Orang Bugis di Kepulauan Sulu

Dipetik sebahagian daripada Tamatnya Riwayat Bangsa Moro dan Munculnya United Tausug Citizens. Petikan ini adalah bertujuan untuk memaparkan kewujudan Bugis sejak dahulu lagi di kepulauan Sulu. Sekiranya anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut tentang artikel di atas sila lawat blog di bahagian sumber maklumat ini.

Orang Arus Peniaga Mutiara

Penggelaran Melayu itu termasuklah kepulauan Sulu dan Mindanao. Walaupun ketika itu bangsa Tausug sudah lama menguasai laut Sulu dan Sulawesi dengan menggelarkan bangsa mereka dengan Tausug tetapi masih menerima hakikat yang mereka adalah dari rumpun Melayu. Tausug adalah bangsa pedagang sejak dahulu kala. Mereka menjalankan perdagangan mutiara hingga ke Jambi Sumatera malah sudah biasa merentas Laut China Selatan sampai ke Negeri Kayangan China sebagai penjual mutiara. Menurut beberapa catatan dari pencatat sejarah mengatakan rumpun Melayu di Sulu sudah mula terkenal sejak abad ke-7. Bajau Laut telah ada di Pulau Taguima (Pulau Basilan) bekerjasama dengan Orang Taguimaha sebagai penyelam mutiara.

Bermula dari perdagangan mutiara inilah mereka mendapat gelaran “Orang Arus” kerana kebiasaan merentas lautan berdagang mutiara tersebut. Perdagangan mutiara menyebabkan bangsa ini menjadi penguasa sehingga ke Pulau Panay, Manila dan Luzon, Cebu (kata asalnya Sug Bu), Butuan, Kalamianes, Visaya (Naungan Sri Vijaya) hingga Mindanao. Sejarah telah mencatat (dalam catatan Dinasti Ming) bahawa antara sebab utama Tausug menyerang Brunei pada tahun 1368 M adalah kerana Brunei dikatakan telah mencuri dua biji mutiara Sulu. Ketika itu Brunei di bawah pemerintahan Raja Awang Alak Betatar terpaksa melarikan diri ke Johor Lama untuk mengelak dari dibunuh oleh Tausug.

Kaum Ayta atau Agta yang menjadi penghuni asli kepulauan Mindanao memanggil kaum dari Sulu ini dengan panggilan Sulug yang bermaksud Arus. Walaupun penghuni awal Sulu adalah dari kaum Buranun tetapi Panggilan Sulug @ Sug terhadap mereka oleh orang luar diterima sebagai satu penghargaan. Hingga hari ini kaum Visaya, Surigaonun, Hiligaynun, Kagayanun, Suba’anun, Iranun, Maguindanao, Maranao masih memanggil mereka Sulug. Malah orang Brunei juga turut memanggilnya Sulug (Lidah Brunei menyebut Suluk). Kaum Asli Sulu ini memanggil diri mereka sebagai Sulug juga (lidah mereka menyebut Sug, sebagaimana mereka menyebut Bangingi kepada Balangingi – kebiasaan menghilangkan konsonan “L”).

Penggelaran TAUSUG
Setelah kedatangan kaum Baklaya (Bugis) dari Suluwesi (Sulawesi) ke Sulu telah menjadikan bahasa Sulug ini bertambah kaya dengan perbendaharaan kata Bugis. Orang Bugis Baklaya memanggil Orang Sulug @ Sug dengan panggilan Tau-Sug bermaksud Orang Sug (Orang Arus). Dalam bahasa Bugis Tau bermaksud Orang. Sebab itu mengapa orang Bugis di Sulawesi, Indonesia memanggil Tau-Gi’ (Orang Bugis) kepada diri mereka hingga hari ini. Perhubungan Orang Bugis dengan Tausug sejak dahulu kala adalah sangat rapat. Tau-Gi’ dan Tau-Sug berkahwin campur sesama mereka sejak zaman kegemilangan Kesultanan Makassar lagi. Sultan Badaruddin I dari Sulu sendiri berkahwin dengan wanita Soppeng dari Tanah Bugis. Kadangkala Daeng-daeng Bugis datang ke Sulu untuk membeli hamba kerana sejak abad ke-17 lagi Tausug adalah yang paling terkenal dengan jual beli hamba.

Sumber: http://www.tausug-global.blogspot.com/

Pengaruh ekonomi Bugis terhadap Papua

Resensi: Amber dan Komin: Studi Perubahan Ekonomi di Papua, Akhmad, Bigraf Publishing, 2005

Tebal buku ini 157 halaman. Yang disoroti, peranan pedagang Bugis dalam proses transformasi ekonomi di Papua, khususnya mengenai perkembangan ekonomi pasar. Judulnya, Amber dan Komin: Studi Perubahan Ekonomi di Papua, yang ditulis oleh Akhmad, antropolog asal suku Bugis di Sulawesi Selatan.

Ia juga menceritakan jaringan sosial maupun pranata budaya yang dianut oleh orang Bugis di Papua. Termasuk, persaingan yang timpang sekali antara pedagang pendatang dan pribumi di pasar-pasar seputar Kota Jayapura.

Konflik, dominasi ekonomi, dan etnisitas menjadi perdebatan di Papua saat ini. Pergulatan identitas kesukuan memiliki dampak negatif sebab bisa memicu konflik. Kondisi itu memunculkan persaingan dalam memperoleh sumber daya ekonomi. Namun, nilai positifnya tak sedikit. Dominasi ekonomi suku Bugis dijadikan referensi bagi orang Papua dalam melakukan strategi baru untuk mengembangkan diri.

Buku dengan enam bab itu memuat hasil penelitian sebagai rintisan awal untuk memahami transformasi ekonomi di Papua atas keberadaan pendatang. Situasi sosial di Papua saat ini ditandai dengan munculnya wacana yang merujuk pada perbedaan etnis. Fenomena itu mempertegas batas orang Papua dengan non-Papua, yaitu antara suku Bugis dan warga Papua.

Di papua, gejala ini bukan gejala sosial budaya baru karena sudah ada sejak pascakolonial dengan munculnya kata 'Amber' bagi pendatang berambut lurus dan 'Komin' bagi orang Papua yang berambut keriting. Gejala itu mendominasi perekonomian di Papua. Tapi, pertemuan kelompok Amber dan Komin membawa perubahan ekonomi nyata di Papua.

Tiga faktor melatarbelakangi perubahan itu. Pertama, penetrasi pasar dalam kehidupan orang Papua dari kehadiran suku Bugis. Kedua, pertemuan mode produksi domestik dengan yang modern. Ketiga, tidak semua hasil produksi subsistem habis dikonsumsi, jadi ada sisa yang dijual di pasar. Meskipun ada integrasi ekonomi dalam kehidupan orang Papua, pedagang setempat belum mampu bersaing dengan pedagang Bugis.

Penulis menganalisis penyebab keberhasilan kelompok Bugis dan ketertinggalan orang Papua dalam setting ekonomi pasar. Suku Bugis sukses karena mereka melakukan hubungan personal dalam ekonomi pasar. Sedangkan ketertinggalan orang Papua, mereka mengabaikan prinsip personal seperti proses tawar-menawar, utang-piutang, dan kredit.

Di sisi lain, ketertinggalan orang Papua juga akibat faktor struktural yang tak memungkinkan mereka bersaing dengan pedagang pendatang. Saat peralihan kekuasaan dari kolonial Belanda ke Indonesia pada 1963, orang Papua bukan kelompok pedagang. Namun, posisi perdagangan di tangan orang China (Amber). Landasan ekonomi orang Papua bersifat barter untuk membangun solidaritas sosial.

Intinya, keterlibatan orang Papua dalam ekonomi pasar adalah ketika mereka bertemu dengan suku Bugis. Pertemuan itu melahirkan reproduksi perdagangan. Orang Papua, yang asalnya pemburu, peramu, dan peladang, menjadi kecil di pasar. Dengan cara ini, mereka merespons berbagai perubahan di sekeliling mereka.

Kenyataan ini memaksa warga Papua beradaptasi dengan perubahan baru. Keadaan itu melahirkan konflik orang Papua dengan perantau asal Bugis. Kasus mencolok dari konflik itu berupa pembakaran pasar-pasar yang didominasi suku Bugis, di antaranya Pasar Abepura pada 1996, Pasar Entrop (1999 dan 2000), dan Pasar Sentani (2000).

Nerma Ginting


Sumber: http://www.media-indonesia.com/

Rumah Bugis


Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain ( Sumatera dan Kalimantan ). Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan [orang bugis menyebutnya lego - lego].

Bagaimana sebenarnya arsitektur dari rumah panggung khas bugis ini ?. Berikut adalah bagian - bagiannya utamanya :

1. Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.

2. Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.

3. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.


Mengapa orang bugis suka dengan arsitektur rumah yang memiliki kolong ? Konon, orang bugis, jauh sebelum islam masuk ke tanah bugis ( tana ugi’ ), orang bugis memiliki kepercayaan bahwa alam semesta ini terdiri atas 3 bagian, bagian atas ( botting langi ), bagian tengah ( alang tengnga ) dan bagian bawagh ( paratiwi ). Mungkin itulah yang mengilhami orang bugis ( terutama yang tinggal di kampung, seperti diriku ) lebih suka dengan arsitektur rumah yang tinggi. Mengapa saya suka ? karena saya orang bugis… hehehe.. :) . Sebenarnya bukan karena itu, tetapi lebih kepada faktor keamanan dan kenyamanan. Aman, karena ular tidak dapat naik ke atas ( rumahku di kampung tingginya 2 meter dari tanah ). Nyaman, karena angin bertiup sepoi-sepoi, meskipun udara panas.. Wong rumahnya tinggi, hehehe.

Bagian - bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :
1. Rakkeang, adalah bagian diatas langit - langit ( eternit ). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.

2. Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola ).

3. Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.


Yang lebih menarik sebenarnya dari rumah bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakan kayu. Dan uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat / dipindah.. simple kan. :)

Sumber: http://buginese.blogspot.com/


Bukti Penemuan Petanda Orang Bugis (Makassar) Lebih Dulu Kontak dengan Aborigin

Gambar perahu phinisi khas Makassar dalam lukisan cadas di Australia menunjukkan interaksi Suku Abvorigin dengan pelayar Bugis atau Makassar sudah lama berlangsung. Hal ini juga menunjukan kebesaran peradaban makassar pada masa lampau yang mungkin melebih kejayaan kerajaan Majaphit yang peninggalannya tidak dapat ditemukan diluar wilayahnya.

Suku Aborigin yang merupakan penduduk asli benua Australia mungkin sudah melakukan interaksi begitu lama dengan para pelayar Bugis atau Makasan dari Makassar. Hal tersebut dapat dilihat dari lukisan cadas yang baru-baru ini ditemukan di Australia utara.

