Suku Di Sulawesi Selatan

RUMPUN BUGIS = termasuk dalam rumpun Melayu Muda

Selama ini yang orang tahu dari Sulsel cuma ada empat suku, yaitu makassar, bugis, mandar dan toraja... ternyata masih banyak yang lain...

SUKU BENTONG = Suku Bentong tinggal di perbatasan Kabupaten Maros dan Bone, mereka mendiami daerah Bulo-Bulo, bagian dari wilayah Kecamatan Tenete Riaja. Kabupaten Barru, Propinsi Sulawesi Selatan.

SUKU BUGIS = Suku tersebut berpusat di Sulawesi Selatan. Suku ini mendiami sebelas Kabupaten, yaitu Kab. Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Sidenreng-Rappang, Powelai-Mamasa, Luwu, Pare-pare, Barru, Pangkajene, dan Maros.

SUKU CAMPALAGIAN = Nama lain dari suku ini adalah Tulumpanuae atau Tasing, dan biasa disebut oleh pemerintah suku Mandar. Namun mereka menyebut diri mereka orang Campalagian. Mereka tinggal di sekitar Kabupaten Majene, tepatnya di kota Campalagian dan Kab. Polewali-Mamasa (Polmas) serta di Kabupaten Mamuju sepanjang sungai Mandar.

SUKU DURI = Suku Duri terletak di pedalaman Sulawesi Selatan, mendiami wilayah Kabupaten Enrekang yang tersebar di lima kecamatan, yaitu Kec. Enrekang, Maiwa, Baraka, Anggareja dan Alia, yang berbatasan dengan Tanah Toraja. Mereka menggunakan bahasa dengan dialek khusus yaitu bahasa Duri.

1Bugis - Suku Duri

Suku Duri terletak di pedalaman Sulawesi Selatan, mendiami wilayah Kabupaten Enrekang yang tersebar di lima kecamatan, yaitu Kec. Enrekang, Maiwa, Baraka, Anggareja dan Alia, yang berbatasan dengan Tanah Toraja. Mereka menggunakan bahasa dengan dialek khusus yaitu bahasa Duri.

1Bugis - Suku Mamuju

Mamuju terletak di tepi pantai timur Sulawesi , terbentang dari arah selatan ke utara. Suku ini dialiri oleh beberapa sungai, seperti Hua, Karamu, Lumu, Budung-Budung.

1Bugis - Suku Toala' / Pannei

Sumpang Bita adalah obyek wisata gua yang terdapat di Kab. Pangkep, Sulsel. Pada dinding gua Sumpang Bita itu terdapat bekas gambar telapak tangan, dan telapak kaki manusia, perahu, rusa dan babi hutan. Mungkin unsur-unsur ini menunjukkan gaya hidup orang Toala/Pannei zaman dulu. Konon sejak 5000 tahun yang lampau merupakan tempat hidup nenek moyang suku Toala/Pannei.

1Bugis - Suku Makassar

Suku Makassar adalah nama Melayu untuk sebuah etnis yang mendiami pesisir selatan pulau Sulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkassara' berarti Mereka yang Bersifat Terbuka.

Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin Traktat dengan Bali, kerjasama dengan Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adudomba Belanda terhadap Kerajaan taklukannya.

1Bugis - Suku Bajo

Suku Bajo dikenal dengan nama SAMA. Mereka menyebar di Lima Benua Suku Bajo adalah pelaut tangguh. Laut adalah hidupnya. Mereka memilih hidup di pulau-pulau di tengah lautan dari pada harus bersosialisasi di darat. Julukan mereka manusia perahu.

Tidak heran bila Suku Bajo sering diidentikkan dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Pendidikan belum dipandang sebagai prioritas hidup. Abdul Manan, sang Presiden Suku Bajo Indonesia, menuturkan betapa sulitnya Suku Bajo menghadapi kehidupan sosial.

Suku Bajo mampu bertahan dengan kerasnya hidup di lautan dengan menjadi nelayan, kata Abdul Manan yang juga Kepala Bappeda Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Pulau Sama Bahari, pulau yang dihuni 364 keluarga Suku Bajo cukup menggambarkan bentuk kehidupan mereka. Di Pulau Karang yang terletak di antara gugusan pulau-pulau di Sultra, terlihat rumah-rumah penduduk terbuat dari bambu. Kemiskinan suku Bajo terpancar nyata. Penduduk di sana hanya bekerja sebagai nelayan tradisional.

