Pembantaian Westerling I - Massaker di Sulawesi Selatan

Kapten Raymond “Turki” Westerling

Oleh Batara R. Hutagalung
 
Setelah Cultuurstelsel, Poenale Sanctie dan Exorbitante Rechten, Westerling adalah hal terburuk yang "dibawa" Belanda ke Indonesia. Mungkin bab mengenai Westerling termasuk lembaran paling hitam dalam sejarah Belanda di Indonesia. Yang telah dilakukan oleh Westerling serta anak buahnya adalah war crimescrimes against humanity). Menurut International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda, crimes against humanity adalah kejahatan terbesar kedua setelah genocide (pembantaian etnis). Belanda dan negara-negara Eropa yang menjadi korban keganasan tentara Jerman selama Perang Dunia II selalu menuntut, bahwa untuk pembantaian massal atau pun kejahatan atas kemanusiaan, tidak ada kadaluarsanya. Di sini negara-negara Eropa tersebut ternyata memakai standar ganda, apabila menyangkut pelanggaran HAM yang mereka lakukan.

Ulah Westerling serta anak buahnya baik di Medan, Sulawesi Selatan, Jawa Barat mau pun dalam peristiwa APRA, hingga kini belum ada penyelesaiannya. Oleh karena itu perlu kiranya diungkap lebih rinci, hal-hal yang sehubungan dengan pembantaian di Sulawesi Selatan dan "kudeta APRA", juga konspirasi pimpinan tertinggi Belanda, baik sipil mau pun militer untuk menyelamatkan Westerling dari pengkapan dan pengadilan di Indonesia, setelah gagalnya kudeta APRA tersebut.

Westerling, yang bagi sebagian besar rakyat Indonesia adalah seorang pembunuh kejam berdarah dingin, namun bagi sebagian orang Belanda dia adalah seorang pahlawan yang hendak "menyelamatkan" jajahan Belanda dari kolaborator Jepang dan elemen komunis.

Faqih Ali Al-Malbari moyang dan ulama raja-raja Melayu

TOKOH yang diperkenalkan ini berbeza dengan beberapa tokoh bernama Ali yang pernah dibicarakan sebelum ini, iaitu Syeikh Wan Ali bin Ishaq al-Fathani, Syarif Ali Brunei dan Syeikh Ali bin Faqih al-Fathani.

Faqih Ali al-Malbari yang akan diperkenalkan dalam rencana kali ini juga bernama Andi' Ali. Terdapat percanggahan pendapat mengenai negeri asalnya kerana ada pendapat mengatakan beliau berasal dari negeri Malabar (India) dan pendapat yang lain pula mengatakan berasal dari negeri Bugis (Sulawesi Selatan, Indonesia). 

Dalam zaman yang sama, terdapat seorang lagi tokoh yang bernama Syeikh Faqih Ali yang berasal dari Patani yang dikatakan orang yang sama dengan Faqih Ali al-Malbari atau Andi' Ali, kerana sama-sama menjalankan aktiviti di Sulawesi Selatan, Johor, Kelantan dan Patani.

Namun demikian, penulis tidak dapat memastikan tentang perkara tersebut, apakah benar orang yang sama atau tokoh yang berlainan. Tetapi dapat dipastikan bahawa tokoh yang akan diperkenalkan ini adalah seorang tokoh besar dunia Melayu yang mempunyai zuriat yang ramai menjadi ulama dan raja dalam beberapa kerajaan di Patani dan Kelantan, bahkan terdapat juga di beberapa tempat-tempat lain dunia Melayu.

Asal Usul
Dalam buku yang bertajuk Ringkasan Cetera Kelantan oleh Datuk Nik Mahmud, Datuk Perdana Menteri Paduka Raja Kelantan, ada menyatakan seperti berikut, “Syahdan pada suatu masa, bulan sedang mengambang, di tepi langit, tersebutlah anak raja Bugis lari daripada saudaranya. Menumpang sebuah bahtera sampai ke Johor dan tumpang duduk berkirim diri di rumah Laksamana Kota Tinggi. Dipanggil orang 'Andi' Ali'. Tatkala Laksamana memandang kepadanya, berasa kasihan belas, dan dipeliharakannya sebagai anak sendiri. Tidak berapa tahun kemudian daripada itu, dijodohkan dengan anaknya yang bernama 'Wan Tija'.

Puteri Saadong Berakhir Di Bukit Marak?

Jurnal cuba menyelak kembali lembaran sejarah penting itu.
MOKHTAR bergambar bersama potret lukisan asal Cik Siti Wan Kembang
yang dihasilkan kira-kira tiga dekad lalu.

Pemerintahan Puteri Saadong dikatakan berakhir pada kira-kira menjelang kurun ke-18, di akhir-akhir pemerintahan baginda tidak langsung disebut baik mana-mana juga buku sejarah, bahkan cerita-cerita lisan dari penduduk-penduduk negeri Kelantan pun tidak didapati, puas juga saya menjelajah keseluruh negeri Kelantan, ke Kampung-kampung yang jauh di pendalaman dan pernah juga saya menajalankan kajian di bukit Marak yang dikatakan tempat akhir sekali Puteri Saadong bersemayam tidak saya temui bahan-bahan yang boleh menolong mengesan lingkaran sejarahnya yang berikut.

Dengan berakhirnya pemerintahan Raja Abdul Rahim yang menggantikan pemerintahan Raja Abdullah di Kota Mahligai dan juga pemerintahan Puteri Saadong di Bukit Marak maka muncul semula pemerintahan di Jembal, iaitu pemerintahan Sultan umar (Raja Umar), baginda ini ialah adik kepada Raja Loyor, dan pangkat bapa saudara pula kepada Puteri Saadong.

Pemerintahan baginda ini dikatakan bermula pada tahun 1675, baginda mempunyai beberapa orang putera dan puteri, putera sulung baginda bernama Raja kecil Solong yang dirajakan di Kota Teras (di Kampung Teras dekat Kampung Mentuan), seorang lagi putera baginda bernama Raja Ngah atau dipanggil juga Raja Hudang memerintah di Tebing Tinggi Pusaran Buah (Kampung Tanjung Chat), seorang puteri Sultan Umar bernama Raja Pah telah berkahwin pula dengan Tuan Besar Long Bahar seorang putera raja yang datang dari Patani (dalam negeri Thai).

Mengenai Tuan Besar Long Bahar pula menurut Ringkasan Cetera Kelantan yang ditulis oleh Datuk Paduka Raja Kelantan Nik Mahmud bin Ismail adalah putera Wan Daim atau disebut juga Datuk Pangkalan Tua, raja dari negeri Petani yang zuriatnya berasal dari keturunan anak-anak Raja Bugis bernama Paqih Ali.

Bugis In New York City

Their legend grew due to the horrifying tales of early European sailors. As the fiercest pirates in the archipelago, Bugis men used to prey upon European trading ships entering the Straits of Malacca. The sailors who made it back alive told tale after tale of battles on the sea, of ransacked ships and stolen goods and, above all, of the fierce pirates whose mere image struck fear into every European sailor… “the Bugimen.” Imagine the rugged sailor in the European marketplace with a defiant child alongside him. He turns to the boy with a sinister gleam and eerily warns, “You better behave my boy… or the „Boogeyman‟ will get you.” In modern-day Indonesia around Lake Tempe and Lake Sidenreng in South Sulawesi, Bugis carry on the tradition of sailing and fishing, even if they have lost the mystique once harbored by European sailors. For centuries, they were primarily rice farmers. However, many are now successful merchants and traders in their respective fields. Like the days of old, they still have a reputation for being fierce, war-like and industrious.

When Did They Come to New York?
As governmental persecution spread throughout Indonesia in the late 1990s, many Bugis began immigrating to New York. They came due to the lure of freedom and, of course, due to the overwhelming economic and educational opportunities. It is estimated that there are approximately 70 Bugis now living in the New York City Metro area. At least a small percentage of these do not have proper documentation to be in the country.

