Oleh Kenedi Nurhan
TIDAK ada yang istimewa dari tampilan fisik Desa Kalola. Sebagian besar rumah panggung yang ada masih berupa bangunan lama, yang juga tidak istimewa. Baik bahan dasar bangunan maupun arsitekturnya tergolong biasa-biasa saja.
Dibandingkan desa-desa tetangganya di Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sepintas terlihat betapa kemajuan fisik Kalola masih tertinggal. Meski di seberang jalan negara yang menghubungkan Pare-Pare ke arah ibu kota Wajo di Sengkang hingga Watampone di Kabupaten Bone terbentang luas sawah menghijau, namun tak terlihat tanda-tanda kemakmuran menjamah mereka.
Inikah potret salah satu kampung asal para pengembara Bugis yang terkenal hingga ke seberang lautan itu? Waktu yang berlari cepat ternyata tak membuka cukup ruang untuk mengubah suatu peradaban, sehingga kehidupan pun seperti jalan di tempat.
Di sinilah, 28 tahun lalu, Cik Hasan Bisri—dosen Fakultas Syariah, IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, yang kala itu tengah mengikuti pendidikan di Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (PLPIIS) Makassar—mencatat tingginya angka migrasi dari desa ini. Akibatnya, kampung-kampung di lingkup Desa Kalola kehilangan banyak penduduk. Sawah-sawah pun telantar karena ditinggal pergi para pemiliknya.
Di Kampung LawatanaE misalnya, dari sekitar 300 keluarga yang semula bermukim di sana hanya tersisa 30 keluarga. Sementara 100 keluarga penghuni Kampung Langkautu dan sekitar 200 keluarga yang bermukim di Kampung AwatanaE, saat penelitian dilakukan Cik Hasan Bisri (1981,) sudah kosong tanpa penghuni.
“Hanya beberapa rumah tangga saja yang pindah ke Callaccu dan Anabanua atau ke Pare-Pare, sedangkan yang lainnya pergi merantau. Kini, kampung-kampung tersebut tinggal bekasnya saja, berupa pohon-pohon kelapa yang biasanya mereka tanam pada saat kelahiran bayi-bayi mereka,” tulis Cok Hasan (Migrasi, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1985).
Dalam rentang waktu 11 tahun, 1969-1980, Kalola pernah “kehilangan” 8.762 warganya. Jumlah ini sangat besar, mengingat penduduk Kalola pada 1980 tercatat “hanya” 3.447 jiwa.
Jumlah penduduk Kalola ini tentu saja jauh lebih kecil dibandingkan orang-orang Kalola yang ada di perantauan, di mana sebagian besar di antara mereka menetap di Jambi. Bahkan, menurut perkiraan salah seorang perantau yang jadi narasumber Cik Hasan, “Perantau Bugis asal Kalola di Jambi mungkin lebih banyak daripada penduduk Desa Kalola sekarang ini.”
Lebih 28 tahun kemudian Kalola memang mengalami perubahan. Paling tidak, kini tak ada lagi sawah yang telantar. Saluran irigasi sudah sampai ke desa mereka, sehingga upaya peningkatan hasil usaha tani—yang sebelumnya jadi salah satu alasan perantauan, di samping karena dipicu kekacauan politik akibat pemberontakan DI/TII-nya Kahar Muzakkar—bisa dilipatgandakan.
Akan tetapi, keberhasilan usaha tani itu tidak serta-merta memperbaiki nasib dan meningkatkan status sosial mereka. Tak heran bila arus migrasi masih berlangsung hingga kini, meski jumlahnya tidak lagi seperti “eksodus” pada tahun 1960-an dan 1970-an.
“Pokoknya jauh berkurang, ya, sekitar satu sampai tiga orang-lah,” kata Ansar Ala, pemuda setempat.
Menurut Kepala Desa Kalola Haji Ambo Ala, migrasi besar-besaran yang dilakukan orang-orang Bugis-Wajo asal Kalola lebih disebabkan terjadinya kekacauan politik pada tahun 1950-an hingga 1960-an. Akibat kekacauan itu, yang dipicu pemberontakan DI/TII, masyarakat sulit mendapatkan pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. “Pergi merantau akhirnya menjadi pilihan,” ujar Haji Ambo Ala.
Menengok jauh ke belakang, perantauan orang-orang dari Kalola diperkirakan sudah berlangsung beberapa abad lampau, bersamaan perantauan orang-orang Wajo pada umumnya di abad XV. Sebagai satu di antara 65 kerajaan kecil di Tana Wajo, tidak aneh bila orang-orang Kalola juga terlibat dalam aktivitas sebagai pedagang-pelayar yang ikut membuka permukiman baru di luar Tana Wajo.
Arus perantauan orang-orang Bugis-Wajo—termasuk penduduk Kalola—makin meningkat sejak dihancurkannya Benteng Tosara oleh pasukan Bone yang dibantu Belanda pada 1670. Benteng yang berada di selatan Kalola ini merupakan pusat kekuasaan Kerajaan Wajo pada masa itu. Pada saat hampir bersamaan, Benteng Somba Opu sebagai pusat kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo pun jatuh ke tangan VOC. Dua peristiwa sejarah inilah yang ikut memicu migrasi besar-besar orang Bugis-Makassar ke berbagai penuru Nusantara.