Lukisan tersebut bisa jadi mengubah sejarah nasional Australia yang banyak menjadi referensi selama ini yang cenderung mengagungkan kulit putih. Suku Aborigin umumnya diyakini terisolasi dengan kebudayaan luar sebelum pendatang kulit putih mendiami benua tersebut. Namun, penduduk asli di utara ternyata telah berhubungan dengan orang Makassar.

Mungkin ratusan tahun lebih dulu daripada orang-orang Eropa yang datang ke sana tahun 1700-an. Orang-orang Avorigin bahkan kemungkinan pernah berlayar ke Makassar untuk melihat kebesaran kerajaan Makasar yang ada pada waktu itu. Ini dapat dilihat dari lukisan monyet di atas pohon yang hanya dapat dilihat di Pulau Sulawesi.

Gambar rumah-rumah adat Makassar dan perahu phinisi juga tampak di antara ribuan lukisan cadas yang dinding gua dan batuan yang tersebar di kawasan adat Aborigin, Arnhem Land. Lukisan lain menggambarkan tentara-tentara perang dunia II, satwa yang kini telah punah, termasuk barang-barang modern seperti sepeda, pesawat, dan mobil.

Lukisan-lukisan tersebut berusia antara 15.000 tahun hingga 50 tahun. “Satu kawasan yang sebelumnya belum pernah didokumentasikan ini merupakan situs lukisan paling besar di Australia,” ujar Paul Tacon, profesor antropologi dari Universitas Griffith, Queensland, Australia.

Situs yang disebut Djulirri itu dilaporkan pertama kali tahun 1970-an oleh pakar batuan George Chaloupka namun belum pernah diteliti. Tacon baru melakukan ekspedisi ke sana pada Agustus 2008 bersama tetua Suku Aborigin, Ronald Lamilami. Suku Aborigin kental dengan budaya lisan.

Namun, mereka suka menggambar di batuan cadas sebagai gambaran kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dilakukan turun-temurun dan tekniknya terus berubah dari generasi ke generasi. Pada beberapa situs, lukisan sampai 17 lapisan. Saat ini, hanya orang-orang tua yang memiliki hak menggambar di cadas.

Sumber: http://teknologitinggi.wordpress.com/

Bugis Pulau Bali - Pulau Serangan

Pulau Penyu atau Pulau Serangan di sebelah selatan Pulau Bali bukan hanya hamparan pasir putih dan panorama bahari. Namun sejarah tentang kerukunan antara warga berbeda suku. Tepatnya kekerabatan antara Bugis muslim dan warga setempat yang mayoritas Hindu. Mereka hidup rukun di satu perkampungan yaitu Kampung Bugis.

Usman dan Ali, contoh sosok warga Kampung Bali yang lahir dari darah Sulawesi dan Bali. Ayah mereka Alkam berasal dari Sopeng, Sulawesi Selatan dan ibunya, Made Rentik asli dari Pulau Serangan. Setelah menikah, Made Rentik memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Aisyah.Usman dan Ali merupakan contoh hasil perkawinan campuran antara suku Bugis dan suku Bali.

Tetapi, karena sejarahnya kampung itu tetap disebut Kampung Bugis. Diperkirakan orang Bugis mendarat di Pulau Serangan pada abad 17 atau setelah Belanda menguasai Kerajaan Gowa. Rombongan yang dipimpin Syekh Haji Mukmin meninggalkan Gowa karena tidak sepaham dengan peraturan Pemerintah Belanda. Apalagi ketika itu Belanda sangat mengendalikan kehidupan maritim setempat. “Jadi ada dua saudara.

Satu pro-Belanda satu lagi anti-Belanda. Dia [anti-Belanda] terdampar di ujung timur Pulau Serangan,” ungkap M. Mansyur, sesepuh Kampung Bugis.Tiba di Pulau Serangan orang-orang Bugis mulai membangun perkampungan.

Kedatangan mereka didengar oleh Raja Badung yang menguasai Pulau Serangan. Kelompok Syekh Haji Mukmin diundang ke kerajaan dan dimintai keterangan maksud datang ke Pulau Serangan. Raja Badung, Ida Cokorda Pemecutan XI membenarkan, masyarakat Pulau Serangan punya ikatan sejarah dan darah dengan orang-orang Bugis. “Leluhur kami ada menikah dengan seorang putri raja di Jawa. Ini bukan soal Bugis saja. Maduranya ada, masih campur mereka. Tapi apapun masa lalunya, kita ada hubungan erat dengan Bugis,” kata Ida Cokorda.

Ida Cokorda menunjukkan lokasi di luar Pulau Serangan, namun karena pada dasarnya mereka merupakan suku yang dekat dengan laut. Mereka memohon untuk pindah kembali ke Pulau Serangan. Permohonan mereka dikabulkan. Usman dan Ali juga merupakan contoh orang-orang yang tetap menekuni dunia nelayan.

Di luar Usman dan Ali atau sekitar 70 kepala keluarga di Kampung Bugis, lebih memilih pekerjaan berbeda. Industri pariwisata dan pesatnya pembangunan perlahan-lahan mengubah pola hidup warga setempat. Kalaupun mereka berada di laut, lebih karena sebagai penyedia jasa wisata bahari. Kesetiaan Usman dan Ali meneruskan bakat nenek moyang juga diperkuat kepiawaian menyelam di laut.

Mereka menyelam dengan peralatan sederhana sambil memanah ikan. Hampir segala jenis ikan pernah ditangkap termasuk ikan hias. Ikan tersebut dijual atau mereka makan sendiri. Roda kehidupan Kampung Bugis yang sebenarnya lebih terlihat kala suara azan magrib terdengar. Setelah kumandang azan, seluruh warga akan datang ke Masjid Assyuhada yang merupakan satu-satunya masjid di Kampung Bugis.

Usai menunaikan salat magrib, anak-anak berkumpul untuk belajar mengaji. Rutinitas ini persis dilakukan nenek moyang mereka di Sulawesi Selatan. Kecintaan warga Kampung Bugis terhadap Islam, sejarah nenek moyang, adat istiadat Suku Bugis terlihat dari sebuah alquran tua. Mereka memelihara alquran tua itu karena konon dibawa Syekh Haji Mukmin. Ayat-ayat suci yang ditulis dalam lembaran kertas masih terbaca jelas.

Kitab itu dibungkus dengan kain tebal berwarna hijau agar tidak rusak. Alquran dalam berbagai kesempatan dibawa keliling kampung atau warga setempat menyebut acara ini dengan kirab. Mereka berkeliling sambil membaca salawat nabi. Kitab alquran tua, lantunan shalawat nabi, dan makam Syekh Haji Mukmin serta pengikutnya itu menjadi catatan penting keberadaan Suku Bugis di Pulau Serangan.

Catatan ini terus dipelihara meski proses perkawinan antarsuku banyak terjadi. “Syekh Haji Mukmin Membawa bekal satu kitab alquran. Dia berpesan kalau ada musibah atau bahaya apapun, kamu harus mengelilingi kampung sambil membawa alquran ini,” tutur M. Mansyur. Sesepuh Kampung Bugis ini menambahkan, tidak seorang pun tahu termasuk Syekh Haji Mukmin, siapa penulis alquran tersebut. “Ini tulisan tangan,” kata Mansyur.

Di luar catatan sejarah dan budaya suku Bugis di Pulau Serangan, selama 14 tahun terakhir, warga Kampung Bugis dan warga lain dihadapkan pada persoalan baru, yaitu reklamasi pulau. Karena reklamasi, lahan yang tadinya hanya 112 hektare disulap menjadi 481 hektare. Keadaan ini membawa perubahan terhadap kehidupan masyarakat terutama menyangkut kondisi lingkungan dan lahan lakah.

Dampak lain, Usman dan Ali atau warga setempat juga makin sulit mencari ikan hias yang dulu sering mereka tangkap sambil menyelam. Kerusakan mangrove membuat ikan menjauh ke tengah samudra sehingga kehidupan bernelayan sangat terganggu. Cara hidup orang Bugis kini bergeser ke daratan.

Kalaupun masih ada yang bertahan sebagai nelayan, karena tidak punya pilihan lain. “Jadi, walaupun ada pendatang, tapi rel-rel dasar mereka tetap Bugis, tetap orang Jawa tetap orang Madura, dan kami juga tetap Hindu. Tetapi menghadapi hal-hal yang negatif, kami tetap satu,” kata Ida Cokorda.

Kendati begitu, Ida Cokorda memastikan warga Pulau Serangan tidak akan kehilangan identitas karena mereka seperti ikan berenang di laut. “Walaupun air laut asin, tapi kami [ikan] tidak asin,” kata Ida Cokorda. Mansyur juga memastikan kerukunan antar penganut agama berbeda di Pulau Serangan termasuk nomor satu di seputar Bali. “Tidak pernah satu kali pun dari dulu terjadi keributan,” tegas Mansyur.

Sumber : Liputan6.com

Bugis Madagascar

Madagascar dengan ibukotanya Antananarivo dengan populasi 18,6 juta jiwa kita kenal sebagai sebuah negeri bekas koloni Perancis, yang berdaulat pada tahun 1947 atau lebih tepat kita katakan sebuah Kemerdekaan Hadiah, bukan sebuah kemenangan revolusi. Tetapi dalam proses/perjalanan konstitusi dan referendum Negara baru secara penuh ditetapkan tanggal 26 Juni 1960 sebagai Hari Kemerdekaan Madagascar.

Nama Antananarivo sendiri bermakna TANAH 1000 pejuang, terukir melalui relief di gedung museum sejarah mereka ada 1000 pejuang yang tewas ketika mempertahankan kota dalam memperjuangkan kemerdekaan yang mereka tuntut pada masa itu. Negeri yang dalam cerita lama lebih kita kenal melalui film RIN TINTIN cerita seekor anjing yang pintar (pada zaman TV masih B&W) sebagai pulau buangan para hukuman dengan luas pantainya sebesar 5000 km, cukup terkenal dengan kekayaan alamnya berupa batu permata, minyak-bumi, uranium.

Dari sinilah para pedagang dunia dari Eropa, Thailand, China, Sri-lanka, Malaysia dan Indonesia mengambil batu mulia sejenis Syafir Ruby & Emerald serta fosil kerang panca-warna berusia jutaan tahun yang bagi masyarakat China Hongkong rela membayar mahal dan selalu dikantongi sebagai pembawa rezeki & keberuntungan.