Where Do They Live?
Nestled into the growing Indonesian enclave, Bugis have settled in the Elmhurst, Corona and Woodside areas of Queens.

Laksamana Raja Di Laut Keturunan Bugis Wajo


Makna Bengkalis
Sementara itu, asal mula nama Bengkalis diambil dari kata “Mengkal” yang berarti sedih atau sebak serta “Kalis” yang berarti tabah, sabar dan tahan ujian.

Sejarah Bengkalis bermula ketika Tuan Bujang alias Raja Kecil bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah mendarat di Bengkalis pada tahun 1722. Sultan yang juga menguasai wilayah Siak disambut oleh batin (kepala suku) Senggoro dan beberapa Batin lainnya.

Para Batin meminta Sultan agar membangun kerajaan di Bengkalis, sebagai wujud rasa hormat mereka. Melalui musyawarah dengan sejumlah Datuk di wilayah pesisir Riau pada tahun 1723, disepakati pusat kerajaan didirikan di dekat Sabak Aur yakni di sungai Buantan salah satu anak Sungai Siak.

Bengkalis pernah menjadi basis awal kerajaan Siak. Sejarah juga mencatat, semasa Belanda berkuasa, di Bengkalis pernah diduduki residen pesisir timur pulau Sumatera. Saat itu, Bengkalis sudah menunjukkan peran penting dalam arus lalu lintas niaga di selat Melaka, terutama sebagai persinggahan saudagar yang keluar masuk sungai Siak.

Strategisnya posisi Bengkalis sebagai lalu lintas niaga menyebabkan Pemkab setempat meletakkan pembangunan pelabuhan penumpang bertaraf internasional di Selat Baru sebagai salah satu prioritas pembangunan di era otonomi. Kehadiran pelabuhan tersebut diharapkan memperlancar transportasi ke dan dari Malaysia.

“Jarak tempuh ke Malaysia dari Bengkalis hanya 45 menit. Padahal selama ini jika ditempuh dari Kota Dumai bisa mencapai dua jam,” ujar Bupati Bengkalis.

Pembangunan pelabuhan ini juga dilakukan sebagai salah satu upaya mempercepat

Dakwah Syekh Abdul Wahab Bugis di Tanah Banjar


Pengantar
Selama ini, publikasi terhadap tulisan sejarah dan kehidupan tokoh-tokoh lokal begitu terbatas dan agak susah diakses. Wajar jika, tulisan saya yang berjudul “Ketokohan Syekh Abdul Wahab Bugis di Tanah Banjar” (Opini, Jum’at 2 Juli 2004) mendapat sambutan yang positif. Apresiasi terhadap tulisan tersebut memotivasi saya untuk lebih mengenalkan secara dekat tokoh-tokoh besar yang telah mengharumkan banua dalam perjuangan dan syiar dakwah serta dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Sehingga dengan adanya publikasi secara tertulis terhadap sedikit dari biografi dan pemikiran mereka yang bisa diramu, diharapkan generasi sekarang akan lebih tahu tentang sejarah hidup, sumbangan pikiran, dan perjuangan yang telah mereka curahkan untuk kejayaan Islam dan kesejahteraan hidup umat. Sehingga bermuara dari sini diharapkan tumbuh pula semangat yang sama untuk membangun dan memberikan yang terbaik bagi perkembangan banua, hari ini, besok, lusa dan masa yang akan datang. Untuk itu kita juga salut dengan SKH Kalimantan Post yang tetap concern menerbitkan tulisan-tulisan berkenaan dengan khazanah intelektual lokal.

Pada tulisan terdahulu dijelaskan bahwa dalam catatan sejarah, Syekh Abdul Wahab bertemu dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari di Madinah, dalam majelis ilmu gurunya (yang kemudian juga menjadi guru Syekh Muhammad Arsyad), Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. Jika Syekh Muhammad Arsyad (dan Syekh Abdus Samad al-Palimbani) lebih banyak menggunakan waktu mereka untuk menuntut ilmu di kota Mekkah (selama 30 tahun) dan Madinah (selama 5 tahun), maka Abdul Wahab (bersama dengan Syekh Abdurrahman Misri) lebih banyak memanfaatkan waktu mereka untuk menuntut ilmu di Mesir.
 
Pigur Syekh Abdul Wahab Bugis
Berdasarkan pendapat dari Karel S. Steenbrink sebenarnya riwayat hidup seorang tokoh dapat

Bangsawan Gowa Dikenang sebagai Pejuang Srilanka

Sigiriya
 
CATATAN sejarah kembali mengukir keberanian bangsawan Bugis-Makassar di luar negeri. Adalah Karaeng Sangunglo atau Karaeng Sanguanglo yang disebut sebagai bangsawan Kerajaan Gowa menjadi pejuang rakyat Srilanka dulu masih bernama Ceylon.

Nama tersebut bisa jadi terasa asing di Indonesia, termasuk di tanah asalnya, Gowa. Namun tidak bagi masyarakat Colombo atau Sri Lanka.

Demikian salah satu bagian diskusi Rumah Nusantara yang digelar di kantor Tribun, Senin (12/7). Diskusi menghadirkan sejumlah akademisi seperti antroplog Dr Halilintar Latief MPd, Ishak Ngeljaratan, KH Dahlan Yusuf, dan dosen/peneliti dari Leiden Institute for Area Studies/ School of Asian Studies, Suryadi.

Sejumlah tokoh lintas etnis dan budaya juga hadir dalam diskusi yang berlangsung hangat namun tetap diselingi dengan canda tawa dari peserta diskusi.

Karaeng Sangunglo disebutkan sebagai putra Raja Gowa Ke-26 (1753), Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa, yang memilih pindah ke tanah kelahiran ibunya di Bima karena kuatnya intimidasi Belanda di Gowa kala itu.

Pada 1767, tanpa alasan yang jelas, Sultan Fakhruddin ditangkap dan dibuang ke Ceylon. Di sanalah putranya Karaeng Sangunglo menjadi pahlawan Melayu dan menjadi legenda di Ceylon.

Awalnya, Karaeng Sangunglo adalah anggota dari Resimen Melayu Ceylon (semacam pasukan khusus bentukan Belanda) yang kemudian dilikuidasi oleh Inggris tahun 1796 hingga berubah nama menjadi The Ceylon Rifle Regiment.

Membelot

Saat VOC melakukan agresi besar-besaran di wilayah Kandy, Ceylon pada 1761, Karaeng

Terlalu Bugis-Sentris, Kurang 'Perancis'

Oleh: George Junus Aditjondro

KETIKA James Brooke singgah di Sulawesi Selatan di tahun 1840, orang-orang Bugis tampak menaruh perhatian terhadap isu-isu politik luar negeri, seperti terungkap dari berbagai pertanyaan yang diajukan kepada petualang dari Inggris itu. Mereka antara lain menanyakan nasib Napoleon Bonaparte. Begitu tulis Christian Pelras, peneliti Perancis yang selalu merayakan ulang tahunnya di hari ulang tahun Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus, di halaman 345 buku yang sedang kita bahas sekarang. Sayang sekali Pelras tidak menjelaskan, mengapa orang Bugis menanyakan nasib bekas kaisar Perancis itu. Menurut informan kunci saya di Tana Ugi’, orang Bugis percaya Napoleon Bonaparte sebenarnya seorang passompe’ (perantau) Bugis. Paling tidak, dia orang Makassar. Atau orang Pangkajene, yang berbudaya campuran Bugis-Makassar. Sebab nama Napoleon Bonaparte sebenarnya adalah “Nappo daeng Leong, battu ri Bonerate” (Nappo Daeng Leong, yang berasal dari Bonerate).