Kredit kepada: http://kenedinurhan.blogspot.com/
TIDAK ada yang istimewa dari tampilan fisik Desa Kalola. Sebagian besar rumah panggung yang ada masih berupa bangunan lama, yang juga tidak istimewa. Baik bahan dasar bangunan maupun arsitekturnya tergolong biasa-biasa saja.
Dibandingkan desa-desa tetangganya di Kecamatan Maniangpajo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sepintas terlihat betapa kemajuan fisik Kalola masih tertinggal. Meski di seberang jalan negara yang menghubungkan Pare-Pare ke arah ibu kota Wajo di Sengkang hingga Watampone di Kabupaten Bone terbentang luas sawah menghijau, namun tak terlihat tanda-tanda kemakmuran menjamah mereka.
Inikah potret salah satu kampung asal para pengembara Bugis yang terkenal hingga ke seberang lautan itu? Waktu yang berlari cepat ternyata tak membuka cukup ruang untuk mengubah suatu peradaban, sehingga kehidupan pun seperti jalan di tempat.
Di sinilah, 28 tahun lalu, Cik Hasan Bisri—dosen Fakultas Syariah, IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, yang kala itu tengah mengikuti pendidikan di Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (PLPIIS) Makassar—mencatat tingginya angka migrasi dari desa ini. Akibatnya, kampung-kampung di lingkup Desa Kalola kehilangan banyak penduduk. Sawah-sawah pun telantar karena ditinggal pergi para pemiliknya.
Di Kampung LawatanaE misalnya, dari sekitar 300 keluarga yang semula bermukim di sana hanya tersisa 30 keluarga. Sementara 100 keluarga penghuni Kampung Langkautu dan sekitar 200 keluarga yang bermukim di Kampung AwatanaE, saat penelitian dilakukan Cik Hasan Bisri (1981,) sudah kosong tanpa penghuni.
“Hanya beberapa rumah tangga saja yang pindah ke Callaccu dan Anabanua atau ke Pare-Pare, sedangkan yang lainnya pergi merantau. Kini, kampung-kampung tersebut tinggal bekasnya saja, berupa pohon-pohon kelapa yang biasanya mereka tanam pada saat kelahiran bayi-bayi mereka,” tulis Cok Hasan (Migrasi, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1985).
Dalam rentang waktu 11 tahun, 1969-1980, Kalola pernah “kehilangan” 8.762 warganya. Jumlah ini sangat besar, mengingat penduduk Kalola pada 1980 tercatat “hanya” 3.447 jiwa.
Jumlah penduduk Kalola ini tentu saja jauh lebih kecil dibandingkan orang-orang Kalola yang ada di perantauan, di mana sebagian besar di antara mereka menetap di Jambi. Bahkan, menurut perkiraan salah seorang perantau yang jadi narasumber Cik Hasan, “Perantau Bugis asal Kalola di Jambi mungkin lebih banyak daripada penduduk Desa Kalola sekarang ini.”
Lebih 28 tahun kemudian Kalola memang mengalami perubahan. Paling tidak, kini tak ada lagi sawah yang telantar. Saluran irigasi sudah sampai ke desa mereka, sehingga upaya peningkatan hasil usaha tani—yang sebelumnya jadi salah satu alasan perantauan, di samping karena dipicu kekacauan politik akibat pemberontakan DI/TII-nya Kahar Muzakkar—bisa dilipatgandakan.
Akan tetapi, keberhasilan usaha tani itu tidak serta-merta memperbaiki nasib dan meningkatkan status sosial mereka. Tak heran bila arus migrasi masih berlangsung hingga kini, meski jumlahnya tidak lagi seperti “eksodus” pada tahun 1960-an dan 1970-an.
“Pokoknya jauh berkurang, ya, sekitar satu sampai tiga orang-lah,” kata Ansar Ala, pemuda setempat.
Menurut Kepala Desa Kalola Haji Ambo Ala, migrasi besar-besaran yang dilakukan orang-orang Bugis-Wajo asal Kalola lebih disebabkan terjadinya kekacauan politik pada tahun 1950-an hingga 1960-an. Akibat kekacauan itu, yang dipicu pemberontakan DI/TII, masyarakat sulit mendapatkan pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. “Pergi merantau akhirnya menjadi pilihan,” ujar Haji Ambo Ala.
Menengok jauh ke belakang, perantauan orang-orang dari Kalola diperkirakan sudah berlangsung beberapa abad lampau, bersamaan perantauan orang-orang Wajo pada umumnya di abad XV. Sebagai satu di antara 65 kerajaan kecil di Tana Wajo, tidak aneh bila orang-orang Kalola juga terlibat dalam aktivitas sebagai pedagang-pelayar yang ikut membuka permukiman baru di luar Tana Wajo.
Arus perantauan orang-orang Bugis-Wajo—termasuk penduduk Kalola—makin meningkat sejak dihancurkannya Benteng Tosara oleh pasukan Bone yang dibantu Belanda pada 1670. Benteng yang berada di selatan Kalola ini merupakan pusat kekuasaan Kerajaan Wajo pada masa itu. Pada saat hampir bersamaan, Benteng Somba Opu sebagai pusat kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo pun jatuh ke tangan VOC. Dua peristiwa sejarah inilah yang ikut memicu migrasi besar-besar orang Bugis-Makassar ke berbagai penuru Nusantara.
Kredit kepada: http://kenedinurhan.blogspot.com/