Sejarah mengukir pada zaman abad ke VII SM, Madagascar menjadi pulau tujuan dan persinggahan bahari nenek moyang pelaut Indonesia selain wilayah pesisir yang dihuni oleh kaum kulit hitam yang tidak jelas asal usulnya, sebagian menyebutnya dari Mozambique, sebuah pulau yang hanya terpisah sejarak benang tipis saja. Inilah awal sejarah mengapa orang Madagascar lebih senang disebut bangsa Malagassy daripada bangsa Africa.

Memang kalau kita melihat mereka tidak ada bedanya dengan orang Indonesia, warna kulit yang sawo matang, rambut yang ikal (tidak ngerungkel) seperti Africa pada umumnya dan postur badan Indonesia yang sedang-sedang saja dengan sorot mata khas Indonesia yang aduhai friendly. Anda bisa lihat photo President Madagascar Marc Ravalomanana sama persis postur & bentuk wajahnya dengan orang Indonesia pada umumnya.

Siapa Marc, yang dalam kepiawaiannya digelanggang politik melalui pemilu 2002, Marc berkiblat dibawah panji Amerika yang memberi dukungan penuh ketika mengambil-alih kekuasaan sosialis dari penguasa lama, dan dia membawa perubahan demokrasi secara perlahan serta pemikiran yang maju untuk mencerdaskan rakyatnya.

Dibawah kebijakannya pula dalam 10 tahun terakhir ini Bahasa Inggris menjadi mata pelajaran bahasa wajib dalam kurikulum pendidikan. Secara resmi ada 2 bahasa official, bahasa Perancis mereka pakai sebagai bahasa kedua dan bahasa nasional mereka disebut Bahasa Merina dengan dialek Malagasy (campuran bahasa Melayu Indonesia).

Awalnya Marc hanyalah seorang pengusaha trading/distribution consumer goods yang mengawali karirnya sebagai Walikota Tananarive dan sampai detik ini gurita bisnis sang presiden mulai mendominasi pangsa pasar consumer goods dari hulu sampai hilir. Kembali kita ke awal cerita …
Dan memang dalam catatan sejarah Madagascar, mereka mengakui bahwa para leluhur mereka memang datang dari kepulauan Indonesia (Indonesia Timur dan Pulau Jawa). Sejarah ini juga tertulis di KBRI kita di Antananarivo.

Kalau melihat sejarah kelautan Madagascar dengan kehidupan budaya nelayannya ada dugaan suku BUGIS atau Makasar dan suku JAWA yang pertama menemukan kepulauan ini pada abad ke VII SM tersebut. Kata Makasar dipakai untuk sebutan bagi para seniman, pelukis dan pemahat – juru photo.

Penulis belum menemukan apakah kata Madagascar berasal dari kata Makasar yang kemudian berubah karena pengaruh bahasa koloni Perancis. Dari sisi bahasa bisa pula ditelusuri banyak ditemukan kosa kata indonesia dan dialek daerah yang sama seperti (Joko/Jaka Rondo/janda-mambunuh-murah-salam-manjahit-minakan = dibaca makan-tai (maaf)=tai, bolo=dibaca bulu dll) untuk bilangan hitungan sama dengan bahasa jawa > Sidji – Loro – Telu – opat – limo dan seterusnya.

Berkaitan dengan bahasa ini, seorang Missionaris WNI dari Vatican Imprimerie Chatolic Romo Dosmen D. Marbun, telah menerbitkan sebuah buku percakapan pada 2006 lalu yang diakui KBRI & Kementerian Pendidikan & Budaya Madagascar, sebagai pembuktian Sejarah & Budaya. Bahwa Indonesia & Madagascar memang terkait erat, hubungan ini sampai saat ini terus berkesinabungan melalui pentas budaya, pendidikan beasiswa D1-S1 dan S2 yang tersebar di PTN di Jawa & SESKO AD.

Tercatat juga ada 2 Jendral dari Angkatan Bersenjata Madagascar yang merupakan Alumni Sesko-AD, Bandung dan 1 orang scholar Master di bidang agama Islam yang saat ini bekerja sebagai staff local di KBRI Antananarivo. Dalam perjalanannya, KBRI kita juga membuka kursus Bahasa Indonesia dengan biaya relative murah dan cukup diminati generasi muda Malagasy. Kursus ini dibina dengan sangat baik oleh Drs. Adi Roagaswara, seorang alumni dari Universitas Pakuan Bogor.

Uniknya di Mada (Maksudnya: Madagascar) berlaku 2 pemisahan asal, kita bisa melihat sebuah kondisi adanya 2 kasta yang berbeda, untuk Malagasy keturunan Indonesia dengan warna kulit yang sawo matang mereka sebut dirinya orang Tananarive (orang Kota), sedangkan orang Malagasy hitam dari keturunan Africa disebut orang pantai.

Dan untuk di pemerintahan pada umumnya didominasi orang Tananarive, orang pesisir pada umumnya banyak yang bekerja sebagai pedagang/kuli kasar dan comunitas mereka dalam catur pemerintahan/politik selalu di nomor-dua-kan oleh kaum berkuasa orang Tananarive. Kesenjangan social memang cukup terlihat antara kaum Tananarive dan kaum pesisir.

Sebuah celah dan potensi mudahnya membakar mereka yang dimanfaatkan oleh para pemain/konseptor catur politik dunia “AMERIKA“ karena kesenjangan inilah orang pantai membentuk aliansi politik sebagai partai oposisi. Adalagi yang menarik dari orang Malagasy, banyak diantara orang Tananarive yang menikah dengan orang perancis dan keturunan mereka disebut Malagasy Methys, wajahnya sangat rupawan menawan dan umumnya diantara mereka banyak yang sukses dalam karir Business & Politik. Namun demikian Madagascar masih tercatat dalam urutan ke-25 sebagai negara termiskin se-Africa yang beresiko tinggi untuk menjalin mitra business bagi investasi asing (Data survey 2005 African News).

DIEGO SUAREZ & SAINTE MARIE, adalah 2 pulau wisata yang sangat indah dan menawan atau dikenal juga dikalangan masyarakat Eropa sebagai pulau BALI-nya Madagascar. Kedua pulau ini memberikan kontribusi bagi devisa negara dari kunjungan wisatawan dari manca negara … untuk sampai kesana via udara + – 1jam perjalanan atau 10 jam perjalanan via darat dari Antananarivo atau tepatnya kota wisata ini berada 3 jam perjalanan darat via Tamatave.

Jika kita berkunjung ke Diego Suarez ada pemandangan yang terasa janggal bagi kita dimana mana kita akan melihat PRIA TUA ber-usia 40 s/d 50 tahunan yang bergandengan tangan dengan dara dara muda belia seusia 15 tahunan … sesungguhnya mereka adalah pasangan suami istri .

Disini ada tradisi yang sudah mengakar para lelakinya selalu kawin dalam usia tua dengan gadis gadis muda yang masih begitu ranum & mengkal (emangnya mangga muda eeehhh). Memang ada Alkisahnya kata yang empunya cerita … bahwa para pria di Diego Suarez termakan oleh kutukan para leluhurnya (di Mada kepercayaan Animisme/traditional masih mendominasi 50 % dari kepercayaan yang ada/Islam hanya 10 % dan 40% Kristen & Katolik ) dan sampai saat ini kehidupan SEX bebas masih menjadi tradisi umum yang dianggap sebagai hal biasa biasa saja dan kondisi ini jugalah yang menyebabkan AIDS tumbuh laksana jamur, adalah hal yang biasa anak dara seusia 12 tahunan sudah bukan perawan lagi.

Sementara untuk di SAINTE MARIE sendiri … dalam setiap bulan Sept s/d Des selalu dikunjungi wisatawan, ada yang unik disini… kalau di Indonesia kita tidak diperbolehkan untuk melihat ORANG KAWIN yang sedang berhubungan intim, maka di Saint Marie kita bisa melihat banyak IKAN PAUS yang sedang bercinta di dalam air (tanpa busana lagi eeehhh) jadi setiap 3 bulan dalam setahun ikan paus memasuki perairan Saint Marie untuk melakukan prosesi KAWIN MASSAL sesama paus betina, dan adegan ini bisa disaksikan para wisatawan dalam jarak 50 meter dari atas palka kapal wisata mungkin ada rasa malu diantara mereka kalau mereka kawin kita saksikan dalam jarak yang terlalu dekat, budaya paus-kawin ini tidak memerlukan tuan Kadhi eeehhh, cukup kesaksian para penonton.

Mempelajari kebiasan mereka (Ikan Paus-Kawin) yang selalu mudik untuk kawin ke Sainte Marie mungkin bagi mereka perairan ini begitu indahnya laksana sebuah peraduan pelaminan pengantin baru para selebritis.

Disini juga ada sebuah Hotel Terapung yang berada ditengah danau dangkal dan jika kita menginap disana kita harus berjalan di air sedalam 30 s/d 50 cm sembari menjunjung kopor , jadi bisa dibayangkan juga seandainya ada Tsunami disana bisa bisa kita terbawa harus kembali ke Ancol …siapa tauuuuuuuu. (ketika terjadi Tsunami di Indonesia, Madagascar tepatnya di Tamatave juga mengalami hal yang sama tetapi hanya tercatat beberapa orang saja korban dari kaum nelayan).

Bagi wisatawan yang berkantong tipis ada alternatif lain untuk menginap ditempat yang relatif lebih terjangkau seperti menginap di pondok pinggir pantai dibelahan sudut lain Sainte Marie yang disekeliling nya bertumbuhan pohon kelapa dan kalau lagi apes bisa bisa ketimpa buah kelapa tua yang jatuh diatap pondok penginapan .

Tidaklah mengherankan setiap wisatawan yang datang dan menginap di pondok yang disampingnya ada pohon kelapa, sang receptionist selalu mengingatkan ketika ketika bercinta, jangan membuat gempa terlalu kuat agar kelapanya tidak jatuh berguguran (eeehhh ada ada aja mas.. ayoooo mas, siapa yang pingin bermain main dibawah pohon kelapa?).

Pernah pula sebuah kejadian lucu saya alami, dimana kebetulan hobby saya bercocok tanam bunga dan saya meminta pembantu saya waktu itu yang notabene masih anak dara tersebut untuk menanamnya, saya katakan: “tolong tanamkan bibit ini…” Dia pun mengerjakannya sambil tersipu-sipu malu, saya antara bingung dan ingin tau ada apa rupanya, akhirnya dia jelaskan kalau pengertian “BIBIT” adalah sebutan buat “PUSAKA” warisan ayah.

Jadi anda bisa bayangkan kalaulah ada Diplomat Indonesia yang bertugas di KBRI Madagascar dengan nama BIBIT JOKO WALUYO maka pasti orang tersebut akan menjadi sumber lelucon bagi orang Malagassy. (Bibit = kemaluan lelaki + Joko = jejaka ) alahhhhhhhh mak…! Di lain kisah …. anda pasti mengenal Nirina Zubir sang presenter & artis yang lagi meroket saat ini menuju jenjang DIPA Indonesia.