Itu hanya joke, untuk menyanggah pendapat kawan saya, Dias Pradadimara, dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Kata Dias dalam bedah buku ini bersama saya di acara KAMASUKA (Keluarga Mahasiswa Sunan Kalijaga) Sulsel di Yogyakarta, hari Sabtu, 25 Februari lalu, “orang Bugis terlalu serius, kurang tahu humor”. Terbukti anda tertawa, mendengar joke dari Tana Ugi’ ini. Jadi baik produsen maupun konsumen joke itu, adalah orang Bugis dan Makassar, mengerti humor. Cuma orang Bugis memang orang-orang serius, yang sangat disiplin bekerja, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan mereka. Itulah bagian dari filsafat hidup mereka yang menjunjung tinggi tiga kebebasan: kebebasan berpendapat, kebebasan berusaha, dan kebebasan bermukim. Kalau satu, dua, atau bahkan ketiga kebebasan itu dirongrong oleh penguasa, mereka lebih baik hijrah, ketimbang hidup di bawah penindasan.

Untuk bacaan selanjutnya dalam format pdf, sila download di sini.

Sitti Hapipa The Real Kartini

Peta Ceylon 1914
 
Naskah Dinasti Gowa Ditemukan
Jakarta- Sepucuk surat dalam naskah kuno beraksara Jawi mengungkapkan sejarah penting dinasti Kerajaan Goa. Ahli filologi dan peneliti dari Leiden University, Belanda, Suryadi, menemukan bagian penting yang selama ini belum terungkap dalam buku-buku sejarah di Indonesia. Sejarah penting itu dalam sepucuk surat Sitti Hapipa yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, yang ketika itu dijabat Albertus Henricus Wiese (1805-1808).

Surat penting Sitti Hapipa dari pengasingannya di Colombo, Ceylon (sekarang Sri Lanka), itu selama ini telah menjadi koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden. Suryadi memaparkan temuannya itu dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara 12 di Universitas Padjadjaran Bandung.


”Meskipun sudah banyak kajian yang dibuat mengenai (per)surat(an) Melayu lama, surat-surat dari tanah pembuangan belum banyak dibicarakan, bahkan terkesan sedikit terlupakan. Padahal, surat-surat tersebut mengandung berbagai informasi yang berharga mengenai kehidupan orang-orang yang dibuang Belanda di negeri asing tempat mereka menjalani sisa hidupnya, bahkan tak jarang berkubur di sana,” kata Suryadi ketika berbincang-bincang dengan Kompas, Minggu (10/8) di Jakarta.

Mengingat kandungan data historis yang dimiliki surat tersebut, transliterasinya yang akan diterbitkan sebuah jurnal di Indonesia dapat dimanfaatkan oleh peneliti di luar bidang ilmu filologi dan sastra Melayu lama.


Kehidupan sultan

Menurut Suryadi, isi surat Sitti Hapipa memberikan sejumlah informasi akurat mengenai kehidupan Sultan Fakhruddin beserta keluarga besarnya (dengan 12 anak dan cucu-cucu) di

Karaeng Sangunglo dan Heroisme Bugis di Sri Lanka

Tasik Kandy

Namanya Karaeng Sangunglo atau kadang ditulis Sanguanglo. Ia adalah keturunan bangsawan Gowa, sebuah kerajaan lokal di Sulawesi Selatan. Tapi lelaki yang, menurut kesaksian seorang Inggris, berbadan besar berdegap itu berkubur jauh di seberang Laut Sahilan. Ia tewas dalam mempertahankan Kerajaan Kandy di jantung Pulau Ceylon (Sri Lanka) dari aneksasi kolonialis Belanda dan Inggris.

Siapakah Karaeng Sangunglo? Inilah hikayat tentang dirinya, dirangkai dari serpihan data sejarah yang terserak dalam laporan orang Eropa, surat kabar, majalah dan buku-buku tua, naskah-naskah bertulisan Jawi, dan juga beberapa sumber kedua.

Pulau Sumbawa suatu hari di tahun 1767. Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa sedang berada di ibukota Kerajaan Bima, penghasil kayu sepang sekeras paku yang digemari Belanda, madu, sarang burung, dan….budak. Baginda adalah Sultan Gowa ke-26 (naik tahta 1753). Ayahnya, Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742-1753) mempersunting ibunya, Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731-1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga (1711-1713).

Sultan Fakhruddin sedang gundah karena intimidasi politik Belanda di Gowa, juga karena intrik dalam keluarganya sendiri. Hatinya risau dan pikirannya kacau. Ia tinggalkan Istana Gowa dan pergi ke Bima, tanah kelahiran Ibundanya, untuk menenangkan jiwa. Para bangsawan Gowa

Lisa Halim Tapping Into The Indonesian Market (Bugis-Jepun)


Born to an Indonesian father and a Japanese mother, Japanese pop singer Lisa Halim makes her father's hometown a place to expand her market outside Japan.

The Japanese-born singer recently made her fourth visit to Indonesia to perform in the Bali Marathon as part of the annual Nusa Dua Fiesta. "Indonesia is so familiar. Being here is like visiting my hometown although I have never lived here," said the 24-year-old singer, who grew up in Japan with her parents. Following the death of her father, a native of Makassar, South Sulawesi, she now lives with her mother.

In 2008, she released an album Here I am in Indonesia and Malaysia, with two English-titled songs, "Tomorrow" and "Say Goodbye". "I want to travel to more places now and expand my market, but I want to start here, in my father's hometown." Lisa developed a passion for singing and songwriting from the age of 13. 

She was inspired by the album I Will Always Love You by Whitney Houston, which her mother

Muslims in Australia


A long and vibrant history
Muslims in Australia have a long and varied history that is thought to pre-date European settlement. Some of Australia’s earliest visitors were Muslim, from the east Indonesian archipelago. They made contact with mainland Australia as early as the 16th and 17th centuries.

Early Muslim visitors—the Macassar traders
Fishermen and traders from what is today the Macassar region of Indonesia arrived on the northern coasts of Western Australia, the Northern Territory and Queensland. The Macassarese traded with local Indigenous people and fished for ‘trepang’ (commonly known as sea cucumber), which they sold as a delicacy on the lucrative Chinese market.

Evidence of these early visitors can be found in the similarity of certain words that occur in the languages of the Macassarese and of the coastal Indigenous Australians. Aboriginal cave paintings depict the traditional Macassar vessels or ‘prau’ and a number of Macassan artefacts have been found in Aboriginal settlements on the west and north coasts of Australia. Marriages between Indigenous people and Macassarese are believed to have taken place, and Macassan grave sites have been found along the coastline.

Leluhur Bugis Orang Nias


Oleh: Victor Zebua
Seorang anak raja Pagarruyung bernama Turanggo berlayar menuju negeri Bugis mencari isteri. Setelah berhasil mengawini puteri raja Bugis dari suku Bengguan, dia kembali ke Pagarruyung. Namun terjadi angin-ribut, mereka terdampar di Luaha Sebua, muara sungai di suatu pulau kosong. Pulau itu kemudian dinamakan Tanah Hibala yang artinya ‘tanah yang kuat’ dalam bahasa Bugis. Turanggo akhirnya menetap di pulau itu, dia beranak-pinak hingga pada raja Hibala yang memiliki dua anak, puteri (kakak) dan putera (adik).

Demikian inti pembuka cerita berjudul Legende Asal Mulanya Pulau-Pulau Batu karya Adlan Mufti (1979). Mufti memperoleh keterangan dari Dahar Alamsyah di pulau Tello tahun 1974. Waktu itu Alamsyah berumur 60 tahun. Dia adalah keturunan raja Buluaro dari suku Bengguan (Bekhua). Mufti memperkirakan legenda ini terjadi sekitar abad 12.

Selanjutnya diceritakan, semenjak lahir kedua anak raja Hibala hidup terpisah. Sang puteri (tidak diketahui namanya) tinggal di rumah bagian atas yang dinamakan mahligai, diasuh wanita pengasuh bernama Sikambang, sedang sang putera bernama Sutan Muaro tinggal bersama orang-tuanya di rumah bagian bawah.

