjiman Wediodiningrat—berdarah Bugis-Makassar,” ujarnya.
Masih di kompleks pemakaman yang sama, di luar cungkup utama yang sudah dibangun pemerintah setelah Wahidin Soedirohoesodo ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Adin juga menyempatkan ziarah ke makam sang leluhur: Daeng Naba! Dua deret di depan makam Daeng Naba, 32 prajurit dari Gowa (tanpa nama) juga dimakamkan di sana.
Persekutuan
Sejarah mencatat, perang Trunajaya melawan Mataram dan Kompeni (1670-1679) juga melibatkan prajurit-prajurit Bugis-Makassar. Dua bangsawan dari Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Galesong dan Daeng Naba, berada di dua kubu yang berbeda. Karaeng Galesong membantu Trunajaya, sedangkan Daeng Naba yang “menyusup” ke kesatuan Kompeni-Belanda menopang kekuatan Mataram.
Galesong yang bernama lengkap I Maninrori Karaeng Galesong adalah satu di antara sekian banyak bangsawan Bugis-Makassar yang pergi dari negerinya karena tidak puas atas penerapan Perjanjian Bongaya (1667), menyusul jatuhnya Benteng Somba Opu ke tangan Belanda. Semula ia mendarat di Banten, menyusul rekannya sesama bangsawan yang telah lebih dahulu tiba di sana, yakni Karaeng Bontomarannu.
Situasi genting di Banten memaksa Galesong dan Bontomarannu berlayar ke timur, ke daerah Jepara, kemudian menetap di Demung, tak jauh dari Surabaya sekarang. Bersama sekitar 2.000 pengikutnya, Galesong bersekutu dengan Trunajaya untuk berperang melawan Mataram. Persekutuan itu juga ditandai ikatan perkawinan antara Galesong dengan putri Trunajaya, Suratna, pada Desember 1675.
Ketika pemberontakan Trunajaya benar-benar berkobar, di bawah komando Galesong dan Bontomarannu, orang-orang Bugis-Makassar mulai menyerang dan membakar pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara bagian timur Jawa. Mataram kian terdesak. Bahkan dalam serbuan ke pedalaman, pusat kekuasaan Mataram di Plered sempat direbut Trunajaya.
Baru setelah campur tangan Belanda, pemberontakan Trunajaya bisa diredam. Salah satu tokoh kunci di balik keberhasilan Mataram mengakhiri pemberontakan Trunajaya adalah Karaeng Daeng Naba. Berkat usaha Daeng Naba membujuk Galesong—yang disebut sebagai adiknya—agar menghentikan perang dengan Mataram, pemberontakan Trunajaya akhirnya bisa ditumpas.
Drama sejarah ini berakhir tragis. Galesong yang mematuhi saran Daeng Naba dianggap berkhianat dan dibunuh oleh mertuanya, Trunajaya. Adapun Trunajaya akhirnya tewas di tangan Amangkurat II pada 1679.
Akan halnya Daeng Naba yang bernama lengkap I Manggaleng Karaeng Daeng Naba, putra I Manninori J Karetojeng, seterusnya dipercaya jadi bagian pasukan Mataram. Dengan kekuatan 2.500 kavaleri, laskar Daeng Naba yang terdiri atas orang-orang Bugis-Makassar tersebut menjadi pasukan inti Kerajaan Mataram ketika itu.
“Romantika kisah para leluhurku telah membuat aku semakin sadar bahwa perjuangan bangsaku telah melalui sejarah yang sangat panjang,” kata Adin.
Sejarah memang penuh romantika. Kehadiran orang-orang Bugis-Makassar di berbagai wilayah di Tanah Air, termasuk di tanah Jawa, tak bisa disangkal merupakan bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini “menjadi Indonesia”. Benih-benih kebangsaan itu pun tumbuh seiring proses akulturasi budaya.
Selain itu, ia juga dihadiahi “tanah perdikan” yang sekarang berada di daerah Mlati, Sleman, Yogyakarta. Dari hasil perkawinan campuran itu, seabad kemudian lahir priyayi Jawa terkemuka bernama Mas Ngabehi Wahidin Soedirohoesodo.
Majalah PESAT edisi 6 Februari 1952 (Thn VIII, No 6:19) memuat ulasan tentang hal itu, di bawah sub-judul: “Siapakah dr Wahidin?”. Fakta sejarah ini juga muncul di Berita KebudayaanRAGI BUANA edisi Mei 1959 (Thn VI, No 64) yang mengutip keterangan yang pernah disampaikan dokter Radjiman Wediodiningrat (1879-1952)—pendiri Budi Utomo yang juga kerabat Wahidin—ikut memperkuat fakta sejarah tersebut. edisi 28 November 1952.