Bagi Nirina Zubir, kota Antananarivo tidak akan pernah terlupakan, karena disinilah dia dilahirkan, ketika ayahnya bertugas sebagai Diplomat KBRI Madagascar. Nirina sendiri bermakna: Putri Cantik Pemalu.

Dari temuan literatur sejarah Bahari ada sekelumit noktah indah yang berharga bahwa :

Untuk mengenang sejarah Samudra Bahari Indonesia yang telah diukir para leluhur kita para PELAUT muda Indonesia melakukan Napak Tilas Samudra dari Indonesia ke Madagascar dengan perahu layar :
1. Ekspedisi kapal layar SARIMANOK pada tahun 1985
2. Ekspedisi kapal layar AMANAGAPPA pada tahun 1991
3. Ekspedisi kapal layar SAMUDERA RAKSA BOROBUDUR pada tahun 2003

Anda bisa bayangkan Napak Tilas Samudera hanya dengan perahu layar sebuah perjalanan membosankan & melelahkan dengan resiko tinggi. Memang Tuhan melindungi perjalanan ini terukir sukses sesuai harapan para pelaut kita. Untuk Ekspedisi ke-3 Samudera Raksa Borobudur ini disambut langsung oleh Dubes Indonesia & President Marc Ravalomanana beserta Menteri Kebudayaan Republik Madagascar sebagai suatu kehormatan.

Kalau di Indonesia kita memiliki sebuah Pohon Nasional “Beringin“ yang dulu kita kenal sebagai sebuah symbol Partai Sangat Berkuasa demikian juga bagi suku Mayan di Guatemala yang sangat memuja pohon nasional mereka “Ceiba Tree“ maka rakyat Madagascar juga memiliki Pohon Nasional yang mereka lindungi “Bao Bao“ pohon ini sejenis palm bisa tumbuh dan bertahan puluhan tahun bentuknya menjulang tinggi dengan ranting & daun yang sedikit…cukup unik. Dan jangan heran berbagai jenis bunga yang popular di Indonesia dengan harga puluhan juta rupiah banyak berserak dipinggir jalan pegunungan batu Madagascar disepanjang jalan menuju Tamatave (Saya hanya bisa tertawa getir menyaksikan istri membayar mahal satu pot bunga gelombang cinta) yang di Mada sendiri terlihat tumbuh liar dipinggir jalan.

Ada satu jenis lagi sebuah pohon hias dengan duri dan getah putih yang banyak cukup popular di Jakarta, padahal pohon ini di Mada ditanam didepan pagar yang diyakini mereka sebagai penangkal setan & guna-guna. Demikianlah sekelumit cerita dari saya sebagai santapan mata anda dikala senggang dan mohon maaf jika ada torehan pena yang salah. Karena memang dituntaskan dari sebuah komputer Pentium III-tua yang sudah usang. Salam setepak sirih sejuta pesan – dari Bumi Kinshasa Congo : Erfan Ahmad Piliang.

Sumber: Pralangga.Org

Bugis Afrika Selatan

Makam Syekh Yusuf di Kampung Macassar, Cape Town, Afrika Selatan


Afrika Selatan Susuri Garis Keturunan Orang Bugis


DARI manakah sebenarnya asal usul orang Bugis yang kini bermukim di Afrika Selatan? Dari Malaysia atau dari Makassar? Pertanyaan itulah yang dibawa Duta Besar Afrika Selatan untuk Indonesia Graffits Memela ketika bertemu Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo dalam kunjungannya ke Sulsel, Senin (12/5) malam.

Sebab, menurut Graffits, selama ini ada anggapan bahwa orang Bugis di negaranya berasal dari Male (Malaysia). Sementara itu, pemerintah Sulsel menyatakan orang Bugis di Afrika itu berasal dari Sulsel. “Mana yang benar?” Begitu kira-kira pertanyaan yang dilontarkan Graffits kepada Syahrul Limpo dalam pertemuan silaturahmi kedua pejabat di rumah jabatan Gubernur Syahrul.

Menjawab keraguan Graffits itu, Syahrul yang baru sebulan dilantik sebagai Gubernur Sulsel periode 2008-2013 menegaskan bahwa orang Bugis Makassar di Afrika adalah keturunan Syeh Yusuf, ulama dan pejuang yang berasal dari Sulawesi Selatan yang dibuang pemerintah Belanda ke negara itu pada abad ke-16. “Syekh Yusuf adalah keturunan Raja Gowa (Sulsel) yang diasingkan pemerintah Belanda ke Afrika yang kemudian mengajarkan agama Islam sekaligus berjuang membela Afrika dari penindasan penjajah di negara tersebut,” katanya. Lalu, dari hasil perkawinan pengikut Syekh Yusuf inilah berkembang keturunan orang Bugis Makassar hingga saat ini di Afrika.

Bahkan, tambah Syahrul, kuburan ulama kharismatik dan pejuang dari Gowa itu ada di Afrika dan di kabupaten Gowa, Sulsel. Ini membuktikan bahwa hubungan darah antara rakyat Afrika dan Indonesia khususnya Gowa sudah menyatu sehingga perlu dijalin kerjasama budaya dan pendidikan di negara itu. Kerja sama pembangunan Pertemuan Syahrul-Graffis itu sendiri dilakukan dalam kaitan rencana pembangunan arsitektur rumah adat Balla Lompoa di Cape Town oleh Pemprov Sulsel pada tahun 2009 nanti.

Graffits sendiri berharap agar pembangunan miniatur balla lompoa di negaranya termasuk bangunan perpustakaan serta duplikat benda-benda bersejarah dan budaya orang Bugis-Makassar itu segera direalisasikan. Dalam pembicaraan singkat sebelum dijamu makan malam bersama isteri dan sejumlah rombongan yang menyertainya, Dubes Arfika Graffits menambahkan bahwa negaranya juga akan membangun pendidikan di Afrika Selatan supaya masyarakat bisa berbahasa Indonesia dan mengenal lebih dekat budaya Indonesia khususnya budaya Sulawesi Selatan.

“Pemerintah Afrika dan Indonesia sudah menandatangani kerja sama (MoU) bidang pendidikan dan kebudayaan saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Afrika tahun lalu,” ungkapnya. Syahrul didampingi Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo menambahkan bahwa rencana pembangunan Balla Lompoa dan perpustakaan di Cape Town akan direalisasikan tahun 2009 sebagai perwujudan sejarah antara pemerintah Indonesia (Sulsel) dan pemerintah Afrika. “Bahan bangunan arsitek miniatur Balla Lompoa akan diangkut kapal laut yang dimasukkan dalam kontainer ke negara tersebut,” ungkapnya.

Sumber : Antara

Amplang semakin digemari


TAWAU 3 Nov. – Keropok amplang asalnya hanyalah makanan ringan masyarakat Melayu berketurunan Bugis di Sabah. Kebiasaannya keropok empat segi itu menjadi makanan ringan keluarga yang dimakan sambil menghirup kopi panas. Tidak tahu mengapa keropok tersebut berbentuk empat segi, bukan bulat atau bentuk lain. Kata orang, mungkin itulah kelainan sebagai daya penariknya.

Tiada siapa menyangka keropok itu yang dahulunya merupakan antara makanan tradisional penduduk desa kini sudah dikomersialkan oleh pengusaha industri kecil dan sederhana (IKS) di negeri ini. Tidak salah dikatakan, amplang sudah menjadi sebahagian makanan ringan orang Sabah dan antara makanan ringan yang harus dibawa pulang jika berkunjung ke negeri ini.

Makanan tersebut pada mulanya hanya dijual di daerah ini sekitar 1990-an dan selepas mendapat sambutan menggalakkan, amplang mula memasuki pasaran di tempat lain. Tawau adalah daerah perintis dalam menghasil dan memasarkan produk amplang bersesuaian sebagai tempat yang memperkenalkan makanan itu kepada masyarakat Sabah.

Difahamkan amplang adalah makanan ringan masyarakat Melayu Indonesia dan apabila warga negara tersebut berhijrah ke pantai timur Sabah khususnya Tawau satu ketika dahulu, makanan tradisi itu tidak dilupakan. Terdapat ramai pengusaha IKS keropok amplang di Tawau yang memasarkan produk mereka ke seluruh Sabah terutama ke bandar-bandar utamanya. Salah satu pengeluar amplang yang terkenal di daerah Tawau kerana keenakannya ialah Rosmie Bersaudara mengusahakannya di Kampung Muhibah Raya, di sini.

Produk amplang Rosmie Bersaudara diusahakan di rumahnya oleh 10 pekerja daripada anak-anak, saudara dan jiran terdekat. “Produk amplang kami diusahakan oleh anak beranak sahaja bermula dari pukul 7 pagi hingga 4 petang setiap hari,” kata tunggak utamanya, Rosmie Naridin, 55.


Menurut ibu kepada lima anak itu, sekiranya menerima banyak tempahan, mereka akan berkerja lebih daripada biasa malah hingga ke tengah malam. Kata Rosmie, produknya itu dipasarkan ke Tawau, Sandakan, Lahad Datu dan Kota Kinabalu di samping Semenanjung melalui pengangkutan darat dan udara. “Rosmie Bersaudara memproses dan membekalkan keropok amplang sebanyak 100 kilogram (kg) sehari dan kadang kala lebih bergantung dengan tempahan,” ujarnya.

Mengenai rahsia keenakan amplangnya, Rosmie mengakui mempunyai resipi tersendiri selain campuran bahan asas seperti ikan tenggiri, tepung dan udang kecil. Dia memberitahu, setiap hari akan menggunakan kira-kira 100 kg isi ikan tenggiri dan 30 kg tepung, selain bahan campuran lain untuk menghasilkan amplang. Pada musim perayaan, katanya, jumlah isi ikan tenggiri yang sudah siap dibuang kepala dan isi perut itu mencecah sehingga 200 kg atau lebih. “Ikan tenggiri paling sesuai digunakan untuk menghasilkan keropok amplang. Ini kerana rasanya sedap dan warnanya juga menarik setelah siap goreng,” katanya.

Katanya, proses untuk menghasilkan amplang bermula dengan campuran bahan-bahan asas, menguli tepung dan menggoreng adalah kira-kira empat jam. Rosmie berkata, terdapat empat saiz amplang dan harga borong bagi setiap satu paket ialah RM16 untuk 1 kg, RM8 (setengah kg), RM4 (250 kg), RM2.50 (130kg) dan 90sen (40 gram). Menyingkap sejarah penglibatannya dalam perniagaan itu, dia berkata, perusahaannya bermula pada sekitar 1997 dengan bermodalkan RM500. Setahun kemudian dia berupaya mengembangkan perniagaannya selepas mendapat pinjaman Mara sebanyak RM10,000.