Dari segi pendidikan pun tertinggal jauh. Di Pulau Sama Bahari, hanya berdiri satu sekolah dasar. Kalau hendak masuk ke sekolah lanjutan, harus menyeberang ke pulau terdekat.

1Bugis - Suku Toraja

Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.

1Bugis - Suku Enrekang

Suku Enrekang masih berhubungan erat dengan Bugis. Pada umumnya berdomisili di Kabupaten Enrekang provinsi Sulsel. Sejak abad XIV, daerah ini disebut MASSENREMPULU yang artinya meminggir gunung atau menyusur gunung, sedang sebutan Enrekang dari ENDEG yang artinya NAIK DARI atau PANJAT dan dari sinilah asal mulanya sebutan ENDEKAN. Masih ada arti versi lain yang dalam pengertian umum sampai saat ini bahkan dalam Adminsitrasi Pemerintahan telah dikenal dengan nama “ENREKANG” versi Bugis sehingga jika dikatakan bahwa Daerah Kabupaten Enrekang adalah daerah pegunungan, sudah mendekati kepastian sebab jelas bahwa Kabupaten Enrekang terdiri dari gunung-gunung dan bukit-bukit sambung menyambung mengambil ± 85 % dari seluruh luas wilayah yang luasnya ± 1.786.01 Km².

1Bugis - Suku Maiwa

SUKU MAIWA tinggal di dataran wilayah Enrekang dan Sidenrang, propinsi SulSel. Orang Maiwa sangat mengutamakan keluarga dan pola hidup gotong royong. Status sosial ditentukan oleh pendidikan atau kekayaan. Orang Maiwa sudah menjadi Muslim yg taat sejak abad ke- 17 namun kepercayaan animisme masih melekat kuat dalam kehidupan mereka sehari2.

1Bugis - Suku Luwu

Kerajaan Luwu adalah kerajaan tertua, terbesar, dan terluas di Sulawesi Selatan yang wilayahnya mencakup Tana Luwu, Tana Toraja, Kolaka, dan Poso. Perkataan “Luwu” atau “Luu” itu sebenarnya berarti “Laut”. Luwu adalah suku bangsa yang besar yang terdiri dari 12 anak suku. Walaupun orang sering mengatakan bahwa Luwu termasuk suku Bugis, tetapi orang-orang Luwu itu sendiri menyatakan mereka bukan suku Bugis, tetapi suku Luwu. Sesuai dengan pemberitaan lontara Pammana yang mengisahkan pembentukan suku Ugi’ (Bugis) di daerah Cina Rilau dan Cina Riaja, yang keduanya disebut pula Tana Ugi’ ialah orang-orang Luwu yang bermigrasi ke daerah yang sekarang disebut Tana Bone dan Tana Wajo dan membentuk sebuah kerajaan. Mereka menamakan dirinya Ugi’ yang diambil dari akhir kata nama rajanya bernama La Sattumpugi yang merupakan sepupu dua kali dari Sawerigading dan juga suami dari We Tenriabeng, saudara kembar dari Sawerigading.

Kerajaan Luwu diperkirakan berdiri sekitar abad X yang dibangun oleh, sekaligus sebagai raja pertama adalah Batara Guru (Tomanurung) yang dipercaya turun dari langit diutus oleh ayahnya Dewa Patoto’e untuk turun mengisi kekosongan di dunia tengah. Beliau turun tepat di daerah Ussu, kecamatan Malili, kabupaten Luwu Timur lalu dikawinkan dengan We Nyili Timo’ sepupu satu kalinya yang berasal dari dunia bawah, sehingga lahirlah beberapa keturunan. Setelah

1Bugis - Suku Campalagian

Suku Campalagian pada umumnya tinggal di kota Polmas, Campalagian; di propinsi Sulbar Umumnya mereka tinggal di daerah dataran rendah yg subur. Adat budaya mereka sangat dipengaruhi oleh suku Toraja dan suku Bugis sehingga terdapat banyak kemiripan dalam bahasanya.

