Oleh: Salmah Gosse
Pendahuluan
Konflik dan kekerasan merupakan suatu fenomena historis yang bisa terjadi dalam hubungan antara negara (kekuasaan) dengan individu. Konflik biasa muncul manakala cita-cita individu bertentangan dengan kemauan negara. Individu biasanya akan terus memperjuangkan cita-citanya baik dalam bentuk gagasan maupun aksi. Sedangkan negara akan terus berusaha untuk menekan aktivitas individu, agar jangan sampai aktivitas individu dapat membahayakan stabilitas negara. Upaya negara untuk menekan individu dapat sampai pada tingkat bentuk tindak kekerasan.
Fenomena tersebut di atas biasa terjadi dalam sebuah kekuasaan negara yang otoriter. Dalam kekuasaan ini kebebasan individu dikekang. Negara memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap diri individu. Individu harus tunduk pada peraturan-peraturan yang dibuat negara. Peraturan-peraturan yang dibuat biasanya dalam model kekuasaan yang seperti ini adalah peraturan yang dapat melanggengkan kekuasaan.
Dalam sejarah Indonesia beberapa kasus konflik dan kekerasan yang dilakukan oleh negara (kekuasaan) terhadap individu sudah banyak terjadi. Peristiwa-peristiwa di zaman kolonial Belanda dan Jepang, misalnya merupakan contoh, betapa pemerintah menjalankan kekuasaannya semata-mata demi kekuasaan itu sendiri atau demi kepentingan rakyat terjajah.
Makalah ini akan mengangkat salah satu bentuk pengekangan dan kekerasan yang menimpa Opu Daeng Risaju. Sebuah peristiwa yang memperlihatkan konflik dan kekerasan yang dilakukan oleh negara (pemerintah kolonial dan kerajaan Luwu) terhadap aktivitas perjuangan individu di Sulawesi Selatan. Individu yang dimaksud di sini adalah Opu Daeng Risaju yang aktif dalam organisasi pergerakan kebangsaan Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII).
Ada tiga hal yang menarik dalam peristiwa ini yang menimpa Opu Daeng Risaju itu. Pertama, Opu lahir dan dibesarkan sebagai seorang bangsawan, kedua, sangat kebetulan ia dilahirkan sebagai seorang wanita, dan ketiga, sebagai seorang anggota keluarga bangsawan, Opu ternyata sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan Barat (Sekolah Formal). Lalu, bagaimana seorang wanita bangsawan yang tidak pernah mengenyam pendidikan Barat, dipandang sebagai musuh yang berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda? Persoalan inilah yang coba diangkat dalam makalah ini.
Latar Belakang Kehidupan Opu Daeng Risaju
Nama kecil Opu Daeng Risaju adalah Famajjah. Ia dilahirkan di Palopo pada tahun 1880, dari hasil perkawinan antara Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah to Barengseng. Nama Opu menunjukkan gelar kebangsawanan di kerajaan Luwu. Dengan demikian Opu Daeng Risaju merupakan keturunan dekat dari keluarga Kerajaan Luwu.
Pendidikan yang ditanamkan sejak kecil lebih ditekankan pada persoalan yang menyangkut ajaran dan nilai-nilai moral baik yang berlandaskan budaya maupun agama. Sebagai seorang puteri bangsawan di daerah Luwu, sudah menjadi tradisi bagi keluarga bangsawan untuk mengajarkan kepada keluarga atau anak-anaknya tentang pola perilaku yang harus dimiliki oleh seorang perempuan. Pengajaran tentang tata cara kehidupan seorang bahsawan dilaksanakan baik di istana sendiri maupun di luar lingkungan istana. Materi ajaran yang diberikan misalnya bagaimana gerak-gerik diatur, tingkah laku dan cara bergaul bagi anak bangsawan. Pengajaran itu disalurkan lewat pesan-pesan, ceritera-ceritera yang bersifat dongeng dari orang tua atau inang pengasuh. Diajarkan pula tentang tata cara memimpin, bergaul, berbicara dan memerintah rakyat kebanyakan. Di samping itu, diajarkan pula keharusan senantiasa menampilkan keluhuran budi yang memupuk simpatik orang banyak[1].
Disamping belajar moral yang didasarkan pada adat kebangsawanan, Opu Daeng Risaju belajar pula peribadatan dan akidah sebagaimana yang diajarkan dalam agama Islam. Dalam tradisi di Luwu, agama dan budaya menjadi satu. Famajjah sejak kecil membaca Al Quran sampai tamat 30 juz. Setelah membaca Al Quran, ia mempelajari fiqih dari buku yang ditulis tangan sendiri oleh Khatib Sulaweman Datuk Patimang, salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan. Dalam pengajaran agama tersebut, Famajjah dibimbing oleh seorang ulama. Ilmu lain yang ia pelajari dalam agama yaitu nahwu, syaraf dan balagah. Dengan demikian, Opu Daeng Risaju sejak kecil tidak pernah memasuki pendidikan Barat (Sekolah Umum), walaupun ia keluarga bangsawan, sebagaimana lazimnya aktivitas pergerakan di Indonesia pada waktu itu. Boleh dikatakan, Opu Daeng Risaju adalah seorang yang “buta huruf” latin, dia dapat membaca dengan cara belajar sendiri yang dibimbing oleh saudaranya yang pernah mengikuti sekolah umum.
Setelah dewasa Famajjah kemudian dinikahkan dengan H. Muhammad Daud, seorang ulama yang pernah bermukim di Mekkah. Suami Famajjah adalah anak dari teman dagang ayahnya. Karena menikah dengan keluarga bangsawan dan memiliki pengetahuan yang luas tentang agama, H. Muhammad Daud kemudian diangkat menjadi imam masjid istana Kerajaan Luwu. Nama Famajjah bertambah gelar menjad Opu Daeng Risaju.
Aktif di PSII
Opu Daeng Risaju mulai aktif di oraganisasi Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) melalui perkenalannya dengan H. Muhammad Yahya, seorang pedagang Asal Sulawesi Selatan yang pernah lama bermukim di Pulau Jawa. H. Muhammad Yahya sendiri mendirikan Cabang SI di Pare-Pare. Opu Daeng Risaju, ketika berada di Pare-Pare masuk menjadi anggota SI Cabang Pare-Pare bersama suaminya.