Selepas itu, katanya, syarikatnya mendapat pinjaman dan bantuan kira-kira RM40,000 daripada beberapa jabatan, agensi serta kementerian berkaitan.

Sekarang ini kata Rosmie, syarikat itu yang beroperasi di rumahnya mempunyai beberapa kemudahan, peralatan dan mesin sendiri yang semuanya bernilai lebih RM100,000. Suaminya, Suratman Salleh, 60, yang merupakan seorang lagi tulang belakang syarikat itu berkata, pendapatan kasar adalah dalam lingkungan RM10,000 sebulan.

Pada masa hadapan, katanya, Rosmie Bersaudara merancang untuk membina sebuah kilang memproses dan membekal amplang sendiri untuk dipasar secara lebih meluas. “Kami memerlukan lebih kurang RM500,000 untuk pembinaan sebuah kilang yang dirancang di kawasan berdekatan kampung ini,” katanya. Suratman berkata, perancangan jangka masa panjang itu adalah perlu kerana mereka perlu bersaing secara sihat dengan 10 pengusaha amplang di kawasan berdekatan rumahnya.

Tambahnya, Rosmie Bersaudara yakin keropok amplang mempunyai pasaran lebih luas yang tidak terhad untuk di pasaran negara ini sahaja tetapi juga negara-negara jiran.

Sumber: Utusan Malaysia

Bugis: Pendatang asing, Penduduk Tetap & Anak Watan Asli?.....

Bila saya melihat kepada situasi yang sering diperdebatkan di mana-mana Forum seperti Sabah Forum, seringkali berlaku percakaran apabila perkataan “BUGIS” dikemukakan. Mengapa ini boleh berlaku?

Ianya sinonim dengan isu yang masih hangat diperkatakan oleh anak watan Sabah mengenai kedudukan sebenar bangsa Bugis di kaca mata rakyat Sabah.

Maka, di sini kita akan mengambil peluang untuk menjelaskan apakah kedudukan bangsa Bugis di Sabah. Penduduk Sabah mempunyai sejumlah besar masyarakat majmuk malah bilangan etnik yang wujud di Sabah lebih banyak berbanding di Semenanjung Malaysia. Bagaimana pulak kita akan mengkategorikan masyarakat Bugis dalam rumpun rakyat tempatan Sabah.

Catatan dari Sejarah Kedatangan Awal Bangsa Bugis Ke Sabah

Suku kaum Bugis merupakan salah satu etnik yang terdapat di dalam kelompok ras berbilang bangsa di negeri Sabah. Kebanyakan suku kaum ini telah menetap di pantai Timur Sabah iaitu di daerah Tawau, Semporna, Kunak dan Lahad Datu.

Sejarah kedatangan suku kaum Bugis di Sabah (Tawau khususnya) berkaitan dengan sejarah penerokaan Tawau. Adalah dipercayai suku kaum ini telah meninggalkan Kepulauan Sulawesi menuju ke Pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, Kalimantan dan Borneo sejak abad ke-16 lagi.

Tahun 1840 dijadikan sebagai fakta kukuh untuk menyatakan tempat permulaan penerokaan Tawau oleh suku kaum Bugis. Penempatan awal oleh suku kaum Bugis ini bermula di kawasan yang dikenali sebagai Ranggu. Ini bermakna suku kaum Bugis sudah pun menerokai kawasan Tawau dan menjadikan Ranggu sebagai salah satu destinasi untuk berulang-alik ke Indonesia menjadi pedagang dan membawa masuk pekerja buruh ke ladang-ladang milik kerajaan British ketika itu. Apapun, Ranggu diasaskan oleh nenek Penghulu K.K. Salim di Kampung Sungai Imam, Bombalai.

Kemudian seorang lagi bangsa Bugis dari kerabat diraja Bone bernama Petta Senong menetap di Sungai Imam, Bombalai. Usaha mereka ketika itu adalah sebagai orang upahan kepada Kerajaan Sulu untuk menghapuskan sebanyak mungkin lanun-lanun yang bergerak di perairan Laut Sulu, Borneo.

Kemudian, beberapa kawasan baru terus diterokai oleh suku kaum Bugis dan kawasan yang termasuk dalam tapak pembangunan Bandar Tawau. Antara suku kaum Bugis yang terlibat dalam penerokaan bandar Tawau ialah Puang Ado, Daeng Mappata, Wak Neke, Wak Gempe dan Haji Osman.

Di sini menunjukkan dengan jelas kedudukan masyarakat Bugis sebagai anak watan Sabah tetapi timbul persoalan apakah anak-anak bangsa Bugis yang ada sekarang ini adalah dari keturunan awal rakyat tempatan Bugis tersebut?

Bagaimana pulak status pendatang politik berbangsa bugis selepas kemerdekaan Malaysia atau lebih tepat lagi 20 – 30 tahun yang lalu? Mereka yang terkemudian datang ke Sabah adalah pendatang asing dan pendatang politik yang datang sama ada melalui pencerobohan mahupun undangan “Khas” ahli politik berpengaruh dengan sebab serta tujuan tertentu.

Di sini bermula lah konflik meletakkan siapa sebenar anak watan dan siapa pendatang asing kerana bangsa Bugis memang sedia ada di Sabah. Memang tidak adil jika si pendatang asing yang baru menetap di Sabah selama 20 tahun dianggap warganegara Malaysia yang berstatus Bumiputra Muslim apatah lagi memiliki keistimewaan yang tidak pernah dimiliki oleh bangsa lain seperti India dan Cina walaupun telah berakar umbi di Malaysia lebih dahulu dari mereka ini.

Kita melihat peningkatan drastik dalam jumlah rakyat berbangsa Bugis dalam 20 tahun kebelakangan ini malah sudah melangkaui jumlah rakyat peribumi KDM. Apakah perangkaan statistik tersebut menunjukkan bahawa bangsa Bugis lebih ramai yang melahirkan anak berbanding KDM, tentu tidak sama sekali!

Jawapan nya terletak kepada kedatangan pendatang asing sejak 20 tahun hingga ke hari ini yang membanjiri Bandar-bandar utama di seluruh Sabah. Mereka mengambil kesempatan di atas keistimewaan anak watan Bugis sedia ada untuk mendapatkan kemudahan tersebut untuk diri sendiri dan keturunan selepas mereka.

Maka, persoalannya mengapa ini boleh juga terjadi? Jikalah masyarakat Bugis Sabah mampu menyumbang kepada keselamatan bumi Sabah, ini semua tidak terjadi secara total. Ramai juga anak watan Bugis Sabah menghulurkan tangan di dalam membantu si pendatang asing mendapatkan kerakyatan Sabah memandangkan mereka adalah sebangsa tetapi pujian juga harus diberikan kepada mereka yang mampu berdiri teguh bersama KDM untuk membanteras pencerobohan bangsa asing biarpun ianya melibatkan saudara mara sendiri.

Sepanjang saya menglibatkan diri di dalam usaha menyedarkan rakyat Sabah mengenai isu pendatang asing, saya banyak mempelajari benda serta ilmu pengetahuan baru dan ada kalanya penulisan saya yang lalu hanya berdasarkan emosi dan bukan fakta secara keseluruhan. Namun saya juga menyeru kepada anak watan Bugis yang lain agar jangan cepat melatah apabila kita menyebut pendatang asing bangsa Bugis. Sikap sebegini akan lebih memburukkan keadaan malah mencemar nama baik bangsa Bugis sendiri, tak gitu?

Sebenarnya peluang melanjutkan pelajaran di Sekolah atau Institusi Pengajian Tinggi Malaysia, peluang pekerjaan di sektor awam atau swasta dan peluang yang ternganga luas di bidang ekonomi banyak di “curi” oleh anak-anak yang saya kategorikan pendatang asing. Malah saya mempunyai ramai kenalan yang tidak mempunyai sebarang pengenalan diri atau yang telah datang ke Sabah sejak zaman anak-anak lagi mendapat pekerjaan di sektor kerajaan melalui cara serta kaedah yang “kotor”.

Apabila ini berlaku, apakah akan terjadi kepada generasi seterusnya si pendatang asing ini? Ya, tentu sekali mereka akan memperolehi kesenangan seperti anak watan Sabah. Ini yang menjadi kebimbangan kita semua. Tentu sekali peluang untuk anak watan Sabah akan tertutup dan jika ada pun, terpaksa melalui persaingan yang sengit.

Tetapi saya merasa tidak senang terhadap masyarakat Bugis tempatan kerana tidak memperdulikan isu sebegini malah mengambil sikap acuh tak acuh sahaja. Kan ini namanya akan mengundang kepada perpecahan masyarakat tempatan Sabah. Sikap berkecuali yang disokong oleh kalian akan merugikan bangsa lain dan mencemar nama baik bangsa Bugis…janganlah hanya kerana pendatang asing yang menceroboh tersebut adalah sebangsa dengan kalian atau merupakan saudara-mara kalian.

Perjuangan menentang isu pendatang asing di blog saya semakin mendapat tempat di hati anak-anak muda Sabahan dan harapan saya agar jangan diperlekehkan usaha ini agar nasib anak cucu kita di masa akan datang terbela. Saya mengharapkan agar wujudnya satu jalan lain yang boleh kita semua Sabahan jadikan wadah perjuangan di dalam usaha membantu masyarakat setempat.

Salah satu cara untuk mengetengahkan suara hati kita, anak tulen Sabah kepada seluruh rakyat Sabah mahupun kerajaan Malaysia adalah dengan mengadakan satu dialog serta Forum terbuka untuk mencari jalan penyelesaian secara berperingkat. Mungkin juga boleh diwujudkan satu badan atau jawatankuasa berkecuali yang bertujuan untuk memberi input terkini dan membela nasib kita semua.

Kaedah terkini yang serba canggih seperti media komunikasi dan cetakan mampu menyampaikan suara hati kita ini tetapi perlu ada usaha berterusan dari semua pihak tanpa campurtangan politik atau dari pihak yang berkepentingan.

Penulis,
Muhd Firdaus Abdullah

Sumber: http://kinabalukini.wordpress.com/

Bugis Of Borneo

There are Bugis in Borneo.

In Sabah, Brunei, Labuan, Sarawak and Indonesian Borneo.

They have intermarried with the Murut, Kadazan, Kelabit and Bajau people in Sabah, Labuan and Brunei as well as the Berunai and Bidayuh people in Sarawak and Indonesian Borneo.

There are also Javanese in Borneo.

They have intermarried with the Murut, Kadazan, Kelabit and Bajau people in Sabah, Labuan and Brunei as well as the Berunai and Melanau people in Sarawak and Indonesian Borneo.