Mayoritas mereka beragama Islam dan berbagai unsur agama ini terpadu dengan baik dan sulit
dipisahkan dari adat istiadat mereka. Namun demikian animisme – pemujaan kepada roh2 dan

1Bugis - Suku Ulumanda

Suku Ulumanda masih termasuk rumpun Bugis yang berjumlah 31.000 jiwa berada di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Suku ini merupakan salah satu anak suku Bungku. Mata pencaharian mereka adalah petani. Daerah ini kaya dengan bahan baku mineral, pasir, karomit, rotan, dan kayu hitam dsbnya. Penduduk pesisir kebanyakan lebih senang melaut, ini menjadi bagian dalam hidup mereka. Menurut informasi, belum ada pelayanan serius bagi suku ini

1Bugis - Suku Konjo

Suku Konjo sebagian besar tinggal di Kabupaten Bulukumba, kurang lebih 209 km dari Kota Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan. Suku Konjo mendiami 4 Kecamatan (Kecamatan Bontotiro, Kecamatan Kajang, Kecamatan Bontobahari dan Kecamatan Herlang), yang kesemuanya berada di wilayah bagian Timur Kabupaten Bulukumba.

Orang Konjo membangun kapal layar pinisi yang biasanya dikira dibuat oleh suku Bugis dan suku Makassar. Nama lain suku ini adalah Kajang - merupakan perkampungan tradisional khas suku Konjo. Di daerah ini terdapat hutan lindung yang memasuki tempat sakral ini, para pelancong atau pendatang yang akan masuk ke wilayah ini harus memakai pakaian serba

1Bugis - Suku Bentong

Suku Bentong adalah sebuah suku yang berdiam di wilayah desa Bulo-Bulo, kecamatan Pujananting, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Nama suku Bentong diperoleh karena suku ini menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat Barru sebagai komunitas Bugis, yaitu menggunakan perpaduan dari beberapa bahasa daerah yang ada di Sulawesi selatan yaitu Makassar, Konjo, Bugis dan Mandar. Bentong sendiri dalam

1Bugis - Suku Mandar

Suku Mandar adalah satu-satunya suku bahari di Nusantara yang secara geografis berhadapan langsung dengan laut dalam. Lautan dalam merupakan halaman rumah-rumah mereka. Begitu mereka bangun dari tidur, mereka akan disapa oleh gemuruh air laut dan dibelai oleh angin laut. Kondisi alam mengajarkan kepada masyarakat Mandar bagaimana beradaptasi untuk mempertahankan hidup (meminjam bahasa Durkheim, struggle for survival), dan membangun kebudayaannya.

Melaut bagi suku Mandar merupakan penyatuan diri dengan laut. Laut menjadi tempat mereka

Orang Mandar orang laut: kebudayaan bahari Mandar mengarungi gelombang

Salasilah Daeng Saring @ Daeng Saieng Di Sipitang, Sabah

Salam, berikut ini saya petik dari laman blog http://daengsaring.blogspot.com/ berkenaan Salasilah Daeng Saring @ Daeng Saieng Di Sipitang, Sabah.

Pengenalan

Daeng Saring @ Daeng Saieng adalah salah seorang yang dipercayai berasal daripada keturunan Kerajaan Riau yang telah memasuki kepulauan Borneo melalui Brunei dan dipercayai keturunan beliau kini berada di sekitar Brunei, Sarawak, Sabah dan W.P.Labuan. Sehubungan dengan itu, maka terhasilnya Blog ini bagi bertujuan untuk menjejaki Salasilah Keluarga Daeng Saring @ Saieng yang berada di sekitar Borneo dan berkemungkinan juga telah berada di Semenanjung Malaysia, Indonesia, Filipina dan kawasan-kawasan sekitarnya.

Perahu Pinisi



Asal Usul
Bugis adalah salah satu sukubangsa yang ada di daerah Sulawesi Selatan. Sukubangsa ini sejak dahulu telah memiliki catatan tersendiri dalam sejarah bahari Indonesia. Banyak bukti yang menunjukkan kepiawaian mereka dalam mengarungi lautan. Hal itu disebabkan karena dalam berdagang (memasarkan hasil buminya), mereka tidak hanya mengarungi daerah-daerah di sekitar mereka, tetapi juga daerah lain di Indonesia, bahkan mancanegara. Oleh karena itu, mereka tidak hanya mengarungi perairan wilayah Indonesia, tetapi juga di perairan-perairan negara lain seperti: Malaysia, Philipina, Australia hingga ke Madagaskar (Afrika Selatan). Alat transpotasi yang digunakan adalah berbagai jenis perahu tradisional yang ada di kalangan orang Bugis-Makassar, seperti: pinisi, lambo’ (palari), lambo’ calabai, jarangka’, soppe’, dan pajala. Namun demikan, yang paling populer hingga saat ini adalah pinisi. Kepopuleran inilah yang kemudian membuahkan sebutan “perahu bugis” karena yang menggunakannya kebanyakan orang Bugis atau setidaknya bisa berbahasa Bugis.