Ketika pulang ke Palopo, Opu Daeng Risaju mendirikan cabang PSII di Palopo. PSII cabang Palopo resmi dibentuk pada tanggal 14 januari 1930 melalui suatu rapat akbar yang bertempat di Pasar Lama Palopo (sekarang Jalan Landau), atas prakarsa Opu Daeng Risaju sendiri yang dikoordinasi oleh orang-orang PSII. Rapat ini dihadiri oleh aparat pemerintah Kerajaan Luwu, pengurus PSII pusat, pemuka masyarakat dan masyarakat umumnya. Hadir pengurus PSII pusat yaitu Kartosuwiryo. Ketika berada di Palopo, Kartosuwiryo menginap di rumah Opu Daeng Risaju. Kedatangan Kartosuwiryo diundang langsung oleh Opu Daeng Risaju.
Opu Daeng Risaju dalam rapat akbar tersebut terpilih sebagai ketua, sedangkan Mudehang seorang gadis yang masih saudara Opu Daeng Risaju terpilih sebagai sekretaris. Mudehang terpilih sebagai sekretaris merupakan kebutuhan organisasi karena dia seorang wanita tamatan sekolah dasar lima tahun yang tentu saja mampu membaca dan menulis.
Mendapat Tekanan
Setelah resmi PSII berdiri di Palopo, Opu Daeng Risaju kemudian menyebarkan sayap perjuangannya. Cara penyebaran yang ia lakukan yaitu melalui familinya yang terdekat kemudian kepada rakyat kebanyakan. Dalam merekrut anggota PSII di mata rakyat kebanyakan dilakukan dengan cara menyebarkan kartu anggota yang bertuliskan lafadz “Ashadu Alla Ilaaha Illallah”. Dengan menggunakan kartu tersebut aspek ideologi tertanam dalam diri anggota, siapa yang memiliki kartu tersebut (menjadi anggota PSII) berarti dia seorang muslim. Dengan cara seperti ini, perjuangan PSII yang dilakukan oleh Opu Daeng Risaju mendapatkan dukungan yang sangat besar dari rakyat. Selain itu, dukungan dari rakyat ini timbul karena status Opu Daeng Risaju sebagai seorang bangsawan yang cukup kharismatis di mata masyarakat.
Dukungan yang begitu besar terhadap perjuangan Opu Daeng Risaju menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah Belanda dan Kerajaan Luwu. Kegiatan Opu Daeng Risaju dianggap sebagai kekuatan politik yang membahayakan pemerintah Belanda. Melalui Kerajaan Luwu berupaya melakukan tekanan-tekanan terhadap kegiatan Opu Daeng Risaju.
Daerah yang pertama kali menjadi tempat pendirian ranting PSII adalah di Malangke, sebuah kota di sebelah utara Palopo. Di malangke Opu Daeng Risaju mengadakan pendaftaran anggota PSII. Selama lima belas hari Opu Daeng Risaju berada di kota ini. Masyarakat di Malangke begitu antusias menerima kedatangan Opu Daeng Risaju. Apalagi di kota ini banyak famili dekat Opu Daeng Risaju.
Kegiatan Opu Daeng Risaju didengar oleh controleur afdeling Masamba (Malangke merupakan daerah afdeling Masamba). Controleur afdeling Masamba kemudian mendatangi kediaman Opu Daeng Risaju dan menuduh Opu Daeng Risaju melakukan tindakan menghasut rakyat atau menyebarkan kebencian di kalangan rakyat untuk membangkan terhadap pemerintah. Atas tuduhan tersebut, pemerintah kolonial Belanda menjatuhkan hukuman penjara kepada Opu Daeng Risaju selama 13 bulan.
Hukuman penjara tersebut ternyata tidak membuat jera bagi Opu Daeng Risaju. Setelah keluar dari penjara Opu Daeng Risaju semakin aktif dalam menyebarkan PSII. Pada tanggal 1 Maret 1932, Opu Daeng Risaju meresmikan cabang PSII di Malili bersama suaminya Haji Muhammad Daud. Aktiftas Opu Daeng Risaju, di Malili ternyata diawasi juga oleh pemerintah kolonial Belanda. Ketika Opu Daeng Risaju tiba di distrik Patampanua, dalam perjalanannya setelah dari Malili, Opu Daeng Risaju ditangkap kembali oleh Kepada Distrik atas instruksi pemerintah kolonial Belanda. Opu Daeng Risaju, oleh pemerintah kolonial Belanda dianggap sebagai orang yang membahayakan dan perlu diawasi.
Dari distrik Patampanua Opu Daeng Risaju bersama suaminya dibawa ke Palopo melalui jalan laut dengan pengawalan yang cukup ketat. Ketika di bawa ke Palopo, Opu Daeng Risaju dan suaminya diborgol karena dianggap membahayakan. Tindakan Belanda tersebut menimbulkan protes dari salah seorang familinya yang menjadi pejabat pada pemerintahan Kerajaan Luwu, yaitu Opu Balirante. Tindakan Belanda terhadap Opu Daeng Risaju dan suaminya, menurut Opu Balirante merupakan tindakan yang menghina terhadap derajat kebangsawanan yang menempel pada diri Opu Daeng Risaju. Opu Dalirante memprotes kepada pemangku adat Kerajaan Luwu dan pemerintah kolonial Belanda dan mengancam akan mengundurkan diri. Ancaman Opu Balirante tersebut ternyata berhasil meluluhkan pihak kerajaan dan pemerintah Belanda. Opu Daeng Risaju tidak jadi dihukum[2].
Pembelaan yang dilakukan oleh Opu Balirante, ternyata tidak meluluhkan semangat perjuangan Opu Daeng Risaju dalam menyebarkan PSII. Opu Daeng Risaju semakin aktif melakukan kegiatan politiknya. Aktivitas Opu Daeng Risaju sangat tidak disenangi oleh pemerintah Kerajaan Luwu. Opu Daeng Risaju di samping ditekan oleh pemerintah kolonial Belanda, juga ditekan oleh pihak kerajaan sendiri. Dalam pandangan pihak kerajaan, Opu Daeng Risaju sebagai seorang bangsawan yang dekat dengan keluarga kerajaan tidak boleh melakukan kegiatan politik yang dapat mengganggu hubungan antara pemerintah kolonial Belanda dengan Kerajaan Luwu. Waktu itu, Kerajaan Luwu sudah terikat oleh “Korte Werklaring” dengan pemerintah kolonial Belanda. Perjanjian tersebut sesungguhnya merupakan salah satu usaha Belanda untuk mengendalikan Kerajaan Luwu, misalkan pengakatan raja harus sepengetahuan dan persetujuan dari pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintah kerajaan Luwu kemudian memanggil Opu Daeng Risaju dan memintanya agar menghentikan kegiatan politiknya. Permintaan kerajaan Luwu tersebut ditolak oleh Opu Daeng Risaju. Bagi Opu Daeng Risaju, kegiatan di PSII merupakan kegiatan dalam rangka mengikuti perintah Tuhan, yaitu “amar ma’ruf nahyil munkar”. Akibat pernolakan tersebut, akhirnya Opu Daeng Risaju disebut gelar kebangsawanannya yaitu gelar “Opu”. Opu Daeng Risaju dipanggil menjadi “Indok” (Ibu) Saju, sebagaimana layaknya rakyat kebanyakan.