Setelah meningkat dewasa, ketika Sutan Muaro bermain-main di halaman rumah, tanpa sengaja dia melihat sang puteri raja itu. Seketika Sutan Muaro terpesona melihat kecantikan sang puteri. Bergegas dia menemui ibunya, mengatakan bahwa ada seorang wanita cantik di rumah mereka. Namun ibunya membantah. Sutan Muaro mencari-cari wanita itu, dia naik ke mahligai dan bertemu dengannya di sana. Dia menemui ibunya lagi, mengatakan bahwa wanita itu ada di mahligai. Sutan Muaro mendesak ibunya agar wanita itu dapat dijadikan isterinya.

Melihat tekad Sutan Muaro, barulah ibunya mengakui bahwa wanita itu adalah kakaknya sendiri, tidak mungkin dapat dikawininya. Namun Sutan Muaro tidak menerima keterangan ibunya. Selama ini dia tidak diberi-tahu wanita itu kakaknya dan belum pernah bergaul

Tenun Pagatan dari Kalimantan Selatan

Hasil sulapan desainer Sofie pada Tenun Pagatan.

Warna-warni cerah yang melabur kain tenun justru terasa dingin di kulit. Membuat nyaman.
Bagi Anda yang sedang mencari kain untuk busana Lebaran atau pesta yang nyaman, jalan-jalanlah ke Desa Manurung Pagatan di Kusan Hilir, Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Desa eksotis yang berada di pesisir laut Kalimantan yang berbatasan dengan Laut Makassar dan Laut Jawa ini penghasil tenun Pagatan, yang halus dan terasa dingin di kulit. 

Desa yang kaya akan hasil tambang batu bara dan biji besi ini didiami oleh suku Bugis dengan mata pencaharian utama sebagai nelayan. Tapi orang Bugis sejak dulu memiliki kegemaran menenun di sela-sela waktu luang. 

Ketika Tempo berkunjung ke Desa Manurung Pagatan, Kecamatan Kusan Hilir, Kabupaten Tanah Bumbu, awal September lalu, terlihat puluhan remaja perempuan dan para ibu menenun kain di rumah masing-masing mulai sore sampai malam hari. 

Kenapa mesti malam hari? Sebabnya, pada pagi harinya mereka harus pergi ke kantor, ladang, sekolah, atau bahkan ke laut. Kegiatan menenun dilakukan setelah aktivitas pagi hari selesai. "Menenun adalah pekerjaan sampingan warga," kata Salmah, salah seorang perajin tenun Pagatan. Wanita berusia 40 tahun ini memproduksi tenun ini sejak masih remaja dan mengenal tenun dari orang tuanya, yang memiliki usaha tenun Pagatan. 

Setelah berumah tangga, Salmah meneruskan usaha orang tuanya. Kini dengan 10 orang karyawan, dia memproduksi tenun khas Pagatan di rumahnya di Jalan H.M. Amin, RT 3, Desa Pagatan. Jenis tenun yang diproduksinya adalah songket, tenun ikat lusi, dan aneka pernak-

Melayu-Bugis Bagai Mata Hitam dan Putih

Pekanbaru- Gubernur Riau HM Rusli Zainal mengatakan, orang Melayu dan orang Bugis sejak dulu memang tidak bisa dipisahkan, orang Melayu dan Bugis bisa diumpamakan seperti mata hitam dan mata putih. Sejarah pun sudah menuliskan bahwa orang Melayu dan Bugis tersebut adalah satu dan saling bekerjasama sampai sekarang.

Hal itu dikatakan Gubri ketika membuka Musyawarah Wilayah (Muswil) II, Kerukunan Keluarga Sumatra Selatan (KKSS) di Pekanbaru, Sabtu (29/3) kemarin. Hadir dalam acara itu Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau, Zainuddin Nare, Ketua Umum KKSS Pusat, Andi Jamaro dan sejumlah masyarakat Bugis dari berbagai perwakilan di kabupaten/kota di Riau.

“Kedua kaum ini sejak dari dulu memang tidak bisa dipisahkan, orang Melayu dan orang Bugis itu bagaikan mata hitam dan mata putih, keduanya saling menyatu dan bekerjasama dalam berbagai hal dan ini terjadi sudah sejak lama,’’ tutur gubernur.


Gubernur yang juga bergelar Daeng Magguna menambahkan, antara orang Melayu dan orang Bugis sudah ada sumpahnya, dalam sejarah orang Melayu dan orang Bugis saling membantu dan sampai sekarang saling membantu itu masih ada dan tetap terpelihara dengan baik.


Permainan Marraga (Sulawesi Selatan)

Asal Usul
Marraga berasal dari kata Bugis, sedangkan orang
Makassar, sering menyebut permainan ini dengan akraga (olah raga). Marraga termasuk jenis permainan yang memadukan unsur olah raga dan seni. Permainan ini memerlukan kecekatan, ketangkasan dan kelincahan. Permainan yang berasal dari Malaka ini, konon hanya dilakukan oleh para bangsawan Bugis saat diadakannya upacara-upacara resmi kerajaan seperti, pelantikan raja dan perkawinan anggota kerajaan. Versi yang lain menyebutkan bahwa permainan ini berasal dari Pulau Nias (Sumatera Utara). Dewasa ini marraga bukan hanya dimainkan oleh para bangsawan, tetapi juga oleh orang kebanyakan.

Pemain
Marraga umumnya dimainkan oleh pria, baik remaja maupun dewasa. Dalam satu permainan jumlah pemainnya 5--15 orang. 

Tempat dan Peralatan Permainan
Permainan ini dilakukan pada sebidang tanah datar yang permukaannya dibuat lingkaran dengan garis tengah minimal 6 meter. Peralatan yang digunakan adalah raga, yaitu sejenis bola yang terbuat dari rotan yang dibelah-belah, diraut halus kemudian dianyam. Alat ini umumnya berdiameter 15 cm. Adakalanya gendang dipergunakan untuk mengiringi jalannya permainan.

Aturan dan Proses Permainan
Peraturan permainan marraga dapat dikatakan sederhana, yaitu pemain (jika menerima raga dari pemain lain) harus melambungkan raga tersebut agar jangan sampai terjatuh sebelum dioperkan pada pemain lainnya. Cara melambungkan raga adalah dengan menggunakan kaki, tangan, bahu, dada, dan anggota tubuh lainnya, tetapi tidak boleh di pegang. Tinggi dan

Arena Wati - Muhammad Dahlan bin Abdul Biang


Muhammad Dahlan bin Abdul Biang, Andi Mohalan Andi Beang atau lebih dikenali sebagai Arena Wati (lahir 30 Julai 1925, meninggal dunia 25 Januari 2009) ialah Sasterawan Negara Malaysia tahun 1988. Nama pena lainnya ialah Duta Muda dan Patria.

Arena Wati dilahirkan pada 30 Julai 1925 di Kalumpang Kabupaten, Jeneponto, Makasar, Indonesia. Arena mendapat pendidikan awal di sekolah Belanda, Hollands Indische School, sebelum meletus Perang Dunia II. Semasa Perang Dunia II, beliau memulakan kerjayanya sebagai pelaut pada tahun 1943. Pengalamannya dalam bidang ini meningkatkan lagi kemampuan beliau dalam penulisan dan menghasilkan novel yang baik. Beliau menamatkan pengajian menengahnya di Makasar pada tahun 1953.

Selepas tamat persekolahan, Arena bekerja dengan syarikat penerbitan di Singapura, dan kemudiannya ke Johor Baru dan Brunei. Dalam tempoh ini, beliau telah menjadi warganegara Malaysia dan antara tahun 1962 hingga 1974, beliau bertugas di Pustaka Antara, Kuala Lumpur.