Sejarah Orang Bugis

Epos La GaligoOrang bugis memiliki berbagai ciri yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah nusantara. Mereka mampu mendirikan kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India. Dan tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka.

Orang bugis juga memiliki kesastraan baik itu lisan maupun tulisan. Berbagai sastra tulis berkembang seiring dengan tradisi sastra lisan, hingga kini masih tetap dibaca dan disalin ulang. Perpaduan antara tradisi sastra lisan dan tulis itu kemudian menghasilkan salah satu Epos Sastra Terbesar didunia Yakni La Galigo yang naskahnya lebih panjang dari Epos Mahabharata.

Bissu dalam la Galigo Selanjutnya sejak abad ke 17 Masehi, Setelah menganut agama islam Orang bugis bersama orang aceh dan minang kabau dari Sumatra, Orang melayu di Sumatra, Dayak di Kalimantan, Orang Sunda dijawa Barat, Madura di jawa timur dicap sebagai Orang nusantara yang paling kuat identitas Keislamannya.

Bagi orang bugis menjadikan islam sebagai Integral dan esensial dari adat istiadat budaya mereka. Meskipun demikian pada saat yang sama berbagai kepercayaan peninggalan pra-islam tetap mereka pertahankan sampai abad ke 20 salah satu peninggalan dari jaman pra islam itu yang mungkin paling menarik adalah Tradisi Para Bissu (Pendeta Waria).

Ringkasan Isi Surek Galigo Sawerigading & La Galigo Ke Senrijawa

1. Sawérigading mendatangi isterinya yang bernama I Wé Cudai memberitahukan bahwa anak angkatnya yang bernama La Mappanyompa mengundangnya ke Senrijawa untuk menghadiri uapacara yang diadakan oleh saudaranya.

2. Utusan pembawa undangan itu juga mengundang anak datu tujuh-puluh, sambil mengatakan bahwa sejak bulan lalu dia mengantar juga undangan ke Tompo Tikka, Singki Wéro dan Lau Saddeng.

3. Anak datu tujuh-puluh sedang asyik menyabung ayam di gelanggang, sedang Wé Tenridiyo yang bergelar Batari Bissu anak Sawérigading yang dinasibkan menjadi bissu sejak kecil, menengadah ke langit berkomunikasi dengan orang kayangan suami langitnya yang bernama To Sompa Riwu.

4. To Sompa Riwu turun dari langit menjemput Wé Tenridiyo menaikkannya ke Boting Langi. Dalam perjalanannya ke Boting Langi, dia melihat dunia yang ditinggalkan itu besarnya hanya bagaikan sebua kempu.

Diaspora Bugis Makassar di Negeri Rantau

Dari sekian suku di Nusantara, Bugis-Makassarlah yang selalu menjadi representasi suku perantau, tentu dengan mengandalkan kemampuannya dalam mengarungi samudera. Semboyan “sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai” begitu merasuk ke dalam jiwa masyarakat Bugis-Makassar (BM), sehingga mereka pun selalu dapat berhasil tiba di tujuan. Tak ada kata menyerah, rasa malu atau siriq’ meresap dan menjadi lokomotor penggerak jiwa Bugis Makassar (BM) untuk selalu berjuang hingga titik darah penghabisan.

Banyak alasan yang membuat masyarakat BM melakukan perantauan. Jika ditengok ke belakang, pelayaran dan penjelajahan ke negeri seberang sudah menjadi tradisi kuno, bahkan

Filosofi Siri’ perspektif keberanian orang Bugis - Makassar

Karakter keras dan berani orang Bugis Makassar (sulsel) tidak lepas dari tradisi maritim nenek moyang mereka To Luwu yang artinya Pelaut. Ganasnya ombak lautan telah banyak membentuk karakter orang Bugis Makasssar yang tidak kenal kompromi dan senang berkompetisi. karakter keras yang selalu di identikan dengan kata ewako yang artinya melawan selalu bergandengan dengan kata siri’. Bagi orang Bugis Makassar siri’ atau malu merupakan harga mati. Siri’ ibaratnya hantu yang selalu berputar-putar di setiap kepala anak cucu Sawerigading dan hanya bisa “ditebus” dengan badik.