Tekanan dari pihak kerajaan bukan hanya pencabutan gelar kebangsawanan. Pihak kerajaan atas kendali Belanda meminta kepasa suami Opu Daeng Risaju yaitu H. Muhammad Daud, agar mau membujuk isterinya menghentikan kegiatannya. Bujukan suaminya ditolak oleh Opu Daeng Risaju, bahkan Opu Daeng Risaju mempersilakan suaminya untuk mancari isteri lain dan Opu siap untuk bercerai. Akibat tekanan ini, akhirnya Opu Daeng Risaju rela bercerai dengan suaminya.
Walaupun sudah mendapat tekanan yang sangat berat baik dari pihak kerajaan dan pemerintah kolonial Belanda, Opu Daeng Risaju tidak menghentikan aktivitasnya. Dia mengikuti kegiatan dan perkembangan PSII baik di daerahnya maupun di tingkat nasional. Pada tahun 1933 Opu Daeng Risaju dengan biaya sendiri berangkat ke Jawa untuk mengikuti kegiatan Kongres PSII. Dia berangkat ke Jawa dengan biaya sendiri dengan cara menjual kekayaan yang ia miliki. Bukanlah hal yang mudah untuk datang ke Jawa pada saat itu, mengingat jarak antara Pulau Jawa dengan Sulawesi sangat jauh.
Kedatangan Opu Daeng Risaju ke Jawa, ternyata menimbulkan sikap tidak senang dari pihak kerajaan. Opu Daeng Risaju kembali dipanggil oleh pihak kerajaan. Dia dianggap telah melakukan pelanggaran dengan melakukan kegiatan politik. Oleh anggota Dewan hadat yang pro-Belanda, Opu Daeng Risaju dihadapkan pada pengadilan adat dan Opu Daeng Risaju dianggap melanggar hukum (Majulakkai Pabbatang). Anggota Dewan Hadat yang pro-Belanda menuntutu agar Opu Daeng Risaju dijatuhi hukuman dibuang atau diselong. Akan tetapi Opu Balirante yang pernah membela Opu Daeng Risaju, menolak usul tersebut. Akhirnya Opu Daeng Risaju dijatuhi hukuman penjara selama empat belas bulan pada tahun 1934[3].
Sebagai orang hukuman, Opu Daeng Risaju harus bekerja di luar penjara seperti orang-orang hukuman lainnya karena tidak mempunyai lagi hak-hak istimewa sebagaimana berlaku bagi bangsawan. Haknya telah dicabut berrsamaan dengan pencopotan gelar kebangsawanannya. Selama dipenjara, Opu Daeng Risaju disuruh mendorong gerobak, bekerja membersihkan jalan di tengah-tengah kota Palopo.
Penggerak Pemberontakan dan Dipenjara NICA
Pada masa pendudukan Jepang Opu Daeng Risaju tidak banyak melakukan kegiatan di PSII. Hal ini dikarenakan adanya larangan dari pemerintah pendudukan Jepang terhadap kegiatan politik Organisasi Pergerakan Kebangsaan, termasuk di dalamnya PSII.
Opu Daeng Risaju kembali aktif pada masa revolusi. Pada masa revolusi di Luwu terjadi pemberontakan yang digerakkan oleh pemuda sebagai sikap penolakan terhadap kedatangan NICA di Sulawesi Selatan yang berkeinginan kembali menjajah Indonesia. Pemicu pemberontakan ini terjadi, ketika tentara NICA menggeledah rumah Opu Gawe untuk mencari senjata, akan tetapi tidak menemukannya. Kemudian tentara NICA menuju ke masjid dan menanyakan orang-orang di dalam masjid, di antaranya seorang Doja (penjaga measjid) yang bernama Tomanjawani. Jawaban dari Tomanjawani tidak memuaskan, sehingga tentara NICA mengobrak-abrik masjid dan menginjak Al Quran, bahkan Tomanjawani sendiri dipukuli karena mencegah tindakan tentara NICA di Masjid[4].
Tindakan tentara NICA tersebut menimbulkan kemarahan rakyat di Luwu. Mengobrak-abrik masjid dan menginjak Al Quran sudah merupakan “siri” bagi orang Sulawesi Selatan. Akhirnya para pemuda memberikan ultimatum kepada tentara NICA yang ada di Palopo agar kembali ke tangsinya, tidak berkeliaran di kota. Ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh tentara NICA, yang kemudian berakibat timbulnya konflik senjata yang sangat besar antara tentara NICA dengan para pemuda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 Januari 1946.
Peristiwa 23 Januari 1946 di Palopo kemudian merembet ke kota-kota lainnya. Di kota-kota lain timbul konflik-konflik senjata antara tentara NICA dengan para pemuda. Salah satu kota yang ikut kena imbasnya dari peristiwa 23 Januari 1946 di Palopo adalah Beloppa, kota tempat Opu Daeng Risaju tinggal[5].
Opu Daeng Risaju ketika berada di Belopa memiliki peran besar terhadap upaya perlawanan terhadap tentara NICA. Dia banyak melakukan mobilisasi terhadap pemuda dan memberikan doktrin perjuangan kepada pemuda. Tindakan Opu Daeng Risaju ini membuat NICA berupaya untuk menangkapnya.
Upaya yang dilakukan NICA terhadap Opu Daeng Risaju dengan cara mengeluarkan pengumuman yang berisi persyaratan bahwa barang siapa yang dapat menangkap Opu Daeng Risaju baik dalam keadaan hidup atau mati, akan diberikan hadiah. Akan tetapi tidak ada seorang yang melaksanakan pengumuman Belanda tersebut.
Opu Daeng Risaju melalukan persembunyian dari satu tempat ke tempat lainnya ketika NICA melakukan pengejaran. NICA dapat menangkap Opu Daeng Risaju ketika berada di Lantoro. Opu Daeng Risaju ditangkap dalam persembunyainnya. Kemudian ia dibawa ke Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 km. Opu Daeng Risaju ditahan di penjara Bone dalam satu bulan tanpa diadili kemudian dipindahkan ke penjara Sengkang dan dari sini dibawa ke Bajo.