Arena Wati terjun dalam dunia kewartawanan sekitar tahun 1954 dan pernah menjadi editor di Pustaka Antara dan akhirnya menerima anugerah Sasterawan Negara pada 1988. Kebanyakan karya Arena Wati berbentuk akademik, imiginatif, mencabar minda dan kritikannya pedas dan berbisa.

Petualangan Orang Makassar di Negeri Siam (Muangthai)

Sebelum kedatangan orang Eropa, orang Makassar sudah dikenal sebagai pelaut ulung. Tome Pires dalam perjalanannya dari Malaka ke laut Jawa pada tahun 1513 telah menemukan pelaut makassar sebagai pelaut ulung. Keterangan Pires mengenai orang Makassar dianggap sebagai sumber Barat tertulis yang paling tua yang bisa ditemukan. Pires mengemukakan: “Orang-orang Makassar telah berdagang sampai ke Malaka, Jawa, Borneo, negeri Siam dan juga semua tempat yang terdapat antara Pahang dan Siam”.
 
Oleh Pelras, orang-orang Makassar telah meninggalkan kampung halaman mereka begitu jauh dan begitu lama. Bahkan saking lamanya, mereka melakukan perkawinan dengan warga pribumi dan memiliki keturunan di negeri yang mereka datangi. Mereka memiliki ketegaran hidup dan semangat pantang menyerah. Gelombang tinggi dan laut yang sangat luas bukanlah hambatan bagi mereka untuk mencapai negeri yang mereka tuju. Kegairahan dan kekerasan jiwa mereka mengundang decak kagum masyarakat pribumi tempat yang mereka singgahi. Yang lebih mengagumkan adalah di tempat baru tersebut mereka masih mempertahankan sifat-sifat asli mereka sebagai orang Makassar. Siri’ napacce telah tertanam kuat dalam jiwa mereka dan menjadi patrol mereka dalam menjalani hidup meskipun itu di negeri asing. Keberanian, kekasaran dan kematianlah yang akan mereka pilih jika mereka di perhadapkan pada pilihan yang rumit. Apalagi kalau itu menyangkut dengan harga diri dan kepercayaan yang di anutnya.

Di bawah ini, adalah sebuah tragedi mengharukan sekaligus mengagumkan dari 120 orang Makassar yang mempertahankan harga diri dan kehormatan mereka di negeri Muangthai. Berikut kisahnya dikutip dari buku Kisah-Kisah Bijak Orang Sulsel karangan A. Shadiq kawu yang mengambil referensi dari sejarawan Perancis Crishtian Pelras.

Napoleon Bonaparte Keturunan Makassar

Ini bukan bagian sas sus, kabar burung, atau cerita mulut kemulut tanpa bukti. Tapi, cerita ini dipercaya oleh banyak orang-orang di Makassar. Bagi orang Makassar yang belum tahu ya maaf….

Tapi, kepercayaan terhadap sas-sus tersebut makin menguat setelah membaca buku buah karya Nasarrudin Koro yang berjudul “Ayam Jantan Tanah Daeng”. Saya mulai berharap cerita itu benar adanya. Bangga juga sih, sebagai orang Indonesia, tentu cerita-cerita hebat para penduduk Nusantara akan turut membanggakan kita yang hidup di Indonesia ini.

Alkisah, I Yandulu Daeng Mangalle, salah satu putra atau pengeran keturunan Sultan Hasannudin, setelah dikalahkan Belanda pergi ke Siam dan meminta suaka kepada Raja Siam (sekarang Thailand). Permintaan suaka tersebut dikabulkan oleh Raja Siam yakni Raja Narai. Bukan hanya diberi suaka, pangeran Daeng Mangalle beserta para pengikutnya  ini diberikan tempat di ibukota raja yang kelak dikenal sebagai Makkasan. Baru-baru ini, kisa Daeng Mangalle ditulis di harian kompas beberapa hari yang lalu.

Tak lama kemudian, Daeng Mangalle bersama adik raja terlibat rencana pemberontakan untuk

Akhir Hayat Napoleon Bonaparte Sebagai Muslim


Seorang teman kompasioner Iwan Nurdin pernah menulis dengan judul sangat menarik, “Napoleon Bonaparte Keturunan Makassar” . Dalam tulisan itu diceritakan bahwa Napoleon adalah keturunan Sultan Hasanudin. Konon cucu sang Sultan bernama Daeng Ruru ( Louis Pierre de Macassart ) dan Daeng Tulolo ( Louis Dauphin ), yang dibawa tentara Perancis dan kemudian menetap di sana, inilah yang menjadi moyangnya Napoleon. wajar kalau posturnya kecil dan tidak setinggi rata-rata orang Eropa.

Informasi lain yang cukup menarik adalah tentang agama si Napoleon di akhir hayatnya yang memeluk agama Islam. Mungkin ini juga dapat menjadi petunjuk tentang leluhurnya di Makassar. Informasi ini pernah saya temukan di internet tapi lupa di situs apa. Silahkan teman-teman menelusurinya lagi untuk mengetahui seberapa valid informasi ini. Inilah informasi yang pernah saya temukan itu.

Siapa yang tidak mengenal Napoleon Bonaparte, seorang Jendral dan Kaisar Prancis

yang terkenal kelahiran Ajaccio, Corsica 1769. Namanya terdapat dalam urutan ke-34 dari Seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah yang ditulis oleh Michael H. Hart.

Buku ini juga menempatkan Nabi Muhamad di urutan pertama.  

Taklukan Daerah Baru dengan Falsafah Tiga Ujung

Di masa lalu, orang Bugis-Makassar dikenal sebagai pelaut ulung. Malah, ada sebuah ungkapan yang mungkin terasa hiperbola; Di mana ada dermaga, di situ pasti ada orang Bugis-Makassar.

Keberadaan orang Bugis-Makassar yang ada di mana-mana menandakan mereka dapat diterima dengan baik oleh bangsa mana pun. Demikian dikemukakan Sosiolog yang juga Ketua Program Studi Pendidikan IPS Program Pascasarjana UNM,

Dr Andi Agustang, menanggapi film dokumenter berjudul Diaspora Bugis-Makassar dan Kebangkitan Nasional yang diputar di Ruang Rapat Pimpinan PT Media Fajar, Lt IV gedung Graha Pena Makassar, Rabu 27 Mei.


Menurut Agustang, dalam bersosialisasi dengan masyarakat di daerah asing, orang Bugis-Makassar paling tidak mengandalkan tiga hal, yakni tutur kata, keberanian dan pernikahan. Falsafah itu dikenal dengan tiga ujung, yakni ujung lidah (tutur kata), ujung (maaf) kemaluan atau pernikahan, serta ujung badik yang menegaskan keberanian orang Bugis Makassar, ungkap Agustang.


Tiga hal inilah yang digunakan orang Bugis-Makassar untuk membaur dengan masyarakat di sebuah daerah yang didatanginya. Maka dalam pandangan Agustang, Karaeng Galesong dalam film dokumenter tersebut sudah memperlihatkan ketiga-tiganya.


Dalam bertutur kata, Karaeng Galesong dikenal sebagai pribadi yang santun, sekaligus tegas jika menghadapi situasi yang keras. Keberanian pun tak diragukan lagi. Begitu juga pernikahan, dibuktikan Karaeng Galesong dengan menikahi Suratna, puteri Trunajaya.


Tiga falsafah pergaulan orang Bugis-Makasar ini juga ditunjukkan Karaeng Daeng Naba dalam film itu. Karaeng Daeng Naba juga dikenal sebagai komandan divisi tempur VOC yang memimpin sekitar 2500 prajurit Bugis-Makassar. Dia juga menikahi puteri bangsawan Mataram, yang kelak keturunannya akan menjadi pelopor gerakan kebangkitan nasional, Dr Wahidin Sudirohusodo.