Bola Soba Bone (Soraja/Rumah Raja Bugis)


Bola Soba atau Soraja (Rumah Raja Bugis) adalah rumah tinggal Panglima Perang Kerajaan Bone di masa pemerintahan Raja Bone XXXII tahun 1895-1905, iaitu "Andi Abdul Hamid Baso Pagilingi Petta Ponggawae" salah seorang putra Raja Bone XXXI (Lapawawoi Karaeng Sigeri). Namun setelah kerajaan Bone di bawah kekuasaan Belanda, rumah ini dijadikan sebagai penginapan para tetamu dari kalangan penguasa ketika itu, sehingga

Tekad ubah kehidupan

Oleh Nazdy Harun

KEADAAN ibu bapanya yang buta huruf mendorong Muhammad Nor Abidin, 23, belajar bersungguh-sungguh untuk mengubah kehidupan keluarganya.

Kesungguhan pelajar Diploma Psikologi itu berbaloi apabila menerima dua anugerah, Emas Presiden dan Kecemerlangan Al Ghazali pada Majlis Konvokesyen Ketiga Kolej Islam Sains dan Teknologi (KIST) di Taman Tamadun Islam, Kuala Terengganu, baru-baru ini.

Anak kelahiran Melayu Bugis dari Sandakan, Sabah itu, berkata prinsip hidup untuk menjadi yang terbaik di kalangan terbaik menyebabkan dia berusaha keras memburu kejayaan sepanjang tiga tahun menuntut di kolej berkenaan.

"Hasrat membalas jasa dan pengorbanan ibu bapa selain mengubah kehidupan keluarga mendorong saya belajar bersungguh-sungguh.

Buku bahasa Cina beri motivasi kepada pelajar Bugis hingga berjaya

Story by Ng Jia Xiang and Wendy Radin
Pictures by Flanegan Bainon

<i>Andi Tamsang</i>Andi Tamsang
 
Andi Tamsang Andi Kele, 24, menonjol di antara lima graduan di Universiti Malaysia Sabah (UMS) yang menang pingat emas hasil kecemerlangan akademik mereka. Sebagai wakil, dia bercakap kepada mereka dalam bahasa Mandarin dengan berterima kasih kepada guru-guru atas pencapaian mereka di universti yang mengajar dalam bahasa Melayu dan Inggeris. Tamsang datang daripada kaum Bugis. Rakan pelajarnya yang lain adalah etnik Cina. Namun, buku-buku dalam bahasa Cinalah yang mendorongnya hingga berjaya.

Kerajaan Sriwijaya dan Para Pelaut Nomaden - Bugis/Bajau


Sejak Kan-to-li runtuh pada 563 M, ada jarak delapan puluh tahun sebelum Kerajaan Melayu di Sumatra bagian timur me­ngirimkan sebuah misi ke Cina dan melakukan perdagangan. Kon­disi itu menunjukkan bahwa tanda-tanda kehidupan mulai muncul kembali. Saat itu, Kerajaan Funan benar-benar telah runtuh. Jalur darat menyeberangi Genting Tanah Kra tak digunakan lagi, dan pola perdagangan telah berganti ke jalur laut menuju Selat Malaka.

Implikasi Politik Melayuisme Sama-Bajau di Malaysia

Mantan Ketua Menteri Sabah, Datuk Seri Salleh Said Keruak, ketika mengadakan perjumpaan dengan masyarakat Bajau di Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Indonesia.

Ikatan biologi orang Sama-Bajau dengan etnik Melayu membuatkan diaspora mereka di mana sahaja mereka berada, tetapi sentiasa mengikat asal-usul mereka dengan Johor. Konsep diaspora Sama-Bajau bukanberasaskan wilayah kerana mereka tidak mempunyai tempat asal seperti orang Jawa yang berasal dari Pulau Jawa, orang Bugis dari Sulawesi Selatan dan orang Suluk dari Pulau Sulu. Sebaliknya diaspora orang Sama-Bajau lebih kepada ideologi etnik, maka Johor bermaksud mereka berasal dari rumpun etnik Melayu di Semenanjung Melayu. Kesannya keperibadian dan identiti budaya Sama-Bajau lebih menunjang dalam peradaban Melayu Islam.