Indonesian Borneo was formerly the Sultanate (Kingdom) of Banjarmasin, ruled by a branch of the very ancient royal house of Brunei.

Bugis are from the Bidayuhs while Javanese are from the Melanaus.

Bugis are also from the Batam Aboriginal Malays of Batam in the Riau Islands while Javanese are also from the Kuala Aboriginal Malays of Batu Pahat in Johor.

Sumber: http://malaysiana1.blogspot.com/2009/10/bugis-of-borneo.html

John Tiong Writes About The Bugis In NST

Travel writer and poet John Tiong of Sibu, Sarawak recently visited Sulawesi, Indonesia, and got up, close and personal with the Bugis people of the island.

Coincidentally, they are descended from Sarawak's native Bidayuh people who live around the state's capital city Kuching.

Bugis seafarers and warriors were a fascinating lot. They were the Carthaginians of the Malay Archipelago.

The Carthaginians, who were precursors of the Tunisian Arabs, were people who established one of the longest-lived and largest empires in the Mediterranean (814BC-146BC).

Like the Carthaginians, the Bugis were master shipbuilders who commanded a large navy fleet that made them a force to be reckoned with in this region.

Till today, the Bugis phinishi is so famous that every museum in Indonesia has a section dedicated to this sea vessel.

A good example is the Museum Bahari in Jalan (Road) Ikan Pasar No. 1 in Jakarta and the Museum La Galigo in Makassar, the capital city of Sulawesi.

In the old days, the phinishi sailed as far as Madagascar before the Europeans made their presence felt there.

[The people of Madagascar, called Malagasy, were not Bugis but Javanese. But they were longtime friends of the Bugis and it was no coincidence that the Bugis dropped by to trade with the kings of the Javanese-descended indigenous Malagasy people]

The Bugis also traded with the Melanesian aborigines of north Australia, staying there for months to wait for the winds to change so they could sail home.

[In this endeavour, they were joined by the Bajau people of Sabah, who are also the people of the Philippines, Taiwan and Ryukyu, Japan]

This is why certain Bugis [and Bajau] words can still be heard spoken by the aborigines in north Australia today.

A visit to the traditional Bugis shipbuilding centre of Tana Beru in Bulukumbar, about 150km south-east of Makassar, confirms that the art of ship building is inherent in the Bugis.

It was also why they were able to establish an influence in many parts of the archipelago.

After a protracted civil war in their homeland in 1669, they made inroads into Sumatra as well as Peninsular Malaysia.

In the peninsula, the descendants of three prominent Bugis brothers — Daeng Perani, Daeng Merewah and Daeng Celak — settled down in Johor as well as Linggi (Port Dickson) and Selangor.

We are told that many Bugis families, particularly those in Tana Beru, still throw the placentas of their newborn into the sea, to affirm their affinity with the high seas.

At Tana Beru, we meet one of the most reputable Bugis shipbuilders, Bakri Tika, who can build a ship without any plan or design.

He has been building ships in the last eight years and has made 10 vessels including the phinishi.

His vessels cost at least RM50,000 each.

The unassuming Bakri says shipbuilding is in the Bugis blood.

“Everything comes from the heart,” he says, adding that the vessel that comes into shape feels like an extension of himself.

As the 50-year-old leads us to a phinishi he is working on, his hands are quick to hammer poles and planks that form the contour of the phinishi.

Bakri says it takes a Bugis apprentice about two months to learn the rudiments of shipbuilding.

After that, it all falls back on his talent and experience.

He and his team of 10 workers start as early as 7am and work till 4pm every day on their newly-commissioned phinishi that measures 30m long, four metres wide and 17m high.

“It may take as long as two to three years to complete a vessel, depending on the size.

In the old days, it would have taken longer as the wood had to be treated for months before they could be worked on,” says Bakri.

The main balancing element that runs through the centre of the vessel is ironwood while the supporting timber is mainly teak.

The timber is sourced from as far as Kalimantan.

The hull is usually made of a wood species that the Bugis call kandole.

This is available in Sulawesi itself.

The ships are built under thatched sheds to shield the workers from the heat.

As we walk along the road in the shipbuilding quarter, the jarring noise of machinery one can expect to hear in a shipyard is conspicuously absent.

Instead, the Bugis art of shipbuilding is emphasised through the magic of the hands rather than machines.

And instead of using nails, they use wooden “pins”.

This talent for shipbuilding has brought wealth to Tana Beru and orders for phinishi come in from various parts of the world, particularly Europe and America.

A modern phinishi is made with the dual facility to sail either by wind as well as engines.

They are popular with the rich and famous as cruise ships as the high-prowed vessel – usually painted white – looks sleek, exotic and smart on the high seas.

We also watch Bakri offering prayers by putting sticky rice cakes on the balancing mother pole of a half-finished phinishi.

This is to bless the vessel as well as to make sure that it will be completed with no setbacks whatsoever.

He says there are more complex rituals involved during the launching of a phinishi into the sea, such as the slaughtering of a lamb and chanting of prayers.

We are surprised to learn that the people of Sulawesi, be they Muslims or Christians, still hold on to such ancient rituals.

The Christian Torajans in Tana Toraja (the highlands of South Sulawesi, some six hours’ drive to the north of Makassar), for instance, place such great importance on burial rites that they would keep a treated corpse for years while they save money for the burial.

After a rousing and expensive funeral that includes the sacrifice of a special breed of male buffalo – pink Saleko with large blobs of black hair – the body is placed inside a cave or a crevice carved into the hillside.

Family members are buried together in one coffin or crevice.

At Londa, an ancient burial site for the Torajan aristocrats, one can see coffins with multiple skeletons.

Some coffins are placed on wooden beams on the cliff side.

Others are stacked inside caves.

Some old coffins have rotted, revealing the skeletons.

For the nobility (bloodline still counts a lot in Toraja society), an almost life-sized tau tau (carving) resembling the dead is placed in a gallery outside the burial caves to ensure the dead continue to oversee the affairs of the living.

You can see tau tau at Tikonna Malenong Countryside, Sangalangi District, five kms south of Rantepao city, Tana Toraja. [The Torajans are the highland Bugis]

Most of the 650,000 Torajans in Tana Toraja in Indonesia’s Southern Sulawesi province are Christians but they still hold on strongly to the aluk tolodo, their ancient rites of birth and death.

Historians and anthropologists believe that the ancestors of these highland people, and their close kin the coastal Bugis (Primary Bugis or Proto-Bugis) came to Sulawesi from Indochina.

The Torajans [and all Greater Bugis peoples] are distant relatives of the Minangkabau of Negeri Sembilan and the Johor-Riau of Johor and, like the Minangkabau, Torajan men enter the family of their wives upon marriage but have to leave after a divorce.

According to the Torajan legends, their ancestors came to Tana Toraja from heaven, so they regard their land as the Land of the Heavenly Kings.

As descendents of heavenly kings, the Torajans spend years or even decades saving up funds to give their dead a “proper” burial, so that he or she could journey back to the heavens.

A burial is always a community effort as everyone combines resources to have a big do.

However, in accordance with aluk tolodo, only the upper class can splurge on a big burial ceremony.

Toraja society is divided into aristocrats and peasants.

One is born into a class and does not leave it even if one makes lots of money.

For the upper class, a funeral can last up to nine days, with lots of festive excitement.

Apart from the mourning and weeping, one can expect music, songs, dances, poetry reading, buffalo fights and even boxing matches.

Palm wine or tuak is freely consumed and the climax is the slaughter of water buffalos and pigs.

Young boys take delight in collecting the blood from these animals using bamboo.

A burial ceremony can cost over RM100,000.

The sacrificial beast, usually a special breed of male buffalo called Saleko that the upper class prefers, can cost up to RM50,000 each.

Salekos are pinkish in colour, with blobs of black hair on their bodies.

Female animals costing only a few thousand ringgit are used by lower class.

Water buffalos are also sacrificed as the Torajans believe these can help ferry the souls to Puya, the next world.

Burial ceremonies are usually conducted between July and September, after the harvest.

For aristocrats, a burial ceremony is not complete without a tau tau (effigy or statue resembling the dead person).

These are placed on galleries on the cliffs where the dead are entombed.

The coffins can be laid inside a cave, in a liang (carved stone grave preferred by the rich) or placed on poles sticking out from the side of a cliff.

The most expensive is the liang, where a crevice is hacked out into the side of a cliff.

A liang holds the remains of an entire family as Torajans believe a family should be buried together.

Torajan death rites are performed in two stages over a week.

The “medicine doctor” first performs prayers with offerings of palm wine, rice and animals.

On the eve of the funeral is the Mabolong, when the body is moved from the back room to the middle room.

There are usually three rooms in a tongkonan (Toraja house with roofs that curve at both ends).

A pig and a buffalo are slaughtered to mark this occasion.

Only then will the dead person be considered dead.

The body is then placed in a coffin under the rice barn opposite the house.

The tau tau effigy is then commissioned.

These are usually carved from nangka (jackfruit) wood.

A lakkian (funeral tower) is constructed at the rante or village ceremonial place.

The coffin is suspended on the lakkian during the ceremony.

Animals are slaughtered and there will be mourning, music, dancing and feasting.

The blood and meat are cooked together and served.

Then the coffin is lowered and carried to the family tomb.

The Londa or ancient aristocratic cave is like a huge tunnel, filled with coffins placed haphazardly or stacked.

Access is via a small opening.

Inside, you can see coffins everywhere.

There are coffins outside too and some stacked on poles.

The wood has rotted and the skeletons inside are exposed.

Another fascinating sight is the tau tau galleries.

One gallery near the entrance to the cave, features very old and foreboding tau taus locked behind iron grilles.

This is to prevent theft.

Antique collectors are said to have offered lots of money for a tau tau.

Tongkonan belonging to the upper class are painted with cosmology designs and symbols of buffalos, the sun and cockerels among others.

The buffalo represents wealth, the sun represents the Torajans and the cockerel is for justice.

The colours used are red, black, yellow and white to symbolise blood, darkness, blessings and the soul respectively.

Lower class Torajans cannot stay in painted tongkonans or one with symbols.

The best places to see a traditional upper class tongkonan are at Kete Kesu (Bonoron countryside, Sangalangi District, about 4km south of Rantepao city) and Pallawa (about 12km north of Rantepao city).

The curved roof is said to represent the boats that the Torajans used to sail to Sulawesi.

The tongkonan is an iconic symbol used in many government buildings in Rantepao and as you reach Tana Toraja, you pass through an elaborate gate with a tongkonan roof.

Even a hotel in Makassar uses this design for its architecture.

The middle supporting pole of the tongkonan in front of the house usually boasts a row of buffalo horns that signifies the wealth of the owner who could afford all these animals for ceremonies.