Ketika berada di Bajo, Opu Daeng Risaju disiksa oleh Kepala Distrik Bajo yang bernama Ladu Kalapita. Opu Daeng Risaju dibawa ke lapangan sepak bola. Dia disuruh berlari mengelilingi tanah lapangan yang diiringi dengan letusan senapan. Setelah itu Opu disuruh berdiri tegap menghadap matahari, lalu Ludo Kalapita mendekatinya dan meletakkan laras senapannya pada pundak Opu yang waktu itu sudah berusia 67 tahun. Kemudian Ludo Kalapita meletuskan senapannya. Akibatnya Opu Daeng Risaju jatuh tersungkur mencium tanah di antara kaki Luda Kalapita dan masih sempat menyepaknya. Opu Daeng Risaju kemudian dimasukkan ke “penjara” semacam tahanan darurat di bawah kolong tanah).
akibat penyiksaan yang dilakukan oleh Ludo Kalapita terhadap Opu Daeng Risaju yaitu Opu enjadi tuli seumur hidup. Seminggu kemudian Opu dikenakan tahanan luar dan beliau tinggal di rumah Daeng Matajang. Tanpa diadili Opu dibebaskan dari tahanan sesudah menjalaninya selama 11 bulan dan kembali ke Bua kemudian menetap di Belopa.
Setelah pengakuan kedahulatan RI tahun 1949, Opu Daeng Risaju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya Haji Abdul Kadir Daud yang waktu itu bertugas di Pare-Pare. Sejak tahun 1950 Opu Daeng Risaju tidak aktif lagi di PSII, ia hanya menjadi sesepuh dari organisasi itu. Pada tanggal 10 Februari 1964, Opu Daeng Risaju meninggal dunia. Beliau dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo, tanpa ada upacara kehormatan sebagaimana lazimnya seorang pahlawan yang baru meninggal.
Kesimpulan
Perjuangan Opu Daeng Risaju memiliki dasar nilai budaya yang dipegangnya. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan ada sistem nilai budaya yang disebut Siri’ na Pesse. Secara harfiah siri’ berarti malu. Secara kultural siri’ mengandung arti pertama, ungkapan psikis yang dilandasi perasaan malu yang dalam guna berbuat sesuatu hal yang tercela serta dilarang oleh kaidah adat. Kedua, yaitu nilai harga diri yang berarti kehormatan atau disebut martabat. Pesse merupakan padanan kata siri’. Secara harfiah pesse mengandung arti pedih atau perih meresap dalam kalbu karena melihat penderitaan orang lain. Pesse berfungsi sebagai pemersatu, penggalang solidaritas, pembersamaan serta pemuliaan humanitas (‘sipakatau)[6].
Kalaulah dianalisis mengapa perjuangan Opu Daeng Risaju menimbulkan konflik dan kekerasan dengan pemerintah kolonial Belada dan Kerajaan Luwu, dapat dilihat dari sistem nilai budaya lokal yang mendasarinya. Bagi Opu Daeng Risaju aktifnya ia di PSII memiliki nilai pesse. Opu Daeng Risaju melihat penjajahan Belanda di daerahnya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyaat. Penderitaan rakyat yang dialaminya, membuat Opu Daeng Risaju merasa terpanggil untuk membelanya dengan cara aktif di PSII.
Perjuangan yang memiliki nilai pesse tersebut ternyata tidak dihargai oleh pemerintahan kerajaan Luwu akibat tekanan dari Belanda. Sikap kerajaan Luwu dan pemerintahan kolonial Belanda dengan melakukan larangan, tekanan sampai pada penangkapan dan pemenjaraan terhadap Opu Daeng Risaju menimbulkan sikap siri’. Aktifitas dan pengangkatan Opu Daeng Risaju di PSII dalam pandangannya merupakan suatu harga diri yang dipertaruhkan.
Opu Daeng Risaju bersikukuh tetap berjuang di PSII karena ia menjunjung tinggi nilai siri’ na pesse dan pada sisi lain kerajaan Luwu dengan kendali Belanda bersikukuh melarang kegiatan Opu Daeng Risaju karena dapat membahayakan tatanan politik pemerintahan, mengakibatkan timbulnya konflik dan kekerasan. Bagi Opu Daeng Risaju perjuangan adalah kemulyaan sedangkan bagi pihak pemerintah kerajaan Luwu dan Belanda, perjuangan Opu Daeng Risaju membahayakan bagi tatanan kekuasaannya.
Daftar Pustaka
Anthon A. Pangerang, et. al. 1986. Sejarah Ringkas Perjuangan Pertahanan Keamanan Rakyat (PKR) Luwu Dalam Membela dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Luwu: Badan Penggerak Pembina “Angkatan45” Dewan Harian Cabang Kabupaten Luwu.
Lahadjdji Patang, Sulawesi Selatan dan Pahlawan-pahlawannya, Yayasan Generasi Muda Indonesia (YKGMI).
M. Laica Marzuki. 1995. Siri, bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum), Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
Muhammad Arfah. 1991. Opu Daeng Risaju Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan Republik Indonesia. Ujung Pandang: Depdikbud.
Syamsul Alam, “Opu Daeng Risaju Wanta Alam yang Jadi Kaum Pergerakan”, dalam Mimbar Ulama, No. 4. tahun I September 1976.
Sanusi Daeng Mattata. 1967. Luwu Dalam Revolusi. Makassar: Bhakti Baru, hlm. 335.
Konflik dan kekerasan merupakan suatu fenomena historis yang bisa terjadi dalam hubungan antara negara (kekuasaan) dengan individu. Konflik biasa muncul manakala cita-cita individu bertentangan dengan kemauan negara. Individu biasanya akan terus memperjuangkan cita-citanya baik dalam bentuk gagasan maupun aksi. Sedangkan negara akan terus berusaha untuk menekan aktivitas individu, agar jangan sampai aktivitas individu dapat membahayakan stabilitas negara. Upaya negara untuk menekan individu dapat sampai pada tingkat bentuk tindak kekerasan.
Fenomena tersebut di atas biasa terjadi dalam sebuah kekuasaan negara yang otoriter. Dalam kekuasaan ini kebebasan individu dikekang. Negara memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap diri individu. Individu harus tunduk pada peraturan-peraturan yang dibuat negara. Peraturan-peraturan yang dibuat biasanya dalam model kekuasaan yang seperti ini adalah peraturan yang dapat melanggengkan kekuasaan.
Dalam sejarah Indonesia beberapa kasus konflik dan kekerasan yang dilakukan oleh negara (kekuasaan) terhadap individu sudah banyak terjadi. Peristiwa-peristiwa di zaman kolonial Belanda dan Jepang, misalnya merupakan contoh, betapa pemerintah menjalankan kekuasaannya semata-mata demi kekuasaan itu sendiri atau demi kepentingan rakyat terjajah.
