SAYA tidak bisa membayangkan jika Johannes Joesoef Subrata adalah orang Bugis. Bagi orang Bugis, istri serong taruhannya nyawa. Makanya di daerah Bugis, tidak heran ada isteri ditinggalkan oleh suami yang merantau, tetapi mereka tetap saja setia menjaga kehormatannya. Jika si suami mengetahui dengan pasti atau mendapatkan isterinya berzina maka wajib hukumnya membunuh kedua-duanya. Ini adalah siri’ bagi orang Bugis. Tapi bagi Josoef Subrata, hal ini sepertinya bukan masalah. Alih-alih merasa harga dirinya tercabik-cabik, ia malah merasa bangga dengan keberanian istrinya mengakui kesalahannya telah ditiduri Ariel, mantan vokalis Peterpan itu. “Saya bangga istri saya mau berjiwa besar mengakui kesalahannya kepada seluruh masyarakat,” ungkap Joesoef usai jumpa pers di kawasan SCBD Jakarta, Senin (12/10/2010) malam seperti dikutip Kompas.com.
Saya ingin mengutip tulisan sobat saya Haspa, orang Bugis yang kini merantau di Malaysia. Dalam postingannya di Kompasiana, ia menuturkan:
“…Apabila isteri atau keluarga perempuan yang bersuami di dapatkan melakukan perzinahaan maka jawabannya adalah “NYAWA”. Kalau seorang suami mengetahui dengan pasti atau mendapatkan isterinya berzina maka wajib membunuh kedua-duanya. Bahkan bukan saja suami dari isteri yang bersinah yang berhak membunuh tetapi saudara lelaki ( kakak/adik dr perempuan yang berzinah) dan orang tua juga bisa membunuh perempuan dan lelaki selingkuhnya sebagai penebus marwah dari pihak keluarga lelaki (suami). Saudara dan orang tua lelaki(suami) tidak berhak bertindak sampai membunuh karena ia kewajiban suaminya dan saudara lelaki isterinya. perkawinan adalah sangat sakral dalam budaya Bugis, maka itu mencari isteri pun biasanya prioritas utama adalah dari keluarga yang bebas perzinahan karena mereka percaya kalau bibit penzinah juga akan menghasilkan buah penzinah. bahkan mereka sangat keras menolak terhadap anak keturunan kawin lari, anak luar nikah, atau anak dari bunting/hamil baru nikah( ini yg harus di hindari) muncullah istilah” ANRE RIOLO BACA DOANG MUNRI” (makan duluan baca doa belakangan). Jangan harap anak itu bisa mendapat jodoh dari kampung/daerah setempat kecuali dari luar yang tidak mengetahui latar belakang atau mungkin ia merantau kedaerah yang lain baru bisa laku….”
Penuturan Haspa tersebut benar adanya. Dan ini masih berlaku dan dipegang teguh bagi orang Bugis. Boleh jadi karena itu, tidaklah mengherankan jika ada isteri di daerah Bugis yang ditinggalkan oleh suami yang merantau bertahun-tahun bahkan ada berpuluh tahun tetapi mereka tetap setia menjaga kehormatan dirinya sebagai kehormatan utama dari suami dan keluarganya. Di daerah Bugis, pernah terjadi ada kasus istri dibunuh bersama pasangan zinanya.
Bagi orang Bugis, jangankan merasa bangga dengan pengakuan istri ditiduri orang lain, membiarkan saja, si suami dianggap “bukan laki-laki” atau istilahnya “burane cappa utti” oleh masyarakat. Si suami dinilai tak lagi punya harga diri. Jangankan ditiduri, diketahui saja bahwa istri memiliki hubungan walaupun tidak melakukan perzinahkan, tapi jika hati dan cintanya sudah terbagi kepada orang lain, maka suaminya akan dipinggirkan oleh pergaulan sosial. Wajib hukumnya si suami menceraikan sang istri. Ini jelas hukumnya bagi adat Bugis.
Jadi untunglah suami Cut Tari bukan orang Bugis.
Salam curhat,
ANDY SYOEKRY AMAL
Saya ingin mengutip tulisan sobat saya Haspa, orang Bugis yang kini merantau di Malaysia. Dalam postingannya di Kompasiana, ia menuturkan:
“…Apabila isteri atau keluarga perempuan yang bersuami di dapatkan melakukan perzinahaan maka jawabannya adalah “NYAWA”. Kalau seorang suami mengetahui dengan pasti atau mendapatkan isterinya berzina maka wajib membunuh kedua-duanya. Bahkan bukan saja suami dari isteri yang bersinah yang berhak membunuh tetapi saudara lelaki ( kakak/adik dr perempuan yang berzinah) dan orang tua juga bisa membunuh perempuan dan lelaki selingkuhnya sebagai penebus marwah dari pihak keluarga lelaki (suami). Saudara dan orang tua lelaki(suami) tidak berhak bertindak sampai membunuh karena ia kewajiban suaminya dan saudara lelaki isterinya. perkawinan adalah sangat sakral dalam budaya Bugis, maka itu mencari isteri pun biasanya prioritas utama adalah dari keluarga yang bebas perzinahan karena mereka percaya kalau bibit penzinah juga akan menghasilkan buah penzinah. bahkan mereka sangat keras menolak terhadap anak keturunan kawin lari, anak luar nikah, atau anak dari bunting/hamil baru nikah( ini yg harus di hindari) muncullah istilah” ANRE RIOLO BACA DOANG MUNRI” (makan duluan baca doa belakangan). Jangan harap anak itu bisa mendapat jodoh dari kampung/daerah setempat kecuali dari luar yang tidak mengetahui latar belakang atau mungkin ia merantau kedaerah yang lain baru bisa laku….”
Penuturan Haspa tersebut benar adanya. Dan ini masih berlaku dan dipegang teguh bagi orang Bugis. Boleh jadi karena itu, tidaklah mengherankan jika ada isteri di daerah Bugis yang ditinggalkan oleh suami yang merantau bertahun-tahun bahkan ada berpuluh tahun tetapi mereka tetap setia menjaga kehormatan dirinya sebagai kehormatan utama dari suami dan keluarganya. Di daerah Bugis, pernah terjadi ada kasus istri dibunuh bersama pasangan zinanya.
Bagi orang Bugis, jangankan merasa bangga dengan pengakuan istri ditiduri orang lain, membiarkan saja, si suami dianggap “bukan laki-laki” atau istilahnya “burane cappa utti” oleh masyarakat. Si suami dinilai tak lagi punya harga diri. Jangankan ditiduri, diketahui saja bahwa istri memiliki hubungan walaupun tidak melakukan perzinahkan, tapi jika hati dan cintanya sudah terbagi kepada orang lain, maka suaminya akan dipinggirkan oleh pergaulan sosial. Wajib hukumnya si suami menceraikan sang istri. Ini jelas hukumnya bagi adat Bugis.
Jadi untunglah suami Cut Tari bukan orang Bugis.
Salam curhat,
ANDY SYOEKRY AMAL
Kredit kepada: http://www.tribunnews.com/