A tongkonan is always constructed facing north as that is where the Torajan God dwells.

Note - The Toraja people are named for the phrase 'People of the Highlands' (To = People, Highlands = Raja).

The Primary Bugis (Proto-Bugis) are named for the phrase 'Fishermen' (To Ugi). They are also called 'People of the Sea' (To Lu or To Luwu).

The Makassar are named for the phrase 'White (or Water) Shirts' (To Makasa).

The Bugis are from the Bidayuhs of Sarawak.

The Bugis are the people who inhabit Sulawesi, Maluku, Tenggara and Oceania.

The Bajaus, who are from the Kenyahs of Sarawak, and who are the dominant people in Sabah and the Philippines (besides being the Taiwanese Alisans, the Japanese and the Ryukyus), are named for the phrase 'People of the Sea' or 'Fishermen'.

The Tausug Bajaus (of the Sulu Islands) are named for the phrase 'People of the Currents' while the Irranun Bajaus (of the rest of the Philippines) are named for the phrase 'People of the Rivers'.

Kenyah means 'People of the Mountain'. The Kayans who are the Kenyahs of Banjarmasin (Kalimantan) are named for the phrase 'People of the Original Homeland'.

Note - Bugis in daily usage in Indonesia only refers to the Primary Bugis or Proto Bugis who originated from Bone in Sulawesi.

The term Bugis used here refers to the Greater Bugis superstock that covers every indigenous group in Sulawesi, Maluku and the Tenggara Islands, as well as Polynesia and Micronesia.

The article is edited by Malaysiana1.

Sumber: http://malaysiana1.blogspot.com/2009/08/john-tiong-writes-about-bugis-in-nst.html

Persatuan Anak-anak Bugis Selangor



Pada 24 Mei 2009 jam 2 petang telah berlangsungnya Perasmian Persatuan Anak-anak Bugis Daerah Kuala Selangor, di Kompleks Pertanian Kuala Selangor. Perasmian ini dirasmikan oleh Y.D.H Dato' Orang Kaya Maha Bijaya Hulu Selangor, Tuan Hj. Aman Shah bin Mohd Shahar, S.M.S. Persatuan ini juga diPengerusikan oleh Y.M Tuan Haji Raja Yunus bin Raja Suran.

Persatuan ini telah ditubuhkan pada 1 Disember 2008 dan tujuan persatuan ini diwujudkan adalah untuk mengumpulkan saudara mara yang jauh dan dekat untuk mengeratkan siratulrahim serta sama-sama mengetahui asal-usul keturunan ini dan salahsilah keluarga Bugis. Disamping itu juga adalah supaya adat serta keturunan ini tidak dilupakan dan ketinggalan oleh generasi-generasi yang akan datang.

Sumber: http://cristal-sally.blogspot.com/ (thanks to sally)

Suku Kaum Bugis Sabah


Pakaian tradisional suku kaum Bugis.

Suku kaum Bugis merupakan salah satu etnik yang terdapat di dalam kelompok ras berbilang bangsa di negeri Sabah. Kebanyakan suku kaum ini telah menetap di pantai Timur Sabah iaitu di daerah Tawau, Semporna, Kunak dan Lahad Datu.

Dari aspek sosial, suku kaum ini lebih terkenal dengan kerabat pangkat diraja (keturunan dara), mementingkan soal status individu dan persaudaraan sesama keluarga. Dari segi perkahwinan,suku kaum ini lebih suka menjalinkan perkahwinan dengan keluarga terdekat dan perceraian pula merupakan hubungan sosial yang amat tidak disukai oleh suku kaum ini kerana ia meruntuhkan hubungan kekeluargaan dan bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai 'Bahasa Ugi' dan mempunyai tulisan huruf Bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.


Aksara Bugis.

Sejarah kedatangan suku kaum Bugis di Sabah (Tawau khususnya) berkaitan dengan sejarah penerokaan Tawau. Adalah dipercayai suku kaum ini telah meninggalkan Kepulauan Sulawesi menuju ke Pulau Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaysia, Kalimantan dan Borneo sejak abad ke-16 lagi.

Tahun 1840 dijadikan sebagai fakta kukuh untuk menyatakan tempat permulaan penerokaan Tawau oleh suku kaum Bugis. Penempatan awal oleh suku kaum Bugis ini bermula di kawasan yang dikenali sebagai Ranggu. Ini bermakna suku kaum Bugis sudah pun menerokai kawasan Tawau dan menjadikan Ranggu sebagai salah satu destinasi untuk berulang-alik ke Indonesia menjadi pedagang dan membawa masuk pekerja buruh ke ladang-ladang milik kerajaan British ketika itu. Apapun, Ranggu diasaskan oleh nenek Penghulu K.K. Salim di Kampung Sungai Imam, Bombalai.

Kemudian seorang lagi bangsa Bugis dari kerabat diraja Bone bernama Petta Senong menetap di Sungai Imam, Bombalai. Usaha mereka ketika itu adalah sebagai orang upahan kepada Kerajaan Sulu untuk menghapuskan sebanyak mungkin lanun-lanun yang bergerak di perairan Laut Sulu, Borneo.

Kemudian, beberapa kawasan baru terus diterokai oleh suku kaum Bugis dan kawasan yang termasuk dalam tapak pembangunan Bandar Tawau. Antara suku kaum Bugis yang terlibat dalam penerokaan bandar Tawau ialah Puang Ado, Daeng Mappata, Wak Neke, Wak Gempe dan Haji Osman.


Di antara tarian-tarian suku kaum Bugis.

Konsep siri masiri (malu, menjaga maruah) yang dikaitkan dengan kata-kata suku kaum Bugis antara lainnya :

- "...aja mumae’lo nabe’tta taue’ makkalla ‘ ricappa’na lete’ngnge…”.

Maksud terjemahannya : Janganlah engkau mahu didahului orang menginjakkan kaki dihujung titian ( Janganlah engkau mahu didahului orang lain untuk mengambil rezeki ).

- "...naia riasengage’ to warrani maperengnge’ nare’kko moloio roppo-roppo ri laommu, rewe’ko paimeng sappa laleng molai…”.

Maksud terjemahannya : Yang disebut orang berani ialah yang kuat dan unggul bertahan, Jikalau engkau menghadapi rintangan berat yang engkau tak dapat lalui atau atasi, kembalilah memikirkan jalan atau cara untuk mengatasinya.

Dipetik dari Kertas Projek Penyelidikan "Penglibatan Politik Suku Kaum Bugis Satu Kes Kajian di N.46 Merotai, Tawau" oleh Nordin Bula.

Sumber: http://www.sabah.org.my/bm/daerah/daerah/twu/tawau/bugis.htm

Ucapan Ketua Menteri Sabah Di Mesyuarat Agung PKBS 2007


UCAPAN Y.A.B. DATUK SERI MUSA HAJI AMAN, KETUA MENTERI SABAH PADA MAJLIS PERASMIAN MESYUARAT AGUNG PERSATUAN KEBAJIKAN BUGIS SABAH DI DEWAN MASYARAKAT TAWAU PADA 24 JUN 2007

Alhamdulillah, syukur ke hadrat Allah SWT, kerana berkat hidayah dan izinNya, kita dapat bersama-sama dalam majlis ini sempena Mesyuarat Agung Persatuan Kebudayaan Bugis Sabah, pada hari ini.

Saya sedar, masyarakat Bugis adalah salah satu rumpun Melayu yang memiliki nilai-nilai kebudayaan dan peradaban tersendiri, yang telah wujud dan terjalin sekian lama. Di Sabah masyarakat ini telah wujud sejak lebih seabad yang lampau, dan telah memberi sumbangan yang amat besar dalam pembangunan negeri Sabah.

Salah satu kekuatan negeri dan Negara kita, ialah kepelbagaian kita. Ini merupakan satu khazanah dan aset terpenting negeri Sabah. Justeru itu, saya menyeru seluruh masyarakat, khususnya komuniti Bugis yang terkenal berpegang teguh kepad adat istiadat mereka, supaya senantiasa memelihara semangat kepelbagaian ini, dengan hikmah dan bijaksana.

Setiap suku kaum mempunyai nilai-nilai tradisi dan budaya yang tersendiri. Oleh itu, penampilan nilai-nilai tradisi dan budaya satu-satu suku kaum, haruslah dipupuk dan dibina dengan berteraskan kepada lunas-lunas yang telah digariskan dalam dasar kebudayaan kebangsaan kita yang berlandaskan kepada semangat kekeluargaan sebagai satu rumpun.

Suku bangsa Bugis, adalah salah satu suku kaum yang telah bermastatiun di negeri Sabah sejak seabad yang lampau dan sesungguhnya, telah memberi sumbangan yang amat besar

Muzium Bugis Pontian


Bugis adalah salah satu rumpun Melayu yang berasal dari Sulawesi dan datang berhijrah ke Tanah Melayu pada lewat kurun ke-18 dan 19. Atas tujuan memperkenalkan dan mengabadikan budaya dan cara hidup komuniti Bugis di Johor, sebuah muzium telah dibina di daerah Pontian. Di Muzium Bugis ini, para pengunjung akan berpeluang melihat pelbagai artifak orang Bugis dan berbual dengan penjaga muzium yang berketurunan Bugis yang akan menceritakan tentang budaya dan adap resam mereka.

Sumber: http://www.johordt.gov.my/bm/pelancongan/page/pontian/

Aku Ingin Ke Belanda Mencari Ilmu I La Galigo

Ironi Sastra Bugis yang Terkikis
Layar putih panggung perlahan menggulung naik, satu-satu orang berbusana tradisional Bugis berjalan seirama kesunyian memasuki pentas. Mereka mengusung beragam perkakas sehari-hari. Disusul dua orang berbalut kain biru sepanjang enam meter merayap melintas di bibir bagian depan panggung. Selama 15 menit prolog lakon sastra epik besar I La Galigo itu penuh kesenyapan.

Saat kesunyian magis kian menyihir penonton, mendadak dihentak musik tabuh mengiringi tiga pria berpakaian laskar Bugis. Mereka melintas sambil melompat-lompat. Di akhir pementasan, adegan itu kembali muncul. Namun, mereka hanya berjalan mengusung benda-benda dalam bayangan kosong. Sesudahnya, seorang pemeran I La Galigo merosot turun dari tangga hidrolik ke bawah panggung. Inilah awal dan akhir cerita.

Tak kurang dari 2.000 penonton yang memadati gedung teater megah Esplanade, Rafless Street, Singapura, Jumat (14/3) pekan lalu memberikan apresiasi spontan. Mereka terhenyak berdiri dengan gemuruh tepuk tangan menggema selama beberapa menit. Tampak ikut berdiri, Menko Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla bersama istri, 15 rombongan dari Jakarta. Juga dedengkot Teater Koma Nano Riantiarno bersama istri, aktris Christine Hakim, Ria Irawan, dan lainnya. Hadir beberapa pengusaha, tokoh pers Djafar Assegaf hingga ekonom Sadli.