Makalah ini akan mengangkat salah satu bentuk pengekangan dan kekerasan yang menimpa Opu Daeng Risaju. Sebuah peristiwa yang memperlihatkan konflik dan kekerasan yang dilakukan oleh negara (pemerintah kolonial dan kerajaan Luwu) terhadap aktivitas perjuangan individu di Sulawesi Selatan. Individu yang dimaksud di sini adalah Opu Daeng Risaju yang aktif dalam organisasi pergerakan kebangsaan Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII).
Ada tiga hal yang menarik dalam peristiwa ini yang menimpa Opu Daeng Risaju itu. Pertama, Opu lahir dan dibesarkan sebagai seorang bangsawan, kedua, sangat kebetulan ia dilahirkan sebagai seorang wanita, dan ketiga, sebagai seorang anggota keluarga bangsawan, Opu ternyata sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan Barat (Sekolah Formal). Lalu, bagaimana seorang wanita bangsawan yang tidak pernah mengenyam pendidikan Barat, dipandang sebagai musuh yang berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda? Persoalan inilah yang coba diangkat dalam makalah ini.
Latar Belakang Kehidupan Opu Daeng Risaju
Nama kecil Opu Daeng Risaju adalah Famajjah. Ia dilahirkan di Palopo pada tahun 1880, dari hasil perkawinan antara Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah to Barengseng. Nama Opu menunjukkan gelar kebangsawanan di kerajaan Luwu. Dengan demikian Opu Daeng Risaju merupakan keturunan dekat dari keluarga Kerajaan Luwu.
Pendidikan yang ditanamkan sejak kecil lebih ditekankan pada persoalan yang menyangkut ajaran dan nilai-nilai moral baik yang berlandaskan budaya maupun agama. Sebagai seorang puteri bangsawan di daerah Luwu, sudah menjadi tradisi bagi keluarga bangsawan untuk mengajarkan kepada keluarga atau anak-anaknya tentang pola perilaku yang harus dimiliki oleh seorang perempuan. Pengajaran tentang tata cara kehidupan seorang bahsawan dilaksanakan baik di istana sendiri maupun di luar lingkungan istana. Materi ajaran yang diberikan misalnya bagaimana gerak-gerik diatur, tingkah laku dan cara bergaul bagi anak bangsawan. Pengajaran itu disalurkan lewat pesan-pesan, ceritera-ceritera yang bersifat dongeng dari orang tua atau inang pengasuh. Diajarkan pula tentang tata cara memimpin, bergaul, berbicara dan memerintah rakyat kebanyakan. Di samping itu, diajarkan pula keharusan senantiasa menampilkan keluhuran budi yang memupuk simpatik orang banyak[1].
Disamping belajar moral yang didasarkan pada adat kebangsawanan, Opu Daeng Risaju belajar pula peribadatan dan akidah sebagaimana yang diajarkan dalam agama Islam. Dalam tradisi di Luwu, agama dan budaya menjadi satu. Famajjah sejak kecil membaca Al Quran sampai tamat 30 juz. Setelah membaca Al Quran, ia mempelajari fiqih dari buku yang ditulis tangan sendiri oleh Khatib Sulaweman Datuk Patimang, salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan. Dalam pengajaran agama tersebut, Famajjah dibimbing oleh seorang ulama. Ilmu lain yang ia pelajari dalam agama yaitu nahwu, syaraf dan balagah. Dengan demikian, Opu Daeng Risaju sejak kecil tidak pernah memasuki pendidikan Barat (Sekolah Umum), walaupun ia keluarga bangsawan, sebagaimana lazimnya aktivitas pergerakan di Indonesia pada waktu itu. Boleh dikatakan, Opu Daeng Risaju adalah seorang yang “buta huruf” latin, dia dapat membaca dengan cara belajar sendiri yang dibimbing oleh saudaranya yang pernah mengikuti sekolah umum.
Setelah dewasa Famajjah kemudian dinikahkan dengan H. Muhammad Daud, seorang ulama yang pernah bermukim di Mekkah. Suami Famajjah adalah anak dari teman dagang ayahnya. Karena menikah dengan keluarga bangsawan dan memiliki pengetahuan yang luas tentang agama, H. Muhammad Daud kemudian diangkat menjadi imam masjid istana Kerajaan Luwu. Nama Famajjah bertambah gelar menjad Opu Daeng Risaju.
Aktif di PSII
Opu Daeng Risaju mulai aktif di oraganisasi Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) melalui perkenalannya dengan H. Muhammad Yahya, seorang pedagang Asal Sulawesi Selatan yang pernah lama bermukim di Pulau Jawa. H. Muhammad Yahya sendiri mendirikan Cabang SI di Pare-Pare. Opu Daeng Risaju, ketika berada di Pare-Pare masuk menjadi anggota SI Cabang Pare-Pare bersama suaminya.
Ketika pulang ke Palopo, Opu Daeng Risaju mendirikan cabang PSII di Palopo. PSII cabang Palopo resmi dibentuk pada tanggal 14 januari 1930 melalui suatu rapat akbar yang bertempat di Pasar Lama Palopo (sekarang Jalan Landau), atas prakarsa Opu Daeng Risaju sendiri yang dikoordinasi oleh orang-orang PSII. Rapat ini dihadiri oleh aparat pemerintah Kerajaan Luwu, pengurus PSII pusat, pemuka masyarakat dan masyarakat umumnya. Hadir pengurus PSII pusat yaitu Kartosuwiryo. Ketika berada di Palopo, Kartosuwiryo menginap di rumah Opu Daeng Risaju. Kedatangan Kartosuwiryo diundang langsung oleh Opu Daeng Risaju.
Opu Daeng Risaju dalam rapat akbar tersebut terpilih sebagai ketua, sedangkan Mudehang seorang gadis yang masih saudara Opu Daeng Risaju terpilih sebagai sekretaris. Mudehang terpilih sebagai sekretaris merupakan kebutuhan organisasi karena dia seorang wanita tamatan sekolah dasar lima tahun yang tentu saja mampu membaca dan menulis.