Bahwa “Wahidin berdarah tjampuran suku Djawa dan Makassar, ialah keturunan DainKraing Nobo, seorang pradjurit jang dalam djaman Mataram membantu Sunan Amangkurat Tegal Arum melawan Trunodjojo...”
Kenyataan bahwa Wahidin bukanlah orang Jawa asli kian menggugah kesadaran kebangsaan Adin, betapa tipis sesungguhnya batas-batas etnisitas di negeri ini. “Sayangnya, tidak banyak orang yang tahu kalau Wahidin—juga Radjiman Wediodiningrat—berdarah Bugis-Makassar,” ujarnya.
Masih di kompleks pemakaman yang sama, di luar cungkup utama yang sudah dibangun pemerintah setelah Wahidin Soedirohoesodo ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Adin juga menyempatkan ziarah ke makam sang leluhur: Daeng Naba! Dua deret di depan makam Daeng Naba, 32 prajurit dari Gowa (tanpa nama) juga dimakamkan di sana.
Persekutuan
Sejarah mencatat, perang Trunajaya melawan Mataram dan Kompeni (1670-1679) juga melibatkan prajurit-prajurit Bugis-Makassar. Dua bangsawan dari Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Galesong dan Daeng Naba, berada di dua kubu yang berbeda. Karaeng Galesong membantu Trunajaya, sedangkan Daeng Naba yang “menyusup” ke kesatuan Kompeni-Belanda menopang kekuatan Mataram.
Galesong yang bernama lengkap I Maninrori Karaeng Galesong adalah satu di antara sekian banyak bangsawan Bugis-Makassar yang pergi dari negerinya karena tidak puas atas penerapan Perjanjian Bongaya (1667), menyusul jatuhnya Benteng Somba Opu ke tangan Belanda. Semula ia mendarat di Banten, menyusul rekannya sesama bangsawan yang telah lebih dahulu tiba di sana, yakni Karaeng Bontomarannu.
Situasi genting di Banten memaksa Galesong dan Bontomarannu berlayar ke timur, ke daerah Jepara, kemudian menetap di Demung, tak jauh dari Surabaya sekarang. Bersama sekitar 2.000 pengikutnya, Galesong bersekutu dengan Trunajaya untuk berperang melawan Mataram. Persekutuan itu juga ditandai ikatan perkawinan antara Galesong dengan putri Trunajaya, Suratna, pada Desember 1675.
Ketika pemberontakan Trunajaya benar-benar berkobar, di bawah komando Galesong dan Bontomarannu, orang-orang Bugis-Makassar mulai menyerang dan membakar pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara bagian timur Jawa. Mataram kian terdesak. Bahkan dalam serbuan ke pedalaman, pusat kekuasaan Mataram di Plered sempat direbut Trunajaya.
Baru setelah campur tangan Belanda, pemberontakan Trunajaya bisa diredam. Salah satu tokoh kunci di balik keberhasilan Mataram mengakhiri pemberontakan Trunajaya adalah Karaeng Daeng Naba. Berkat usaha Daeng Naba membujuk Galesong—yang disebut sebagai adiknya—agar menghentikan perang dengan Mataram, pemberontakan Trunajaya akhirnya bisa ditumpas.
Drama sejarah ini berakhir tragis. Galesong yang mematuhi saran Daeng Naba dianggap berkhianat dan dibunuh oleh mertuanya, Trunajaya. Adapun Trunajaya akhirnya tewas di tangan Amangkurat II pada 1679.
Akan halnya Daeng Naba yang bernama lengkap I Manggaleng Karaeng Daeng Naba, putra I Manninori J Karetojeng, seterusnya dipercaya jadi bagian pasukan Mataram. Dengan kekuatan 2.500 kavaleri, laskar Daeng Naba yang terdiri atas orang-orang Bugis-Makassar tersebut menjadi pasukan inti Kerajaan Mataram ketika itu.
“Romantika kisah para leluhurku telah membuat aku semakin sadar bahwa perjuangan bangsaku telah melalui sejarah yang sangat panjang,” kata Adin.
Sejarah memang penuh romantika. Kehadiran orang-orang Bugis-Makassar di berbagai wilayah di Tanah Air, termasuk di tanah Jawa, tak bisa disangkal merupakan bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini “menjadi Indonesia”. Benih-benih kebangsaan itu pun tumbuh seiring proses akulturasi budaya.
Semakin jelas bahwa bangsa besar ini lahir dari pergulatan antaretnis. Bila muncul klaim bahwa hanya golongan tertentu yang paling berjasa dalam proses bangsa ini “menjadi Indonesia”, tentu saja pandangan semacam itu sungguh menyesatkan.
Kredit kepada: http://kenedinurhan.blogspot.com/