Falsafah pernikahan antar etnis ini juga diakui sejarawan Sulselbar, Suriadi Mappangara. Hanya saja, di mata Suriadi, orang Bugis-Makassar di daerah perantauan lebih cenderung mengikat pernikahan dengan kalangan bangsawan. Jarang sekali menikahi rakyat jelata.

 
Kelemahan orang Bugis-Makassar di daerah asing seperti itu. Mereka hanya mengikat kalangan elite, bangsawan sehingga lemah di kalangan jelata, jelas Suriadi yang menjabat kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar.

Heroisme Bugis-Makassar Di Thailand (dulu bernama Ayuthia, Siam)

Kisah ini diambil dari catatan Claude de Forbin seorang ksatria Prancis, yang dikirim ke Siam (sekarang Thailand) oleh Raja Louis XIV, dengan misi yang amat ambisius dalam hal politik, agama, ilmu pengetahuan dan ekonomi.

Tahun 1658 - 1659 Phra Narai, raja Siam tercatat memberikan daerah pengungsian bagi 773 orang Minangkabau yang berasal dari Sumatra Barat dan berikutnya pada Tahun 1664, 250 orang (pria, wanita dan anak-anak) tiba dari Makassar dan diberikan hak dan membangun komunitas perkampungan bersebelahan dengan orang-orang Melayu yang sudah lebih dulu menetap.

Akan tetapi keadaan yang damai dan harmonis di Siam waktu itu tidak berlangsung lama, karena seringnya terjadi intrik dan perebutan kekuasan dalam lingkungan keluarga dan kerabat istana. Tidak terkecuali Phra Narai dulunya juga adalah seorang yang merebut kekuasaan dengan cara kekerasan dan berdarah, sehingga ia sadar betul bahwa kekuasaanya tidak berakar dan tidak kuat dukungannya sehingga ia akan gampang pula digulingkan, karena itulah ia mempercayakan pertahanan kerajaannya pada serdadu Prancis yang kala itu sedang berada di Siam atas perintah Raja Prancis. Serdadu Prancis dipimpin oleh Claude de Forbin dengan 6 kapal dan satu detasemen militer yang beranggotakan 636 orang.

Adalah seorang pangeran Makassar (Gowa-Tallo) bernama Daeng Mangalle yang rupanya terlibat dengan konspirasi Melayu, Campa, Makassar dan orang Islam lain di Siam, konspirasi ini akan berencana menyerang istana dan membunuh raja Siam Phra Narai, karena Raja dianggap telah melenceng yaitu menempatkan kepercayaan pada orang asing yaitu Prancis dan Misi orang asing mengembangkan agama baru kemungkinan lebih buruk lagi Raja akan berpindah memeluk agama baru.

Jejak Bugis Makassar Di Negara Siam (Thailand)

Beberapa artikel dan buku sejarah yang terdapat di internet mengenai Bugis Makassar yang berada di Negara Siam pada suatu ketika.


History of the Kingdom of Siam - The Revolt of the Macassar

Eclipses in Siam (now Thailand) - History and Legends
Return to Siam - Meanwhile those left behind under Forbin by the previous expedition had built a fort at Bangkok. Just in time. In 1686 there was an armed uprising against King Narai.

Beppa Ogi - Kuih Tradisional Orang Bugis

Baje canggoreng, kue tradisonal ini bahan utamanya dari kacang tanah dan gula merah, rasanya gurih dan manis. Panganan ini dapat bertahan sampai 1 (satu) bulan dalam kemasan.

Kue ini merupakan makanan tradisional yang dikenal dengan nama Barongko yang bahan utamanya dari pisang yang dihaluskan dan dicampur dengan bahan kue lainnya. Uniknya kue ini dibungkus dengan daun pisang yang memiliki bentuk tersendiri. Kue ini menjadi kue favorit di acara-acara pernikahan Masyarakat Bugis-Makassar khususnya di Kota Parepare.

Kue ini merupakan makanan tradisional yang memilki rasa manis yang khas dimana rasa golla cella (gula merah; baca : Indonesia) mendominasi kue ini. Kue ini dikenal dengan nama Beppa golla cella karena dominasi bahan adonanya adalah

Seks Jawa Vs Seks Bugis (2)

SETIAP kali melihat tarian Jawa, saya selalu terkesiap menyaksikan kelembutan dan kesantunan gerak tari. Saya selalu mengagumi pakaian penari berupa kemben dengan bahu terbuka. Bagi saya, pakaian itu lahir dari dialog-dialog kebudayaan antara tradisi Jawa dan Islam. Saya juga mengagumi gerakan tari yang gemulai itu. Amat lembut, namun sesekali menghentak. Saat beberapa waktu lalu menyaksikan tari Bedhaya Ketawang di Surakarta, saya selalu menikmati saat-saat ketika sang penari melirik ke arah penonton.

Pada mulanya, saya memperhatikan gadis yang berkulit putih bersih dan menawan. Namun ketika seorang penari –yang justru tidak begitu cantik—melirik ke arahku, saya langsung berdebar-debar. Sungguh, saya sangat menikmati lirikan-lirikan tersebut. Saya jadi fokus memperhatikannya. Ketika mata saya bertemu dengan mata penari itu, ia tiba-tiba menunduk. Duh…. Saya seolah tersengat listrik. Saya langsung jatuh cinta.

Saya lalu ke balik panggung dan menemui penari itu. Ia menatap saya dengan malu-malu. Suaranya pelan. Kultur Sulawesi saya seakan berontak. Saya ingin berbicara tergesa-gesa. Kalau perlu langsung menyatakan cinta dan ngajak pacaran. Namun menyaksikan wajah yang manis, sorot mata yang lembut namun tajam, tutur kata yang terjaga, serta senyum tertahan,

Seks Jawa Vs Seks Bugis (1)

PERNAH sekali saya menyaksikan tarian sakral Bedhaya Ketawang di Surakarta, beberapa tahun yang lalu. Sembilan orang penari perempuan berwajah rupawan dibalut kain, rambutnya disanggul, dan tubuh bagian atas terbuka. Kulitnya kuning berkilau karena lulur. Mereka menari dengan gerakan yang pelan, namun sarat makna. Kata seorang kawan, para penari haruslah perawan dan tidak sedang menstruasi.

Mengapa harus perawan? Kata kawan itu, tarian ini punya makna yang sacral. Tarian ini hanya dipentaskan sekali sebagai perlambang cinta Nyi Roro Kidul kepada Raja Jawa. Konon, saat tarian ini dipentaskan, Nyi Roro Kidul selalu ikut menari. Ia hendak menyampaikan rasa cinta yang dahsyat kepada Raja Jawa. Ia meminta agar sang raja tetap menemaninya di dasar laut dan tidak usah kembali ke daratan. Menurut satu sumber, tari ini menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati (Sinuhun Paku Buwono X).

Segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi. Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon

Sutra Bugis Melambai di Rusia

ST.PETERSBURG-- Diplomasi budaya melalui adibusana tidak pernah mencapai titik jenuh. Eksplorasi dan promosi kekayaan aneka produk bahan nusantara di luar negeri malah terkesan kurang galak. Tidak heran bila tiba-tiba sutra bugis dan tenun ikat mendapatkan apresiasi demikian tinggi di St. Petersburg, Rusia dalam siaran pers yang diterima redaksi Republika Online, Jumat (28/8)

Rangkaian fashion show Indonesia yang diprakarsai Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Moskow di panggung Petrogradky rayon, Selasa (25/8) tersebut memang cukup langka. Sebanyak 40 gaun wanita dan pria dipentaskan cukup elegan oleh peragawan dan peragawati Rusia yang semampai. Dan ternyata, gaun berbahan asli Indonesia itu terlihat enak dan pas dikenakan oleh menekin Rusia yang bekulit putih sehingga setiap kali tampil maka 500 penonton memberikan apresiasi tepukan yang meriah.