Mendapat Tekanan
Setelah resmi PSII berdiri di Palopo, Opu Daeng Risaju kemudian menyebarkan sayap perjuangannya. Cara penyebaran yang ia lakukan yaitu melalui familinya yang terdekat kemudian kepada rakyat kebanyakan. Dalam merekrut anggota PSII di mata rakyat kebanyakan dilakukan dengan cara menyebarkan kartu anggota yang bertuliskan lafadz “Ashadu Alla Ilaaha Illallah”. Dengan menggunakan kartu tersebut aspek ideologi tertanam dalam diri anggota, siapa yang memiliki kartu tersebut (menjadi anggota PSII) berarti dia seorang muslim. Dengan cara seperti ini, perjuangan PSII yang dilakukan oleh Opu Daeng Risaju mendapatkan dukungan yang sangat besar dari rakyat. Selain itu, dukungan dari rakyat ini timbul karena status Opu Daeng Risaju sebagai seorang bangsawan yang cukup kharismatis di mata masyarakat.
Dukungan yang begitu besar terhadap perjuangan Opu Daeng Risaju menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah Belanda dan Kerajaan Luwu. Kegiatan Opu Daeng Risaju dianggap sebagai kekuatan politik yang membahayakan pemerintah Belanda. Melalui Kerajaan Luwu berupaya melakukan tekanan-tekanan terhadap kegiatan Opu Daeng Risaju.
Daerah yang pertama kali menjadi tempat pendirian ranting PSII adalah di Malangke, sebuah kota di sebelah utara Palopo. Di malangke Opu Daeng Risaju mengadakan pendaftaran anggota PSII. Selama lima belas hari Opu Daeng Risaju berada di kota ini. Masyarakat di Malangke begitu antusias menerima kedatangan Opu Daeng Risaju. Apalagi di kota ini banyak famili dekat Opu Daeng Risaju.
Kegiatan Opu Daeng Risaju didengar oleh controleur afdeling Masamba (Malangke merupakan daerah afdeling Masamba). Controleur afdeling Masamba kemudian mendatangi kediaman Opu Daeng Risaju dan menuduh Opu Daeng Risaju melakukan tindakan menghasut rakyat atau menyebarkan kebencian di kalangan rakyat untuk membangkan terhadap pemerintah. Atas tuduhan tersebut, pemerintah kolonial Belanda menjatuhkan hukuman penjara kepada Opu Daeng Risaju selama 13 bulan.
Hukuman penjara tersebut ternyata tidak membuat jera bagi Opu Daeng Risaju. Setelah keluar dari penjara Opu Daeng Risaju semakin aktif dalam menyebarkan PSII. Pada tanggal 1 Maret 1932, Opu Daeng Risaju meresmikan cabang PSII di Malili bersama suaminya Haji Muhammad Daud. Aktiftas Opu Daeng Risaju, di Malili ternyata diawasi juga oleh pemerintah kolonial Belanda. Ketika Opu Daeng Risaju tiba di distrik Patampanua, dalam perjalanannya setelah dari Malili, Opu Daeng Risaju ditangkap kembali oleh Kepada Distrik atas instruksi pemerintah kolonial Belanda. Opu Daeng Risaju, oleh pemerintah kolonial Belanda dianggap sebagai orang yang membahayakan dan perlu diawasi.
Dari distrik Patampanua Opu Daeng Risaju bersama suaminya dibawa ke Palopo melalui jalan laut dengan pengawalan yang cukup ketat. Ketika di bawa ke Palopo, Opu Daeng Risaju dan suaminya diborgol karena dianggap membahayakan. Tindakan Belanda tersebut menimbulkan protes dari salah seorang familinya yang menjadi pejabat pada pemerintahan Kerajaan Luwu, yaitu Opu Balirante. Tindakan Belanda terhadap Opu Daeng Risaju dan suaminya, menurut Opu Balirante merupakan tindakan yang menghina terhadap derajat kebangsawanan yang menempel pada diri Opu Daeng Risaju. Opu Dalirante memprotes kepada pemangku adat Kerajaan Luwu dan pemerintah kolonial Belanda dan mengancam akan mengundurkan diri. Ancaman Opu Balirante tersebut ternyata berhasil meluluhkan pihak kerajaan dan pemerintah Belanda. Opu Daeng Risaju tidak jadi dihukum[2].
Pembelaan yang dilakukan oleh Opu Balirante, ternyata tidak meluluhkan semangat perjuangan Opu Daeng Risaju dalam menyebarkan PSII. Opu Daeng Risaju semakin aktif melakukan kegiatan politiknya. Aktivitas Opu Daeng Risaju sangat tidak disenangi oleh pemerintah Kerajaan Luwu. Opu Daeng Risaju di samping ditekan oleh pemerintah kolonial Belanda, juga ditekan oleh pihak kerajaan sendiri. Dalam pandangan pihak kerajaan, Opu Daeng Risaju sebagai seorang bangsawan yang dekat dengan keluarga kerajaan tidak boleh melakukan kegiatan politik yang dapat mengganggu hubungan antara pemerintah kolonial Belanda dengan Kerajaan Luwu. Waktu itu, Kerajaan Luwu sudah terikat oleh “Korte Werklaring” dengan pemerintah kolonial Belanda. Perjanjian tersebut sesungguhnya merupakan salah satu usaha Belanda untuk mengendalikan Kerajaan Luwu, misalkan pengakatan raja harus sepengetahuan dan persetujuan dari pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintah kerajaan Luwu kemudian memanggil Opu Daeng Risaju dan memintanya agar menghentikan kegiatan politiknya. Permintaan kerajaan Luwu tersebut ditolak oleh Opu Daeng Risaju. Bagi Opu Daeng Risaju, kegiatan di PSII merupakan kegiatan dalam rangka mengikuti perintah Tuhan, yaitu “amar ma’ruf nahyil munkar”. Akibat pernolakan tersebut, akhirnya Opu Daeng Risaju disebut gelar kebangsawanannya yaitu gelar “Opu”. Opu Daeng Risaju dipanggil menjadi “Indok” (Ibu) Saju, sebagaimana layaknya rakyat kebanyakan.
Tekanan dari pihak kerajaan bukan hanya pencabutan gelar kebangsawanan. Pihak kerajaan atas kendali Belanda meminta kepasa suami Opu Daeng Risaju yaitu H. Muhammad Daud, agar mau membujuk isterinya menghentikan kegiatannya. Bujukan suaminya ditolak oleh Opu Daeng Risaju, bahkan Opu Daeng Risaju mempersilakan suaminya untuk mancari isteri lain dan Opu siap untuk bercerai. Akibat tekanan ini, akhirnya Opu Daeng Risaju rela bercerai dengan suaminya.
Walaupun sudah mendapat tekanan yang sangat berat baik dari pihak kerajaan dan pemerintah kolonial Belanda, Opu Daeng Risaju tidak menghentikan aktivitasnya. Dia mengikuti kegiatan dan perkembangan PSII baik di daerahnya maupun di tingkat nasional. Pada tahun 1933 Opu Daeng Risaju dengan biaya sendiri berangkat ke Jawa untuk mengikuti kegiatan Kongres PSII. Dia berangkat ke Jawa dengan biaya sendiri dengan cara menjual kekayaan yang ia miliki. Bukanlah hal yang mudah untuk datang ke Jawa pada saat itu, mengingat jarak antara Pulau Jawa dengan Sulawesi sangat jauh.