Sungguh apresiasi hebat atas epik Bugis berlakon I La Galigo yang diusung arsitek teater kontemporer dunia, Robert Wilson. Ia berhasil mengangkat epik berumur ribuan tahun yang mulai terkikis di masyarakat Bugis. La Galigo merupakan sastra unik karena memiliki gejala khas konsisten, gaya bahasa dan alur cerita. "Epik ini sederhana dan alami, karenanya saya lebih menonjolkan kreativitas artis dengan memadukan gerakan, kata-kata, teknik lampu, musik, dan imajinasi," kata Wilson.

Keberhasilan pentas perdana ini tak lepas dari dukungan 50 aktor seniman Indonesia. Dalam kerangka artistik bersentuhan teknologi, penari dari Sulawesi Selatan, Jawa, Bali, Sumatera, dan Papua membuat cerita menjadi hidup. Selepas tiga hari di Singapura, I La Galigo terbang ke Amsterdam, Barcelona, Lyon, Ravenna, Italia, dan New York.

I La Galigo sejatinya karya sastra Bugis kuno yang berisi tentang genesis orang Bugis dan filosofi kehidupan manusia. Menurut peneliti Belanda Roger Tol, kitab La Galigo memiliki panjang sekitar 300 ribu baris. Dua kali lebih panjang dibanding Mahabharata dan Ramayana serta sajak-sajak Homerus dari Yunani sepanjang 160-200 ribu baris. Peneliti La Galigo selama 25 tahun ini juga menilai gaya bahasanya sangat indah.

Sedikit dialog
Robert Wilson membuka lakon ini dengan gaya tengok belakang. Awal cerita menampilkan seorang pria berpakaian Kerajaan Cina, duduk bersila membaca kitab I La Galigo yang ditulis dengan bahasa Lontar. Ia menampilkan kisah yang praktis berurutan, sejak cerita tentang kakek dan kemudian giliran ayah, dan terakhir tentang I La Galigo. Selama tiga jam tampak adegan-adegan yang terharmonisasi tarian dan musik tradisional, serta kilatan permainan cahaya. Dialog bisu di atas panggung dihidupkan 70 alat musik Bugis.

Tampak sekali Robert mengangkat teks-teks kuno berwujud puisi menjadi cerita epik sederhana. Ia ingin membawanya ke dunia masa kini yang jarang diketahui orang. Maka, ia meminimalkan dialog, yang dibawakan "dalang" pendeta bissu asli Puang Matoa Saidi. Dialog maupun cerita ringkas dalam bahasa Bugis yang dilantunkan. Untuk menuntun plot dalam bahasa Lontar halus, disediakan terjemahan bahasa Inggris di papan teks sisi kiri panggung.

Tari garapan Andi Ummu Tunru menguatkan La Galigo sebagai tradisi tua. Tari Pakarena dari Makassar, Pajoge dari Bone, Pajaga dari Luwu, Pegellu dari Toraja, dan Pamanca dari Gowa. Kostum garapan Joachim Herzog dengan warna mencolok menegaskan karakter para tokoh. Patoteque putih bersih, tokoh Batara Guru merah, tokoh Sawerigading kuning.

Kilatan permainan lampu mengganti warna-warna latar belakang cerdas mendukung penonjolan tokohnya. Sorotan snap shot menimbulkan efek tiga dimensi. Gemuruh musik perpaduan perkusi, sayatan rebab juga menyuguhkan suasana berbeda-beda.

Sebelum pementasan, Andi Ummu Tunru yang mengenakan gaun panjang cokelat kepada Koran Tempo mengatakan, penggarapan karya ini menjalani proses panjang. Mereka harus melakukan penelitian tentang kitab La Galigo selama tiga tahun. Begitu juga membuat seminar terbuka penggalian sastra La Galigo. Selepas itu, terbentuk kesepakatan menampilkannya berupa pementasan. "Persiapan pentas perdana di Singapura dilakukan selama dua minggu," katanya.

Mereka berlatih tiga kali sepekan di Benteng Fort Rotterdam, Singapura. Sebelumnya, para seniman harus belajar Pamanca di Desa Paopao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Latihan selalu berlangsung pada pukul 23.00-04.00 Wita. Latihan ditutup dengan ritual maccera, yaitu memotong ayam sebagai pertanda syukur.

Cikal bakal pertunjukan ini ketika penari Restu Kusumaningrum, koordinator artistik produksi, bersama Rhoda Grauer, produser seni dan penulis naskah lakon ini, sepakat mewujudkannya menjadi seni pertunjukan. Bersama Rahayu Supanggah mereka membuat presentasi di studio Robert Wilson di New York, dan berhasil menggaet Change Performing Arts (Italia) sebagai sponsor.

Kitab La Galigo mulanya dikumpulkan Raja Paccana, Colliq Pujie, dari lembaran-lembaran daun lontar. Ia hidup pada 1812-1876. Statusnya sebagai Raja Tanete tidak menghalangi kerjanya. Saat itu, Kabupaten Barru masih terbagi empat kerajaan: Tanete, Balusu, Malluisetasi, dan Barru.

Naskah La Galigo tersebar di beberapa negara. Selain empat di Inggris dan beberapa naskah di Belanda, lima naskah La Galigo juga tersimpan di Library of Congress Washington DC, Amerika Serikat. Naskah-naskah tersebut, Bugis (1) War betw Two Rajahs, Bugis (2) Day of Judgement-fr. The Koran, Bugis (3) A Tale, Bugis (4) A Rajah's courtship, Bugis (5) Marriage froms, etc.

Peneliti sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, Nurhayati Rahman, menjelaskan, kitab asli La Galigo tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah itu dibawa Dr. Benjamin Frederik Matthes sekitar 1800-an. Awalnya, Matthes dikirim ke Sulawesi Selatan oleh Nederlands Bijbelgenootschap untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Bugis dan Makassar. Pulang ke Belanda, ia membawa 25 naskah Sureq La Galigo.

Rencana pementasan La Galigo sempat menuai protes medio tahun lalu. Proyek lakon ini dinilai banyak mencangkokkan unsur-unsur luar Bugis. Padahal, unsur-unsur Bugis yang menjadi landasannya justru ditinggalkan. Para seniman Sulawesi Selatan berpandangan pementasan itu bisa membangun persepsi keliru tradisi dan syair kepahlawanan yang mengakibatkan jiwa La Galigo tak utuh. Para peneliti, ilmuwan, dan seniman yang terlibat sejak awal proyek La Galigo malah ditinggalkan.

Nurhayati menjelaskan, Rhoda Grauer dan Restu Kusumaningrum dari Bali Purnati Centre for The Art, tidak menghargai hak intelektual dan para peneliti La Galigo. Padahal, Rhoda Restu hanya sebagai penghubung dengan sutradara Robert Wilson. Konon, kontroversi ini yang membuat pementasan La Galigo tidak digelar di Tanah Air. Kontroversi tersebut ditepis Jusuf Kalla yang menyebut tidak tersedianya gedung representatif sebagai penyebab.

Peneliti La Galigo yang lain, Muhammad Salim, mengatakan tidak mungkin melakonkan utuh La Galigo. Sebab lebih panjang dari epos Mahabharata dan petualangan tokoh utamanya sebanding dengan kisah Ulysses dalam Odyssey karya Homer. Diambillah keputusan mengambil salah satu bagian terpenting: awal mula manusia di bumi.

Sumber: bugisbelanda.blogspot.com (sumber asal dari www.korantempo.com)

Belajar I La Galigo Sampai Leiden - Belanda

Kisah dalam naskah La Galigo memang hebat, namun sayang nasibnya begitu malang. Berabad-abad lamanya, epos luar biasa ini tercecer. Setiap episodenya terserak ke mana-mana. Setiap bangsawan bugis menyimpan beberapa penggal episodenya sediri. Sehingga untuk melacak keseluruhan episode, diperlukan kerja keras, serta waktu yang lama. Sungguh bukan pekerjaan mudah.

Adalah Colliq Pujie, bangsawan Bugis yang berjasa menyelamatkan naskah-naskah itu. Ia mengumpulkan semua cerita dalam 12 jilid kitab dengan total 2.851 halaman. 12 jilid ini merupakan ringkasan cerita La Galigo. Ia mulai mengerjakan naskah ini tahun 1852, atas dorongan seorang peneliti Belanda bernama D.R.B. F. Matthes.

Ironisnya, meski naskah ini asli milik Indonesia, namun yang menyimpannya justru Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Naskah ini disimpan di lantai dua. Dalam sebuah ruangan bersuhu 18 derajat Celcius. Di ruangan ini tersimpan ratusan fragmen La Galigo dalam bentuk manuskrip. Koleksi naskah La Galigo di perpustakaan ini merupakan yang paling lengkap di dunia. Karena koleksi milik bangsawan Bugis sendiri tak ada yang selengkap itu.

Naskah La Galigo di sini tak semuanya milik Colliq Pujie. Ada juga diantaranya milik bangsawan Bugis yang lain. Misalnya saja manuskrip dari daun palma berisi tiga episode La Galigo. Naskah ini ditemukan di sebuah rumah di Lamuru. Diserahkan oleh J.G.F. Van Son ke perpustakaan pada 20 April 1906. Namun, naskah ini tak boleh disentuh apalagi dibaca, mengingat usianya yang sudah begitu tua. Bila ingin membaca, kita dipersilahkan melihatnya dalam bentuk film mikro.

Menurut Roger Tol, direktur Perpustakaan KITLV (Institut Kerajaan untuk Linguistik dan Antropologi), ada alasan khusus mengapa La Galigo tak mungkin di simpan di bumi tempat lahirnya La Galigo, Sulawesi. Iklim daerah ini terlalu panas bagi manuskrip tua. Sedang Belanda, memiliki iklim lebih bersahabat. Tapi, mungkin ada alasan lain mengapa naskah ini disimpan di Belanda. Banyak naskah-naskah asli La Galigo yang hancur karena kecerobohan para pemiliknya. Misalnya saja sebuah naskah La Galigo milik Colliq Pujie yang diwariskan pada keturunannya. Naskah itu hancur karena kucing melahirkan di atasnya. Lalu, ketika dicuci dan dijemur,hujan malah datang dan mengguyur manuskrip, hingga lebur tak bersisa. Uh, malangnya. Sepertinya, kita memang harus belajar banyak dari Belanda, bagaimana cara memperlakukan warisan sejarah nenek moyang.

Sumber: http://bugisbelanda.blogspot.com/