Bumi Langit Karaeng Pattingalloang

Oleh Nirwan Ahmad Arsuka

H
ari itu, I Mangngadaccinna Daeng I Ba’le’ Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang (KP), tengah berdiri menyambut angin semilir dan gemerisik ombak Makassar. Saya bayangkan, di sisi Perdana Menteri Kesultanan Gowa itu, di bawah matahari Februari 1651, berdiri menantunya: I Mallombassi yang kelak menjadi Sultan Hasanuddin. Putera KP, Karaeng Karungrung, tampak mencermati buku di tangannya. Sejumlah tubarani (satria) dari istana Tallo dan benteng Sombaopu terlihat juga di sana. Sebagian di antaranya berbaur dengan wajah-wajah Makassar, Bugis, Malaka, Jawa, Campa, Johor, Minang, Patani, India, Cina, Portugis, Spanyol, Denmark, Perancis dan Inggeris.

Di pertengahan abad 17 itu, Makassar adalah bandar paling ramai dan paling kosmopolit di Negeri-negeri Bawah Angin belahan Timur. Dikitari sejumlah benteng yang dibangun dan diperluas sejak seratusan tahun yang silam, di bawah Raja Gowa IX Karaeng Tumapa’risi’ Kallona, pusat kerajaan Gowa – Sombaopu – menjadi kota antarbangsa dengan keragaman penduduk tertinggi dalam 600 tahun sejarahnya.

Ketika Malaka jatuh di bawah hantamam meriam Portugis pada 1511, sejumlah satria Melayu yang menampik kekalahan tersebut, pindah beramai-ramai ke Siang (Pangkajene Kepulauan). Mereka kemudian hijrah ke Sombaopu setelah mendapat jaminan perlindungan tertulis dari Raja Gowa X Karaeng Tunipalangga. Jaminan yang memberi kesempatan kepada segala jenis manusia yang melintas di Nusantara hak menegakkan semacam hukum ektrateritorial itu,

Kisah Passompe' dari SempangngE

Dari Pa'balu' Lipa' Sabbe ke Pangempang Muara, dari SempangngE ke Mangkupalas
 
Potret Transformasi geografis dan sosiologis lelaki bugis
Oleh: Wijanna LaNori

Orang sekitar akrab memanggilnya La Caba’, lelaki 35 tahun asal SempangngE, Wajo. Nama lengkapnya Baharuddin Ompeng, beristrikan Nurdiana, wanita Bugis kelahiran Samarinda dan memiliki anak angkat/keponakan bernama Wahyu, 6tahun. Di usianya yang tergolong muda itu, orang awam akan menaksir usianya 10tahun lebih tua. Perawakannya kecil agak membungkuk, rambut gondrong jauh dari kesan rapi, berkulit gelap mengkilap seakan terbakar, buah dari hasil mangempangnya di Muara Badak selama lebih kurang 5 tahun. La Caba’ tergolong gesit dan tangkas, murah senyum dan senang bercanda dengan orang lain. Dulunya dia adalah seorang pabbalu lipa’ yang merantau dari kampung ke kampung di luar pulau Sulawesi. Sempat menginjak tanah Sumatera, Kalimantan bahkan Kupang untuk berjualan lipa sabbe hasil tenunan Sengkang, tepatnya daerah SempangngE, tempatnya dilahirkan. Namun kini, dia adalah petani petambak, atau dalam bahasa lokalnya, pangempang. Dari hasil mangempangnya yang seluas 7 hektar itu, dia dapat membeli sebidang tanah rawa di Mangkupalas, Samarinda Seberang dan membangun sendiri, sebuah rumah kayu panggung diatasnya.

Di penghujung tahun 1980an, selepas SMA di SempangngE, La Caba’ turut beserta pemuda-pemuda sekampungnya massompe (merantau) ke luar Sulawesi, dengan menjadi pabbalu lipa’ sabbe, pedagang sarung Sutera (lipa sabbe’) berkeliling Indonesia. Umumnya, daerah yang dituju

Sajangrennu di Balikpapan

Dikenal sebagai kota minyak yang menjanjikan kemakmuran, tak dapat dipungkiri Balikpapan menjadi surga bagi pendatang, termasuk para passompe dari tanah bugis makassar. Tak kurang dari 30% dari total penduduknya merupakan pendatang asal sulawesi selatan (bugis, makassar, mandar, toraja), selebihnya berasal dari jawa, sunda, banjar, batak, melayu, flores dan sedikit suku dayak. Di kota yang berpopulasi sekitar 600,000 jiwa, tanpa penduduk asli ini, nuansa bugis dan makassar bisa dijumpai di banyak tempat, dari penganan kecil, sampai nama jalan nya. Sehingga tak aneh kalo kita menyebut kota kecil nan bersih ini sebagai Makassar Mini.

Jika anda ingin menikmati angkutan murah di Balikpapan, cobalah menumpang taxi yang muat sampai 9 orang, ongkos terjauh hanya Rp 3,000. Lho kok bisa? Tidak usah heran, taxi adalah sebutan umum untuk angkot berbentuk mikrolet atau toyota kijang di Balikpapan, sedang untuk taxi yang ‘asli’ mereka menyebutnya ‘argo’, walaupun banyak taxi tersebut tidak terbiasa menggunakan argometer alias borongan. So, anda akan menumpang taxi dengan nomor trayek dan jalur tertentu pula, kecuali kalo diatas jam 9 malam, sopir taxi ini akan melayani anda untuk rute apapun dan kemanapun sesuai orderan. Taxi di Balikpapan ini agak lebih manusiawi dalam memperlakukan penumpangnya, deretan kursi penumpang menghadap ke depan sebagaimana umumnya mobil, tidak seperti saudaranya pete’-pete’ di Makassar atau kota lain yang penumpangnya duduk berhadap-hadapan. Juga, jarang ditemui taxi dengan full capacity,

Masuknya Etnis Bugis di Kalimantan Barat

Masuknya orang Bugis di Kalimantan Barat bermula dari kedatangan Daeng Mataku yang menikah dengan Ratu Malaya, salah seorang anak Pangeran Agung dari Kerajaan Sukadana. Daeng Mataku ini pernah membantu menyerang Istana Sultan Zainuddin; pada tahun 1710 atas suruhan Pangeran Agung, saudara kandung Zainuddin. Karena jasanya itu, Daeng Mataku diangkat menjadi panglima. Keturunan Daeng Mataku kini tersebar di daerah Sukadana dan sekitarnya.

Atas permintaan Sultan Zainuddin untuk mengatasi perang saudara di kerajaannya, kemudian datang pula Upu Daeng Manambon asal Luwuk bersama saudara-saudaranya, Upu Daeng Merewah, Upu Daeng Perani, Upu Daeng Celak dan Upu Daeng Kemasi. Mereka berhasil memenangi perang tersebut. Upu Daeng Manambon kemudian digelari Pangeran Emas Surya Negara dan menikahi Puteri Kesumba, anak Sultan Zainuddin dengan Utin Indrawati dari Kerajaan Mempawah. Daeng Menambon kemudian menggantikan Panembahan Senggauk sebagai raja di Mempawah. Untuk mengenang kedatangan Daeng Menambon ke Mempawah, hingga kini masyarakat Mempawah mengadakan upacara robo'-robo'.