Kedatangan Opu Daeng Risaju ke Jawa, ternyata menimbulkan sikap tidak senang dari pihak kerajaan. Opu Daeng Risaju kembali dipanggil oleh pihak kerajaan. Dia dianggap telah melakukan pelanggaran dengan melakukan kegiatan politik. Oleh anggota Dewan hadat yang pro-Belanda, Opu Daeng Risaju dihadapkan pada pengadilan adat dan Opu Daeng Risaju dianggap melanggar hukum (Majulakkai Pabbatang). Anggota Dewan Hadat yang pro-Belanda menuntutu agar Opu Daeng Risaju dijatuhi hukuman dibuang atau diselong. Akan tetapi Opu Balirante yang pernah membela Opu Daeng Risaju, menolak usul tersebut. Akhirnya Opu Daeng Risaju dijatuhi hukuman penjara selama empat belas bulan pada tahun 1934[3].
Sebagai orang hukuman, Opu Daeng Risaju harus bekerja di luar penjara seperti orang-orang hukuman lainnya karena tidak mempunyai lagi hak-hak istimewa sebagaimana berlaku bagi bangsawan. Haknya telah dicabut berrsamaan dengan pencopotan gelar kebangsawanannya. Selama dipenjara, Opu Daeng Risaju disuruh mendorong gerobak, bekerja membersihkan jalan di tengah-tengah kota Palopo.
Penggerak Pemberontakan dan Dipenjara NICA
Pada masa pendudukan Jepang Opu Daeng Risaju tidak banyak melakukan kegiatan di PSII. Hal ini dikarenakan adanya larangan dari pemerintah pendudukan Jepang terhadap kegiatan politik Organisasi Pergerakan Kebangsaan, termasuk di dalamnya PSII.
Opu Daeng Risaju kembali aktif pada masa revolusi. Pada masa revolusi di Luwu terjadi pemberontakan yang digerakkan oleh pemuda sebagai sikap penolakan terhadap kedatangan NICA di Sulawesi Selatan yang berkeinginan kembali menjajah Indonesia. Pemicu pemberontakan ini terjadi, ketika tentara NICA menggeledah rumah Opu Gawe untuk mencari senjata, akan tetapi tidak menemukannya. Kemudian tentara NICA menuju ke masjid dan menanyakan orang-orang di dalam masjid, di antaranya seorang Doja (penjaga measjid) yang bernama Tomanjawani. Jawaban dari Tomanjawani tidak memuaskan, sehingga tentara NICA mengobrak-abrik masjid dan menginjak Al Quran, bahkan Tomanjawani sendiri dipukuli karena mencegah tindakan tentara NICA di Masjid[4].
Tindakan tentara NICA tersebut menimbulkan kemarahan rakyat di Luwu. Mengobrak-abrik masjid dan menginjak Al Quran sudah merupakan “siri” bagi orang Sulawesi Selatan. Akhirnya para pemuda memberikan ultimatum kepada tentara NICA yang ada di Palopo agar kembali ke tangsinya, tidak berkeliaran di kota. Ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh tentara NICA, yang kemudian berakibat timbulnya konflik senjata yang sangat besar antara tentara NICA dengan para pemuda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 Januari 1946.
Peristiwa 23 Januari 1946 di Palopo kemudian merembet ke kota-kota lainnya. Di kota-kota lain timbul konflik-konflik senjata antara tentara NICA dengan para pemuda. Salah satu kota yang ikut kena imbasnya dari peristiwa 23 Januari 1946 di Palopo adalah Beloppa, kota tempat Opu Daeng Risaju tinggal[5].
Opu Daeng Risaju ketika berada di Belopa memiliki peran besar terhadap upaya perlawanan terhadap tentara NICA. Dia banyak melakukan mobilisasi terhadap pemuda dan memberikan doktrin perjuangan kepada pemuda. Tindakan Opu Daeng Risaju ini membuat NICA berupaya untuk menangkapnya.
Upaya yang dilakukan NICA terhadap Opu Daeng Risaju dengan cara mengeluarkan pengumuman yang berisi persyaratan bahwa barang siapa yang dapat menangkap Opu Daeng Risaju baik dalam keadaan hidup atau mati, akan diberikan hadiah. Akan tetapi tidak ada seorang yang melaksanakan pengumuman Belanda tersebut.
Opu Daeng Risaju melalukan persembunyian dari satu tempat ke tempat lainnya ketika NICA melakukan pengejaran. NICA dapat menangkap Opu Daeng Risaju ketika berada di Lantoro. Opu Daeng Risaju ditangkap dalam persembunyainnya. Kemudian ia dibawa ke Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 km. Opu Daeng Risaju ditahan di penjara Bone dalam satu bulan tanpa diadili kemudian dipindahkan ke penjara Sengkang dan dari sini dibawa ke Bajo.
Ketika berada di Bajo, Opu Daeng Risaju disiksa oleh Kepala Distrik Bajo yang bernama Ladu Kalapita. Opu Daeng Risaju dibawa ke lapangan sepak bola. Dia disuruh berlari mengelilingi tanah lapangan yang diiringi dengan letusan senapan. Setelah itu Opu disuruh berdiri tegap menghadap matahari, lalu Ludo Kalapita mendekatinya dan meletakkan laras senapannya pada pundak Opu yang waktu itu sudah berusia 67 tahun. Kemudian Ludo Kalapita meletuskan senapannya. Akibatnya Opu Daeng Risaju jatuh tersungkur mencium tanah di antara kaki Luda Kalapita dan masih sempat menyepaknya. Opu Daeng Risaju kemudian dimasukkan ke “penjara” semacam tahanan darurat di bawah kolong tanah).
akibat penyiksaan yang dilakukan oleh Ludo Kalapita terhadap Opu Daeng Risaju yaitu Opu enjadi tuli seumur hidup. Seminggu kemudian Opu dikenakan tahanan luar dan beliau tinggal di rumah Daeng Matajang. Tanpa diadili Opu dibebaskan dari tahanan sesudah menjalaninya selama 11 bulan dan kembali ke Bua kemudian menetap di Belopa.
Setelah pengakuan kedahulatan RI tahun 1949, Opu Daeng Risaju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya Haji Abdul Kadir Daud yang waktu itu bertugas di Pare-Pare. Sejak tahun 1950 Opu Daeng Risaju tidak aktif lagi di PSII, ia hanya menjadi sesepuh dari organisasi itu. Pada tanggal 10 Februari 1964, Opu Daeng Risaju meninggal dunia. Beliau dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo, tanpa ada upacara kehormatan sebagaimana lazimnya seorang pahlawan yang baru meninggal.
Kesimpulan
Perjuangan Opu Daeng Risaju memiliki dasar nilai budaya yang dipegangnya. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan ada sistem nilai budaya yang disebut Siri’ na Pesse. Secara harfiah siri’ berarti malu. Secara kultural siri’ mengandung arti pertama, ungkapan psikis yang dilandasi perasaan malu yang dalam guna berbuat sesuatu hal yang tercela serta dilarang oleh kaidah adat. Kedua, yaitu nilai harga diri yang berarti kehormatan atau disebut martabat. Pesse merupakan padanan kata siri’. Secara harfiah pesse mengandung arti pedih atau perih meresap dalam kalbu karena melihat penderitaan orang lain. Pesse berfungsi sebagai pemersatu, penggalang solidaritas, pembersamaan serta pemuliaan humanitas (‘sipakatau)[6].
Kalaulah dianalisis mengapa perjuangan Opu Daeng Risaju menimbulkan konflik dan kekerasan dengan pemerintah kolonial Belada dan Kerajaan Luwu, dapat dilihat dari sistem nilai budaya lokal yang mendasarinya. Bagi Opu Daeng Risaju aktifnya ia di PSII memiliki nilai pesse. Opu Daeng Risaju melihat penjajahan Belanda di daerahnya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyaat. Penderitaan rakyat yang dialaminya, membuat Opu Daeng Risaju merasa terpanggil untuk membelanya dengan cara aktif di PSII.
Perjuangan yang memiliki nilai pesse tersebut ternyata tidak dihargai oleh pemerintahan kerajaan Luwu akibat tekanan dari Belanda. Sikap kerajaan Luwu dan pemerintahan kolonial Belanda dengan melakukan larangan, tekanan sampai pada penangkapan dan pemenjaraan terhadap Opu Daeng Risaju menimbulkan sikap siri’. Aktifitas dan pengangkatan Opu Daeng Risaju di PSII dalam pandangannya merupakan suatu harga diri yang dipertaruhkan.
Opu Daeng Risaju bersikukuh tetap berjuang di PSII karena ia menjunjung tinggi nilai siri’ na pesse dan pada sisi lain kerajaan Luwu dengan kendali Belanda bersikukuh melarang kegiatan Opu Daeng Risaju karena dapat membahayakan tatanan politik pemerintahan, mengakibatkan timbulnya konflik dan kekerasan. Bagi Opu Daeng Risaju perjuangan adalah kemulyaan sedangkan bagi pihak pemerintah kerajaan Luwu dan Belanda, perjuangan Opu Daeng Risaju membahayakan bagi tatanan kekuasaannya.
Daftar Pustaka
Anthon A. Pangerang, et. al. 1986. Sejarah Ringkas Perjuangan Pertahanan Keamanan Rakyat (PKR) Luwu Dalam Membela dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Luwu: Badan Penggerak Pembina “Angkatan45” Dewan Harian Cabang Kabupaten Luwu.
Lahadjdji Patang, Sulawesi Selatan dan Pahlawan-pahlawannya, Yayasan Generasi Muda Indonesia (YKGMI).
M. Laica Marzuki. 1995. Siri, bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum), Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
Muhammad Arfah. 1991. Opu Daeng Risaju Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan Republik Indonesia. Ujung Pandang: Depdikbud.
Syamsul Alam, “Opu Daeng Risaju Wanta Alam yang Jadi Kaum Pergerakan”, dalam Mimbar Ulama, No. 4. tahun I September 1976.
Sanusi Daeng Mattata. 1967. Luwu Dalam Revolusi. Makassar: Bhakti Baru, hlm. 335.
Sumber:
Makalah dalam Kongres Nasional Sejarah tanggal 28-30 Oktober 2001 di Jakarta.
[1] Muhammad Arfah (1991), Opu Daeng Risaju Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan Republik Indonesia. Ujung Pandang: Depdikbud, hlm 41.
[2] Syamsul Alam, “Opu Daeng Risaju Wanita Alam yang Jadi Kaum Pergerakan”, dalam, Mimbar Ulama, No. 4. Tahun I September 1976.
[3] Lahadjidji Patang, Sulawesi Selatan dan Pahlawan-pahlawannya, Yayasan Generasi Muda Indonesia (YKGMI), hlm. 43.
[4] Sanusi Daeng Mattata. 1967. Luwu Dalam Revolusi, Makassar: Bhakti Baru, hlm. 335.
[5] Anthon A. Pangerang, et. al (1986), Sejarah Ringkas Perjuangan Pertahanan Keamanan Rakyat (PKR) Luwu Dalam Membela dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Luwu: Badan Penggerak Pembina “Angkatan 45” Dewan Harian Cabanga Kabupaten Luwu, hlm. 1.
[6] M. Iaica Marzuki. 1995. Siri, bagian Kesadaran Hukum rakyat Bugis Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum), Ujung Pandang Hasanuddin University Press, hlm. 115-133.
Sumber: http://uun-halimah.blogspot.com/
Makalah dalam Kongres Nasional Sejarah tanggal 28-30 Oktober 2001 di Jakarta.
[1] Muhammad Arfah (1991), Opu Daeng Risaju Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan Republik Indonesia. Ujung Pandang: Depdikbud, hlm 41.
[2] Syamsul Alam, “Opu Daeng Risaju Wanita Alam yang Jadi Kaum Pergerakan”, dalam, Mimbar Ulama, No. 4. Tahun I September 1976.
[3] Lahadjidji Patang, Sulawesi Selatan dan Pahlawan-pahlawannya, Yayasan Generasi Muda Indonesia (YKGMI), hlm. 43.
[4] Sanusi Daeng Mattata. 1967. Luwu Dalam Revolusi, Makassar: Bhakti Baru, hlm. 335.
[5] Anthon A. Pangerang, et. al (1986), Sejarah Ringkas Perjuangan Pertahanan Keamanan Rakyat (PKR) Luwu Dalam Membela dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Luwu: Badan Penggerak Pembina “Angkatan 45” Dewan Harian Cabanga Kabupaten Luwu, hlm. 1.
[6] M. Iaica Marzuki. 1995. Siri, bagian Kesadaran Hukum rakyat Bugis Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum), Ujung Pandang Hasanuddin University Press, hlm. 115-133.
Sumber: http://uun-halimah.blogspot.com/