Dalam perkembangannya, orang Bugis kini tersebar di seluruh wilayah Kalimantan Barat dan membaur dengan etnis lain yang ada, terutama Melayu. Di Ketapang mereka menetap di

Masih ada passompe' pabbalu lipa'

Beberapa malam yang lalu saya kedatangan tamu, La Nuhong, paman saya yang tinggal di Ujung Baru, Sempangnge, Wajo, bersama 3 orang rekan nya dari Sempangng. Mereka adalah pabbalu lipa’ yang sedang berjualan di sekitar Balikpapan. Awalnya saya kaget mereka datang, dengan mengendarai 2 sepeda motor ber-plat DD (plat nomor Sulawesi Selatan), mengunjungi rumah saya di Balikpapan. Kekagetan saya dikarenakan kenyataan bahwa masih ada pabablu lipa’ di zaman serba praktis ini. Sepengetahuan saya, Sarung sutra asal Sengkang sudah banyak dijual di mall-mall di seluruh Indonesia, bahkan saya pernah menemukan seorang Batak berjualan Sarung Sutra asal Sengkang di atas jembatan penyeberangan UKI, Jakarta Timur. Jadi kita hanya perlu ke pasar/mall untuk mencari sarung sengkang, tak perlu menunggu kiriman saudara di kampung, apalagi menunggu pabbalu lipa’ datang berkunjung ke rumah.

Sewaktu masih kanak-kanak di Pannampu, rumah saya sering menjadi tempat persinggahan (transit) para pabbalu lipa’ ini, karena kebetulan Makassar merupakan juga pelabuhan penyebeerangan ke pulau-pulau lainnya di seluruh Indonesia. Tujuan utama mereka Kalimantan, Papua, atau Sumatera. Setiap mereka datang, aroma khas lipa’ sabbe (sarung sutera) dan lipa’ cello (sarung berbenang non sutra) selalu menjadi kenangan tersendiri, selain tentu saja kelakar para pabbalu lipa’ yang terkenal pandai bercerita sambil berguyon. Lipa’-lipa’ tak ber merk (no brand) ini dibungkus dalam kain sarung besar, pernah sewaktu kanak-kanak itu saya mencoba mengangkat gulungan yang mungkin mencapai 400 sarung, namun tak pernah berhasil.

Kemampuan Menyesuaikan Diri Manusia Bugis

Oleh:Anhar Gonggong

Jika pada tahun 1996 ”karya besar” Lombard yang diterjemahkan dengan judul Nusa Jawa: Silang Budaya diterbitkan oleh Gramedia, pada tahun yang sama sarjana ahli berkebangsaan Perancis yang lain, Christian Pelras, juga telah membuahkan hasil yang tak kurang raksasanya, The Bugis, diterbitkan oleh Blackwell di London.

Karya Pelras itu, yang oleh Nirwan Ahmad Arzuka, salah seorang penyunting terjemahan dan memberi pengantar pada terbitan terjemahan bahasa Indonesia, disebut sebagai karya yang bagaikan ”intan”, kini diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Nalar yang didukung oleh Forum Jakarta-Paris. Dengan penerbitan karya besar itu, tidak hanya lingkungan terbatas masyarakat ilmu pengetahuan dan orang Bugis saja yang mendapat peluang untuk lebih memahami salah satu suku bangsa yang memiliki dinamika untuk bertahan hidup, tetapi juga kesempatan untuk lebih memahami orang, manusia Bugis itu terbuka kepada bangsa Indonesia pada umumnya.

Dari segi perspektif situasi bangsa-negara Indonesia yang majemuk-multikultur, karya Pelras yang diterjemahkan dengan Manusia Bugis itu mempunyai arti yang tidak kecil, karena ternyata walau kita sudah membangun keadaan dan menciptakan diri sebagai bangsa yang satu

Rupama Cerita Rakyat Makassar

Rupama atau ceritera rakyat Makassar yang berkembang secara lisan di tengah masyarakat pendukungnya telah diabadikan dan disusun menjadi sebuah buku oleh Zainuddin Hakim. Kumpulan ceritera itu hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah ceritera yang tersebar secara lisan di Makassar. Dalam kumpulan ini penyusun mengelompokkan ceritera rakyat itu menjadi dua jenis, yakni ceritera kepercayaan dan ceritera binatang. Berikut ini akan dikemukakan judul ceritera tersebut.

Kumpulan ceritera kepercayaan terdiri atas: (1) Ceritera Pung Tedong (Kerbau) Bersama Tiga Orang Putra Raja; (2) Sebab Musabah Ikan Hiu Tidak Dimakan (Dalam Satu Keluarga); (3) I Kukang; (4) Kisah Percintaan; (5) Ceritera Musang Berjanggut; (6) Kisah Orang yang Tujuh Anaknya; (7) Dua Orang Bersahabat; (8) Orang yang Durhaka kepada Orang Tuanya; (9) Kisah Tinuluk; (10) Dua Orang Bersaudara. Kumpulan ceritera bintang terdiri atas: (1) Ceritera Pelanduk dan Buaya; (2) Ceritera Buaya dengan Kerbau; (3) Monyet dengan Kura-kura; (4) Kisah Rusa dengan Kura-Kura; dan (5) Kisah Pelanduk dengan Macan.

Rupama atau ceritera rakyat tersebut berfungsi sebagai hiburan dan sebagai sarana

Perjuangan Opu Daeng Risaju di Sulawesi Selatan (1930-1950)

Oleh: Salmah Gosse

Pendahuluan
Konflik dan kekerasan merupakan suatu fenomena historis yang bisa terjadi dalam hubungan antara negara (kekuasaan) dengan individu. Konflik biasa muncul manakala cita-cita individu bertentangan dengan kemauan negara. Individu biasanya akan terus memperjuangkan cita-citanya baik dalam bentuk gagasan maupun aksi. Sedangkan negara akan terus berusaha untuk menekan aktivitas individu, agar jangan sampai aktivitas individu dapat membahayakan stabilitas negara. Upaya negara untuk menekan individu dapat sampai pada tingkat bentuk tindak kekerasan.

Fenomena tersebut di atas biasa terjadi dalam sebuah kekuasaan negara yang otoriter. Dalam kekuasaan ini kebebasan individu dikekang. Negara memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap diri individu. Individu harus tunduk pada peraturan-peraturan yang dibuat negara. Peraturan-peraturan yang dibuat biasanya dalam model kekuasaan yang seperti ini adalah peraturan yang dapat melanggengkan kekuasaan.

Pakkamase satu sebutan banyak maknanya


Pada mulanya, saya fikir namanya Pakkamase. "Bukan, itu nama syarikat," katanya sambil memperlahankan teksinya kerana kami sudah hampir sampai di Restoran Sri Pelangi, berdekatan Kompleks Karamunsing.

Apa maksud `pakkamase' itu?. Katanya, pakkamase adalah satu perkataan dalam bahasa Bugis bone yang boleh membawa pelbagai maksud antara `bertukar fikiran, saling menyayangi, silaturrahim, tolong menolong, bantu membantu, bertimbang rasa, toleransi dan sebagainya".

Satu sebutan banyak maknanya, kata Dullah Bache, pemandu teksi yang sudah lama terbabit dalam sistem pengangkutan awam di Kota Kinabalu.

Tidak lama selepas kami sampai, Datuk Haji Osman Jamal tiba untuk merasmikan mesyuarat pertama Persatuan Pengusaha dan Pemandu Teksi Rumpun Melayu Kota Kinabalu, atas kapasitinya sebagai penasihat persatuan itu.

Tapi sebelum itu kami menikmati makan malam terlebih dahulu. Kelihatan Datuk Haji Osman Jamal makan dengan berselera kerana makanan yang dihidangkan adalah makanan tradisi bugis.

Apatahlagi, beliau baru balik dari lawatan di China dan sudah tiga hari asyik makan roti dan tidak berpeluang makan nasi di sana.

Banyaklah cerita mengenai lawatannya ke China, mengenai makanan tradisi, mengenai Jusuf Kalla yang tewas dalam pemilihan presiden di Indonesia dan juga mengenai Datuk Seri Najib Tun Razak yang khabarnya masih keturunan Sultan Goa, Sultan Abdul Aziz yang ke-14.

Demi mengetahui bahawa saya berasal dari Kota Belud, Haji Osma bercerita bahawa dahulu ada seorang bangsawan Bugis yang terdampar di perairan Kota Belud setelah kapalnya pecah.